OLEH-OLEH NAPAK TILAS: MENYONGSONG JAMAN BARU NUSANTARA (V)



TANGGUNG JAWAB GENERASI MUDA



Saat ini, para leluhur gung binatoro tengah bekerja, demikian juga para penghuni alam ghaib di Nusantara. Melengkapi kerja mereka, kita, generasi muda di Jawa/Nusantara juga harus bekerja. Seiring sejalan dengan ritme yang tengah diatur oleh Eyang Sabdapalon. Orientasi awal dari kerja kita adalah membuat diri kita menyerap esensi dari konsep Satria Piningit dan Ratu Adil. Pintu gerbang dari hal itu adalah berbakti pada leluhur, berikutnya adalah mengurai rahasia Alas Ketonggo.



Selama proses napak tilas sejarah Panembahan Senopati, saya mendapatkan kesadaran terkait bagaimana semestinya pola relasi kita dengan para leluhur. Jika kita telaah sejarah para leluhur kita, sungguh, kita patut berbangga menjadi manusia Jawa/Nusantara. Leluhur kita adalah manusia-manusia hebat, manusia pilih tanding, yang pernah membuat Nusantara ini mencorong namanya dalam pergaulan antar bangsa.



Ketika Negeri-negeri Timur Tengah dan Eropa luluh lantak oleh ekspansi pasukan Tartar; pasukan itu tak berkutik ketika mencoba menaklukkan Nusantara. Baik ketika pada masa kekuasaan Prabu Kertanegara dari Singosari yang berhasil menyuruh pulang Meng Khi, utusan Kaisar Kubilai Khan, dalam keadaan terhina. Maupun ketika pasukan itu kembali lagi saat Raden Sanggramawijaya – menantu Prabu Kertanegara - sedang berjuang mewujudkan sebuah kerajaan yang di kelak kemudian hari menjadi demikian terkenal: Majapahit. Fenomena ini jelaslah bukan hal sepele: leluhur kita dulu mampu bertahan dari serbuah pasukan Tartar itu – bahkan bisa memukul balik mereka - karena memang memiliki kedigdayaan, kekuatan bathin, sekaligus kegemilangan taktik dan strategi.



Mengapa hal demikian terjadi? Karena leluhur kita sejak jaman dahulu kala memiliki ajaran kehidupan, filosofi, sistem kebudayaan, yang membuat mereka benar-benar berdaya atau powerfull sebagai manusia. Mereka unggul dalam hal kedigdayaan, kualitas spiritual, sekaligus juga mumpuni dalam hal mengelola negara. Jangan keliru dengan menganggap itu semua semata-mata sebagai buah dari adopsi terhadap peradaban Hindu dan Budha yang berasal dari India. Tidak demikian! Leluhur kita cukup cerdik untuk mengambil nilai-nilai peradaban luar yang dianggap mendorong kemajuan, dan saat yang sama berpegang teguh pada jatidiri, dan berani mengembangkan inovasi yang demikian kreatif. Di bidang agama, inovasi kreatif itu adalah munculnya ajaran khas Indonesia: Syiwa-Budha! Ajaran ini memadukan antara kearifan lokal, dengan ajaran Budha dan Hindu. Bahkan Hindu dan Budha yang ditempat asalnya selalu bertentangan dan terlibat konflik, di Indonesia bisa dipersatukan! Di bidang teknologi, inovasi itu antara lain dengan keberhasilan Majapahit untuk mentranfer keahlian membuat perahu besar dari Sriwijaya dan Tumasek (Singapura) sehingga akhirnya Majapahit memiliki pasukan Maritim yang kuat dan sanggup mempersatukan Nusantara yang demikian luas.



Pada titik inilah, saya ingin menggugah kesadaran para generasi muda, untuk bergegas menapaktilasi kiprah dan sejarah leluhur gung binatoro, para leluhur agung di Nusantara, untuk mendapatkan pelajaran tentang bagaimana mesti menjalani kehidupan, dan mengelola Nusantara. Pelajaran dari para leluhur inilah yang disebut dengan kearifan lokal. Dengan menghayati kearifan lokal, sesungguhnya kita sedang mem-benchmark keunggulan dari masa silam!



Tentu saja, dalam hal menapaktilasi sejarah dan kiprah para leluhur, kita juga harus jujur dengan segala dinamika yang terjadi di masa lalu, termasuk dinamika yang dalam kacamata sekarang bisa kita kategorikan sebagai aib atau kegelapan. Sejarah Nusantara memang bukan hanya terdiri dari sejarah manis, yang menggambarkan keluhuran budi pekerti. Tetapi ia juga mengungkapkan nafsu manusia, yang mewujud dalam konflik, bahkan yang terekam pada saat ini demikian pahitnya.



Di masa awal Majapahit, dalam proses menuju negara yang besar, ada banyak kisah suram: terbunuhnya Adipati Ranggalawe oleh Senopati Mahisa Anabrang, yang dilanjutkan dengan pembunuhan Mahisa Anabrang oleh paman Adipati Ranggalawe, Senopati Lembu Sora. Kita juga membaca kisah pemberontakan Senopati Ra Kuti, Senopati Semi, hingga Ra Tanca yang berhasil membunuh Prabu Jayanegara. Padahal, nama-nama itu adalah para pendekar di jamannya, yang ikut serta menaklukkan tentara Tartar! Mereka semua para pejuang yang harus menjadi korban sebuah konspirasi politik akibat nafsu gelap segelintir orang di masa lalu yang juga ingin berkuasa, tapi tak berani mengambil jalan terang.



Di masa Kesultanan Mataram, juga tak sedikit kisah suram. Panembahan Senopati berkonflik dengan Ki Ageng Mangir, padahal Ki Ageng Mangir sendiri adalah seorang tokoh besar. Konflik itu berakhir lewat sebuah siasat, Ki Ageng Mangir dijebak untuk menjadi menantu Panembahan Senopati, lalu harus sowan ke Kraton Mataram, dan melucuti senjata andalannya yang bernama Tombak Kyai Plered atau Baru Klinting, lalu di situ dieksekusi. Simbol konflik ini terpapar jelas di Pesarean Kota Gedhe: makam Ki Ageng Mangir sebagian berada satu ruangan dengan makam Panembahan Senopati dan para pembesar Maram lainnya, sementara sebagian lainnya berada di luar. Itu simbol keserbasalahan pihak Mataram: di satu sisi Ki Ageng Mangir adalah menantu yang harus diayomi dan merupakan bagian tak terpisahkan dari keluarga, tapi di sisi lain, Ki Ageng Mangir terbukti memberontak kepada negara dan karenanya merupakan musuh. yangJelas, hati nurani kita juga akan bertanya-tanya, mengapa leluhur kita melakukan hal demikian? (Tentu saja, jika kita coba berempati, menempatkan diri pada situasi dan kondisi masa lalu, mungkin kita akan berkata bahwa kitapun akan sulit menghindar dari tragedi itu!)



Menurut saya, kita tak usah menutup diri dari fakta gelap tersebut. Kita harus mengakuinya dengan jujur. Namun, saat yang sama, kita praktekkan ajaran luhur yang sudah lama mengakar di masyarakat Jawa: Mikul dhuwur, mendhem jero. Kita angkat setinggi-tingginya semua prestasi yang telah dibuat para leluhur agung yang bagaimanapun telah pernah membuat kita benjadi bangsa yang hebat. Saat yang sama, kita tutupi semjua kesalahan yang pernah dilakukan para leluhur. Kita tutupi bukanlah dengan menganggapnya tidak ada, tetapi tidak perlu kita jadikan noda yang menghalangi bakti kita pada para leluhur. Sebab faktanya, kekeliruan itu telah terimbangi oleh laku mulia yang sangat banyak jumlahnya. Bahkan, lebih dari itu, lewat konsep nitis yang menjadi salah satu jembatan bagi para leluhur untuk berkiprah masa kini, kita bisa membayarkan karma dari para leluhur itu, sekaligus meneruskan darma yang belum tuntas!



Dan yang lebih penting, adalah kita sadar bahwa tak ada satupun teks atau ajaran luhur Jawa yang membenarkan tindakan-tindakan keliru para leluhur di masa lalu. Para leluhur agung itu, bukanlah manusia yang tidak bernoda. Keagungan mereka disebabkan oleh prestasi besar mereka, juga oleh watak kesatria mereka, bukan oleh tiadanya setitikpun dosa. Kesadaran ini yang membuat kita juga harus cerdik dalam meneladani leluhur: yang kita teladani adalah laku utamanya, kita bukan mengulang seluruh sejarahnya, apalagi mengulang sejarah yang kelam!



Demikianlah, sebagai bagian dari kontribusi kita untuk menciptakan kejayaan Nusantara, maka kita harus berupaya untuk menyambung rasa melalui ritual penghormatan baik dengan sowan ke pesarean maupun melalui ritual di rumah kita masing-masing, sekaligus meneladani lakutama (tindakan utama, sikap mulia), dari para leluhur kita. Lambat laun, kita akan mendapatkan energi dari masa lalu yang membuat diri kita menjadi sosok yang berdaya, powerfull, yang ujungnya adalah kehidupan yang berkelimpahan, yang disimbolkan oleh kalimat suket godong dadi rewang: hidup kita benar-benar menjadi ringan karena mendapatkan bantuan dari seluruh unsur alam semesta, juga kehidupan yang penuh makna karena mengekspresikan kesadaran ruhani yang tinggi. Melalui berbakti pada leluhur, maka terbukalah peluang leluhur untuk menitis, njampangi, ataupun njangkungi kita sebagai anak keturunannya. Itulah yang akan mempersingkat proses belajar dan pertumbuhan spiritual kita: itu pula yang membuat kita cepat bisa berkiprah di tengah laju perubahan Nusantara!



Terkait dengan proses berhubungan dengan leluhur, dan membangun kapasitas diri hingga kita bisa menyerap esensi Satrio Piningit dan Ratu Adil, dalam tulisan ini saya merasa perlu membabarkan rahasia Alas Ketonggo. Alas Ketonggo sering dijadikan sebagai jembatan bagi para spiritualis Jawa untuk melejitkan tingkatan dan kualitas mereka. Apa sebetulnya makna sesungguhnya dari Alas Ketonggo? Saya harus menghaturkan terima kasih sebesar-besarnya kepada sahabat saya, Ki Alang-alang Kumitir, yang menjadi pintu gerbang saya untuk memahami makna Alas Ketonggo, lewat uraianny, “Alas ketonggo dalam pengertian jagat cilik adalah fenomena kehidupan kita, yang pada dasarnya sulit dikendalikan tetapi harus mampu kita kendalikan. Sedangkan alas ketonggo dalam arti makro atau dalam pengertian nyata, seperti Kraton beserta Raja-nya sebagai sentral budaya, tempat-tempat yang dimitoskan atau disakralkan dalam kegiatan peziarahan. Arti pesan yang mendalam bahwa kita tidak boleh meninggalkan budaya dan sejarah masa lalu.”

Alas Ketonggo dalam maknanya sebagai jagad ageng, adalah tempat arwah-arwah para leluhur yang telah meninggalkan dunia puluhan hingga ratusan tahun, namun belum berpulang dihadirat Tuhan, dan masih menyimpan rapi segenap kekuatan di dalam tubuh halus maniknya. Banyak pengetahuan masa silam yang sebagai simbol jati diri dan identitas bangsa yang tersembunyi di Alas Ketonggo. Untuk itulah, makna membuka rahasia Alas Ketonggo adalah mengakses energi masa silam, men-download kekuatan dari para peluhur, menemukan jatidiri dan akar yang tersandikan dalam sejarah dan kiprah para leluhur. Hanya dengan melakukan itu, kita bisa melampaui setengah tangga yang dibutuhkan untuk mencapai puncak perjalanan di mana esensi dari Satria Piningit dan Ratu Adil bisa kita serap.



Setengah tangga lainnya adalah memahami Alas Ketonggo dalam dimensinya sebagai jagad cilik: diri kita sesungguhnya sebuah alas atau hutan yang menyimpan banyak misteri. Di dalam diri kita bersemayam berbagai jiwa binatang, yang harus ditaklukkan dan dikendalikan agar misteri itu terungkap. Misteri itulah Sang Sukma Sejati, Kesadaran Murni, yang hanya bisa terungkap ketika kita sudah menjadi manusia yang sanggup mengendalikan berbagai jiwa binatang di dalam diri, menemukan kemanusiaan kita, lalu menyatu dengan manifestasi dari Gusti Ingkang Murbeng Dumadi yang gilang gemilang. Untuk mencapai keadaan inilah, kita harus terus melakukan laku prihatin dan ngangsu kawruh sejati.

Saat generasi muda yang terpilih di Jawa/Nusantara telah tuntas menjalani proses menyelami rahasia Alas Ketonggo ini, melalui proses mengembangkan kegiatan berbakti kepada para leluhur sehingga manunggal rasa dan karsa dengan para leluhur, sekaligus terus menerus melakukan laku prihatin hingga manunggal rasa dan karsa dengan Sukma Sejati, maka mereka bisa menjadi Satrio Piningit. Dan para Satrio Piningit inilah yang bisa menjalankan peran sebagai Ratu Adil di Nusantara!



Tugas kita bukanlah berongkang-ongkang kaki menunggu kedatangan Satrio Piningit dan Ratu Adil. Tetapi justru kita harus berjuang untuk menyerap hakikat Satrio Piningit dan Ratu Adil itu ke dalam diri dan kehidupan kita. Lebih lugasnya, kita semua harus berproses menjadi Satria Piningit dan Ratu Adil sesuai kodrat kita masing-masing, sehingga kita bisa betul-betul menjadi pribadi dengan laku utama yang sanggup menjalankan titahing Gusti, hamemayu hayuning bawono! Tentu saja, pada akhirnya, ada salah seorang Satria Piningit dan Ratu Adil yang menjadi pemimpin utama. Tapi, sosok tersebut hanya bisa hadir di persemaian yang subur: di tengah komunitas yang berjiwa satria pinandhito: mereka yang tanpa pamrih menegakkan kebenaran dan keadilan!

Selamat menyongsong jaman baru.

2 Responses to "OLEH-OLEH NAPAK TILAS: MENYONGSONG JAMAN BARU NUSANTARA (V)"

  1. matur sembah nuwun..kang mas setyo hajar dewantoro...
    Suwun mantap pencerahannya.
    Rahayu.uwun mantap pencerahannya.
    Rahayu.

    ReplyDelete
  2. Hangidunga Piweling Kaki,
    Sabdopalon Pamong Nusantara,
    Ameca Kasengsarane,
    Rakyat Nusa Sedarum,
    Nampi Panodhining Hyang Widhi,
    Kalambangnya Wong Nyabrang,
    Prapteng Tengah Katempuh,
    Santering Kali Kang Bena,
    Yeku Ing Gapura Sapta Ngesthi Aji,
    Keh Jalma Samya Lena.

    Sastra ini harus dibabar

    Maka kukidungkan kesedihan, tangisan lampau kisahkan derita menjelang

    Kala manusia menyusut hanya menjadi bagian dari suatu nilai kegunaan

    dan waktu dirampat ketam bagai binatang buruan

    Ilusi diproduksi dalam hingar bingar iklan, jadikan mimpi lebih meyakinkan dibanding kenyataan

    Tercampak laiknya budak…
    Jalanmu didiktekan sesuai peta…
    Sebrangi sungai…
    Apa lacur, sesampai di tengah diterjang banjir bandang

    Apa yang bisa kau jadikan pegangan?
    Pemimpinmu lebih suka berebut remahan roti yang disebut kekuasaan

    Sedang…
    Pemegang peta tak lebih dari calo tiket yang sibuk perkaya diri berslogan ayat suci hingga membusa mulut

    Tuntunan menjadi tontonan..!!!
    Pupus harapanmu tiada lagi pegangan

    ..
    ..
    ..

    Nandhang Mrata Sak Tanah Jawi,
    Dadi Kersaning Kang Murbeng Alam,
    Meruhna Pra Kawulane,
    Lamun Jagad Puniku,
    Mengku Pangeraning Ghoib,
    Nraju Becik Myang Ala,
    Kang Nandhur Angunduh,
    Nandhang Wohira Priyangga,
    Den Alamna Kinarya Amratandani,
    Jagad Ana Kang Ngasta.

    Sastra ini tetap harus dibabar
    Maka yang terjadi biarlah terjadi sebagai tanda agung Ilahi
    Keadilan adalah dendam, seruan akan sebuah harapan
    Sebab dunia adalah ladang, tempat menabur benih dan menuai hasil
    Maka siapa yang menabur dialah yang akan menuainya

    Sungguh…

    Yang dinanti telah datang, namun tak seperti yang kau kira
    Dia datang membawa api
    dan seperti yang dikehendakinya api itu telah berkobar menjalar kemana-mana

    ..
    kobong.!
    kobong.!!
    KOBONG..!!!

    ..
    ..
    ..liyep liyep layaping ngaluyut
    ..
    ..

    Cukup sudah yang perlu kusampaikan
    Tunaikan wajib yang mesti diemban
    Sastra ini harus dibabar

    ReplyDelete



Laku spiritual adalah proses bertumbuhnya pengalaman keilahian, wujudnya adalah menjadi penuh dengan daya, penuh kebijaksanaan, penuh kecerdasan, penuh kreatifitas, penuh welas asih.


Setyo Hajar Dewantoro
Founder of Mahadaya Institute


Buku

Buku Medseba Buku Sastrajendra Buku Suwung Buku Sangkan Paraning Dumadi Buku Jumbuh Kawula Gusti Buku Tantra Yoga Buku Kesadaran Matahari Buku Kesadaran Kristus

Kegiatan