OLEH-OLEH NAPAK TILAS: MENYONGSONG JAMAN BARU NUSANTARA (III)



PETUNJUK DARI MASA SILAM



Kegemilangan Nusantara, dan tanda-tanda yang mengawali terwujudnya hal tersebut, setidaknya bisa kita lihat pada dua teks. Teks pertama berkenaan dengan kata-kata bertuah dari Eyang Sabdapalon, dan teks kedua adalah nujuman Prabu Jayabaya, Raja Kediri. Teks yang memuat kata-kata bertuah dari Eyang Sabdapalon adalah sebagai berikut:



Pupuh Sinom:



1). Pada sira ngelingana Carita ing nguni-nguni Kang kocap ing serat babad Babad nagri Mojopahit Naika duking nguni Sang-a Brawijaya Prabu Pan Samya pepanggihan Kaliyan Njeng Sunan Kali Sabda Palon Naya Genggong rencangira



Artinya : Ingatlah kepada kisah lama yang ditulis di dalam buku babad tentang Negara Mojopahit, Waktu itu Sang Prabu Brawijaya mengadakan pertemuan dengan Sunan Kalijaga didampingi oleh punakawannya yang bernama Sabda Palon Naya Genggong.



2). Sang – a Prabu Brawijaya Sabdanira arum manis Nuntun dhateng punakwan “Sabda palon paran karsi” Jenengsun sapuniki Wus ngrasuk agama Rosul Heh ta kakang manira Meluwa agama suci Luwih becik iki agama kang mulya



Artinya: Prabu Brawijaya berkata lemah-lembut kepada punakawannya: “Sabda palon sekarang saya sudah menjadi Islam. Bagaimanakah kamu. Lebih baik ikut Islam sekali, sebuah agama suci dan baik.



3). Sabda Palon matur sugal, “Yen kawula boten arsi, Ngrrasuka agama Islam Wit kula puniki yekti Ratuning Dang Hyang Jawi Momong marang anak putu, Sagung kang para Nata, Kang jemeneng Tanah Jawi, Wus pinasthi sayekti kula pisahan”.



Artinya: Sabda Palon menjawab kasar: “Hamba tidak masuk Islam Sang Prabu, sebab saya ini raja serta pembesar Dah Hyang se tanah Jawa. Saya ini yang membantu anak cucu serta para raja di tanah Jawa. Sudah digariskan kita harus berpisah.



4). Klawan Paduka sang Nata, Wangsul maring sunya ruri, Nung kula matur petungna, Ing benjang sakpungkur mami, Yen wus prapta kang wanci, Jangkep gangsal atus tahun, Wit ing dinten punika, Kula gantos kang agami, Gama Budha kula sebar tanah Jawa.



Artinya: Berpisah dengan Sang Prabu kembali keasal mula saya. Namun Sang Prabu kami mohon dicatat. Kelak setelah 500 tahun saya akan mengganti agama Buda lagi (maksudnya kawruh budhi/pengetahuan budhi), saya sebar seluruh tanah Jawa.



5). Sinten tan purun nganggeya, Yekti kula rusak sami, Sun sajeken putu kula, Berkasakan rupi-rupi, Dereng lega kang ati, Yen during lebur atempur, Kula damel pratandha, Pratandha tembayan mami, Hardi Merapi yen wus rijeblug mili lahar.



Artinya: Bila tidak ada yang mau memakai, akan saya hancurkan. Menjadi makanan jin setan dan lain-lainnya. Belum legalah hati saya bila belum saya hancur leburkan. Saya akan membuat tanda akan datangnya kata-kata saya ini. Bila Gunung Merapi meletus dan memuntahkan laharnya..



6). Ngidul ngilen purugina, Ngganda banger ingkang warih, Nggih punika medal kula, Wus nyebar Agama Budi, Merapi janji mami, Anggereng jagad satuhu, Karsanireng Jawata, Sadaya gilir gumanti, Boten kenging kalamunta kaowahan.



Artinya: Lahar tesebut mengalir ke barat daya. Baunya tidak sedap. Itulah pratanda kalau saya datang. Sudah mulai menyebarkan agama Budha (maksudnya kawruh budhi/pengetahuan budhi). Kelak Merapi akan bergelegar. Itu sudah menjadi takdir Hyang Widhi bahwa segalanya harus berganti. Tidak dapat bila dirubah lagi.





Demikianlah, saat ini Merapi telah mulai meletup dan menunjukkan tanda-tanda akan menggelegar. Kedahsyatan Merapi bahkan menjangkau tempat-tempat yang dulu seolah tak mungkin terusik. Ketika para pengayom Nusantara mulai lepas tangan, hal demikian memang menjadi sebuah keniscayaan. Inilah yang menjadi pertanda ada yang keliru dengan Kraton Jogjakarta. Tapi, memang sudah demikian hukum alam berjalan. Semuanya akan berubah, yang semula di atas akan ada di bawah, yang semula di bawah akan ada di atas.



Sementara itu, Serat Jangka Jayabaya yang memuat nujuman Prabu Jayabaya, raja Kediri yang agung, mengungkapkan sebagai berikut:



Gemah ripah harja kreta, tata tentrem ing salami-lami, ilang kang samya laku dur, murah sandang lan boga, kang hamangkuasih mring kawulanipun, lumintu salining dana, sahasta pajeg saripis

(Kemakmuran melimpah ruah, langgeng, tertib tenteram selamanya, hilang lah kedurjanaan, murah sandang pangan, pemimpin yang penuh tanggungjawab dan kasih sayang kepada rakyatnya, selalu tidak kekurangan uang, ibaratnya tanah satu hektar pajaknya satu rupiah).



Siti sajung mung sareal, tanpa ubarampe sanese malih, antinen bae meh rawuh, mulyaning tanah Jawa, awit saking tan karegon liyanipun, nakoda wus tan kuwasa, pulih asal mung gagrami.

(Kelak, tanah yang sangat luas pajaknya hanya satu real, tidak ada tambahan pajak lainnya, tunggulah saja hampir tiba saatnya kemuliaan untuk nusantara)



Namun, terwujudnya negeri gemah ripah loh jinawi itu tidak terjadi demikian saja, melainkan melalui sebuah proses dimana kita harus ikut terlibat di dalamnya. Oleh karena itulah Prabu Jayabaya juga mengingatkan:



“Tetapi pesanku, waspadalah dan ingatlah, tegakkan iman mu, jadilah pengikut Ratu Adil penegak kebenaran. Carilah ‘SENJATANYA’ sampai ketemu, ikuti jalannya kemanapun perginya, jadilah, ibaratnya sebagai pasukannya Ratu Adil, tidak lama akan tampak tanda tanda datangnya ratumu yang mendapat kemuliaan agung, datangnya tiba-tiba secepat kilat, diiringi berjuta-juta “malaikat” (berjuta leluhur bumi nusantara), berdiri dengan payung kuning (kebenaran sejati), maknanya ‘bang-bang’ timur keinginannya (gerakan dari wilayah timur nusantara), maka terbitlah sinar yang terang.

…… tidak berapa lama segera datang Ratu Adil duduk menjadi pemimpin dan suri tauladan di wilayah tersebut, sehingga menjadi makmur diibaratkan sawah yang sangat luas pajaknya sangat kecil, diibaratkan tidak ada lagi yang harus dilakukan negara, sebab saking adil makmurnya nusantara, ibaratnya kegiatan orang-orang tinggal terfokus untuk sembahyang kepada Tuhan saja, serta memanjatkan puji-pujian tanpa henti.”



Keberadaan Ratu Adil ini, berjalan seiring dengan mulai terbongkarnya hegemoni agama-agama import di Jawa/Nusantara. Manusia Jawa/Nusantara akan tersadarkan pada hakikat sebenarnya sebagaimana digambarkan dalam teks berikut:



“……….iku kang ambuka agama kang samar-samar nanging sira do awas den eling, awit sadurunge ratu adil rawuh, ing tanah Jawa ana setan mindha menungsa rewa-rewa anggawa agama, dudukuh ana ing glasah wangi, dadine manungsa banjur padha salin tatane, satemah ana ilang papadhange, awit padha ninggal sarengate, dadi kapiran wiwit cilik mula.

(…itu yang membuka mata hati manusia yang memaknai agama secara tidak karuan, tetapi kalian harus waspada dan selalu ingat, sebab sebelum Ratu Adil datang, di tanah Jawa ada setan berkedok manusia berbulu lebat seolah sebagai penegak agama, bertempat tinggal di ‘glasah wangi’, sehingga mengakibatkan manusia berganti tatanan, berakibat hilangnya petunjuk dan tatakrama kehidupan, sebab banyak orang meninggalkan syariat (sebelumya), sehingga menjadi terlantar hidupnya sejak kecil.)”
0 Response to "OLEH-OLEH NAPAK TILAS: MENYONGSONG JAMAN BARU NUSANTARA (III)"

Post a Comment



Laku spiritual adalah proses bertumbuhnya pengalaman keilahian, wujudnya adalah menjadi penuh dengan daya, penuh kebijaksanaan, penuh kecerdasan, penuh kreatifitas, penuh welas asih.


Setyo Hajar Dewantoro
Founder of Mahadaya Institute


Buku

Buku Medseba Buku Sastrajendra Buku Suwung Buku Sangkan Paraning Dumadi Buku Jumbuh Kawula Gusti Buku Tantra Yoga Buku Kesadaran Matahari Buku Kesadaran Kristus

Kegiatan