PERJALANAN MENEMUKAN JATIDIRI (BAGIAN III)



DARI CANDI GEDONG SONGO, MENUJU JUMPRIT LALU GUNUNG TIDAR
Diskusi dengan Kang Sabdalangit di penghujung tahun 2011, membekali saya dengan sebuah tekad dan kesadaran untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik di tahun 2012, pada semua aspeknya. Dilandasi tekad dan kesadaran ini, tepat pada tanggal 1 Januari 2012, saya melanjutkan perjalanan dengan tujuan Candi Gedong Songo. Untuk perjalanan ini, saya sudah membuat janji dengan sahabat Facebook, Mas Bayu Budi yang tinggal di Semarang. Saya dijemput Mas Bayu di Terminal Ambarawa, dan dari sana, dengan menggunakan kendaraan Mas Bayu, saya diantar ke Candi Gedong Songo melalui kawasan Bandungan. Puji Syukur kepada Gusti Ingkang Murbeng Dumadi, keberadaan dan kesediaan Mas Bayu Budi untuk mengantar, sangat memudahkan saya untuk mencapai Candi Gedong Songo. Tampaknya cukup sulit untuk mencapai candi ini menggunakan kendaraan umum, apalagi saat hari mulai sore, dan dalam kondisi hujan.

Saya dan Mas Bayu Budi sampai di Candi Gedong Songo ketika hujan mulai turun. Setelah membayar tiket masuk, kami berjalan meniti jalanan berbatu yang berliku. Saat hujan mulai deras, kami putuskan mampir ke warung dulu, menikmati wedang jahe sambil menunggu hujan reda. Di kompleks Candi Gedong Songo ada tujuh lokasi candi. Kami coba cari yang relatif sepi dan nyaman untuk bermeditasi; saat itu memang banyak pengunjung karena bertepatan dengan hari libur.

Setelah hujan mulai mereda, kami lanjutkan perjalanan, hingga mata ini tertambat pada Candi Keempat, di lokasi agak tinggi. Kami menuju ke situ, dan bermeditasi di situ. Setelah menyelami dunia hening selama beberapa saat, kami keluar dari dalam candi. Saat itu, saya mendapatkan dorongan dari dalam hati untuk menemukan lokasi meditasi lainnya di alam terbuka. Maka, saya ajak Mas Bayu Budi untuk kembali berjalan. Dan kaki saya seolah dituntun, untuk memasuki kawasan dengan pepohonan dan perdu yang lumayan lebat, menyisakan sebuah jalan setapak untuk dilewati.

Rupanya, memang sudah jodohnya saya untuk ketemu sebuah tempat meditasi yang cukup istimewa: PATUNG ANOMAN. Dalam legenda yang terkait dengan Gunung Ungaran, memang dinyatakan bahwa di Gunung Ungaran yang pada kakinya Candi Gedong Songo berada, Anoman “memenjarakan” Rahwana. Maka, saya dan Mas Bayu Budipun kembali meditasi, tepat di sisi patung Anoman tersebut. Dan sejauh saya rasakan, lalu saya konfirmasi kepada Mas Bayu Budi, meditasi di tempat ini lebih “hening”, dengan sensasi energi yang lebih besar.

Selesai bermeditasi di dekat Patung Anoman, hujan turun dengan lebat, sehingga kami memutuskan untuk berlindung sebelum melanjutkan perjalanan. Cukup lama kami menunggu. Karena tak tak kunjung reda, kami putuskan untuk berjalan, pulang, menuju kendaraan di tempat parker. Ya, tentu saja, lumayan basah kuyup. Tapi, memang demikianlah perjuangan yang harus dilakukan. Proses untuk menunjukkan bakti kepada leluhur, kadang memang harus melalui kondisi yang berat. Tapi, hasilnya pasti sepadan dengan pengorbanan yang telah dilakukan.

Hari menjelang senja, sementara agenda saya berikutnya adalah ke Jumprit, Ngadirejo, Kabupaten Temanggung. Untung saja Mas Bayu Budi berkenan mengantarkan saya sampai Ngadirejo, di mana di sana saya dijemput oleh Mas Turahman alias Mas Punjul, sederek di Paguyuban Cahya Buana. Menembus hari yang mulai gelap dan hujan yang teramat deras, akhirnya saya dan Mas Bayu Budi sampai di Ngadirejo. Kami ngaso di Warung Sate di depan pasar, dan tak lama kemudian Mas Turahman muncul.

Mas Bayu Budi memutuskan kembali ke Semarang, karena harus bersiap-siap ke Tuban untuk kembali berdinas. Maka, saya menumpang sepeda motor Mas Turahman ke rumahnya, yang hanya berjarak 3 km dari Jumprit. 15 menit mengendarai sepeda motor, saya sampai di rumah Mas Turrahman. Dan setelah beristirahat beberapa saat sambil menikmati wedang teh manis, saya diantar Mas Turrahman ke Jumprit. Jumprit di malam hari, persis seperti dinyatakan Mas Wowo Tunggadewo yang memberi informasi awal, punya aura magis yang kuat. Dikelilingi pohon-pohon besar dan tinggi menjulang, Jumprit yang berada di kaki Gunung Sindoro memang tempat yang menawan dan pas untuk bermeditasi. Di situ, ada lokasi khusus untuk bermeditasi, dan ada sendang khusus untuk kungkum. Saya dan Mas Turrahman memulai prosesi dengan meditasi beberapa waktu: menyambung rasa dan menyampaikan penghormatan kepada para leluhur khususnya yang mbahu rekso di Jumprit, lalu masuk menyelami diri menikmati hening. Setelah itu, kami kungkum di sendang. Dan, luar biasa, airnya dingin sekali! Saya kungkum hanya kuat beberapa menit, sambil menenggelamkan seluruh badan 3 kali, dengan niat agar energi negatif yang melekati diri bisa luruh, sebaliknya, energi positif bisa memancar makin kuat.

Mendengar cerita dari Mas Turrahman, beberapa sederek dari Paguyuban Cahya Buana seperti Romo KRH. Sarwodadi dan Pak Darmawan Sugiyono, bisa tahan kungkum di Jumprit yang sangat dingin airnya itu berjam-jam. Wah….saya harus mengakui ngelmu pengendalian raga saya masih kalah jauh..he, he.

Sepulang dari Jumprit, saya kembali ke rumah Mas Turrahman, menikmati keramahtamahan yang tulus dari Mas Turrahman sekeluarga. Keesokan paginya saya melanjutkan perjalanan ke Magelang. Dan tempat yang saya tuju adalah Gunung Tidar.

Hari masih pagi dan sejuk ketika kaki saya menginjak Gunung Tidar. Menyusuri tangga berlika-liku saya naik ke atas. Sekarang jalan naik ke puncak Gunung Tidar memang sudah lumayan enak, karena jalannya tak lagi berupa tanah. Di puncak Tidar, saya bermeditasi di 3 tempat: Petilasan Kyai Sepanjang, Petilasan Pangeran Puroboyo, dan Petilasan Eyang Semar. Setelah selesai meditasi di tiga tempat itu, saya ngaso di sebuah gazebo. Tiba-tiba muncul menyapa lelaki setengah baya berperawakan kecil. Rupanya ia sesama peziarah Gunung Tidar, berasal dari Jombang, bernama Abdul Said akrab dipanggil Mbah Dul, dan baru saja selesai tirakat di Alas Purwo.

Beramah tamah beberapa saat, Mbah Dul memberi informasi tentang keberadaan satu petilasan lagi yang belum pernah saya kunjungi. Dia mengajak saya untuk mencarinya, dan kebetulan di tengah jalan bertemu seorang ibu sepuh yang tengah mencari kayu kering. Ibu itu memberi tahu lokasinya, lalu kamu menyusuri jalan sesuai arahannya. Ndilalahnya kok ya ndak ketemu. Saya putuskan untuk terus mencari, Mbah Dul kembali ke Poskonya di dekat Petilasan Syeikh Subakir. Saya terus berjalan, ternyata petilasan dimaksud tak ditemukan. Tapi, saya percaya pasti bisa ketemu. Saya lalu berjalan berbalik arah, dan ketemu lagi dengan ibu sepuh yang tadi memberitahu arah. Ternyata saya tadi keliru jalan. Dan kali ini, tidak salah lagi, saya bertemu dengan sebuah petilasan yang belum saya kunjungi, dan menurut penuturan Ibu sepuh itu, itu adalah Petilasan Mbah Geseng.

Sayapun mulai bermeditasi di situ, lalu tak lama kemudian, merasakan kehadiran aura energi yang dingin menyejukkan di hadapan saya. Saya teruskan untuk hening dan berkomunikasi secara bathin. Setelah puas, saya beranjak pergi. Misi di Gunung Tidar sudah saya tuntaskan.

Setelah sowan ke ayah saya di Magelang, dan berkunjung ke rumah Pak Adi Sri Kuning sederek dari Paguyuban Cahya Buana di Salatiga, saya pulang kembali ke Cirebon.

CATATAN AKHIR
Untuk mengungkap pesan secara utuh dari segenap perjalanan spiritual yang saya lakukan, saya masih membutuhkan bantuan dari sesepuh/guru dan sahabat saya di Cirebon, Pak Sri Sasongko dan Yudi Firmansyah. Saya masih punya keterbatasan dalam bersentuhan dengan entitas supranatural; kekurangan saya tersebut untuk sementara ini ditutupi oleh keberadaan sesepuh/guru dan sahabat saya itu, yang mengambil peran sebagai semacam “penerjemah alam ghaib”. Biasanya saya dan sahabat saya sowan ke rumah sesepuh/guru saya, lalu mengalir bersama waktu, membiarkan semua rahasia mengungkapkan dirinya.

Terkait dengan apa yang saya alami dalam upaya mengungkap pesan-pesan dari dimensi lain bersama guru dan sahabat saya, bisa saya katakan sesuatu yang sebetulnya juga agak mengherankan saya pribadi: pertama, ruang dan waktu seperti terlipat – dalam bahasa lain, masa lalu, masa kini, dan masa depan seperti menjadi satu dan seluruh ruang seperti terhubung; kedua, nama-nama tokoh yang dalam pandangan masyarakat umum sering diasumsikan sebagai sekadar dongeng atau mitos, seperti tokoh wayang, ternyata hadir sebagai sesuatu yang nyata.

Berbicara tentang Jumprit misalnya, yang tertangkap di sana justru adalah keberadaan Begawan Abiyoso, dan beliau memberi sebuah pesan agar jika suatu saat nanti saya berkesempatan menjadi pejabat publik, maka saya harus bisa berlaku sebagai satria pinandhito. Di Candi Gedong Songo, keberadaan Anoman, sosok kera putih sakti mandraguna yang membantu Rama dalam kisah Ramayana, juga nyata. Secara visual bisa digambarkan bahwa Anoman adalah sosok manusia kera yang bertubuh besar dengan bulu putih. Sebagaimana Anoman bisa ditemui, demikian pula Prabu Rama, yang salah satu tempat jumenengnya adalah Gunung Srandil, sementara mahkota beliau disimpan di Gunung Arjuna.

Kesimpulan sementara saya, tokoh-tokoh pewayangan sejatinya adalah para leluhur juga yang dulu pernah hidup di kawasan bernama Nusantara – mirip dengan kesimpulan dari rekan-rekan di Yayasan Turangga Seta, maupun pernyataan sesepuh seperti Sang Purbajati.

Tentu saja, terkait dengan hal ini, kita perlu cerdas menangkap maknanya: saya tidak bermaksud mengajak Anda tenggelam dalam dunia yang susah dipahami tanpa kegunaan praktis. Sebagai pejalan spiritual yang berorientasi memperkuat kemampuan diri agar makin berdaya dalam melaksanakan upaya hamemayu hayuning bawono, keberadaan figur-figur bathin tersebut memang diperlukan. Jika beliau-beliau berkenan untuk mendampingi dan membantu kita, maka secara faktual, kita akan memiliki tambahan kebijaksanaan dan power/energi yang bisa menopang kiprah dan peran kita di dunia wadag.

Mengakhiri tulisan ini, saya ingin menyatakan sebuah konsepsi yang saya pegang dalam menuju kesempurnaan hidup. Saya mencoba mensinergikan kultivasi vertikal dan horizontal: di satu sisi saya coba terus menyelam ke dalam diri hingga bertemu sukma sejati saya; dan sisi lain, saya coba membangun harmoni, kolaborasi, kemitraan, dengan segenap titah urip di alam semesta baik yang bersifat wadag maupun halus. Berdasarkan konsepsi ini, maka perjalanan spiritual saya ke berbagai tempat sakral, merupakan wahana bagi saya untuk “berkenalan”, “menyambung rasa”, atau “silaturrahmi” dengan para leluhur dan para titah urip yang mbahu rekso di tempat-tempat tersebut, di samping sebagai upaya untuk makin mengenali sejatinya diri.
Dalam tataran bathin, mereka yang waskito memang bisa menyaksikan misalnya, di Gunung Ciremai jumeneng Ki Antaboga yang berbadan raksasa dan Naga Putih berukuran besar, yang bertugas mengelola tempat tersebut. Maka, sebagai upaya membangun keterhubungan dan membuka kemungkinan kemitraan dengan beliau-beliau, saya sering meditasi khusus dengan lokus Gunung Ciremai. Muara dari semua ini laku ini, adalah terbangunnya hubungan harmonis antara manusia tidak hanya dengan sesame manusia, tapi juga dengan alam semesta dan segenap titah urip yang ada di dalamnya. Harmoni inilah yang menjadi dasar terciptanya kesetimbangan alam, dan kesetimbangan alam yang menjadi pangkal kesejahteraan dan kemakmuran umat manusia.

Demikian yang bisa saya sampaikan. Mohon maaf atas segala kekurangan, termasuk jika ada yang keliru pada apa yang saya tulis. Saya selalu berupaya mengembangkan kesadaran, bahwa jika sudah menyangkut fenomena spiritual/supranatural, kebenaran yang diungkapkan siapapun, pada dasarnya bersifat subyektif. Karena itu, ia tak bisa dipaksakan untuk diterima siapapun; kita hanya bisa berbagi dengan harapan pihak lain mendapatkan inspirasi, tanpa tendensi untuk dibenarkan apalagi diikuti secara membabi buta.

Rahayu. Rahayu. Rahayu.

6 Responses to "PERJALANAN MENEMUKAN JATIDIRI (BAGIAN III)"

  1. sugeng tetepangan pakde,kulo kaulo alit.ingkang ngikuti blog panjenengan.pesen kaulo ngatos2 ampun tersesat.ngaartekake wangsit lan pesen keluhur.

    ReplyDelete
  2. menawi panjenengan ajeng madosi sopo to AKU iki.jenengan saget sowan kalih bapak kulo.wonten ing cawas dusun Sepi.juru kunci petilasan sunan kali jogo.menawi panjenengan kerso.

    ReplyDelete
  3. Matur sembah nuwun mas. Menawikerso monggo komunikasi via email, teng: setyohd@mail.com. Salam.

    ReplyDelete
    Replies
    1. emaile mboten jelas mas gmail ato ymail matur suwun

      Delete
  4. Matur sembah nuwun mas. Menawikerso monggo komunikasi via email, teng: setyohd@mail.com. Salam.

    ReplyDelete
  5. email kulo jelas, sesuai yang tertulis: setyohd@mail.com. tanpa g atau y.

    ReplyDelete



Laku spiritual adalah proses bertumbuhnya pengalaman keilahian, wujudnya adalah menjadi penuh dengan daya, penuh kebijaksanaan, penuh kecerdasan, penuh kreatifitas, penuh welas asih.


Setyo Hajar Dewantoro
Founder of Mahadaya Institute


Buku

Buku Medseba Buku Sastrajendra Buku Suwung Buku Sangkan Paraning Dumadi Buku Jumbuh Kawula Gusti Buku Tantra Yoga Buku Kesadaran Matahari Buku Kesadaran Kristus

Kegiatan