GAZA



Hari-hari ini...nurani kita diusik oleh kisah tragis warga Gaza.
Sungguh jelas, bahwa segala bentuk kekerasan tentara Israel yang diotaki para pemimpin politik negara itu, yang menghasilkan kehancuran dan kematian warga sipil Palestina, adalah sebuah kejahatan. Kiranya kita bisa bersetuju dengan Evo Morales, Presiden Bolivia, yang menuntut para pemimpin Israel di bawa ke Mahkamah Internasional untuk diadili.

Namun, tampaknya tragedi Gaza juga sepatutnya mendorong kita untuk menemukan hikmah yang lebih luas. Yaitu tentang bagaimana kita semestinya hidup berdampingan dalam damai, sehingga perang dan perselisihan yang membawa tragedi tak hadir ke dalam hidup kita.

Perang, seperti di Gaza, lepas dari siapa yang salah dan benar, siapa yang menang dan kalah, adalah sebuah pertanda ketidakmampuan kita untuk memegang teguh moralitas dan prinsip hidup yang menghargai kemuliaan manusia.

Sayangnya, seringkali kita memang "memuliakan" perang, atas banyak alasan. Dalam kasus tentara Israel, mereka punya pembenaran, yang mereka lakukan adalah untuk membela kepentingan nasional, melindungi negara mereka dari ancaman Hamas. Bagi Hamas, perang melawan Israel adalah sebuah jihad: tak semata-mata mempertahankan hak warga Palestina untuk hidup merdeka, tapi juga untuk memenuhi panggilan Allah untuk menegakkan agama-Nya. Pada situasi seperti ini, perang menjadi tak terelakkan...ia seolah menjadi jalan satu-satunya untuk menunjukkan sebuah kelompok itu ada, punya harga diri, mulia, bahkan taat pada Tuhan.

Jika kita mau jujur, seringkali di balik semua alasan mulia, perang sesungguhnya disebabkan oleh sisi-sisi gelap dari kepribadian manusia: kebencian terhadap yang lain, juga keserakahan (hasrat untuk menguasai semuanya, bahkan yang bukan haknya, tanpa kesediaan berbagi dengan yang lain...).

Dalam kasus Gaza saya melihat, bahwa perang yang terjadi adalah hasil sebuah ramuan sisi gelap itu: keserakahan para pemimpin Israel yang bertemu dengan kebencian rasial Hamas (yang mengatasnamakan ajaran Tuhan). Dan korbannya adalah warga sipil Palestina...yang saya percaya hasrat terbesar mereka adalah hidup damai dan bahagia.

Kita berharap...mereka yang kini terlibat perang di Gaza bisa tersadarkan bahwa tak ada gunanya melanjutkan perang. Pimpinan Israel mau jujur bahwa mereka telah berbuat keliru, kemudian mundur dari Gaza, kemudian menyiapkan kebijakan yang adil untuk memberi tempat kehadiran negara Palestina merdeka. Sementara kelompok Hamas, mereka bisa sadar bahwa bangsa Israelpun adalah manusia, makhluk Tuhan, yang punya sisi baik di samping sisi buruk, dan kemudian mereka membuka diri untuk bisa bersaudara dan hidup berdampingan dengan bangsa Israel...selain hidup selaras dengan komponen Palestina lainnya seperti kelompok Fatah.

Semua itu membutuhkan keberanian untuk membongkar semua kekerasan kepala dan dogma yang keliru..sembari memunculkan spirit welas asih yang bersemayam di dalam nurani yang paling dalam.

Bagi kita, yang tak terlibat langsung dengan tragedi Gaza, selayaknya bisa belajar. Bahwa keserakahan dan kebencian kepada sesama, hanya menghasilkan tragedi. Dalam konteks Indonesia, semoga semua elemen bangsa berkomitmen untuk hidup damai, di atas landasan semangat kebangsaan yang telah dirintis oleh para founding fathers.

Salam damai.
0 Response to "GAZA"

Post a Comment



Laku spiritual adalah proses bertumbuhnya pengalaman keilahian, wujudnya adalah menjadi penuh dengan daya, penuh kebijaksanaan, penuh kecerdasan, penuh kreatifitas, penuh welas asih.


Setyo Hajar Dewantoro
Founder of Mahadaya Institute


Buku

Buku Medseba Buku Sastrajendra Buku Suwung Buku Sangkan Paraning Dumadi Buku Jumbuh Kawula Gusti Buku Tantra Yoga Buku Kesadaran Matahari Buku Kesadaran Kristus

Kegiatan