PERJALANAN MENEMUKAN JATIDIRI (BAGIAN I)



PERJALANANAN MENEMUKAN JATIDIRI
Menjelang tahun 2011 berakhir, kuat sekali dorongan untuk menjejaki beberapa tempat beraura magis di Jawa Tengah dan Jogja, lalu tenggelam dalam pesona spiritual di sana. Ada hasrat menggelegak: saya ingin menyempurnakan laku prihatin sepanjang 2011 agar punya kesiapan dalam menghadapi 2012. Dasarnya adalah kesadaran reflektif: walau telah cukup panjang proses untuk menggembleng diri melalui pembelajaran dari beberapa sesepuh/guru dan perjalanan spiritual ke berbagai tempat sakral di Nusantara – termasuk 2 minggu sebelumnya saya ke Gunung Srandil dan Gunung Selok (Jambe Lima dan Jampe Tujuh) di Cilacap, tetap saya “merasa belum apa-apa”. Pencapaian saya masihlah belum seberapa: bahkan saya belum sepenuhnya mengenal siapa sesungguhnya diri saya dan peran yang harus saya jalani di muka bumi.

Untuk menghadapi 2012 yang dalam pemahaman saya akan menjadi tahun penuh dinamika bahkan kejutan, kesadaran yang kukuh akan DIRI SEJATI merupakan suatu keharusan. Itu yang menjadi fondasi untuk bisa menjalankan peran dan kiprah terbaik di tahun 2012. Itu pula yang bisa menjadi semacam garansi agar hidup tetap dalam kendali; dan kehendak akan gesang ayem tentrem bisa diraih.

DIALEKTIKA DENGAN MBAH GATHO
Setelah menyelesaikan satu urusan pekerjaan di Jogja, saat itu sudah mulai malam, saya bertemu dengan Mbah Gatholoyo yang berbaik hati menjemput saya di sekitar Gedung Wanitatama Jogjakarta. Mbah Gatho adalah sesepuh yang aktif terlibat dalam diskusi di Grup Debat Agama dan Budaya yang saya dirikan bersama beberapa teman. Sudah lama saya ingin bertemu Mbah Gatho, tapi baru kali ini keinginan itu terpenuhi. Saya diajak Mbah Gatho menyusuri beberapa ruas jalan di Jogja yang mulai gelap dan diguyur hujan menuju tempat kediamannya di Dusun Gathak Desa Turi Sleman. Kurang lebih 30 menit perjalanan, sampailah saya di rumah Mbah Gatho: sebuah rumah di pedesaan, dengan pekarangan yang luas, dan dalam gelap, keasrian rumah Mbah Gatho tampak terbayang.

Satu hal yang ingin saya sampaikan: kunjungan ke rumah Mbah Gatho sungguh sangat mengesankan. Saya mendapatkan sambutan dan keramahtamahan kelas 1! Rumah Mbah Gatho yang sejatinya ada di kaki Gunung Merapi yang dingin, terasa member kehangatan dalam jiwa saya. Sajian makan malam yang nikmat, air panas untuk mandi, buah salak dan manggis, pisang goreng, dan teh manis, yang disuguhkan Mbah Putri istri Mbah Gatho adalah sesuatu yang tak terlupakan. Itu adalah semacam pengantar untuk diskusi yang juga tak terlupakan!

Secara ringkas bisa saya katakan, bahwa diskusi dengan Mbah Gatho membawa saya pada sebuah refleksi mendalam tentang pandangan kehidupan saya selama ini. Dialog dengan Mbah Gatho seputar keberadaan Atma manusia, karakternya, cara berkultivasi, dan berbagai hal terkait, sejujurnya cukup mengguncang. Mengapa? Karena dalam beberapa hal, Mbah Gatho berbeda dengan saya, saya berbeda dengan Mbah Gatho..dan saya terkesima oleh ketenangan Mbah Gatho, sehingga mulai berpikir sayalah yang keliru.

Sejauh ini, proses kultivasi atau pertumbuhan spiritual yang saya jalankan, coba mengharmonikan antara perjalanan menemukan esensi jagad cilik dengan upaya membangun relasi yang baik dengan berbagai unsur jagad ageng, termasuk yang ada di dimensi non-fisik, seperti para leluhur. Itu yang menjadi dasar, mengapa saya selain sering bermeditasi sumeleh total untuk merasakan hening dan menghayati keberadaan jiwa terdalam, saya sering berkelana ker berbagai petilasan leluhur. Yang saya saksikan, Mbah Gatho bisa mencapai tingkat ketenangan dan kebijaksanaan yang layak saya kagumi justru dengan pendekatan berbeda: Mbah Gatho lebih fokus pada meditasi sumeleh pasrah total di rumah tanpa pergi kemana-mana. Mbah Gatho menapak naik dalam perjalanan spiritual melalui metode yang menurut Mbah Gatho anti-kemelekatan pada apapun: hidup sewajarnya, tanpa perlu banyak direpotkan bersentuhan dengan dimensi lain.

Dengan pendekatan itu Mbah Gatho bertemu dengan Diri Sejati/Atma, dan hidup senantiasa dalam bimbingan Diri Sejati/Atma itu. Itu yang menjadi pangkal kedamaian dan kemuliaan hidup.

He..he..he….di satu sisi saya tergoda untuk mengikuti Mbah Gatho. Tetapi di sisi lain, saya begitu “mencintai” jalan atau metode yang telah saya pilih. Karena dalam prosesnya pun saya menemukan banyak kenikmatan. Saya harus bagaimana?
Inilah sebuah dialektika internal di dalam bathin yang menjadi “oleh-oleh” saya saat meninggalkan rumah Mbah Gatho pada keesokan harinya. Matur sembah nuwun Mbah Gatho……!

NGADEM DI KOTAGEDE
“Oleh-oleh” dari Mbah Gatho mendorong saya untuk berpikir keras, mengevaluasi semua hal yang saya lakukan, dan pada akhirnya, membuat saya linglung, karena tak kuasa mengelola bimbang yang kuat menyeruak. Dalam situasi seperti ini, saya tergerak untuk ke Kotagede, komplek Makam Raja-raja Mataram: untuk menemukan jawab yang mengatasi semua bimbang. Hari itu hari Sabtu. Sesungguhnya merupakan hari libur untuk kunjungan. Tapi karena saya tergolong “langganan” berkunjung ke tempat itu, saya mendapatkan ijin dari abdi dalem penjaga untuk masuk ke ruang utama komplek makam. Bagi saya, ada suatu kemendesakan untuk bisa mendapatkan jawaban: terlebih saat itu bertepatan dengan weton saya, Sabtu Pon. Dan duduk bersimpuh di makam leluhur, bagi saya merupakan cara mencari jawaban yang tepat.

Tapi, kali ini menjadi momen sowan ke leluhur di Kotagede dengan suasana bathin yang berbeda. Saya seperti tak punya pijakan; raga saya ada di komplek makam, tapi energi hidup saya entah sedang pergi ke mana. Ya…saya selesaikan proses sowan ke leluhur, mulai dari Ki Ageng Pemanahan, Panembahan Senopati hingga Ki Ageng Mangir. Tapi, keluar dari situ, saya tetap dalam sebuah pertanyaan tak berjawab: saya tak tahu mesti bagaimana……

Digerakkan oleh rasa gelisah, saya menuju Sendang di komplek makam di situ, mandi di situ, mengguyur seluruh tubuh 9 kali, dengan harapan memiliki energi baru untuk bisa berdiri kokoh dengan sebuah sikap hidup yang jelas, termasuk dalam hal sikap berspiritual. Setelah itu, saya duduk bermeditasi di salah satu gazebo: tenggelam dalam hening, pasrah……

Proses meditasi dan mandi di sendang ini yang membuat saya relatif terpulihkan. Kegelisahan yang berlebihan, terkikis perlahan-lahan, dan saya kembali dalam situasi tenang untuk melanjutkan perjalanan menemukan jawaban atas pertanyaan yang muncul, termasuk untuk menemukan JATIDIRI. Satu hal: saya mulai muncul kesadaran untuk tetap menekuni jalan yang sudah saya tempuh. Tak ada yang salah dengan itu. Setidaknya untuk saya, itulah jalan terbaik pada saat ini…….
0 Response to "PERJALANAN MENEMUKAN JATIDIRI (BAGIAN I)"

Post a Comment



Laku spiritual adalah proses bertumbuhnya pengalaman keilahian, wujudnya adalah menjadi penuh dengan daya, penuh kebijaksanaan, penuh kecerdasan, penuh kreatifitas, penuh welas asih.


Setyo Hajar Dewantoro
Founder of Mahadaya Institute


Buku

Buku Medseba Buku Sastrajendra Buku Suwung Buku Sangkan Paraning Dumadi Buku Jumbuh Kawula Gusti Buku Tantra Yoga Buku Kesadaran Matahari Buku Kesadaran Kristus

Kegiatan