MAKNA MENJADI SEORANG KEJAWEN, SEBUAH CATATAN PRIBADI



Saya menuliskan catatan ini, berdasarkan pengalaman nyata: pengalaman menjalani hidup yang menawarkan banyak pelajaran. Beberapa hari yang lalu, saya menjalani terapi pemulihan sakit fisik. Sakit fisik itu sebetulnya tidak terlalu nyata, dari luar saya tampak sehat2 saja. Indikator yang paling tampak hanyalah meningkatnya hobby saya untuk tidur; karena hal ini, anak2 saya mengatakan saya tukang tidur! (He, he, he...anak2 memang selalu jujur...). Penyakit itu baru tampak ketika terapi dijalankan. Melalui pijat refleksi terhadap beberapa titik syaraf, diketahui dengan jelas bahwa memang ada yang salah dengan tubuh ini. Indikatornya, saya betul-betul merasa kesakitan saat beberapa titik syaraf dipijat, walau hanya perlahan. Maka, guru saya yang melakukan terapi itu membimbing saya untuk merenung: apa yang menyebabkan semua rasa sakit itu?



Saya akhirnya disadarkan, bahwa memang ada yang salah dengan diri saya. Tubuh ini adalah pembawa pesannya. Dan apa akar rasa sakit itu? Ternyata ia berakar pada dunia bathin saya, pada kondisi emosi saya. Melalui perenungan, saya tahu bahwa di dalam diri ini, ternyata ada konflik bathin yang belum tuntas. Konflik itu berakar pada dendam, pada amarah. Di dunia bathin itu, juga masih berkobar api kekhawatiran dan ketakutan. Emosi negatif seperti demikianlah yang menyebabkan gangguan pada sistem energi, dan akhirnya termanifestasikan dalam penyakit fisik!



Dari mana dendam dan amarah itu berasal? Rupanya ini terkait dengan perjalanan bathin dan transformasi diri. Ini ada kaitannya dengan tumbuhnya spirit saya sebagai orang Jawa: saya mendapat kesadaran untuk kembali pada Kejawen, kearifan lokal dari Tanah Jawa! Perjalan bathin dan transformasi diri ini ternyata bukan tanpa resiko dan kendala. Tentu saja, resiko dan kendala ini sebetulnya sekadar cermin dari kebelummatangan saya pribadi.



Dinamika Perjalanan

Proses saya menjadi seorang Kejawen, dibarengi dengan peningkatan intensitas hubungan dengan para leluhur, baik melalui pendekatan reinkarnasi, nitis, maupun nyengkuyungi dan njangkungi. Semakin dekatnya saya dengan para leluhur, ternyata tidak hanya membuat saya sering menerima anugerah berupa kesadaran dan ilmu yang hadir tanpa proses belajar formal (di mana harus ada guru). Tapi, saya juga harus “menanggung” beban sejarah dari masa lalu. Rentang 500 tahun, ternyata belum menghilangkan kenangan pahit di masa lalu: saat terjadi transformasi budaya dan politik di Tanah Jawa dan Nusantara. Salah satu tokoh masa lalu yang jiwanya hadir kembali melalui raga ini, dahulu memang berada dalam posisi benar-benar dianiaya oleh kekuatan politik otoriter yang bertopengkan agama! Rasa sakit akibat penganiayaan itu benar-benar terasa, dan itu mengobarkan amarah, bahkan dendam. Maka, walau mengalami penghalusan, amarah dan dendam itu bisa benar-benar dilihat oleh mereka yang titis (berpandangan tajam) pada sikap, ekspresi, dan kata-kata saya.



Amarah dan dendam inilah yang menjadi sumber konflik bathin: karena sesungguhnya ia bertentangan dengan nilai-nilai yang sedang saya geluti untuk mencapai puncak perjalanan ruhani. Untuk menggapai puncak perjalanan ruhani, seseorang haruslah memiliki sikap welas asih yang utuh. Pada kenyataannya, pada kasus saya, itu belum bisa terjadi karena saya masih memendam dendam dan amarah. Maka, terjadilah konflik bathin yang menguras energi vital di dalam tubuh, bahkan merusak kesetimbangan sistem energi di dalam tubuh yang akhirnya menyebabkan penyakit fisik.

Guru saya membimbing saya untuk menyadari, bahwa dendam dan amarah ini harus diselesaikan. Cakra manggilingan memang hukum alam. Tapi kita sebagai manusia selayaknya menerapkan model perjalanan spiral di mana walau kita berputar kita tidak kembali ke titik yang sama, namun justru bergerak maju mendekati kesempurnaan. Mata rantai dendam dan amarah itu harus diputus: kewelasasihan harus dimunculkan bahkan kepada mereka yang telah berlaku aniaya kepada diri kita. Sebuah cahaya terang menyelimuti kesadaran saya. Saya tergerak untuk segera memutus mata rantai amarah dan dendam itu, lalu menancapkan kewelasasihan yang utuh, bahkan kepada mereka yang pada tataran fenomena merupakan “lawan” atau “musuh”.



Demikianlah, saat ini, saya sedang memulai proses penyembuhan diri, yang dimulai dari menyelesaikan konflik bathin, memadamkan gejolak amarah dan dendam, lalu menumbuhkan kewelasasihan, sikap memaafkan, dan kepasrahan diri yang total. Indikator keberhasilan proses ini adalah ketika tubuh ini kembali pulih.



Maka,kepada saudara-saudaraku yang telah dipanggil oleh Ibu Pertiwi untuk kembali pada ajaran leluhur, patut kiranya pengalaman saya ini menjadi sebuah bahan renungan. Kita memang tak bisa mengingkari fakta, bahwa 500 tahun yang lalu, Trowulan dihancurkan oleh pasukan Demak. Kita juga tak bisa menutupi kenyataan bahwa Ki Ageng Kebo Kenongo yang bahkan sudah melepaskan tahta adipati dan tidak menuntut tahta sebagai raja Jawa, dibunuh oleh Sunan Kudus. Kita juga tak bisa menyembunyikan sejarah dimana para praktisi kebathinan Jawa, walau mereka telah mengikrarkan diri sebagai Muslim- seperti Sunan Panggung, Sunan Geseng, coba dieksekusi dan para pengikutnya dibantai. Namun, demi pertumbuhan spiritual kita dan nasib Nusantara di masa depan, mari kita kedepankan sikap welas asih dan memaafkan. Kita buat diri kita menjadi lapang dada. Kita tutup semua masa lalu itu, kita petik pelajaran darinya tanpa memperpanjang kisah pahitnya. Kita memulai kehidupan baru, dengan sikap ngemong, sikap memaafkan dan memaklumi, baik kepada pelaku aniaya di masa lalu maupun kepada penerusnya di masa kini. Tentu saja, sikap welasasih dan memaafkan ini jangan mengaburkan pentingnya sikap tegas dan waspada.



Prinisipnya, kita lebih berfokus pada upaya-upaya yang berkontribusi langsung pada terciptanya kondisi masa depan yang terang. Kita ciptakan dunia yang terang dengan menyalakan lilin kebajikan, bukan dengan memaki kegelapan dan penyebab kegelapan itu. Setiap penyebab kegelapan sudah mendapatkan balasan tersendiri dari alam semesta; tugas kita adalah memastikan agar yang terjadi di masa depan adalah tidak banyak lagi anak Nusantara yang terjebak untuk menjadi penyebab kegelapan itu.





Menjadi Kejawen = Menjadi Pejalan Ruhani

Menjadi Kejawen, sebaiknya tidak kita pahami sebagai proses berganti agama. Di mana kita hanya memindah keyakinan (tanpa diiringi oleh pertumbuhan bathin), atau berganti dari satu prasangka kepada prasangka lainnya. Tapi, menjadi Kejawen sebaiknya kita pahami sebagai proses untuk menukik pada hakikat kebenaran, memahami hakikat terdalam sebuah jalan ruhani, serta meningkatkan kesadaran dan pengenalan terhadap diri sejati kita.



Ya, menjadi Kejawen lebih baik tidak dipahami seperti kita berpindah rumah. Tapi ia adalah proses penuh kesadaran untuk memahami hakikat dari rumahyang kita huni saat ini, serta mengenali unsur-unsurnya yang paling halus. Lalu, setelah kita memahami itu semua, kita lanjutkan prosesnya dengan menciptakan sendiri rumah yang memang lebih sesuai dengan kebutuhan kita, yang sesuai dengan diri dan alam sekitar.



Rumah, bisa kita pahami sebagai sistem keyakinan dan jalan ruhani yang telah disistematisasi. Pada konteks kehidupan kita di Indonesia, rata-rata kita memang telah dimasukkan ke sebuah rumah, entah kita setuju atau tidak. Nah, persentuhan kita dengan Kejawen, semestinya dimaknai sebagai pemicu kita untuk menemukan hakikat dari rumah yang telah kita masuki itu, atau agama resmi kita itu. Demi menjaga stabilitas (saran ini terbatas bagi yang membutuhkan hal demikian), sebaiknya tak perlu kita memproklamasikan diri berpindah rumah atau berganti agama. Karena memang Kejawen bukanlah agama, jika agama kita pahami sebagai sistem keyakinan yang isinya adalah dogma dan peraturan yang bersifat eksternal. Kejawen itu adalah sikap hidup, way of life, filsafat kehidupan. Walau rumah kita lama, tapi dengan sentuhan Kejawen, kita akan menemukan nuansa yang berbeda. Rumah kita akan menjadi lebih serasi dengan alam sekitar. Hingga, pada titik tertentu, jika sudah tiba waktunya, kita mendewasakan diri dengan mengkreasi rumah versi kita sendiri, sebagai simbol kemerdekaan puncak sebagai manusia.



Nah, dalam hal menjadi Kejawen, yang terpenting kita lakukan adalah memulai proses serius untuk mentransformasi bathin kita, menciptakan hidup yang penuh kesadaran! Tujuan menjadi Kejawen adalah mencapai apa yang juga menjadi tujuan dari setiap agama: kehidupan yang bahagia, tenteram, damai secara berkekalan, tanpa dicampuri sifat lawannya. Yang membedakan Kejawen dengan agama resmi adalah soal bentuk: Kejawen adalah kreasi lokal, dan tidak mengarahkan penghayatnya pada sebuah bentuk dan ajaran yang kaku. Pada tataran substansi, Kejawen setara dengan agama apapun: ia adalah manifestasi dari Kebenaran Universal. Nah, tapi Kejawen itu fleksibel dan terbuka, sehingga membuatnya bisa menerima bentuk-bentuk dari luar, selama ia tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip kebenaran universal dan kearifan lokal.



Bagaimana cara menjalani transformasi bathin ala Kejawen ini? Apapun agama – atau seperti apapun rumah Anda - pada saat ini, sebagai penghayat Kejawen, yang harus Anda lakukan adalah mengintensifkan kegiatan pasamaden (olah bathin untuk mencapai keheningan), dibarengi laku prihatin dengan lokus berbakti kepada leluhur, dan berbuat baik kepada sesama ciptaan.



Nah, indikator keberhasilan semua proses itu, salah satunya adalah mulai tumbuhnya budi pekerti luhur, dan Anda semakin mudah untuk mempraktekkan lakutama (perbuatan utama).



Keluar dari Rumah Ego

Tanda tingginya spiritualitas seseorang adalah ketika ia mampu keluar dari rumah ego, ketika ia tidak lagi mementingkan diri sendiri dan mulai berfokus pada kebahagiaan pihak lain. Menyangkut soal ini, saya baru saja mendapatkan pelajaran penting, yang menyadarkan bahwa ternyata saya belum jauh melangkah. Beberapa hari yang lalu, saya yang berkendara memakai sepeda motor dengan istri dan anak, nyaris tertabrak oleh kendaraan umum jenis elf. Saya merasa sudah berlaku benar karena telah memberi sinyal berbelok atau menyeberang, tapi mobil elf itu seperti malah mengikuti arah sepeda motor saya dengan laju yang sangat kencang. Saya selamat di detik terakhir ketika pada akhirnya mobil elf itu bisa berhenti dan agak berbelok.



Saya beserta istri dan anak saya memang selamat. Dan bagi saya ini sebetulnya bukan hal yang aneh; sudah sering saya terselamatkan ketika nyaris celaka, dan saya yakin (atau tahu) bahwa memang ada yang selalu melindungi saya (dan keluarga) selama ini. Hanya saja, yang membuat saya terhentak adalah rasa yang muncul setelah peristiwa itu. Saya disadarkan bahwa saya ternyata hanya berpikir tentang diri saya, tentang keselamatan saya, tentang perasaan saya. Saya melupakan bagaimana perasaan supir mobil elf itu dan penumpang di dalamnya. Bahkan saya sempat terpancing untuk “ngerjain” sang sopir mobil elf itu lewat kekuatan tak terlihat, sebagai ekspresi kekesalan sekaligus agar dia mendapat “pelajaran”. Untunglah, ada kekuatan tak terlihat yang menyadarkan saya bahwa sikap itu salah! Saya egoistis! Dan itu menunjukkan secara spiritual saya masih sangat bodoh! Saya belum keluar dari rumah ego!

Segala puji bagi Sang Maha Pengasih. Terima kasih bagi para leluhur yang telah membimbing saya selama ini. Sebagaimana saya mendapatkan kesadaran untuk menyelesaikan persoalan dendam dan amarah, saya ternyata juga mendapatkan anugerah kesadaran tentang pentingnya mencapai tahap “penghancuran keakuan atau egoisme”. Ya, seorang spiritualis sejati adalah dia yang tak lagi berpikir tentang dirinya, tentang kebahagiaan dirinya, tetapi sudah harus menggeser perhatian bagaimana bisa memenuhi kepentingan dan membahagiakan orang lain.



Maka, kepada saudara-saudaraku, khususnya yang baru mulai menghayati Kejawen, saya sarankan agar sejak sekarang mulai “berjuang” untuk menjadi pelayan kemanusiaan. Mulailah berpikir sebagai manusia yang hidupnya difokuskan untuk melayani sesama. Ya, praktekkanlah hamemayu hayuning bawono! Termasuk yang harus kita lakukan, adalah bagaimana kita mulai berpikir bagaimana kita bisa menciptakan kebahagiaan bagi mereka yang pernah melukai kita, menistakan kita, membuat kita menjadi tamu di rumah sendiri.



Semoga dengan demikian, hidup kita mengalami transformasi ke arah hidup yang berkualitas dan berkelimpahan. Alam ini memiliki sebuah hukum yang pasti: mereka yang berhak menerima adalah mereka yang telah memberi. Yang berhak mendapatkan kebahagiaan adalah mereka yang telah memberi kebahagiaan kepada pihak lain. Sebagai penghayat Kejawen, Anda semua bisa mencapai puncak perjalan ruhani dan bisa mengecap surga kehidupan, jika telah menjadi sosok yang konsisten berbuat baik, melayani, memberi dan membahagiakan sesama!

4 Responses to "MAKNA MENJADI SEORANG KEJAWEN, SEBUAH CATATAN PRIBADI"

  1. kagem Mas Setyo, saya ingin bertanya. bagimana mungkin kita menganut suatu agama tapi menggunakan ajaran dari agama lain? sebagai ajaran, kejawen jelas agama karena di dalamnya memuat tatacara dan laku menyembah yang kuasa. kejawen juga punya konsep ketuhanan yang berbeda dengan agama samawi. tapi, mengenai kejawen dianggap sebagai agama atau bukan itu lain masalah. menurut saya, dengan menghayati kejawen kita tak lagi membutuhkan agama formal, kecuali sekedar formalitas biar dianggap "sopan" atau demi menjaga "ketertiban". karena saya tak melihat perlunya merujuk ke arab untuk menjalankan laku kejawen.

    ReplyDelete
  2. Rahayu Mas Joko.
    Setiap orang punya pilihan sendiri-sendiri sesuai dengan tingkat kesadarannya. Ada yang memang merasa nyaman dengan ikatan satu agama, itu menurut saya bagus-bagus saja. Yang penting tujuan esensial dari agama itu bisa tercapai. Dan dalam hal ini, terikat pada ajaran kejawen juga bisa mengantarkan seseorang pada tujuan itu, tanpa mesti mempergunakan ajaran dari luar. Tetapi, ada yang tidak suka terikat oleh satu agama..karena baginya agama adalah getaran rahsa sejati, ia adalah sesuatu yang pribadi, yang muncul dari kedalaman dirinya. Yang seperti ini, secara lahiriah bisa saja tampak mencampur2kan agama, karena ia tak keberatan untuk mempergunakan atau melaksanakan berbagai tradisi agama yang berbeda-beda selama itu sesuai dengan getar rahsa sejatinya.

    Demikian pandangan saya mas, dan saya pribadi lebih cenderung jadi yang kedua mas....

    ReplyDelete
  3. terimakasih jawabannya mas. saya juga berpendapat ada kebaikan dalam setiap agama, "ada", berarti ada sebagian lain yang tidak perlu/tidak baik. di sini saya berbeda dengan penganut agama "kaffah" yang menganggap ajaran agama (isi kitab) adalah sempurna dan berlaku menyeluruh. dengan keyakinan inipun saya sudah dianggap murtad. saya memang masih menggunakan lebih banyak logika daripada rahsa. jadi saya masih merasa aneh, bagaimana sebuah agama yang sudah men-stempel Kejawen sebagai sesat masih harus dilekatkan sebagai identitas. Nyuwun pangapunten nggih, saya belum terbiasa dengan rahsa, masih belajar, dan masih jauh.... Rahayu.

    ReplyDelete
  4. Nyuwun izin mas, untuk copy tulisannya dan dishare bagi yang lain dengan tujuan supaya bisa lebih mengenal kejawen dari prespectife laku spiritual panjenengan.

    Rahayu,

    ReplyDelete



Laku spiritual adalah proses bertumbuhnya pengalaman keilahian, wujudnya adalah menjadi penuh dengan daya, penuh kebijaksanaan, penuh kecerdasan, penuh kreatifitas, penuh welas asih.


Setyo Hajar Dewantoro
Founder of Mahadaya Institute


Buku

Buku Medseba Buku Sastrajendra Buku Suwung Buku Sangkan Paraning Dumadi Buku Jumbuh Kawula Gusti Buku Tantra Yoga Buku Kesadaran Matahari Buku Kesadaran Kristus

Kegiatan