MOMEN TITIK BALIK (2)



Napak Tilas
Dalam menemukan akar dan jatidiri, mau tidak mau kita memang harus menengok pada masa lalu. Demikianlah, kukatakan pada diriku sendiri, aku harus menemukan diriku dengan menyibak misteri tentang asal muasalku. Secara biologis, orang tua adalah asal muasal kehidupan kita. Ditarik mundur ke belakang hingga sejauh-jauhnya, kita akan bertemu dengan mata rantai orang tua yang menjadi perantara keberadaan kita di muka bumi. Secara kolektif, mereka kita sebut sebagai leluhur. Sepatutnyalah setiap orang mengakui fakta ini, dan coba mengenal siapa saja leluhur yang menjadi perantara kehadirannya di muka bumi. Lebih jauh lagi, sepatutnya pula ia menunaikan bakti kepada mereka semua, sebagai wujud terima kasih dan penghormatan.

Dari diagram silsilah yang ada di rumah Pak Dhe-ku, aku mengetahui siapa saja leluhurku dari garis ayah hingga beberapa generasi ke belakang. Akupun menjadi tahu makam beberapa leluhurku, tersebar mulai dari Kota Magelang, Prapag -Temanggung hingga Kota Gede – Jogjakarta. Maka kuniatkan untuk menapaktilasi jejak kehidupan para leluhurku dengan menziarahi tempat-tempat di mana jasad para leluhurku itu dikebumikan.

Di mulai dari Kota Magelang, di situ kuziarahi makam kakekku Raden Supaat Sukandar Mangundirjo, nenekku Raden Nganten Surati Mangundirjo, juga buyutku Raden Mangundirjo. Di Prapag – Temanggung, kuziarahi makam leluhurku generasi keempat dan kelima ke belakang, yaitu Raden Ronggo Mangundirjo, Wedana di Bandongan pada abad 19, juga ayah beliau, Kyai Ronggo Pronodirjo, salah satu pemimpin pasukan Pangeran Diponegoro yang sedha (meninggal) ketika terjadi pertempuran dengan pasukan Belanda di kawasan yang kini disebut sebagai Prapag, di Temanggung. Sayangnya, ada satu leluhur yang terlewat karena tak kudapatkan informasi di mana makamnya, yaitu Raden Mangunsentiko, pamong praja di Secang, Kabupaten Magelang, putera dari Raden Ronggomangundirjo.

Menziarahi makam demi makam itu, seperti menghadirkan energi baru. Aku merasa tak sendiri lagi. Muncul kesadaran bahwa kehadiranku di muka bumi ini, terletak pada sebuah garis keberadaan umat manusia yang sambung menyampung, dari generasi ke generasi, yang ikatannya adalah kesamaan darah yang mengalir.

Kulanjutkan penziarahanku, ke komplek Pemakaman Kotagede di Yogyakarta, dengan fokus ziarah ke makam Sultan Sepuh Hamengkubuwono II yang fotonya terpampang di dinding rumah salah satu Budhe-ku di Muntilan. Belilaulah salah satu leluhur yang menjadi cikal bakal keberadaanku, dari garis puteranya yang ke-78, yaitu Pangeran Timur. Ya, beliau memang terkenal sebagai salah satu raja Jawa yang paling banyak anak keturunannya, sekaligus juga paling banyak garwa (istri)-nya.

Di Kota Gede inilah, pertama kali dalam hidupku, aku mengenakan pakaian adat Jawa (Ini memang agak konyol terdengarnya, tapi demikianlah faktanya). Karena memang untuk masuk ke Komplek Pemakaman Kota Gede harus memakai pakaian tersebut. Di sini, coba kuheningkan diriku, kuusahakan diriku tersambung dengan ruh leluhurku. Coba kutemukan akar diriku, sekaligus kusibak jejak leluhurku pada raga dan kehidupanku. Dan kudapatkanlah sejumput energi baru, yang membuatku makin siap menyongsong masa depan.

Perlu kusampaikan, bahwa perjalanan sampai ke Kota Gede, tidak terlampau mudah. Aku sempat tersasar dulu ke Imogiri, dan kehabisan ongkos. Aku sampai ke Kota Gede karena ada kuncen di Imogiri yang berkenan mengantarku. Dan berkat jasa baik seorang sahabat di Yogya, aku juga bisa melanjutkan perjalanan.

Dari Jogjakarta, kulanjutkan perjalanan ke Solo, bertemu dengan beberapa kerabatku. Lalu kuputuskan untuk meneruskan perjalanan ke Selo, menziarahi makam Ki Ageng Kebo Kanigoro, sesuai petunjuk Romo Pujiyono. Di sinilah aku mendapatkan pengalaman bathin yang luar biasa berharga, yang menjadi landasan diriku menjadi lebih kuat menyongsong masa depan.

Selo adalah nama sebuah Kecamatan di Kabupaten Boyolali. Ia diapit dua gunung, yaitu Gunung Merapi dan Merbabu. Saat aku tiba di sana, hari sudah menjelang senja. Udara terasa dingin, hujan rintik-rintik, dan kabut menyaput tebal. Menggetarkan! Mungkin bisa dibilang berlebihan, tapi aku memang merasa memasuki kawasan dan suasana yang demikian indah, mempesona, menghanyutkan.

Turun dari bus, kulangkahkan kakiku untuk mendekati makam Ki Ageng Kebo Kanigoro. Kususuri jalan-jalan desa yang masih membiaskan suasana Jawa kuno. Akhirnya, ada yang menyarankan agar aku terlebih dahulu menemui Carik atau Sekretaris Desa yang bertanggung jawab secara administratif terhadap bangunan makam Ki Ageng Kebo Kanigoro. Akhirnya kutemukan rumah Pak Carik, tapi yang bersangkutan sedang tidak ada di rumah. Namun, aku dapatkan apa yang kutuju. Setelah menikmati segelas teh manis hangat yang disuguhkan istri dari Carik desa itu, aku diperkenalkan dengan Mbah Tarso, sosok sepuh berusia sekitar 70 tahunan yang akan menjadi pemanduku untuk menziarahi makam Ki Ageng Kebo Kanigoro.

Diantar oleh Mbah Tarso, mulai kumasuki kawasan makam Ki Ageng Kebo Kanigoro. Aku melintasi beberapa dukuh, berpapasan dengan bapak-bapak dan mbok tani yang baru pulang dari sawah. Saat itu gelap mulai membayang, hujan masih rintik-rintik, kabutpun masih cukup tebal, menghadirkan suasana yang demikian mistis! Jiwaku larut, seperti dilemparkan ke masa silam. Sungguh pengalaman tak terlupakan.

Makam Ki Ageng Kebo Kanigoro dikelilingi oleh pohon-pohon yang besar dan menjulang tinggi. Dari cerita Mbah Tarso, aku menjadi tahu bahwa makam ini sering menjadi tempat tirakat para Sultan Jogjakarta. Di komplek makam ini, selain ada bangunan utama makam, terdapat kamar mandi tempat penziarah berwudu, dan ruang tempat tirakat. Dari buku tamu, aku menjadi tahu, banyak juga pengunjung makam ini, berbagai kalangan dan lapisan masyarakat, dari berbagai daerah, dengan berbagai tujuan. Fakta demikian mungkin tak mengherankan jika kita membaca sejarah Ki Ageng Kebo Kanigoro. Beliau adalah putera dari Adipati Andayaningrat, Adipati Pengging yang menikahi Ratu Pembayun, puteri dari Prabu Brawijaya VII, raja Majapahit terakhir. Pada zamannya, Ki Ageng Kebo Kanigoro dikenal sebagai tokoh dari trah atau keturunan raja Majapahit yang mencoba mempertahankan eksistensi kerajaan yang pernah besar itu, dari upaya pembumihangusan secara politik dan budaya, oleh Kesultanan Demak yang dipimpin Raden Fatah. Adik Ki Ageng Kebo Kanigoro adalah Ki Ageng Kebo Kenongo, yang dikenal juga sebagai Adipati Pengging penerus Adipati Andayaningrat sekaligus murid utama Syeikh Siti Jenar.

Abad 15 Masehi, memang menjadi salah satu titik krusial perjalanan Nusantara. Majapahit yang pernah demikian jaya, saat ini memasuki masa keruntuhannya. Momen itu disimbolkan oleh kalimat Sirna Ilang Kertaning Bumi. Namun yang terjadi memang bukan sekadar runtuhnya sebuah kerajaan. Tapi juga bagaimana agama baru, yaitu Islam, dengan segenap pranatanya, tengah coba menggantikan agama lama, Hindu-Budha. Komunitas-komunitas Muslim yang semula bertempat tinggal di Pesisir dan diberi hak hidup oleh raja-raja Majapahit, termasuk Prabu Brawijaya VII, terus berkembang hingga menjadi kekuatan politik tersendiri. Hingga pada satu titik, sebagaimana digambarkan dalam Serat Darmagandul, komunitas Muslim yang dipimpin oleh Raden Fatah (Jin Bun), yang sebetulnya adalah putera Prabu Brawijaya VII sendiri dari istrinya yang bernama Retno Subanci asal Kerajaan Campa, mengambil alih kekuasaan dari sang ayah melalui penyerbuan ke pusat kerajaan. Bermodalkan ratusan ribu balatentara dan dukungan dari beberapa Adipati di Pesisir Jawa yang telah menjadi Muslim, plus dukungan dari para tokoh agama seperti Sunan Giri dan Sunan Benang sebagai motivator utama, Raden Fatah akhirnya mengukuhkan diri sebagai penguasa. Maka Kesultanan Demak berdiri, di atas puing-puing Kerajaan Majapahit yang runtuh. Tak sampai di situ, proses Islamisasipun kemudian menjadi massif karena didukung oleh mesin kekuasaan.

Nah, Ki Ageng Kebo Kanigoro adalah sosok kesatria keturunan Majapahit yang hatinya tidak rela terhadap fenomena penyebaran agama Islam yang berkait kelindan dengan hasrat penaklukan politik dan perluasan wilayah kekuasaan. Iapun menjadi simbol perlawanan; ia tak pernah mau takluk kepada Sultan Demak. Apalagi, ia sendiri merasa trahnya lebih kuat dibandingkan Raden Fatah. Dan sebaliknya, Raden Fatah dan para politisi Demak sendiri memperhitungkan bahwa Ki Ageng Kebo Kanigoro adalah salah satu musuh politik yang potensial karena statusnya sebagai salah satu cucu Prabu Brawijaya – oleh karena itu juga harus ditaklukkan.

Selo, menjadi tempat Ki Ageng Kebo Kanigoro melindungi diri dari kejaran pasukan Demak, dan di sini pula, ia mengakhiri kisah hidupnya di alam fana.

Kembali bicara soal makam Ki Ageng Kebo Kanigoro, yang melekat kuat di benakku adalah betapa makam ini memang membetot rasaku. Secara visual makam ini memang sangat indah. Dilatari landscape Gunung Merapi dan Merbabu yang berdiri kokoh, dikelilingi pohon-pohon yang tinggi menjulang, dan berlantaikan tanah berlumut hijau yang karena tebalnya mirip dengan karpet berwarna hijau. Suasana sore hari yang mulai gelap, dan sunyi, menjadi penguat getaran mistis yang memasuki relung jiwaku.

Dipandu Mbah Tarso, kumasuki alam hening dan sunyi. Coba kuhubungkan jiwaku dengan arwah Ki Ageng Kebo Kanigoro. Kujalin komunikasi batin, kulantunkan beberapa bait doa. Sejak saat itu, terhubunglah diriku dengan sebuah rasa yang terus menguat. Sebuah rasa menyatu dengan para leluhur di Tanah Jawa: rasa, spirit, semangat, kehendak, untuk menghidupkan kejayaan masa lalu, meneruskan karya yang belum tuntas, membangun negeri gemah ripah loh jinawi.

Setelah tuntas proses penziarahan di makam Ki Ageng Kebo Kanigoro, aku berpamitan dengan Mbah Tarso untuk melanjutkan perjalanan. Mengikuti insting, aku bertanya kepada Mbah Tarso, kyai mana yang kira-kira bisa kujumpai. Mbah Tarso menyebut sebuah nama: Kyai Makmuri. Maka, kulangkahkan kakiku meniti jalan menuju rumah kyai tersebut, mengikuti rute yang ditunjukkan Mbah Tarso. Hujan masih rintik-rintik. Uang di kantong nyaris habis. Hari mulai gelap. Tapi, sebuah dorongan semangat membuat aku terus bergerak maju. Setelah memeras seluruh energi, melawan rasa dingin, juga rasa takut karena harus melewati beberapa bukit yang sunyi, sepi dan gelap, aku akhirnya sampai di rumah Kyai Makmuri. Dari makam Ki Ageng Kebo Kanigoro, jarak rumah Kyai Makmuri ternyata sekitar 3 km. Dekat buat para petani Selo yang biasa berjalan kaki, namun jelas lumayan jauh untukku.

Syukurlah, di situ, di pesantren sederhana yang dihuni beberapa santri, aku bisa bertemu Kyai Makmuri. Lebih kusyukuri lagi, aku diterima dengan baik dan dijamu dengan sepiring nasi plus mie instan rebus yang hangat. Sederhana, tapi sangat berarti. Tak hanya itu, akupun mendapatkan nasihat tentang bagaimana aku bisa memperbaiki hidupkupun kudapatkan. Selesai berdiskusi, akupun dipersilakan tidur di salah satu kamar santri. Malam itu, kulalui dalam damai.

Pagi hari, badanku segar kembali, maka akupun berpamitan kepada Kyai Makmuri. Tak lupa, Kyai Makmuri menyebutkan beberapa tempat yang bagus untuk diziarahi. Di Selo, ada makam Ki Hajar Saloko, murid dari Syeikh Subakir yang merupakan salah satu perintis dakwah Islam di Tanah Jawa. Berikutnya, adalah petilasan Syeikh Subakir sendiri di Gunung Tidar, Kota Magelang. Juga Makam Gunung Pring di Muntilan, tempat di mana para leluhur kyai-kyai di Pesantren Krapyak dimakamkan.

Kuikuti saran Kyai Makmuri. Kuziarahi makam Ki Hajar Saloko, yang bentuknya hanya seonggok pasir. Beberapa bait doa terlantun, dan silaturahmi di alam batinpun terjalin. Setelah selesai di sini, kulanjutkan perjalanan. Pagi itu sangat cerah. Hatikupun penuh semangat. Semua terpampang indah. Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, demikian mempesona dengan sosoknya yang kehijauan dan terlihat sangat kokoh, dengan latar langit biru yang bersih. Semburat cahaya matahari, membuat semuanya jadi berkilau.

5 Responses to "MOMEN TITIK BALIK (2)"

  1. Nuwun Sewu kang?
    saya juga sedang mencari makam dari eyang mangunsentika, sebelum eyang putri sedha, beliau bercerita tentang eyang mangunsentika.
    bila berkenan bisa minta info?
    niki nomer hp kula 085 726 726 256

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. nah trus yg bernama sunan pengging yg di Lombok itu siapa?

    ReplyDelete
  4. Klo mau leluhur kita yg sebenar nya datang lah ke timur tengah ,manusia pertama yg ada di bumi,

    ReplyDelete
  5. Klo mau leluhur kita yg sebenar nya datang lah ke timur tengah ,manusia pertama yg ada di bumi,

    ReplyDelete



Laku spiritual adalah proses bertumbuhnya pengalaman keilahian, wujudnya adalah menjadi penuh dengan daya, penuh kebijaksanaan, penuh kecerdasan, penuh kreatifitas, penuh welas asih.


Setyo Hajar Dewantoro
Founder of Mahadaya Institute


Buku

Buku Medseba Buku Sastrajendra Buku Suwung Buku Sangkan Paraning Dumadi Buku Jumbuh Kawula Gusti Buku Tantra Yoga Buku Kesadaran Matahari Buku Kesadaran Kristus

Kegiatan