MENGENAL DIRI, MENGENAL TUHAN (2)




Siapakah manusia itu? Syaikh Maybudi menjelaskan dengan indah:
“ Engkau hanyalah segenggam tanah, sebuah tangkai bayang-bayang dalam kegelapan ketidaktahuanmu sendiri, kebingungan dalam kegelapan sifat-sifat. Lalu, hujan cahaya mulai turun dari langit segenap rahasia: ‘Dia tuangkan cahaya-Nya kepada mereka.’ Bumi berubah menjadi bunga melati dan batu menjadi mutiara. Tangkai tebal jadi bernilai karena cabang lunak ini. Bumi menjadi murni, kegelapan menjadi cahaya.”

Sang Syaikh, dalam penjelasan di atas, sesungguhnya merujuk pada ayat Al Quran yang mulia:
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan kamu dari tanah, dan kemudian kamu menjadi manusia yang bertebaran kemana-mana.” (QS. 30:20)
Sungguh….sungguh merupakan anugerah besar bahwa kita tercipta dan terlahir sebagai manusia. Kita berkesempatan mereguk keberadaan, setelah sebelumnya berada dalam gelapnya ketidakberadaan. Untuk memperkuat kesadaran ini, mari kita renungkan apa yang difirmankan Allah dalam ayat-ayat surat al Insan:
“Bukankah pernah datang kepada manusia, waktu dari masa, yang ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut. Sungguh, kami telah menciptakan manusia dari mani yang bercampur yang kami hendak mengujinya (memberinya amanah) karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.” (QS. 76:1-2)

Manusia yang semula bukan apa-apa, mendapatkan jubah kemuliaan sebagai makhluk-Nya yang paling istimewa, karena di dalam dirinya, berada sekaligus cerminan Ilahi yang Suci, dan miniatur alam semesta yang agung.

Dinyatakan kepada kita oleh Syaikh Maybudi, tentang bagaimana Allahlah yang memberikan kemuliaan-Nya pada kita:
“Ya, Kamilah yang menghias dan melukis. Kami menghiasi dengan cahaya Kami, kepada siapa saja yang Kami kehendaki. Kami hiasi Firdaus dengan sahabat-sahabat kami, Kami hiasi sahabat-sahabat Kami dengan kalbu, dan Kami hiasi kalbu dengan cahaya Kami sendiri.”

Sementara itu, Ikhwan al Shafa menerangkan:
“Orang-orang bijak pertama melihat dunia fisik ini dengan pandangan mata mereka dan menyaksikan dimensi-dimensi segala sesuatu yang tampak dengan persepsi indera mereka. Kemudian merenungkan keadaan-keadaan alam semesta dengan akal mereka, mereka menelaah dengan cermat lingkup aktivitas individu-individu universalnya dengan pengetahuan mereka, dan mengetahui berbagai ragam dari segala sesuatu yang individual dalam alam semesta dengan wawasan mereka yang mendalam. Mereka tak menemukan satu bagianpun dari alam semesta yang lebih lengkap dalam struktur, lebih sempurna dalam bentuk, dan lebih serupa dalam totalitas, ketimbang manusia. Manusia adalah sebuah totalitas yang lahir sekaligus dari tubuh yang ragawi dan jiwa spiritual.”

Alam semesta, pada hakikatnya merupakan cermin atau manifestasi dari nama-nama Allah. Manusia, di dalam dirinya sendiri, mencerminkan keseluruhan nama-nama Allah ini. Karena itu, Ibnu Arabi menyebut manusia sebagai “wujud yang serba meliputi” (al kawn al jami’). Sebuah hadits Nabi menjelaskan bahwa Adam diciptakan dalam citra (shurah) Allah.

Sungguh mulia manusia pada awal penciptaannya…tapi pada kenyataan, tidak semua manusia bisa menjalani hidup penuh kemuliaan. Di balik kesempurnaan penciptaan yang Dia anugerahkan kepada kita, Dia juga memberi kita “amanah” yang ditolak langit dan bumi: berupa kebebasan memilih, antara jalan kebaikan dan jalan keburukan, antara menjadi pembangun atau perusak.

Sayangnya….dalam praktek hidup sehari-hari, kebanyakan kita seringkali gagal mempertahankan fitrah yang mulia dan terjerembab ke dalam kehinaan.
Allah memberikan pernyataan-Nya dalam Surat al Insan:
“Sungguh, Kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang lurus; ada yang bersyukur, dan adapula yang kufur.”

Namun demikian…..apapun yang terjadi dalam kehidupan yang kita jalani di dunia ini, pada dasarnya semata-mata merupakan cara-Nya agar Keberadaan-Nya dikenali, dan Nama serta Sifat-Nya diketahui. Sebagai makhluknya…kita tinggal menjalani hidup ini dengan penuh kesadaran, sekaligus kepasrahan.

Untuk lebih menghayati soal ini…..mari kita simak sebuah tulisan indah dari Jami’:
“Manusia selalu percaya, bahwa mereka diciptakan untuk diri mereka sendiri.
Apa saja yang mereka pandang tepat dan pantas, mereka memandangnya sebagai baik dan sempurna.

Namun, apa saja yang mereka pandang tak pantas, mereka golongkan sebagai tidak sempurna.
Tapi kepercayaan ini sendiri salah, sebab mereka diciptakan untuk Allah.
Tujuan penciptaan mereka, apapun bentuknya, tidak bisa dilampaui.
Sesungguhnya kesempurnaan manusia adalah apa yang diinginkan Allah dari keberadaanya.
Dari keberadaan segala sesuatu, Allah hanya menginginkan manifestasi seluruh nama atau sifat-Nya.
Tak peduli, apapun yang tampak di halaman alam semesta, tujuannay memanifestasikan sifat sebuah nama.
Jika kita beranggapan bahwa sesuatu itu tidak ada, mana mungkin sifat sebuah nama bisa ditunjukkan.
Itulah dulu Nabi berkata kepada para sahabatnya:
‘Jika dari dirimu tida lahir amal perbuatan yang di situ ada noda dosa,
Allah akan menciptakan manusia yang berbuat salah agar mereka berdosa dan berbuat kesalahan,
Dan lantas memohon ampun atas dosa itu, menjadikan sifat dari Zat Maha Pemaaf termanifestasi.”

Demikianlah….sungguh sebuah kehormatan bagi kita…menjadi tempat di mana Allah bisa menyaksikan Diri-Nya sendiri. Maha Suci Allah. Segala Puji Bagi-Nya. Tiada Tuhan Selain-Nya. Allah Maha Besar.

Terakhir pada bagian ini, kita renungkan bimbingan-Nya agar kita bisa kembali pada-Nya…Dia akan membuat kita kembali pada-Nya melalui Cahaya-Nya. Apakah tanda bahwa Cahaya itu singgah ke dalam hidup dan diri kita? Seorang syaih (pembimbing ruhani) menjelaskan:
“Tandanya ialah bahwa melalui cahaya itu sang hamba mengenal Allah tanpa menemukan-Nya (secara fisik), mencintai-Nya tanpa melihat-Nya (secara fisik), berpaling dari kesibukan dan perenungan akan dirinya sendiri menuju kesibukan dan perenungan akan Diri-Nya. Dia menemukan kemudahan dan ketenangan di jalan-Nya, dia tuturkan segenap rahasia kepada sahabat-sahabat-Nya dan memohon bantuan dari mereka. Di siang hari, dia sebuk dengan pekerjaan diin (menjalankan tugas yang dititahkan agama), di malam hari mabuk oleh berita keyakinan. Di siang hari dia bersama makhluk-makhluk yang baik, di malam hari dengan Zat Yang Maha Benar, yang kukuh dalam ketulusan.”

1 Response to "MENGENAL DIRI, MENGENAL TUHAN (2)"



Laku spiritual adalah proses bertumbuhnya pengalaman keilahian, wujudnya adalah menjadi penuh dengan daya, penuh kebijaksanaan, penuh kecerdasan, penuh kreatifitas, penuh welas asih.


Setyo Hajar Dewantoro
Founder of Mahadaya Institute


Buku

Buku Medseba Buku Sastrajendra Buku Suwung Buku Sangkan Paraning Dumadi Buku Jumbuh Kawula Gusti Buku Tantra Yoga Buku Kesadaran Matahari Buku Kesadaran Kristus

Kegiatan