SEMALAM DI INDRAKILA



Tanggal 29 September 2011, hari Kamis, saya meluncur dari Jakarta, tempat saya mencari nafkah - ke Cirebon, lalu ke Kuningan. Ini di luar kebiasaan, karena biasanya saya pulang hari Jumat. Tapi, memang sudah saya niatkan, malam Jumat legi ini saya harus bisa ke Gua Arjuna. Tepat pukul 5 sore - setelah semua urusan domestik saya bereskan, saya mulai meluncur dari rumah di Sampora, Kuningan, naik sepeda motor bersama sang sobat setia yang berambut panjang, Aap. Sampai Cibingbin, pukul 18.30. Setelah istirahat sejenak, kami lanjutkan perjalanan menuju lokasi Gua Arjuna. Desa terdekat dengan gua itu dari arah Cibingbin, yaitu Desa Cimara, masih berjarak sekitar 6 kilometer.

Sekitar pukul 20.30, saya, Aap, dan dua orang kerabat Aap di desa yang bersedia mengantar, yaitu Mang Alimin dan Kang Endi, memulai proses perjalanan ke Gua Arjuna. Dari ujung Desa Cimara, kami berbelok kea rah kanan, memasuki kawasan yang sunyi sepi dan gelap. Di kanan kiri hanya ada barisan pohon, dan bayangan perbukitan. Jalanan yang kami lalui adalah tanah berbatu. Butuh perjuangan keras dan kehati-hatian agar kita bisa melewatinya. Setelah kurang lebih 30 menit melintasi jalanan berbatu itu, kami sampai ke Indrakila, dan mampir ke rumah Kuncen/Juru Budaya Gua Indrakila, Abah Ruskanda.

Kami diskusi beberapa saat, lalu beliau berkenan untuk mengantarkan kami. Abah Ruskanda menceritakan sekilas berbagai gua yang ada di desanya, dan sejarah masing-masing. Saya memutuskan untuk mengunjungi dua gua: Gua Kandang Hayam (Petilasan Prabu Hayam Wuruk) dan Gua Arjuna. Maka, kamipun mulai bergerak dengan berjalan kaki. Beliau juga menceritakan beberapa tokoh yang pernah hadir ke Gua Indrakila: mantan Wapres Jusuf Kalla, GKR. Hemas istri Sri Sultan HB X, dan tak lupa, Bapak Proklamator kita, Ir. Sukarno.

Sekitar 200 meter dari rumah Kuncen, terletak Gua Kandang Hayam. Gua ini secara visual sangat menarik mata. Terdapat stalaktit/stalamid yang indah: saat disorot senter, tampak berkilauan. Sementara, secara rasa, tentu saja ia menawarkan pesona mistis tersendiri.

Saya dipersilakan masuk oleh Abah Kuncen. Di tengah gua, say berhenti, dan mengambil alas yang ada di dinding gua, menggelarnya, dan memulai persiapan untuk meditasi di situ. Setelah siap, meditasipun dimulai. Aap duduk di belakang saya. Hening mulai saya masuki. Sungguh nikmat meresapi keberadaan diri di tengah gua yang gelap dan harum-harupan yang menguap. Saya niatkan meditasi saya untuk nyambung rasa dan bathin dengan Eyang Prabu Hayam Wuruk: saya menghaturkan sembah pangabekti dan mohon agar beliau berkenan memberikan pangestu, bimbingan, nyengkuyungi.

Saya betul-betul berharap, bisa meneladani jejak beliau sebagai pemimpin yang agung, adil, wicaksono, yang sanggup membawa kegemilangan Nusantara.

Beberapa lama meditasi di tempat itu, kepala saya rasanya berdenyut-denyut, dan badan agak bergoyang. Rasanya ada pasokan energi yang membanjiri. Saya masih sadar sesadarnya, karena itu saya memutuskan untuk tidak terlalu lama bermeditasi di situ, kasihan pada yang menunggu. Kan nggak enak kalau kita merasa nyaman bersemedi, sementara para penunggu kecapekan menunggu, he, he…..

Tuntas meditasi di Gua Kandang Hayam, kami bergerak ke Gua Arjuna. Jalannya agak naik ke atas, melintasi jalan setapak. Jaraknya sekitar 300 meter dari Gua Kandang Hayam. Gua ini lebih luas dari Gua Kandang Hayam, dengan keindahan yang setara. Ada karang yang menggantung, disorot dengan lampu senter tampak berkelap-kelip. Sedikit perlu saya ceritakan, bahwa kisah bertapanya Arjuna di gua ini, bisa ditelusuri dalam Kakawin Arjuna Wiwaha yang digubah Empu Kanwa pada masa pemerintahan Prabu Airlangga pada abad 11. Kakawin ini mengisahkan Arjuna yang bertapa untuk mendapatkan pusaka agar bisa mengalahkan seorang raja raksasa yang lalim namun sakti mandraguna, yaitu Niwatakawaca. Berkat tapa yang gentur, Betara Indra berkenan turun dan memberikan anugerah berupa panah Pasopati yang bisa dipergunakan untuk menaklukan raksasa tersebut. Jika ditelaah, sebetulnya kisah ini mirip dengan kisah Prabu Airlangga sendiri: beliau sangat gentur dalam tapa sehingga bisa merebut kembali dan membangkitkan kerajaan Kahuripan yang semula dipimpin oleh mertuanya, Prabu Darmawangsa.

Kembali pada kisah meditasi saya, setelah persiapan, saya mulai meditasi, dan Aap setia mendampingi di belakang saya. Sebelumnya saya minta kepada Abah Kuncen untuk membantu. Beliau menanyakan nama lengkap saya, dan setelah menilai siap, mempersilakan saya mulai meditasi.

Heningpun mulai saya masuki: saya mulai menyatakan kepasrahan kepada Gusti Ingkang Murbeng Dumadi, dan menghaturkan sembah pangabekti kepada para leluhur dan pemomong di Nusantara. Eyang Semar, Kanjeng Ratu Kidul, eyang-eyang saya, hingga Kanjeng Sultan Agung, Panembahan saya, Prabu Siliwangi, dan para leluhur lainnya. Saya menyatukan rasa bathin saya dengan beliau-beliau dan memohon agar beliau berkenan memberi restu, membimbing, nyengkuyungi. Saya juga membiarkan bathin saya meresapi keagungan sosok Arjuna, sosok yang gentur melakukan tapa brata dan selalu siap membela negara.

Beberapa lama saya meditasi di gua ini: berada dalam keadaan mengantuk tapi sadar, sadar tapi mengantuk. Nikmat rasanya…tapi, karena saya masih sadar, dan sadar pula ada yang menunggu, saya tak bisa terlalu lama meditasi di sini. Pukul 11 malam meditasi saya akhiri setelah merasa mantap dan tuntas.

Dan, di sinilah, momen istimewa itu kembali terjadi. Sebagaimana terlihat oleh Aap yang ada di belakang saya, ada sosok ghaib yang memberikan mahkota kepada saya. Mahkota yang dulu belum saya dapatkan di Sumur Jalatunda.

Prosesi tirakat di Indrakila, saya akhiri dengan mandi air Panyepuhan yang mengalir di desa itu. Itu persis seperti yang dilakukan Arjuna di masa lalu: mandi setelah proses tapa di gua itu selesai. Sungguh segar rasanya…dan energi di dalam diri ini terasa menjadi berlipat-lipat.

Penutup

Proses perjalanan dan tirakat yang saya jalani, adalah sebuah jalan yang saya pilih agar saya bisa menjadikan diri saya sebagai sosok satria yang pinandhita, yang sanggup menghayati dan mengamalkan ilmu Hastabrata. Itu cara saya member makna pada kehidupan ini: selama jatah waktu yang diberikan Gusti Ingkang Akaryo Jagad, saya ingin memberi manfaat dengan mengikuti jejak para leluhur/karuhun baik di Tlatah Jawa maupun Sunda sebagai para kesatria yang berbudi luhur dan terampil dalam memimpin.

Perlahan namun pasti, dengan prinsip ngeli, saya seperti dibimbing menuju sebuah tujuan mulia. Selama proses yang saya jalani, saya makin menyadari beberapa hal:

Sebuah niatan yang baik, dan upaya untuk bersikap tulus, pasti menarik berbagai kebaikan dalam hidup ini. Orang-orang yang baik – yang tulus membantu kita mencapai tujuan – sejauh pengalaman, hadir tanpa diduga.

Karena salah satu gegayuhan saya adalah menjadi seorang satria yang bisa mengayomi rakyat, maka saya harus memulai pencapaiannya dengan meraih Wahyu Kaprawiran sebagai simbol restu dari Gusti, para leluhur/karuhun, dan juga persetujuan dari titah urip lain yang ada di bumi ini.

Sejauh saya salami, apa yang semula saya duga sebagai mitos, pada akhirnya perlahan-lahan terbukti sebagai realitas dalam hidup kita. Semula saya menduga Eyang Semar sekadar tokoh mitos dalam pewayangan. Ternyata, beliau berkenan rawuh dalam hidup saya. Beliau hadir memberikan beberapa dawuh, informasi sejarah, dan sebuah cincin pusaka berwarna hitam yang berenergi sangat besar karena merepresentasikan kekuatan panglima perang/senopati dari Prabu Siliwangi.

Semua yang saya alami, dalam berbagai tirakat termasuk yang tertuliskan dalam catatan ini, melibatkan berbagai dunia simbolik. Untuk memahaminya kita tak bisa menggunakan pendekatan empirik ataupun dogmatik berlandaskan teks agama, karena pasti tak akan nyambung. Untuk bisa memahaminya, kita harus masuk ke alam berpikir manusia Jawa atau Sunda di masa silam, yang menempatkan dunia ragawi ini terhubung dengan dunia bathin/astral.

Pada akhirnya, semua anugerah pada tataran dunia astral, harus dibuktikan melalui perilaku yang sesuai pada kehidupan nyata. Anugerah mahkota yang saya terima, harus saya buktikan dengan berjuang menjadi pemimpin yang adil, bijaksana, dan penuh pengayoman, pada masa kini ketika yang saya pimpin masih beberapa orang, atau pada masa depan ketika saya ditakdirkan memimpin sebuah daerah/negara.

Semua ini saya tuliskan, agar bisa menjadi inspirasi buat para sahabat dan saudara yang saya muliakan. Semoga Anda semua mendapatkan kebaikan. Rahayu. Rahayu. Rahayu.

4 Responses to "SEMALAM DI INDRAKILA"

  1. aslmkm whai saudaraku..
    kbtulan q adlh slh seorang pelajar dari desa yng sudah saudara lewati..ketika q berkunjung ksana (gua indrakila) q merasa sedih dan prihatin karna keadaan tempat itu tiap wktu nya mengalami kerusakan yg sbagian besar ulah manusia yg serakah..q mencoba mncari titik terang untuk pengelolaannya agar tetap lestari tetapi sangat susah..q ingin mnjdikn tmpt tu sbgai tmpt jiaroh,pndidikan, N wisata agar msyrkat nya sejahtera dan gua nya pun terawat..
    semoga Tuhan menghendaki keinginan q,,amien
    klo ada yng bsa bntu,bsa hub k :
    udi.rudiana@yahoo.com

    ReplyDelete
  2. Mas Udin yang baik...semoga harapan Anda terpenuhi segera. Saya belum bisa berkata banyak...apakah Anda sendiri kenal dengan kuncen di situ? Langkah termudah, koordinasi dulu dengan beliau...

    Salam,
    SHD

    ReplyDelete
  3. Kita punya "bukit indrakila" di bali.
    Di desa saya, dekat rumah ada sebuah pura yang namanya Pura Indrakila.Konon katanya tempat para bikshu/pendeta dan para pemimpin/raja untuk bermeditasi.
    Salam damai...

    ReplyDelete
  4. sudah mandi di candi sumber awan..

    ReplyDelete



Laku spiritual adalah proses bertumbuhnya pengalaman keilahian, wujudnya adalah menjadi penuh dengan daya, penuh kebijaksanaan, penuh kecerdasan, penuh kreatifitas, penuh welas asih.


Setyo Hajar Dewantoro
Founder of Mahadaya Institute


Buku

Buku Medseba Buku Sastrajendra Buku Suwung Buku Sangkan Paraning Dumadi Buku Jumbuh Kawula Gusti Buku Tantra Yoga Buku Kesadaran Matahari Buku Kesadaran Kristus

Kegiatan