MEREGUK PESONA SPIRITUAL KANEKES



Kisah Perjalanan

Sudah lama sebetulnya saya tertarik untuk berkunjung ke Desa Kanekes Kabupaten Lebak Provinsi Banten, tempat bermukim salah satu gugus masyarakat Sunda Wiwitan – yang oleh kalangan akademisi, pemerintahan, maupun masyarakat umum disebut dengan masyarakat Baduy. Dulu, motif saya semata-mata karena ingin tahu, ingin mengecap satu bentuk kehidupan yang terdengar eksotis. Akhirnya, niatan itu terlaksana pada tanggal 3 Januari 2011 yang lalu. Yang mendorong saya untuk menyempatkan diri ke Kanekes adalah dawuh dari guru spiritual saya, menindaklanjuti wisik yang didapatkan ketika saya tirakat di Sagarahyang, Kuningan pada akhir Desember 2010. Saya diminta guru saya untuk sowan kepada sesepuh masyarakat Baduy, guna menggenapi perjumpaan pada dimensi bathin.



Tanggal 2 Januari 2011, saya meluncur dari Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur, menuju Serang, menggunakan bis umum jurusan Merak. Tiba di sana, hari ternyata sudah cukup sore, sekitar pukul 4. Setelah ngobrol dengan beberapa orang di Terminal Serang, saya akhirnya tahu bahwa angkutan umum menuju Rangkasbitung, kota terdekat dengan Desa Kanekes, sudah habis. Karena itu, saya memutuskan untuk memakai ojeg. Maka, dengan ojeglah akhirnya saya sampai di Rangkasbitung, setelah menempuh perjalanan kurang lebih 1 jam. Tukang ojeg yang mengantar saya menyarankan agar saya menginap dulu di Rangkasbitung, karena malam hari memang tak ada angkutan umum menuju Desa Kanekes. Saya mengikuti saran itu dan memilih sebuah hotel sederhana untuk beristirahat hingga esok hari.

Pagi hari, sekitar jam 7.30, saya keluar dari hotel dan melanjutkan perjalanan. Sesuai petunjuk karyawan hotel, saya terlebih dahulu menuju Terminal Aweh, satu dari dua terminal di Rangkasbitung selain Terminal Mandala. Di Terminal Aweh, saya bertanya-tanya bagaimana saya bisa sampai ke tempat bermukim masyarakat Baduy. Petugas terminal memberi info, ada dua rute yang bisa diambil. Pertama, saya menuju Ciboleger, jika yang dituju adalah Kampung Cibeo, salah satu dari tiga kampung Baduy Dalam. Atau, saya ambil rute menuju Parigi, jika saya hendak menuju Cikeusik, kampung Baduy Dalam yang lain. Saya memutuskan ke Ciboleger, terlebih karena saya mendapatkan saran dari Mas Okky Satrio Jati untuk terlebih dahulu menuju Kampung Cikadu, menemui Pak Sahari yang pernah berkunjung ke Cigugur, pada acara Serentaun baru-baru ini – sementara Cikadu lebih dekat ditempuh dari Ciboleger. Menunggu cukup lama, ternyata angkutan elf ke Ciboleger tak kunjung berangkat. Akhirnya, saya putuskan kembali menggunakan jasa tukang ojeg. Maka, berangkatlah saya ke Ciboleger menggunakan ojeg. Saat itu, langit sudah mendung, dan di tengah perjalanan hujan turun, sehingga motorpun tak bisa mengebut karena jalanan licin. Kurang lebih 1 jam perjalanan, saya sampai juga di Ciboleger.



Sampai di sana, saya disambut beberapa pemuda yang rupanya menawarkan diri jadi pemandu. Salah satu pemuda itu menawarkan tarif 300 ribu rupiah, jika saya ingin diantar sampai ke Cikadu. Mengapa semahal itu? Dia berargumentasi karena jaraknya jauh, 15 km dan harus ditempuh berjalan kaki. Tentu saja saya keberatan dengan tarif semahal itu. Setelah negosiasi, akhirnya disepakati bahwa tarif untuk pemandu saya adalah 100 ribu rupiah: ada 2 orang dari kumpulan pemuda tersebut yang siap menemani saya dengan tarif sebesar it. Dan rupanya alam memang selalu menyediakan pertolongan: dua orang pemandu itu kelak terbukti sebagai teman perjalanan yang sangat baik dan pas.

Setelah istirahat sebentar, tepat pukul 10 pagi, saya memulai perjalanan, dengan tujuan awal ke Cikadu menemui Mang Sahari. Sekitar 300 meter dari Ciboleger, saya menjumpai salah satu kampung Baduy Luar, yaitu Kampung Kaduketug. Di sini saya menyaksikan sajian visual yang eksotis: rumah-rumah panggung dari bambu dengan atap rumbia, gadis-gadis dan ibu-ibu yang rata-rata berpakaian biru tua sedang menenun kain khas Baduy, juga sederet lumbung padi. Karena kampung ini bukan tujuan saya, saya hanya melintas. Selepas itu, saya menyeberangi sungai melalui jembatan bambu, lalu masuk ke kawasan leuweung (hutan) dan kebun. Suasana hujan rintik membuat perjalanan saya terasa sangat syahdu. Saya niatkan betul diri saya untuk menyatu dengan alam yang masih murni, tanpa bunyi dan asap kendaraan, tanpa dibisingkan gejolak dan dinamika manusia modern. Selama melintasi leuweung dan kebun itu, beberapa kali saya melihat tanaman padi yang berjejer. Rupanya, masyarakat Baduy pantang menanam padi dengan membuka sawah, mereka lebih memilih pola padi huma. Padi ditanam di sela-sela pohon di leuweung atau kebun. Mengapa demikian? Pemandu saya yang rupanya sangat paham sejarah dan kehidupan sosial masyarakat Baduy, menjelaskan bahwa itu karena masyarakat Baduy tidak ingin merusak hutan. Jika sawah dibuka, hutan pasti berkurang. Mereka tidak mau melakukan itu karena itu bisa merusak keharmonian alam.



Setelah berjalan beberapa saat – mungkin beberapa kilometer telah dilalui, saya dan para pemandu saya tiba di Kambung Babakan Balimbing. Di kampung yang masih masuk kategori Baduy Luar ini kami memilih untuk beristirahat sejenak, di salah satu rumah warga, yang berfungsi sebagai warung minimalis. Di situ, kami bisa memesan susu atau kopi hangat. Lumayan, sungguh segar rasanya menghirup susu panas setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh untuk ukuran saya yang jarang berjalan kaki. Di rumah warga itu, pemandu saya juga menyarankan agar saya sekalian membawa persyaratan yang menurut adat harus disediakan jika mau bertemu Pu’un atau sesepuh di Baduy Dalam. Persyaratan itu berupa minyak dan menyan. Itu harus dibeli di Baduy Luar karena di Baduy Dalam tak ada warung. Maka, saya ikuti saran itu, saya beli sebotol kecil minyak wangi dan sepotong menyan.



Setelah cukup beristirahat, saya dan para pemandu saya mulai melanjutkan perjalanan. Dan pada etape kali ini, perjalanan mulai terasa sangat berat. Bukan saja karena saya sudah mulai merasa sangat lelah, tapi juga karena jalan yang harus dilalui lebih berat dibandingkan tadi. Sekarang, saya harus melalui jalanan yang naik dan turun, plus licin karena baru saja diguyur hujan. Untunglah, para pemandu saya cukup pengertian dengan menawarkan diri membawa dua buah tas yang saya bawa. Itu sangat meringankan! Memang kebaikan bisa ditemukan di mana-mana! Pada perjalanan kali ini, saya mengalami terpeleset pertama kalinya. Saat melintasi jalanan menurun yang licin, saya kehilangan keseimbangan sehingga terjatuh dengan bertumpu pada tangan kiri. Waduh, lumayan “nikmat”, he, he. Tapi saya tak boleh menyerah, maka saya bergegas bangun lagi dan mengabaikan rasa sakit. Maka perjalananpun diteruskan.



Saya dan para pemandu saya kemudian melintasi sebuah Kambug Baduy Luar lagi, sebelum kemudian tiba di Kampung Cipaler, juga masih masuk kategori Baduy Luar. Di sini, kami memutuskan untuk kembali beristirahat. Dan untunglah kami bisa menemukan rumah warga yang juga berfungsi sebagai warung minimalis. Di sini, kami bisa memesan mi rebus dan kopi hangat. Duh, nikmat sekali rasanya makan mie dan minum kopi kali ini. Di sini, kami juga sempat ngobrol dengan beberapa warga, termasuk menanyakan apakah mereka mengenal Mang Sahari dari Kampung Cikadu. Ternyata mereka mengenalnya, bahkan tahu bahwa Mang Sahari pernah ke Cigugur Kuningan membawa rombongan pemain angklung.

Usai beristirahat, kami melanjutkan perjalanan. Di tengah perjalanan, pemandu saya kembali mengkonfirmasi tujuan saya. Saya bilang bahwa saya mau ke Cikadu bertemu Mang Sahari, tetapi itu kunjungan antara, karena saya sebetulnya ingin bertemu sesepuh di Baduy Dalam. Pemandu saya yang baik hati itu menawarkan, bagaimana jika dia antar saya langsung ke Cibeo, karena kalaupun ke Cikadu sia-sia, tak mungkin bertemu Mang Sahari. Sebab Mang Sahari sedang berhuma di Gunung Kencana, dan biasanya tidak pulang ke rumah karena tinggal di saung. Saran itu masuk akal sehingga saya menyetujuinya. Maka, kamipun memutuskan langsung ke Cibeo, tidak jadi ke Cikadu. Di sebuah saung milik warga Kampung Baduy Dalam menjelang masuk Kampung Cibeo, kami berhenti. Di situ, pemandu saya mengkonfirmasi apa sebetulnya tujuan saya, supaya dia bisa menyampaikannya kepada Pu’un. Saya bilang, bahwa kedatangan saya adalah mengikuti petunjuk guru spiritual saya. Dan saya punya dua tujuan, pertama, saya ingin makin mengenal Ilmu Sejati. Kedua, saya mohon doa dan restu agar bisa menjadi seorang satria pinandhita.

Melewati jalan menaik dan menurun, yang licin karena hujan, membuat saya akhirnya terpeleset lagi. He, he, untung saja kali ini tidak terasa sakit. Saya berkata kepada teman2 pemandu saya, “Jatuhnya ini yang bikin asyik...” Saya jalan terus, dan tibalah di Kampung Cibeo. Bentuk lumbung maupun rumah di kampung ini ternyata berbeda dengan di Baduy Luar. Lumbungnya punya tiang-tiang lebih tinggi. Sementara rumah mereka, selain berbeda dalam fondasi yang tidak rata – sehingga panjang tiang-tiang penyangganya tidak sama karena mengikuti kontur alam – juga hanya punya satu pintu, tidak berjendela, hanya ada lubang2 kecil dari pori-pori bilik .



Rombongan kami akhirnya sampai ke pusat kampung, di mana ada bangunan tempat warga berkumpul dan bermusyawarah. Di hadapannya, ada rumah Pu’un. Nah, ternyata tidak sembarang orang bisa mendekat ke rumah Pu’un. Ada pembatas yang dijaga oleh petugas, mereka yang mencegah orang tak berhak untuk mendekat ke rumah Pu’un. Sejenak bertegur sapa dengan beberapa warga yang bertugas menjaga, kami melanjutkan perjalanan, menuju saung tempat Puun Jahadi sedang bekerja. Perlu saya sampaikan, di Kampung Baduy Dalam tidak ada warung atau rumah yang difungsikan sebagai warung. Tapi ada penjual keliling, tentu saja dengan barang dagangan yang sangat minimalis.



Sekitar 30 menit berjalan, kami sampai di saung Pu’un Jahadi, yang saat itu sedang ditemani beberapa warga. Pu’un Jahadi adalah sosok yang sudah sepuh, mengenakan iket/sorban, dengan pakaian sederhana berwarna putih hitam. Bagian bawah seperti menggunakan rok. Demikianlah rata-rata cara berpakain masyarakat Baduy Dalam. Pemandu saya mengutarakan maksud kedatangan dan asal saya. Maka sang Pu’un bergegas membersihkan diri lalu masuk ke saung. Saya dan pemandu saya diajak masuk ke saung. Lalu dia mempersiapkan perangkat ritual, berupa tungku pembakar kemenyan. Saya diminta duduk berhadapan, ditanya usia, dan ketika saya katakan 36 tahun, dia bilang, “Budak keneh...urang mah nggeus 90 tahun”. He, he, benar, jika dibandingkan sang Pu’un saya jelas belum ada apa-apanya..termasuk dalam soal usia.



Sang Pu’un lantas merafalkan beberapa saya sambil mendekatkan tangan saya ke tungku. Beberapa kali ia meniup ke dalam kantong putih yang sudah diisi menyan dan minyak, sembari menengok ke arah Selatan. Saya tak bisa menangkap rafalan Sang Pu’un, tapi saya menikmati auara magisnya. Setelah tuntas, saya diminta segera pergi, mengikuti arahan dari Sang Pu’un: 4 langkah harus menahan langkah, 7 langkah jangan menengok ke belakang. Dan jangan bersalaman. Menurut pemandu saya, itu karena diyakini bersalaman dan menengok ke belakang akan membuat kekuatan yang telah dihadirkan sang Pu’un akan hilang kembali.



Sayapun bergegas pergi, namun, setelah menahan nafas 4 langkah, secara otomatis saya nyaris menengok, karena kebiasaan untuk berpamitan. Untuk saya ingat bahwa itu adalah pantangan, sehingga leher ini saya tarik kembali ke depan dan lalu melangkah maju.



Tuntas urusan dengan Pu’un Jahadi, saya dan para pemandu saya beranjak pulang, kembali ke Ciboleger. Tapi kali ini melewati rute yang berbeda. Sebelum kami sampai ke Kampung Kadu Kentug yang berbatasan dengan Ciboleger, kami hanya singgah ke Kampung Kadu Keter. Namun, jaraknya ternyata sama. Melintasi beberapa bukit, naik turun, dengan jalanan yang bervariasi, kadang cadas, kadang bebatuan, kadang tanah lembut, kadang tanah lumpur. Yang pasti, jalanan juga masih licin. Pada perjalanan kali ini, saya kembali terpeleset. Tapi saya sudah niatkan, cukup tiga kali saya terpeleset, dan terpeleset kali ini adalah yang terakhir. He, he, niat ini nyaris terkabul: pada akhirnya saya bisa dibilang 3 ½ kali terpeleset karena menjelang masuk Kampung Kadu Keter saya jatuh terduduk, tapi tak sampai terbanting.

Pemandu saya yang baik hati menawari saya untuk bertemu dengan satu sesepuh lagi, di Kampung Kaduketer. Saya setujui tawaran itu dengan senang hati. Dan yang saya temui adalah Aki Arna, sesepuh Baduy Luar yang dulu pernah menjadi sahabat Bung Karno ketika Bung Karno mblusuk-mblusuk ke Baduy. Dan lagi-lagi saya beruntung karena Aki Arna ada di rumah. Seperti di saung Pu’un Jahadi, Aki Arna juga melakukan ritual setelah mendapatkan penjelasan tentang maksud kedatangan saya. Dia menyalakan tungku, membakar menyan, merafalkan beberapa mantra, dan meniup kantung berisi menyan dan minyak wangi yang tadi telah dirituali oleh Pu’un Jahadi. Yang membuat saya terheran-heran, dalam rafalan mantranya, beberapa kali Aki Arna menyebut nama Nabi Muhammad. He, he, saya heran karena semua warga Baduy adalah penghayat ajaran Sunda Wiwitan.



Setelah ritual tuntas, saya juga diminta segera bergegas, tapi kali ini dengan 3 langkah menahan nafas, dan 7 langkah tidak boleh menengok ke belakang. Kali ini saya mulus mengerjakan apa yang diminta oleh Aki Arna, tidak lagi tergoda untuk menengok ke belakang.



Puas rasanya bisa menemui dua sesepuh Baduy, satu Baduy Dalam, satu Baduy Luar. Kini tinggal melanjutkan perjalanan pulang ke Ciboleger yang berjarak 5 km dari Kampung Kaduketer. Maka, setelah kembali melintasi beberapa bukit, sekitar pukul 18.30 kami sampai ke Ciboleger. Dan di sana, saya ditawari untuk menginap di rumah pemandu saya yang baik hati, Kang Wahyudin. Dengan senang hati saya terima. Lumayan, ada waktu untuk mengobrol dengannya, dan melepas lelah, setelah lebih dari 8 jam berjalan kaki.

Sekilas Tentang Kearifan Lokal Masyarakat Baduy

Sebetulnya, sebutan masyarakat Baduy lebih mencerminkan cara pandang pihak luar. Mereka yang kita sebut sebagai masyarakat Baduy itu sebetulnya adalah urang Sunda Wiwitan (orang Sunda yang paling dulu). Nama Baduy disematkan kepada mereka, karena mereka dianalogikan dengan masyarakat Baduy di Arab yang belum berperadaban. Menyangkut asal muasal komunitas Sunda Wiwitan yang kini tinggal di Desa Kanekes itu, juga ada banyak silang pendapat.



Sementara pihak, menganggap mereka adalah anak keturunan para prajurit Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran yang lari ke hutan setelah Prabu Siliwangi ngahyang (moksa atau pindah dimensi kehidupan). Mereka lari ke hutan karena tidak mau memeluk Islam, sebagaimana ajakan Sunan Gunung Jati dan para perwiranya dari Kesultanan Cirebon yang didukung oleh Kesultanan Demak. Namun, sejarah seperti itu – sebagaimana dituturkan oleh pemandu saya – dianggap menyakitkan buat mereka. Mereka justru meyakini bahwa mereka adalah anak turun dari masyarakat Sunda jaman baheula, yang secara genetis terkait langsung dengan manusia pertama di Nusantara (dalam cara pandang yang dipengaruhi tradisi Islam, masyarakat Baduy kemudian dikaitkan dengan Nabi Adam sebagai manusia pertama – dalam hal ini masyarakat Baduy dianggap sebagai penjaga tradisi ala Nabi Adam yang sangat alami).



Teori lain menyebutkan bahwa memang sebenarnya Pegunungan Kendeng, di mana komunitas Sunda Wiwitan itu bertempat tinggal, sejak jaman dahulu sebetulnya merupakan mandala atau tempat suci bagi kerajaan-kerajaan di Tatar Sunda. Para Pu’un dan pengikutnya, adalah keturunan komunitas yang sejak dulu merupakan para penjaga mandala, yang mengemban mandat mempertahankan kekuatan spiritual penopang keberadaan kerajaan-kerajaan di Tatar Sunda.

Pada masa kini, komunitas Sunda Wiwitan di Kanekes, tetap menjalin hubungan baik dengan pihak yang berkuasa, melalui mekanisme seba (sowan) setiap tahun ke Serang, ke Gubernur Banten – sebagai kelanjutan Kesultanan Banten dan Kerajaan2 Sunda yang lebih tua.



Saya pribadi, secara intuitif lebih memilih pendapat bahwa mereka memang bagian dari komunitas Sunda Wiwitan yang sejak dulu memang berdiam di situ, dan sejak dulu menjadi semacam penjaga kesetimbangan secara mistis. Bagi saya, merekalah sebetulnya pertapa-pertapa di jaman modern: mirip dengan komunitas Dayak Segandu di Indramayu. Mereka membuktikan sanggup hidup secara minimalis, memegang teguh adat yang berkecenderungan sangat asketik, dan membuat sesuatu yang “asli” masih bisa dilihat orang, walau dunia sudah berubah demikian dahsyat.



Saya membayangkan, sungguh tak mudah menjadi penghayat ajaran Sunda Wiwitan ala masyarakat di Kanekes. Di tengah arus modernitas yang menawarkan berbagai kemudahan dalam hidup – melalui berbagai produk ilmu dan teknologi – anggota masyarakat Baduy Dalam misalnya, tetap setia berjalan kaki kemanapun mereka pergi. Bahkan, ada sebuah hukum yang dipegang teguh: warga Baduy Dalam yang sedang berada dalam perjalanan ke tempat lain, lalu tergoda untuk naik mobil, pasti akan ketahuan dan harus bersiap menghadapi sanksi adat dari baris kolot (para sesepuh). Warga Baduy Dalam juga masih berpantang dari sabun, odol, dan berbagai produk sabun buatan pabrik. Mereka mempergunakan semua bahan pembersih alami. Sementara mereka yang hidup di Baduy Luar, masih diperbolehkan memakai produk pabrik itu.



Untuk seseorang yang hidupnya tak bisa dipisahkan dari huruf dan buku, sungguh tak masuk akal menjalani hidup tanpa tulis menulis dan buku. Tapi memang itulah yang dijalani masyarakat Baduy baik Baduy Dalam maupun Baduy Luar. Rumah-rumah mereka tetap tanpa listrik hingga sekarang, hanya menggunakan lentera yang dipergunakan secara sangat terbatas. Hingga kini mereka juga tidak mengenal institusi sekolah. Pendidikan bagi generasi penerus dilaksanakan melalui bimbingan langsung dari orang tua dan anggota komunitas. Sejak kecil, anak-anak di Baduy Luar dan Baduy Dalam diajak terjun berhuma dan melakukan berbagai kegiatan sosial lain yang dilakukan para orang tua. Melalui proses demikianlah pengetahuan dan keterampilan diturunkan dari generasi ke generasi. (Jadi, jangan membayangkan Anda akan menemukan seorang warga Baduy asyik membaca koran atau buku di teras rumah..he, he, he).



Dalam hal mencari nafkah, masyarakat Baduy Dalam maupun Baduy Luar benar-benar mengandalkan alam. Mereka menanam padi di sela-sela tanaman keras tanpa membuka sawah. Upaya mereka lainnya adalah menyadap nira dan membuat gula, atau menanam dan memanen buah-buahan seperti pisang dan durian. Komoditas-komoditas itu dipasarkan kepada masyarakat di kawasan sekitar. Biasanya mereka yang ada di Baduy Dalam bermitra dengan relasi mereka di Baduy Luar yang lebih punya akses ke pasar-pasar tradisional di sekitar Desa Kanekes.



Menyangkut ternak, yang menarik adalah bahwa mereka hanya berternak ayam. Sehinga dalam hal makananpun, yang daging yang boleh mereka makan adalah sejenis unggas seperti ayam. Mereka pantang memakan daging dan beternak kambing, atau sapi. Alasannya, ternak seperti itu berpotensi membuat repot tetangga: kambing atau sapi bisa memakan tanaman di kebun tetangga, dan itu bisa menimbulkan konflik atau memaksa orang jadi tambah repot dengan memasang pagar. Dalam cara pandang mereka – sejauh yang bisa saya telusuri - daripada hal demikian terjadi, lebih baik cari jalan yang lebih aman. Ternak ayam lebih aman karena ayam tak mungkin makan tanaman di kebun tetangga.



Dari segi kepemilikan tanah yang menjadi asset utama dalam berladang, terjadi perbedaan antara Baduy Dalam dan Baduy Luar. Masyarakat Baduy Dalam tidak mengenal kepemilikan tanah. Semua tanah adalah milik institusi adat: siapa yang sanggup berhak mengolahnya. Sementara di Baduy Luar sudah ada konsep kepemilikan tanah, tapi tanpa pengaturan negara, sehingga tanah-tanah mereka tidak bersertifikat dan tidak dibebani pajak. Dalam hal ada warga yang kekurangan tanah, biasanya mereka menyewa atau bermitra dengan pemilik tanah di luar kawasan Baduy.

Selain yang sudah saya paparkan, ada beberapa hal menarik lainnya yang sempat saya gali. Misalkan menyangkut adat perkawinan. Di Baduy Dalam, ada hukum yang mengatur keharusan bermonogami dan anti cerai. Semua pasangan di Baduy Dalam yang sudah diikat melalui perkawinan (yang diberkati oleh Pu’un), tidak boleh bercerai. Dan tidak ada peluang sedikitpun untuk berpoligami. Sementara di Baduy Luar, mereka boleh bercerai, tapi tetap tidak boleh berpoligami. Kata pemandu saya, “Jadi kalau ada yang kepingin poligami, ya harus diampet (sebisa mungkin ditahan)...” Ha, ha, ha......



Secara umum, masyarakat Baduy Dalam maupun Baduy Luar, memegang konsep moralitas seksual yang sangat ketat. Setiap tindakan tidak senonoh, selalu diancam dengan tulah (atau balasan berupa musibah dari alam). Putera-puteri Sunda Wiwitan itu, biasanya juga sudah saling dijodohkan sejak kecil. Jadi mereka tidak mencari jodoh sendiri. Seiring dengan itu, tentu saja tidak ada konsep pacaran, apel pada malam minggu, dan seterusnya. Pasangan yang mau menikahpun, jika belum sah, tidak boleh berduaan. Jika sang calon pengantin pria berkunjung ke calon pengantin wanita, ia hanya boleh bertemu dengan orang tuanya - sementara sang calon pengantin wanita sendiri tetap harus ada di ruang terpisah.



Ada hal lain yang juga cukup menarik perhatian saya: pada masyarakat Sunda Wiwitan di Kanekes, relatif tidak dikenal ritual khusus semacam shalat, misa, ataupun meditasi. Ibadah mereka secara umum lebih berdimensi sosial. Yang mereka lakukan untuk menunjukkan ketaatan pada Tuhan, adalah berbuat baik kepada sesama dan kepada alam. Namun pada skala komunitas, ada upaca adat yang dilaksanakan setelah panen dan mempersiapkan masa tanam berikutnya yang disebut Kawalu. Upacara adat ini mirip Serentaun pada berbagai komunitas Sunda Wiwitan di berbagai tempat.



Secara mistis, sebetulnya masih ada misteri yang susah dikuak orang luar. Misalnya adalah keberadaan Arca Kadomas, yang hanya bisa diakses oleh Pu’un dan bariskolot atau sesepuh. Pusat kekuatan spiritual masyarakat Sunda Wiwitan di Kanekes diduga berada di sana.



Demikianlah gambaran sekilas tentang pola kehidupan masyarakat Sunda Wiwitan di Kanekes yang bisa saya gali. Kehidupan yang sangat dipagari adat istiadat yang diwarisi dari para karuhun, sepertinya berpengaruh terhadap minimalnya kasus-kasus bertendensi negatif seperti kriminalitas dalam kehidupan sosial mereka. Kita juga bisa melihat bahwa kehidupan masyarakat di Baduy Dalam jauh lebih ketat dibandingkan di Baduy Luar. Dalam hal ini, saya mendapatkan informasi bahwa ada semacam kebijakan memberi pilihan kepada semua warga: mereka yang siap dengan aturat dan adat yang ketat, bisa tinggal di Baduy Dalam. Tetapi jika mereka keberatan dan ingin kehidupan yang lebih leluasa, mereka bisa pindah ke Baduy Luar.



Jelas, apa yang saya bisa gali masih jauh dari lengkap, dan sebagian mengandalkan cerita dari pemandu saya. Namun, itu cukup berharga bagi saya yang hanya sempat 1 hari mencicipi aura mistik di Baduy Dalam dan Baduy Luar. Saya berjanji untuk datang lagi. Terima kasih untuk Kang Wahyudin dan Kang Numeng, 2 orang pemandu saya yang sungguh baik hati!

8 Responses to "MEREGUK PESONA SPIRITUAL KANEKES"

  1. nyuwun sewu kulo sangat tertarik dan pingin ketemu sedulur lawas kadhos panjenengan. kulo lahir teng tanah bali .MUGI GUSTHI paring wedal kapan kito saget kepanggih.mtr nwn
    kulo WAYAN PUJA ASTAWA HP 085725478499.

    ReplyDelete
  2. pengalaman yg langka untuk zaman skrg`sy jg pernah k ciboleger.membaca artikel anda rasanya ingin kembali k sana.sy bs sampai k sana krn ada tmn yg asli org sana. tepat nya d cibiuk.semoga suatu hari kita bs sama2 k sana ini no sy 081905944112.

    ReplyDelete
  3. Alhamdulilah kemarin saya baru dari tempat urang kanekes.baduy dalam.di antar oleh kang diyat pemandu yg sangat santun.

    ReplyDelete
  4. Bisa minta nmr hp yg bisa dihubungi....? Terimakasih...

    ReplyDelete
  5. Interesting post. I Have Been wondering about this issue, so thanks for posting. Pretty cool post. It 's really very nice and Useful post. Blog a course in miracles

    ReplyDelete



Laku spiritual adalah proses bertumbuhnya pengalaman keilahian, wujudnya adalah menjadi penuh dengan daya, penuh kebijaksanaan, penuh kecerdasan, penuh kreatifitas, penuh welas asih.


Setyo Hajar Dewantoro
Founder of Mahadaya Institute


Buku

Buku Medseba Buku Sastrajendra Buku Suwung Buku Sangkan Paraning Dumadi Buku Jumbuh Kawula Gusti Buku Tantra Yoga Buku Kesadaran Matahari Buku Kesadaran Kristus

Kegiatan