Tempat-tempat Menjalankan Laku Prihatin di Tanah Jawa (II)



Gunung Tidar
Gunung Tidar adalah gunung di Kota Magelang Jawa Tengah. Gunung yang dalam legenda dikenal sebagai "Pakunya tanah Jawa" itu terletak di tengah Kota Magelang. Berada pada ketinggian 503 meter dari permukaan laut,
Hanya butuh waktu kurang dari 30 menit untuk sampai di puncak Tidar. Secara umum, Gunung Tidar memang masih cukup alami. Banyak tanaman pinus dan tanaman buah-buahan tahunan seperti salak hasil penghijauan era tahun 1960an menjadikan Gunung Tidar sangat rimbun.
Beberapa saat menapaki jalanan setapak pendakian kita akan bertemu dengan Makam Syaikh Subakir.

Tidak jauh dari Makam Syaikh Subakir, kita akan berjumpa dengan sebuah makam yang panjangnya mencapai 7 meter. Itulah Makam Kyai Sepanjang. Kyai Sepanjang bukanlah sesosok alim ulama, namun adalah nama tombak yang dibawa dan dipergunakan oleh Syaikh Subakir mengalahkan jin penunggu Gunung Tidar kala itu.

Situs makam terakhir yang kita jumpai sewaktu mendaki Gunung Tidar adalah Makam Kyai Semar. Namun menurut beberapa versi ini bukanlah makam kyai Semar yang ada dalam pewayangan. Tetapi Kyai Semar, jin penunggu Gunung Tidar waktu itu. Meski demikian banyak yang percaya ini memang makam Kyai Semar yang ada dalam pewayangan itu. Dan mana yang benar, adalah tinggal kita mau mempercayai yang mana.

Di puncak Gunung Tidar ada lapangan yang cukup luas. Di tengah lapangan tersebut terdapat sebuah Tugu dengan simbol huruf Sa (dibaca seperti pada kata Solok) dalam tulisan Jawa pada tiga sisinya. Menurut penuturan juru kunci, itu bermakna Sapa Salah Seleh (Siapa Salah Ketahuan Salahnya). Tugu inilah yang dipercaya sebagian orang sebagai Pakunya Tanah Jawa, yang membuat tanah Jawa tetap tenang dan aman.

Makam Kota Gede

Situs Makam Raja-raja Dinasti Mataram Islam serta Masjid Besar Mataram terletak hanya beberapa ratus meter di sebelah selatan Pasar Kotagede sekarang. Di kanan jalan, akan kita jumpai pohon beringin besar pada sebuah halaman yang cukup luas untuk ukuran Kotagede. Inilah pintu gerbang utama memasuki kedua situs itu. Di sisi kiri dan kanan halaman ini terdapat sepasang bangsal terbuka yang dipergunakan para peziarah untuk beristirahat. Bangsal sebelah selatan dipayungi oleh pohon beringin besar dan rindang, yang disebut Waringin Sepuh. Konon, pohon yang sangat tua ini ditanam oleh Kanjeng Sunan Kalijaga yang sudah ada sejak tempat ini dibangun hampir 5 abad yang lalu. Sebagian orang percaya, daun-daunnya yang berguguran ke tanah memiliki tuah tertentu. Mereka mencari 2 helai daun yang jatuh dalam kondisi terbuka dan tertutup, lalu membawanya dalam perjalanan sebagai bekal keselamatan.

Di sebelah barat sana, berdiri gapura besar yang disebut Gapura Padureksa. Pada kiri kanan jalan menuju gapura, berjajar sejumlah rumah tradisional yang yang disebut Dondhongan. Ini adalah tempat tinggal keluarga Dondhong, para abdi dalem yang bertugas membersihkan halaman makam dan masjid, sekaligus sebagai juru do’a kepada arwah para leluhur yang disemayamkan di makam para raja, yang lazim disebut Makam Senopaten.

Gapura Padureksa merupakan pintu gerbang masuk halaman masjid yang ada di sebelah timur. Hiasan kala yang terdapat pada bagian atas gapura serta hiasan-hiasan pada tembok di sekitarnya, mengingatkan kita pada ornamen dekoratif yang banyak dijumpai pada bangunan bergaya Hindu. Gapura ini dilengkapi dengan tembok pembatas atau kelir yang juga terbuat dari batu bata. Dibalik kelir inilah terdapat halaman besar dimana Masjid Besar Mataram berada.
Selain Gapura Padureksa di sisi timur, masih terdapat 2 buah gapura sejenis yang terdapat di sisi utara dan selatan.

Gapura yang berada di sisi selatan, menghubungkan halaman Masjid dengan kompleks Makam Senopaten. Pada halaman pertama yang kita jumpai, berdiri sebuah bangunan yang disebut Bangsal Duda. Bangunan ini dibangun pada tahun 1644 oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma, cucu Panembahan Senopati, yang bertahta di Kerajaan Mataram antara tahun 1613 hingga 1645. Bangsal ini adalah salah satu tempat yang digunakan sebagai tempat jaga para abdi dalem Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta yang secara bergilir melakukan tugas jaga di seputar makam.
Di sebelah barat Bangsal Duda terdapat pintu gerbang yang disebut Regol Sri Manganti, lengkap dengan kelir atau tembok pembatasnya. Dibalik Regol Sri Manganti inilah akan dijumpai halaman utama sebelum memasuki Makam Senopaten. Di sini terdapat beberapa bangunan yang dipergunakan sebagai tempat jaga para abdi dalem yang bertugas di Makam Senopaten, sekaligus menjadi tempat bagi para peziarah untuk beristirahat dan mempersiapkan diri sebelum memasuki kompleks makam. 2 bangunan yang berada di sebelah barat disebut Bangsal Pengapit. Bangsal sebelah utara dikhususkan bagi peziarah putri, sedangkan yang selatan dikhususkan bagi peziarah putra. Untuk memasuki kompleks makam, para peziarah diwajibkan mengikuti sejumlah tata tertib, diantara yaitu kewajiban untuk memakai pakaian tradisional tertentu.


Di dalam makam terdapat sejumlah makam yang kesemuanya adalah raja atau kerabat dekatnya. Mereka yang disemayamkan di makam ini diantaranya : Panembahan Senopati, Ki Ageng Pemanahan, Panembahan Sedo ing Krapak, Kanjeng Ratu Kalinyamat, Kanjeng Ratu Retno Dumilah, Nyai Ageng Nis, Nyai Ageng Mataram, Nyai Ageng Juru Mertani, serta sejumlah tokoh lainnya. Pada bangunan Prabayeksa dalam kompleks makam terdapat sebuah makam yang unik, karena separuh bagian berada di sisi dalam dan separuh bagian lainnya di sisi luar. Ini adalah makam Ki Ageng Mangir Wonoboyo. Konon, ini dimaksudkan sebagai lambang statusnya, sebagai menantu sekaligus musuh Panembahan Senopati. Di makam ini juga disemayamkan Sri Sultan Hamengku Buwono II , satu-satunya raja Kasultanan Yogyakarta yang tidak dimakamkan di Imogiri, serta makam saudaranya, Pangeran Adipati Pakualam I.

Peziarah yang mengunjungi makam atau ingin bertirakat juga disyaratkan untuk mandi atau berendam di kolam yang terletak di sebelah selatan makam. Kolam ini disebut Sendhang Selirang. Ada 2 buah sendhang, Sendhang Kakung berada di sebelah utara dan Sendhang Putri di sebelah selatan. Mata air Sendhang Kakung konon berada tepat di bawah makam. Sementara Sendhang Putri memiliki sumber mata air yang berasal dari bawah pohon beringin yang terletak di jalan masuk kompleks makam.

Makam Imogiri
Pajimatan Imogiri merupakan makam raja-raja Mataram (Surakarta dan Yogyakarta) yang terletak 17 kilometer ke arah selatan dari Kota Yogyakarta melalui Jalan Pramuka - Imogiri. Di kawasan itu bagi warga masyarakat disediakan lapangan parkir yang terletak di sebelah barat gerbang masuk sebelum naik tangga. Sedangkan bagi kerabat istana dan tamu VIP disediakan parkir di bagian atas mendekati makam sehingga tidak perlu meniti tangga. Mitos setempat menyatakan bahwa barang siapa bisa menghitung jumlah tangga secara benar (jumlahnya ada 345 anak tangga) maka cita-citanya akan terkabul. Tata cara memasuki makam di tempat itu sama dengan di Astana Kotagede, dimana setiap pengunjung diharuskan memakai pakaian tradisonil Mataram, pria harus mengenakan pakaian peranakan berupa beskap berwarna hitam atau biru tua bergaris-garis, tanpa memakai keris, atau hanya memakai kain/jarit tanpa baju. Sedangkan bagi wanita harus mengenakan kemben.

Perlu diketahui bahwa selama berziarah pengunjung tidak diperkenankan memakai perhiasan. Bagi para peziarah yang tidak mempersiapkan pakaian dimaksud dari rumah bisa menyewa pada abdi dalem sebelum memasuki komplek makam. Bagi kerabat istana khususnya putra-putri raja ada peraturan tersendiri, pria memakai beskap tanpa keris, puteri dewasa mengenakan kebaya dengan ukel tekuk, sedangkan puteri yang masih kecil memakai sabuk wolo ukel konde.
Menurut buku Riwayat Pasarean Imogiri Mataram, Makam Imogiri memang sejak awal telah disiapkan oleh Sultan Agung dengan susah payah. Diceritakan Sultan Agung yang sakti itu setiap Jumat sholat di Mekkah, dan akhirnya ia merasa tertarik untuk dimakamkan di Mekkah. Namun karena berbagai alasan keinginan tersebut ditolak dengan halus oleh Pejabat Agama di Mekkah, sebagai gantinya ia memperoleh segenggam pasir dari Mekkah. Sultan Agung disarankan untuk melempar pasir tersebut ke tanah Jawa, dimana pasir itu jatuh maka di tempat itulah yang akan menjadi makam Sultan Agung. Pasir tersebut jatuh di Giriloyo, tetapi di sana Pamannya, Gusti Pangeran Juminah (Sultan Cirebon) telah menunggu dan meminta untuk dimakamkan di tempat itu. Sultan Agung marah dan meminta Sultan Cirebon untuk segera meninggal, maka wafatlah ia. Selanjutnya pasir tersebut dilemparkan kembali oleh Sultan Agung dan jatuh di Pegunungan Merak yang kini menjadi makam Imogiri.

Raja-raja Mataram yang dimakamkan di tempat itu antara lain : Sultan Agung Hanyakrakusuma, Sri Ratu Batang, Amangkurat Amral, Amangkurat Mas, Paku Buwana I, Amangkurat Jawi, Paku Buwana II s/d Paku Buwana XI. Sedangkan dari Kasultanan Yogyakarta antara lain : Hamengku Buwana I s/d Hamengku Buwana IX, kecuali HB II yang dimakamkan di Astana Kotagede.

Situs Watugilang
Watu Gilangmerupakan batu hitam berbentuk persegi, berukuran 2 m di setiap sisinya, tingginya 30 cm dan terletak di sebuah ruangan yang sengaja dibuat untuk untuk melindungi batu ini. Oleh penduduk, batu ini dipercaya dulunya merupakan dampar atau singgasana Panembahan Senopati. Pada sisi timur batu ini terdapat kikisan seperti bekas bekas pukulan sesuatu. Dulu batu ini terletak di Pendopo, tapi peninggalan Pendopo sudah tidak ada lagi sejak runtuhnya kerajaan Mataram ini.

Ruangan tempat Watu Gilang ini berukuran 3×3 m di tengah pelataran yang dulunya berupa keraton. Dalam ruangan ini juga terdapat tiga batu kuning berbentuk bola yang biasa disebut Watu Gatheng(batu yang mangagumkan) dengan ukuran berbeda-beda.. Ketiga batu ini terletak di sebelah selatan pintu masuk. Di sisi pintu sebelah utara terdapat gentong dari batu hitam setinggi 80 cm dengan beberapa cekungan sebesar jari tangan di sisi depannya.

Petilasan Pangeran Purbaya (Astana Wotgaleh)
Makam itu terletak di Dusun Karangmoncol, Kelurahan Sendangtirto, Kecamatan Berbah, Sleman (tepatnya diselatan bandara Adisutjipto, bahkan katanya pembuatan bandarapun bergeser ke utara gara-gara makam ini) dikenal sebagai Makam Wotgaleh, dimana di dalam makam tersebut terdapat makam Panembahan Purubaya.
SELAIN terdapat nisan Panembahan Purubaya dan istri, di kompleks tersebut juga terdapat makam Kanjeng Ratu Giring, Kiai Wirasaba, Panembahan Purubaya II, Panembahan Purubaya III, dan lain-lain. Kompleks dipagari tembok setinggi 2 meter dengan ketebalan 40 cm.

Siapa Panembahan Purubaya ?

Nama aslinya adalah Jaka Umbaran. Ia merupakan putra dari Panembahan Senopati yang lahir dari istri putri Ki Ageng Giring.

Candi Sukuh
Candi Sukuh letaknya yang terpencil di lereng Gunung Lawu pada ketinggian lebih dari seribu meter dpl. Dari Terminal Tirtonadi Solo, Anda bisa naik bis umum jurusan Solo-Tawangmangu dan turun di Karang Pandan, dilanjutkan dengan minibus jurusan Kemuning dan disambung dengan ojek hingga ke kawasan candi.

Bentuk candi ini yang berupa trapezium memang tak lazim seperti umumnya candi-candi lain di Indonesia. Sekilas tampak menyerupai bangunan suku Maya di Meksiko atau suku Inca di Peru.

Situs candi Sukuh ditemukan kembali pada masa pemerintahan Britania Raya di tanah Jawa pada tahun 1815 oleh Johnson, Residen Surakarta. Johnson kala itu ditugasi oleh Thomas Stanford Raffles untuk mengumpulkan data-data guna menulis bukunya The History of Java. Kemudian setelah masa pemerintahan Britania Raya berlalu, pada tahun 1842, Van der Vlis, yang berwarganegara Belanda melakukan penelitian. Lalu pada tahun 1928, pemugaran dimulai.
Candi Sukuh dibangun dalam tiga susunan trap (teras), dimana semakin kebelakang semakin tinggi. Pada teras pertama terdapat gapura utama. Pada gapura ini ada sebuah candrasangkala dalam bahasa Jawa yang berbunyi gapura buta abara wong. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Gapura sang raksasa memangsa manusia”. Kata-kata ini memiliki makna 9, 5, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1359 Saka atau tahun 1437 Masehi. Dilantai dasar dari gapura ini terdapat relief yang menggambarkan phallus berhadapan dengan vagina. Sepintas memang nampak porno, tetapi tidak demikian maksud si pembuat. Sebab tidakmungkin di tempat suci yang merupakan tempat peribadahan terdapat lambang-lambang yang porno. Relief ini mengandung makna yang mendalam. Relief ini mirip lingga-yoni dalam agama Hindu yang melambangkan Dewa Syiwa dengan istrinya (Parwati). Lingga-yoni merupakan lambang kesuburan. Relief tersebut sengaja di pahat di lantai pintu masuk dengan maksud agar siapa saja yang melangkahi relief tersebut segala kotoran yang melekat di badan menjadi sirna sebab sudah terkena “suwuk”.

Pada teras kedua juga terdapat gapura namun kondisinya kini telah rusak. Di kanan dan kiri gapura yang biasanya terdapat patung penjaga pintu atau dwarapala, didapati pula, namun dalam keadaan rusak dan sudah tidak jelas bentuknya lagi. Gapura sudah tidak beratap dan pada teras ini tidak dijumpai banyak patung-patung. Namun pada gapura ini terdapat sebuah candrasangkala pula dalam bahasa Jawa yang berbunyi gajah wiku anahut buntut. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah “Gajah pendeta menggigit ekor”. Kata-kata ini memiliki makna 8, 7, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1378 Saka atau tahun 1456 Masehi. Jadi jika bilangan ini benar, maka ada selisih hampir duapuluh tahun dengan gapura di teras pertama !
Pada teras ketiga ini terdapat pelataran besar dengan candi induk dan beberapa relief di sebelah kiri serta patung-patung di sebelah kanan. Jika para pengunjung ingin mendatangi candi induk yang suci ini, maka batuan berundak yang relatif lebih tinggi daripada batu berundak sebelumnya harus dilalui. Selain itu lorongnya juga sempit. Konon arsitektur ini sengaja dibuat demikian. Sebab candi induk yang mirip dengan bentuk vagina ini, menurut beberapa pakar memang dibuat untuk mengetes keperawanan para gadis. Menurut cerita, jika seorang gadis yang masih perawan mendakinya, maka selaput daranya akan robek dan berdarah. Namun apabila ia tidak perawan lagi, maka ketika melangkahi batu undak ini, kain yang dipakainya akan robek dan terlepas.

Tepat di atas candi utama di bagian tengah terdapat sebuah bujur sangkar yang kelihatannya merupakan tempat menaruh sesajian. Di sini terdapat bekas-bekas kemenyan, dupa dan hio yang dibakar, sehingga terlihat masing sering dipergunakan untuk bersembahyang.

Dengan struktur bangunan seperti ini boleh dibilang Candi Sukuh dikatakan menyalahi pola dari buku arsitektur Hindu Wastu Widya. Di dalam buku itu diterangkan bahwa bentuk candhi harus bujur sangkar dengan pusat persis di tengah-tengahnya, dan yang ditengah itulah tempat yang paling suci. Sedangkan ikwal Candi Sukuh ternyata menyimpang dari aturan-aturan itu, hal tersebut bukanlah suatu yang mengherankan, sebab ketika Candi Sukuh dibuat, era kejayaan Hindu sudah memudar, dan mengalami pasang surut, sehingga kebudayaan asli Indonesia terangkat ke permukaan lagi yaitu kebudayaan prahistori jaman Megalithic, sehingga mau tak mau budaya-budaya asli bangsa Indonesia tersebut ikut mewarnai dan memberi ciri pada candhi Sukuh ini. Karena trap ketiga ini trap paling suci, maka maklumlah bila ada banyak petilasan. Seperti halnya trap pertama dan kedua, pelataran trap ketiga ini juga dibagi dua oleh jalan setapa yang terbuat dari batu. Jalan batu di tengah pelataran candi ini langka ditemui di candi-candi pada umumnya. Model jalan seperti itu hanya ada di “bangunan suci” prasejarah jaman Megalithic.

Di sebelah selatan jalan batu, di pada pelataran terdapat fragmen batu yang melukiskan cerita Sudamala. Sudamala adalah salah satu 5 ksatria Pandawa atau yang dikenal dengan Sadewa. Disebut Sudamala, sebab Sadewa telah berhasil “ngruwat” Bathari Durga yang mendapat kutukan dari Batara Guru karena perselingkuhannya. Sadewa berhasil “ngruwat” Bethari Durga yang semula adalah raksasa betina bernama Durga atau sang Hyang Pramoni kembali ke wajahnya yang semula yakni seorang bidadari.di kayangan dengan nama bethari Uma Sudamala maknanya ialah yang telah berhasil membebaskan kutukan atau yang telah berhasil “ngruwat”.Adapun Cerita Sudamala diambil dari buku Kidung Sudamala.

Pada lokasi ini terdapat dua buah patung Garuda yang merupakan bagian dari cerita pencarian Tirta Amerta yang terdapat dalam kitab Adiparwa, kitab pertama Mahabharata. Pada bagian ekor sang Garuda terdapat sebuah prasasti. Kemudian sebagai bagian dari kisah pencarian Tirta Amerta (air kehidupan) di bagian ini terdapat pula tiga patung kura-kura yang melambangkan bumi dan penjelmaan Dewa Wisnu. Bentuk kura-kura ini menyerupai meja dan ada kemungkinan memang didesain sebagai tempat menaruh sesajian. Sebuah piramida yang puncaknya terpotong melambangkan Gunung Mandaragiri yang diambil puncaknya untuk mengaduk-aduk lautan mencari Tirta Amerta.

Istana Ratu Boko
Istana Ratu Boko adalah sebuah bangunan megah yang dibangun pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran, salah satu keturunan Wangsa Syailendra. Istana yang awalnya bernama Abhayagiri Vihara (berarti biara di bukit yang penuh kedamaian) ini didirikan untuk tempat menyepi dan memfokuskan diri pada kehidupan spiritual.
Istana ini terletak di 196 meter di atas permukaan laut. Areal istana seluas 250.000 m2 terbagi menjadi empat, yaitu tengah, barat, tenggara, dan timur. Bagian tengah terdiri dari bangunan gapura utama, lapangan, Candi Pembakaran, kolam, batu berumpak, dan Paseban. Sementara, bagian tenggara meliputi Pendopo, Balai-Balai, 3 candi, kolam, dan kompleks Keputren. Kompleks gua, Stupa Budha, dan kolam terdapat di bagian timur. Sedangkan bagian barat hanya terdiri atas perbukitan.

Bila masuk dari pintu gerbang istana, anda akan langsung menuju ke bagian tengah. Dua buah gapura tinggi akan menyambut anda. Gapura pertama memiliki 3 pintu sementara gapura kedua memiliki 5 pintu. Bila anda cermat, pada gapura pertama akan ditemukan tulisan 'Panabwara'. Kata itu, berdasarkan prasasti Wanua Tengah III, dituliskan oleh Rakai Panabwara, (keturunan Rakai Panangkaran) yang mengambil alih istana. Tujuan penulisan namanya adalah untuk melegitimasi kekuasaan, memberi 'kekuatan' sehingga lebih agung dan memberi tanda bahwa bangunan itu adalah bangunan utama.
Sekitar 45 meter dari gapura kedua, anda akan menemui bangungan candi yang berbahan dasar batu putih sehingga disebut Candi Batu Putih. Tak jauh dari situ, akan ditemukan pula Candi Pembakaran. Candi itu berbentuk bujur sangkar (26 meter x 26 meter) dan memiliki 2 teras. Sesuai namanya, candi itu digunakan untuk pembakaran jenasah. Selain kedua candi itu, sebuah batu berumpak dan kolam akan ditemui kemudian bila anda berjalan kurang lebih 10 meter dari Candi Pembakaran.

Sumur penuh misteri akan ditemui bila berjalan ke arah tenggara dari Candi Pembakaran. Konon, sumur tersebut bernama Amerta Mantana yang berarti air suci yang diberikan mantra. Kini, airnya pun masih sering dipakai. Masyarakat setempat mengatakan, air sumur itu dapat membawa keberuntungan bagi pemakainya. Sementara orang-orang Hindu menggunakannya untuk Upacara Tawur agung sehari sebelum Nyepi. Penggunaan air dalam upacara diyakini dapat mendukung tujuannya, yaitu untuk memurnikan diri kembali serta mengembalikan bumi dan isinya pada harmoni awalnya. Melangkah ke bagian timur istana, anda akan menjumpai dua buah gua, kolam besar berukuran 20 meter x 50 meter dan stupa Budha yang terlihat tenang. Dua buah gua itu terbentuk dari batuan sedimen yang disebut Breksi Pumis. Gua yang berada lebih atas dinamakan Gua Lanang sedangkan yang berada di bawah disebut Gua Wadon. Persis di muka Gua Lanang terdapat sebuah kolam dan tiga stupa. Berdasarkan sebuah penelitian, diketahui bahwa stupa itu merupakan Aksobya, salah satu Pantheon Budha.

Meski didirikan oleh seorang Budha, istana ini memiliki unsur-unsur Hindu. Itu dapat dilihat dengan adanya Lingga dan Yoni, arca Ganesha, serta lempengan emas yang bertuliskan "Om Rudra ya namah swaha" sebagai bentuk pemujaan terhadap Dewa Rudra yang merupakan nama lain Dewa Siwa. Adanya unsur-unsur Hindu itu membuktikan adanya toleransi umat beragama yang tercermin dalam karya arsitektural. Memang, saat itu Rakai Panangkaran yang merupakan pengikut Budha hidup berdampingan dengan para pengikut Hindu.
Di Istana Ratu Boko ini, kita bisa coba menyambung rasa dengan Eyang Bandung Bondowoso. Beliau adalah salah satu leluhur agung tanah Jawa yang sakti mandraguna, putra Prabu Damar Maya dari Kraton Pengging yang pada jamannya terkenal gemah ripah loh jinawi.

Candi Prambanan
Candi Prambanan adalah mahakarya kebudayaan Hindu dari abad ke-10. Bangunannya yang langsing dan menjulang setinggi 47 meter membuat kecantikan arsitekturnya tak tertandingi.

Candi Prambanan adalah bangunan luar biasa cantik yang dibangun di abad ke-10 pada masa pemerintahan dua raja, Rakai Pikatan dan Rakai Balitung. Menjulang setinggi 47 meter (5 meter lebih tinggi dariCandi Borobudur), berdirinya candi ini telah memenuhi keinginan pembuatnya, menunjukkan kejayaan Hindu di tanah Jawa. Candi ini terletak 17 kilometer dari pusat kota Yogyakarta, di tengah area yang kini dibangun taman indah.

Ada sebuah legenda yang selalu diceritakan masyarakat Jawa tentang candi ini. Alkisah, lelaki bernama Bandung Bondowoso mencintai Roro Jonggrang. Karena tak mencintai, Jonggrang meminta Bondowoso membuat candi dengan 1000 arca dalam semalam. Permintaan itu hampir terpenuhi sebelum Jonggrang meminta warga desa menumbuk padi dan membuat api besar agar terbentuk suasana seperti pagi hari. Bondowoso yang baru dapat membuat 999 arca kemudian mengutuk Jonggrang menjadi arca yang ke-1000 karena merasa dicurangi.

Candi Prambanan memiliki 3 candi utama di halaman utama, yaitu Candi Wisnu, Brahma, dan Siwa. Ketiga candi tersebut adalah lambang Trimurti dalam kepercayaan Hindu. Ketiga candi itu menghadap ke timur. Setiap candi utama memiliki satu candi pendamping yang menghadap ke barat, yaitu Nandini untuk Siwa, Angsa untuk Brahma, dan Garuda untuk Wisnu. Selain itu, masih terdapat 2 candi apit, 4 candi kelir, dan 4 candi sudut. Sementara, halaman kedua memiliki 224 candi.
Memasuki candi Siwa yang terletak di tengah dan bangunannya paling tinggi, anda akan menemui 4 buah ruangan. Satu ruangan utama berisi arca Siwa, sementara 3 ruangan yang lain masing-masing berisi arca Durga (istri Siwa), Agastya (guru Siwa), dan Ganesha (putra Siwa). Arca Durga itulah yang disebut-sebut sebagai arca Roro Jonggrang dalam legenda yang diceritakan di atas.

Di Candi Wisnu yang terletak di sebelah utara candi Siwa, anda hanya akan menjumpai satu ruangan yang berisi arca Wisnu. Demikian juga Candi Brahma yang terletak di sebelah selatan Candi Siwa, anda juga hanya akan menemukan satu ruangan berisi arca Brahma.

Candi pendamping yang cukup memikat adalah Candi Garuda yang terletak di dekat Candi Wisnu. Candi ini menyimpan kisah tentang sosok manusia setengah burung yang bernama Garuda. Garuda merupakan burung mistik dalam mitologi Hindu yang bertubuh emas, berwajah putih, bersayap merah, berparuh dan bersayap mirip elang. Diperkirakan, sosok itu adalah adaptasi Hindu atas sosok Bennu (berarti 'terbit' atau 'bersinar', biasa diasosiasikan dengan Dewa Re) dalam mitologi Mesir Kuno atau Phoenix dalam mitologi Yunani Kuno. Garuda bisa menyelamatkan ibunya dari kutukan Aruna (kakak Garuda yang terlahir cacat) dengan mencuri Tirta Amerta (air suci para dewa).

Kemampuan menyelamatkan itu yang dikagumi oleh banyak orang sampai sekarang dan digunakan untuk berbagai kepentingan. Indonesia menggunakannya untuk lambang negara. Konon, pencipta lambang Garuda Pancasila mencari inspirasi di candi ini. Negara lain yang juga menggunakannya untuk lambang negara adalah Thailand, dengan alasan sama tapi adaptasi bentuk dan kenampakan yang berbeda. Di Thailand, Garuda dikenal dengan istilah Krut atau Pha Krut.
Prambanan juga memiliki relief candi yang memuat kisah Ramayana. Menurut para ahli, relief itu mirip dengan cerita Ramayana yang diturunkan lewat tradisi lisan. Relief lain yang menarik adalah pohon Kalpataru yang dalam agama Hindu dianggap sebagai pohon kehidupan, kelestarian dan keserasian lingkungan. Di Prambanan, relief pohon Kalpataru digambarkan tengah mengapit singa. Keberadaan pohon ini membuat para ahli menganggap bahwa masyarakat abad ke-9 memiliki kearifan dalam mengelola lingkungannya.

Masuklah ke dalam salah satu atau semua candi yang ada di komplek Prambanan, meditasi di situ, dan rasakan sensasinya!

Candi Arjuna
Candi Arjuna adalah sebuah kompleks candi Hindu peninggalan dari abad ke-7-8 yang terletak di Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Indonesia.

Dibangun pada tahun 809, Candi Arjuna merupakan salah satu dari delapan kompleks candi yang ada di Dieng. Ketujuh candi lainnya adalah Semar, Gatotkaca, Puntadewa, Srikandi, Sembadra,Bima dan Dwarawati.
Di kompleks candi ini terdapat 19 candi namun hanya 8 yang masih berdiri. Bangunan-bangunan candi ini saat ini dalam kondisi yang memprihatinkan. Batu-batu candi ada yang telah rontok, sementara di beberapa bagian bangunan ini terlihat retakan yang memanjang selebar 5 cm. Selain itu, bangunan ini sudah mulai miring ke arah barat. Fondasi timurnya telah amblas sekitar 15 hingga 20 cm.

Saya berkesempatan meditasi di 6 titik: Situs Dwarawati – saat pertama kali masuk ke kompleks Candi Arjuna, diteruskan di Candi Arjuna, Candi Semar, Candi Puntadewa, Candi Srikandi, dan Candi Sumbadra. Sejauh pengalaman, meditasi di setiap titik ini menghasilkan pesan atau kesadaran yang berbeda.

Lebih dari itu, selepas meditas di candi-candi yang ada di sana, sempatkan untuk menikmati suasana alam Dieng yang penuh pesona mistis. Yah, tak salah kalau Dieng, disebut orang sebagai tempatnya para dewa dan dewi. Harum wangi. Mempesona!

Pantai Laut Selatan
Pantai Laut Selatan, seperti Parangkusumo dan Parangtritis, adalah sebagian titik di mana kita bisa menyambungkan rasa kita dan sowan kepada salang satu pamong Nusantara, Kanjeng Ratu Kidul.

Kanjeng Ratu Kidul, harus dibedakan dengan Nyi Roro Kidul. Karena antara "Roro kidul" dengan "Ratu kidul" memang sangatlah berbeda. Pada mitologi jawa, Ratu Kidul merupakan ciptaan dari Dewa Kaping telu yang kemudian mengisi alam kehidupan sebagai Dewi Padi (Dewi Sri), Bambu dll. Sedangkan Roro Kidul merupakan Putri dari Prabu Siliwangi yang terusir oleh ayahandanya sendiri karena ulah dari saudaranya sendiri yang kemudian menjelma menjadi sosok penguasa di laut selatan setelah menceburkan diri di laut selatan. Dan cerita terkait antara "Ratu Kidul" dengan "Roro Kidul" bisa dikatakan beda fase tahapan kehidupan menurut mitologi jawa.

Bagi orang jawa, sosok Ratu Kidul merupakan sosok agung dalam sejarah jawa dan kehidupan bagi orang jawa. Karena orang jawa mengenal sebuah istilah "telu-teluning atunggal" yaitu 3 sosok yang menjadi satu kekuatan. Yaitu, Eyang resi proyopati, panembahan senopati, dan ratu kidul. Panembahan merupakan pendiri kerajaan mataram pertama, yang dipertemukan oleh Ratu Kidul ketika bertiwikrama guna memenuhi wangsit yang diterimanya membangun sebuah keraton yang sebelumnya sebuah hutan dengan nama "alas mentaok" (sekarang Daerah Istimewa Yogyakarta). Pada proses bertapa, diceritakan semua alam menjadi kacau, ombak besar, hujan badai, gempa, gunung meletus, dll.

Bukin Turgo
Bukit Turgo, yang terletak di Desa Turgo, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, terhubung dengan nama Kyai Turgo. Kyai Turgo adalah nama lain dari Pangran Bracakngelo. Beliau adalah salah satu putra dari Prabu Brawijaya V, yang menyelamatkan diri ketika Kraton Majapahit dihancurkan oleh pasukan Demak.

Saat itu. Prabu Brawijaya V dengan disertai putra dan putri serta prajurit yang masih setia meninggalkan Keraton Majapahit mencari perlindungan ke daerah lain yang dianggap aman.

Dari sekian putra dan putri beliau, salah seorang Pangeran yang bernama Bracakngelo menyelamatkan diri menuju ke arah barat yang akhirnya sampai di Karanglo dekat lereng Merapi. Kemudian pindah ke Turgo dekat puncak Merapi, disana beliau menetap dan berusaha menolong penduduk yang sering terkena musibah letusan Gunung Merapi.

Pangeran Bracakngelo terkenal sebagai seorang yang sangat sakti. Dengan kesaktiannya ia berusaha mencegah apabila Gunung Merapi meletus, awan panas tidak mengarah ke selatan. Berkat keberhasilannya oleh penduduk setempat, Pangeran Bracakngelo diberi gelar Kyai Ageng Turgo

Dari sekian putra dan putri beliau, salah seorang Pangeran yang bernama Bracakngelo menyelamatkan diri menuju ke arah barat yang akhirnya sampai di Karanglo dekat lereng Merapi. Kemudian pindah ke Turgo dekat puncak Merapi, disana beliau menetap dan berusaha menolong penduduk yang sering terkena musibah letusan Gunung Merapi.

Pangeran Bracakngelo terkenal sebagai seorang yang sangat sakti. Dengan kesaktiannya ia berusaha mencegah apabila Gunung Merapi meletus, awan panas tidak mengarah ke selatan. Berkat keberhasilannya oleh penduduk setempat, Pangeran Bracakngelo diberi gelar Kyai Ageng Turgo

Taman Purbakala Cipari
Situs Cipari adalah sebuah situs di Kabupaten Kuningan, yang tepatnya terletak di Desa Cipari Kecamatan Cigugur. Situs Cipari sendiri terletak di daerah lembah di atas ketinggian 700 m dpl dan pada koordinat 1080 28' 156" BT, 060 57' 723" LS, sekitar 3 km ke arah barat dari pusat kota Kuningan. Untuk mencapai situs ini pengunjung dapat menggunakan baik kendaraan roda dua maupun roda empat dengan mudah karena jalan menuju situs ini cukup lebar dan beraspal. Luas situs ini sendiri mencapai 700 m2 dan menjadi bagian dari areal Taman Purbakala Cipari yang luasnya mencapai 2500 m. Dan karena berada dalam lingkungan Taman Purbakala maka situs Cipari pun lebih dikenal dengan Taman Purbakala Cipari. Sejak pertama kali ditemukan yaitu pada tahun 1971/1972 oleh penduduk setempat yang kemudian dilakukan penggalian oleh Pemda Kuningan situs ini pun kemudian di buka untuk umum sebagai pilihan sarana wisata Budaya yang lebih menitik beratkan pada sisi pendidikan.

Situs Cipari berdasarkan tipologi dan statigrafi diperkirakan pernah mengalami 2 kali masa pemukiman yaitu pemukiman manusia pada akhir masa neolitik dan awal pengenalan masa perunggu (masa perundagian) yang berkisar antara tahun 1000 SM s.d 500 SM. Bukti-bukti peninggalan manusia pada akhir masa neolitik dan awal pengenalan masa perunggu sendiri dapat ditemukan dalam berbagai artefak yang terdapat di situs ini yang antara lain fragmen tembikar seperti pernik, kendi, piring, pedupaan dan cawan, gelang batu, beliung persegi, kapak perunggu dan manik-manik, tulang hewan yang kesemuanya didapat dari hasil penggalian dua peti kubur. Sayangnya dalam penggalian dua kuburan batu (yang satu lengkap dengan penutup kuburnya yang berukuran 16 x 56 x 59 cm) di dalam peti kubur tersebut tidak ditemukan sisa jasad manusia melainkan hanya bekal kuburnya saja seperti yang Portal Cirebon sebutkan di atas. Karena melihat temuan-temuan di atas tadi maka dari itulah situs Cipari di duga kuat berasal dari masa perundagian (paleometalik atau perunggu besi) yaitu zaman manusia di masa transisi antara zaman megalitik menuju ke zaman perunggu.


Tidak hanya artefak-artefak seperti yang saya sebutkan di atas saja yang terdapat dalam situs Cipari ini melainkan masih banyak juga peninggalan-peninggalan sejarah lain yang tak kalah menakjubkan seperti misalnya pintu gerbang arah kiri ke kanan akan dijumpai menhir dengan tatanan batu, menhir dengan tatanan lempengan batu sekeliling di bagian bawah kuburan, dan juga kapak batu sebagai hasil kebudayaan manusia pada zaman itu. Kondisi objek situs pun masih tetap sama sesuai dengan kondisi pertama kali ditemukan meski ada beberapa bagian yang ditambahkan pada situs ini seperti misalnya lantai jalan setapak di taman purbakala Cipari yang ditambahkan susunan lempeng batu yang diupayakan agar serasi dengan tinggalan megalitik yang dominant terbuat dari batu.

Untuk bermeditasi, coba pilih lokasi di tengah salah satu lingkaran bebatuan yang ada di situs itu, tepat di tengah-tengah antara dua menhir yang saling berseberangan. Di titik itulah salah satu lokus energi Situs Cipari.

Situs Sang Hyang Ci Arca
Jika Anda mencari tempat dengan energi yang kuat, dengan suasana mistik yang menghanyutkan, kunjungilah Situs Sanghyang Ci Arca di Desa Sagarahyang, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan. Situs ini berada di kaki Gunung Ciremai. Di titik ini, telah terbangun kerajaan sejak 2000 tahun sebelum Masehi. Di sini, Keratuan Sunda pernah menegakkan keberadaannya. Salah satu raja Sunda yang dihubungkan dengan situs ini adalah Rahyang Tangkukuh. Dalam sejarah Rahyang Tangkukuh/Sang Seuweukarma melakukan perjanjian Galuh I tahun 737 Masehi, di wilayah Cigugur. Yang mendamaikan Rahyang Banga ( cucu Rahyang Sanjaya Harisdharma) dengan Sang Manarah.
Di situs ini, kita bisa menemukan batu lingga yoni, dan beberapa bebatuan yang terbentuk menyerupai binatang. Bentuk-bentuk batu tersebut menggambarkan tuanya situs ini.

Di sini, bersemayam juga 7 karuhun Tanah Sunda: Sanghyang Sanggawinata, Nyai Sanghyang Sanggawinata, Dangyang Penganten, Nyai Bokor Kencana, Nyai Pucuking Manah, Nyai Rambut Galing, dan Nyai Boros Ngora.

Trowulan
Trowulan adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Indonesia. Kecamatan ini terletak di bagian barat Kabupaten Mojokerto, berbatasan dengan wilayahKabupaten Jombang. Trowulan terletak di jalan nasional yang menghubungkanSurabaya-Solo.

Di kecamatan ini terdapat puluhan situs seluas hampir 100 kilometer persegi berupa bangunan, temuan arca, gerabah, dan pemakaman peninggalan Kerajaan Majapahit. Diduga kuat, pusat kerajaan berada di wilayah ini yang ditulis oleh Mpu Prapanca dalam kitabKakawin Nagarakretagama dan dalam sebuah sumber Cina dari abad ke-15. Trowulan dihancurkan pada tahun 1478 saat Girindrawardhana berhasil mengalahkan Kertabumi, sejak saat itu ibukota Majapahit berpindah ke Daha.

Beberapa tempat yang pernah saya jadikan tempat meditasi adalah Sitihinggil, di mana di situ ada petilasan Raden Wijaya, pendiri Kraton Majapahit bersama para garwo, dan Tambak Segaran.

Tambak atau Kolam Segaran adalah kolam besar berbentuk persegi panjang dengan ukuran 800 x 500 meter persegi. Nama Segaran berasal dari bahasa Jawa 'segara' yang berarti 'laut', mungkin masyarakat setempat mengibaratkan kolam besar ini sebagai miniatur laut. Tembok dan tanggul bata merah mengelilingi kolam yang sekaligus memberi bentuk pada kolam tersebut. Saat ditemukan oleh Maclain Pont pada tahun 1926, struktur tanggul dan tembok bata merah tertimbun tanah dan lumpur. Pemugaran dilakukan beberapa tahun kemudian dan kini kolam Segaran difungsikan oleh masyarakat setempat sebagai tempat rekreasi dan kolam pemancingan. Fungsi asli kolam ini belum diketahui, akan tetapi penelitian menunjukkan bahwa kolam ini memiliki beberapa fungsi, antar lain sebagai kolam penampungan untuk memenuhi kebutuhan air bersih penduduk kota Majapahit yang padat, terutama pada saat musim kemarau. Dugaan populer lainnya adalah kolam ini digunakan sebagai tempat mandi dan kolam latihan renang prajurit Majapahit, disamping itu kolam ini diduga menjadi bagian taman hiburan tempat para bangsawan Majapahit menjamu para duta dan tamu kerajaan.

5 Responses to "Tempat-tempat Menjalankan Laku Prihatin di Tanah Jawa (II)"

  1. Coba lah ke gunung indrakila banjarnegara

    ReplyDelete
  2. Candi Argosomo di wilayah Obyek Wisata Gonoharjo Gn. Ungaran juga sering dipergunakan untuk semadi. Silahkan datang ke sana :)

    ReplyDelete
  3. Ass.wr.wb...kl pengalaman saya sendiri selama keliling sumber brantas daerah jurang kuali batu, adalah cikal bakal berdirinya kerajaan di tanah jawa.karena sampai sekarang di sana masih ada maharesi yang sedang bertapa dan hidup sampai sekarang...itu bukan omong kosong

    ReplyDelete
  4. Ass.wr.wb...kl pengalaman saya sendiri selama keliling sumber brantas daerah jurang kuali batu, adalah cikal bakal berdirinya kerajaan di tanah jawa.karena sampai sekarang di sana masih ada maharesi yang sedang bertapa dan hidup sampai sekarang...itu bukan omong kosong

    ReplyDelete
  5. Kok yg komen malah promosi pesugihan 😁

    ReplyDelete



Laku spiritual adalah proses bertumbuhnya pengalaman keilahian, wujudnya adalah menjadi penuh dengan daya, penuh kebijaksanaan, penuh kecerdasan, penuh kreatifitas, penuh welas asih.


Setyo Hajar Dewantoro
Founder of Mahadaya Institute


Buku

Buku Medseba Buku Sastrajendra Buku Suwung Buku Sangkan Paraning Dumadi Buku Jumbuh Kawula Gusti Buku Tantra Yoga Buku Kesadaran Matahari Buku Kesadaran Kristus

Kegiatan