CATATAN DARI SUMUR JALATUNDHA



Proses menyempurnakan diri, dan menghimpun kekuatan untuk melaksanakan sebuah tugas besar, ternyata memang merupakan perjalanan panjang. Saya teringat, bahwa semua yang kini tengah saya jalani..berawal dari Selo, Boyolali, tahun 2008 yang lalu. Di situ, di Petilasan Ki Ageng Kebo Kanigoro, yang terletak di antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, pertama kali saya melakukan proses menghaturkan bakti kepada - dan menyambung rasa dengan - leluhur. Sejak saat itu, segala sesuatunya seperti ada yang mengatur. Saya digerakkan dan difasilitasi untuk menyambangi berbagai petilasan dan tempat-tempat sakral yang menjadi simpul persinggungan antara para leluhur dan berbagai titah urip dari dimensi yang berbeda, dengan diri kita. Maka sampailah saya hingga ke tempat-tempat yang tak terbayangkan sebelumnya: Hutan Kramat milik Suku Dayak Loksado di mana saya berkesempatan meditasi di sana, Candi Agung di Amuntai, Komplek Makam Raja2 Kutai di Tenggarong, Muara Banjar, bertemu dan diritual oleh Puang Matowa Saidi Pemimpin Spiritual Bugis di Pangkep, Sulsel, bertemu dan diritual oleh Puun Jahadi di Baduy Dalam, dan sebagainya.

Beberapa bulan yang lalu, setelah mengikuti acara dan sesi meditasi di Trowulan bersama Ki Sabdalangit dan rombongan, saya bersama salah satu sesepuh/guru saya, Mas Hermawan Dewobroto, dan beberapa sahabat, yaitu Mas Bagus Sardulo Aji dan Mas Hernawan Wibisono, pergi ke Gunung Kelud untuk meditasi di sana dan menghaturkan sembah pangabekti kepada para leluhur, khususnya Eyang Sabdopalon. Ternyata, dari situ, saya mendapatkan petunjuk untuk ke sebuah tempat yang tergolong sakral, dengan ciri berbatu-batu, di kaki Gunung Ciremai. Di situlah saya akan mendapatkan Wahyu Kaprawiran.

Maka, sayapun datang ke Situs Sanghyang di Desa Sagarahyang, di Kuningan. Menyibak gelap dan menembus dinginnya tengah malam kaki Gunung Ciremai, saya naik ke situs tersebut. Meditasi di sana.

Saya menduga...perjalanan telah berakhir sampai di situ. Ternyata..belum! Wahyu Kaprawiran itu belum saya dapatkan: saya masih gamang dalam menjalankan tugas-tugas besar yang dimandatkan
para leluhur.

Hingga, terbuka sebuah titik terang. Beberapa hari setelah lebaran, KRH. Sarwo Dadi, Pak Darmawan, dan Pak Candra beserta keluarga, dari Padepokan Cahya Buana datang ke rumah saya dan mengajak saya napak tilas ke beberapa tempat di kaki Gunung Ciremai. Bersama rombongan tersebut, saya napak tilas ke Balong Dalem dan Sagarahyang. Dan di Sagarahyang, Eyang Semar yang rawuh melalui raga KRH Sarwo Dadi memberi petunjuk, bahwa saya harus menyempurnakan perjalanan saya ke sebuah mata air di kaki Gunung Ciremai, yang dulu juga pernah saya datangi. Saya berpikir keras, di manakah lokasi itu sebetulnya? Saya mengingat-ingat, dan terbayanglah sebuah tempat: ya...dulu bersama anak-anak saya, tanpa sengaja sepertinya saya pernah berkunjung ke sebuah tempat, di Desa Pasawahan, dekat Mandirancan. Tampaknya itulah tempat yang dimaksud Eyang Semar: itu adalah Sumur Tujuh Cikajayan atau Sumur Jalatunda. Maka, setelah proses napak tilas dan meditasi di Situs Sanghyang Sagarahyang selesai..saya meluncur ke sana. Mengalir mengikuti petunjuk rasa di hati. Dan ternyata, menjelang Magrib, saya memang sampai ke tempat itu. Lalu bertemu dengan kuncen di sana, dan mandi di salah satu sumur yang ada di sana.

Beberapa hari kemudian, saya sowan ke salah satu guru saya yang ada di Cirebon, Pak Sri Sasongko. Saya didampingi sahabat saya yang setia, Aap alias Tura (di Facebook bernama Aftar Pangeran Sapujagat...serem amat namanya..he, he). Di tempat guru saya itu, selain diskusi, kami meditasi bersama. Dan, muncullah petunjuk baru: Eyang Prabu Siliwangi rawuh..dan melalui guru saya, memberi pesan agar saya tirakat di Sumur Jalatunda/Sumur Tujuh Cikajayan di Pasawahan. Saya perlu melakukan itu agar mantap dalam menjalankan tugas dan meraih gegayuhan yang sudah sejak lama ditetapkan.

Pada waktunya, yaitu malam Jumat Kliwon bulan silam...saya didampingi Aap, memulai tirakat di sana. Saya datang duluan, baru kemudian Aap menyusul. Saya mengawali proses tirakat di sana dengan meminta ijin pada kuncen (pada malam sebelumnya), lalu semedi di dekat salah satu sendang/mata air, untuk meminta ijin kepada yang mbahurekso di Sumur Jalatunda, dan merajut komunikasi bathin yang harmonis dengan segenap titah urip yang ada di sana. Uborampe berupa kembang setaman dan dupa wangi tak lupa saya bawa...saya haturkan itu sebagai tanda hormat kepada leluhur dan katresnan kepada seluruh titah urip yang ada di sana. Itu saya lakukan sore hari.

Malamnya, saya dan Aap memulai tirakat di dekat mata air yang lain, yang di dekatnya terdapat sebuah pohon besar, dan bebatuan yang besar-besar. Tempat itu yang memang ditunjukkan lewat visualisasi kepada Aap dan guru saya selama meditasi: dan posisi saya adalah dengan penuh hormat mengatakan sendika dawuh. Dan sebetulnya, kuncen di Sumur Jalatunda, Mang Wardika, yang mengkonfirmasi ketepatan petunjuk tersebut: itu memang tempat yang paling kramat, hanya yang bernyali besar yang berani tirakat di sana. Karena di pohon tersebut, sebagaimana tergambar dalam petunjuk - terdapat Naga berkepala dua (yang tentunya hanya bisa dilihat oleh mereka yang bermata bathin tajam). Malam pertama di tirakat di situ, kami lalui dengan baik. Ada banyak tanda-tanda positif - dan ini ternyata bisa dipantau oleh beberapa sesepuh lain dari jarak jauh. Seingat saya, saat itu saya memakan bunga kantil kuning....ini juga bagian dari laku yang harus saya ikuti, sesuai dengan petunjuk yang saya terima.

Pagi hari, kami mengevaluasi proses tirakat semalam. Dan dari Aap saya mendapatkan umpan balik, bahwa batu yang saya duduki masih belum tepat. Yang harus saya duduki dalam proses meditasi adalah batu hitam legam. Sementara pada malam kemarin, saya menduduki batu karang. Maka, pagi harinya, saya berjalan sendirian untuk mencari batu itu..sementara Aap melanjutkan tafakur di tempat kami istirahat. Setelah beberapa waktu mencari, saya menemukan batu yang dimaksud: sebuah batu hitam yang agak rata, tak jauh dari pohon dan mata air yang kemarin menjadi tempat meditasi. Sayapun tak tahan lagi untuk tidak meditasi di sana: saya segera bersila dan memulai proses mengheningkan diri. Saat itu, tak lama setelah saya memulai proses meditasi, mendadak angin bergerak liar, mendesau-desau. Rupanya kontak dan dinamika dengan titah urip yang ada di sana telah terjadi.

Malam harinya, saya dan Aap kembali bermeditasi di tempat tersebut. Saya duduk bersila di batu hitam yang saya temukan pada pagi hari, sementara Aap di salah satu batu di belakang saya. Mengiringi meditasi.... Itulah salah satu momen istimewa yang bisa saya jumpai: terkait dengan Wahyu Kaprawiran yang saya nanti...malam itulah ia bisa saya dapatkan. Itu disimbolkan dengan diberikannya mahkota yang semula dijaga sang Naga berkepala dua, kepada saya, dengan restu Eyang Prabu Siliwangi yang saat itu berkenan rawuh. Tentu saja, peristiwa ini ada pada dimensi astral, tidak pada dimensi lahir. Yang saya terimapun adalah "mahkota gaib" (he, he, kalau berbentuk nyata, repot kali ya.....jadi tontonan gratis...). Nah, di situ, selain mahkota yang sudah diberikan kepada saya, ada satu mahkota lain yang ternyata terbang menjauh. Belum bisa saya dapatkan.

Beberapa hari kemudian, saya dan Aap kembali sowan ke rumah Pak Sri Sasongko, untuk mengevaluasi semua yang telah terjadi, dan membaca makna. Di satu sisi, saya pribadi merasa mendapatkan kemantapan. Rasanya saya mendapatkan pasokan energi baru yang besar: itu membuat saya mantap dalam menyongsong dinamika perjuangan di masa depan. Lalu, dari proses diskusi dan meditasi di rumah guru saya tersebut, diketahui bahwa batu hitam yang saya duduki selama meditasi adalah sebuah kursi singasana pada kerajaan gaib yang ada di kawasan Sumur Jalatunda. Sungguh merupakan sebuah anugerah besar: karena saya diijinkan duduk di situ, dan mendapatkan dukungan dari titah gaib yang ada di situ. Sebuah dukungan yang juga punya makna pada kehidupan nyata. Dan tentang mahkota yang belum saya dapatkan, itu harus saya kejar ke Gua Arjuna, pada malam Jumat Legi, 29 September 2011.
0 Response to "CATATAN DARI SUMUR JALATUNDHA"

Post a Comment



Laku spiritual adalah proses bertumbuhnya pengalaman keilahian, wujudnya adalah menjadi penuh dengan daya, penuh kebijaksanaan, penuh kecerdasan, penuh kreatifitas, penuh welas asih.


Setyo Hajar Dewantoro
Founder of Mahadaya Institute


Buku

Buku Medseba Buku Sastrajendra Buku Suwung Buku Sangkan Paraning Dumadi Buku Jumbuh Kawula Gusti Buku Tantra Yoga Buku Kesadaran Matahari Buku Kesadaran Kristus

Kegiatan