KEBAHAGIAAN KELUARGA: Refleksi 13 Tahun Usia Pernikahan




Apakah yang bisa terdengar lebih renyah ketimbang tawa anak-anak? Adakah gambar yang lebih indah dibandingkan wajah sumringah mereka?

Rumah tangga, kehidupan berkeluarga, memang bukan sejenis tanah landai. Ia lebih mirip jalanan di perbukitan yang bergelombang. Terkecohlah mereka yang mengira bisa mendapatkan hari-hari yang serba mudah dan kedamaian yang stabil ketika mengarungi kehidupan berkeluarga.
Tak terasa, 13 April 2009, akan menjadi tahun ke-13 aku menjalani lika-liku kehidupan sebagai seorang suami dan ayah. Hari itu, 13 tahun yang lampau, dengan saksi penghuni langit dan bumi, beserta malaikat-malaikat bersayap, sebuah ikatan suci diikrarkan. Dua anak manusia yang semula saling asing bersepakat untuk membina rumah tangga, membangun sebuah keluarga, yang bakal dihiasi tangis dan tawa anak-anak buah cinta bersama.
Terekam dalam benak, fragmen-fragmen kehidupan yang telah kujalani bersama istriku terkasih. Ada saat-saat penuh kebahagiaan yang membuat hati kami menggelorakan rasa syukur. Ada saat-saat yang teramat gelap, ketika kami terlontar ke dalam jurang kepedihan yang nyaris tak berujung. 13 tahun adalah masa ketika cinta, benci, kasih sayang, dan amarah, bercampur aduk, datang dan pergi silih berganti.
Kusadari bahwa beberapa kali, nyaris saja biduk yang kami naiki berdua retak berkeping-keping. Ketika amarah tak tertahankan, ketika keakuan memuncak tak terkendali, ikrar suci seperti tak punya makna. Beruntung, kehidupan masih memberi kesempatan untuk sebuah perjalanan bersama. Segenap retak dalam biduk rumah tangga kami terpulihkan dan kami tak jadi benar-benar karam. Kami mendapatkan energi baru untuk menata kembali sesuatu yang nyaris berantakan, menjadi sesuatu yang kami angankan bersama: istana keluarga yang memancarkan aura kebahagiaan.
Anak-anak kami, yang sesungguhnya rentan dan tak berdaya, kusadari punya kekuatan untuk membuat kami memilih tetap bersama. Mereka membuat kami, walau terjebak dalam kegelapan emosi diri, tetap punya secercah akal sehat untuk membuat keputusan yang tepat: kembali pada ikrar suci yang terpatri di atap langit. Ya, tawa mereka, senyum mereka, bahkan kepolosan wajah mereka, menyingkirkan kekuatan iblis yang merasuk ke dalam diri kami berdua. Segunung benci di antara kami berdua, luruh oleh ketidaktegaan menyaksikan mereka kehilangan tempat berlindung. Bahkan, karena mereka pula, segunung benci itu segera hancur berkeping-keping berganti dengan cahaya kasih yang menyeruak perlahan-lahan dari dalam hati: membuat hidup keluargaku yang semula kelam menjadi kembali terang.
13 tahun, memang bukan waktu singkat, untuk belajar tentang makna hidup dan makna menjadi manusia dewasa. Kubersyukur mendapatkan kesempatan itu…walau harus kutebus dengan pengorbanan: meredam sejuta angan-angan, dan menahan sepahit apapun hidup yang harus kuterima saat menjalani ikatan rumah tangga. Mungkin demikianlah salah satu cara alam semesta ini mewujudkan hukum kesetimbangan: segenap kebahagiaan yang kukecap…setara dengan angin badai kepahitan yang harus kuhadapi.
13 tahun pernikahan, mengajarkan aku sebuah rahasia kecil tentang kebahagiaan dalam bahtera rumah tangga: kebahagiaan itu bukan muncul dari kehidupan yang serba mulus…tapi dari kemampuan menghayati momen demi momen, pahit dan manis, dengan hati penuh syukur. Ya, pahit manis yang harus dijalani dalam kehidupan berkeluarga, kumaknai sebagai cara Sang Pemilik Kehidupan ini untuk menghaluskan jiwa dan mengangkat martabat kemanusiaan kita.
Aku tak tahu apa yang akan kuhadapi di masa depan. Satu hal yang pasti, aku sadar bahwa ikrar suci 13 tahun lampau, bukanlah sebuah peristiwa sepele yang bisa dibatalkan begitu saja. Akupun tahu pasti, bahwa kehidupan yang dijalani setelah dua hati disatukan, yang kemudian membuahkan anak-anak penerus dan pewaris kehidupan, adalah momen pembuktian kualitas kemanusiaan. Aku tak ingin tercatat dalam kitab para malaikat sebagai pecundang: yang secara bodoh membatalkan ikrar suci dan meluluhlantakkan sebuah bahtera - yang tak hanya menampung orang-orang terkasih, tapi juga merupakan madrasah kehidupan yang paling hebat.
Akhirnya, di tahun ke-13 pernikahanku, disaksikan seluruh penghuni alam semesta ini, termasuk para malaikat yang penuh cahaya, aku memperbaharui ikrar suciku: apapun yang terjadi, sampai titik darah penghabisan, akan kubuktikan cinta dan tanggung jawabku. [shd]
0 Response to "KEBAHAGIAAN KELUARGA: Refleksi 13 Tahun Usia Pernikahan"

Post a Comment



Laku spiritual adalah proses bertumbuhnya pengalaman keilahian, wujudnya adalah menjadi penuh dengan daya, penuh kebijaksanaan, penuh kecerdasan, penuh kreatifitas, penuh welas asih.


Setyo Hajar Dewantoro
Founder of Mahadaya Institute


Buku

Buku Medseba Buku Sastrajendra Buku Suwung Buku Sangkan Paraning Dumadi Buku Jumbuh Kawula Gusti Buku Tantra Yoga Buku Kesadaran Matahari Buku Kesadaran Kristus

Kegiatan