PERJALANAN MENEMUKAN TIRTA PERWITASARI (V)






Awal Juli 2012.  Di depan layar komputer, di gubug saya yang tak jauh dari Gunung Ciremai.   Sambil meresapi indahnya alunan kecapi, suling dan alat musik lainnya yang berpadu harmoni dalam degung.  Jari jemari ini kembali  melanjutkan karya, menulis catatan perjalanan menemukan sejatinya kehidupan dan kehidupan yang sejati – yang disimbolkan dengan tirta perwitasari.  Semoga Anda, para pembaca, bisa menikmati sajian ini.

Pencerahan dari Sagarahyang


Beberapa hari yang lalu, kembali saya berkesempatan merasakan mengecap kehangatan mistis di Situs Sanghyang Ci Arca, Desa Sagarahyang.  Bersama Mas Aryanto dan Pak Kosasih yang datang jauh-jauh dari Bekasi, dan ditemani Kang Tablo kuncen di situ, sekitar jam 20 malam, saya berjalan meniti jalan yang telah gelap karena diselimuti malam menuju pepunden di lereng  Gunung Ciremai tersebut.  Di kanan kiri, tampak silhuet pepohonan.  Sementara menatap ke atas, langit menyambut dengan kesunyiannya yang agung.

Kehadiran ke Sagarahyang, adalah salah satu upaya untuk menjalankan petuah dari karuhun di Tatar Sunda:
"Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa".

(Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama).
Di situs Sang Hyang Ci Arca yang telah ada sejak 2000 SM, kita bisa menemukan lingga yoni, patung lembu nandini, dan batu-batu pepunden.  Di kelilingi pohon-pohon berusia tua dan berukuran besar, dan di sekitarnya juga ada pohon hanjuang dan handeuleum, situs ini memagut hati, menarik kita terbang ke masa silam.  Jika kita berkunjung malam hari, jelas, suananya menjadi sangat syahdu.  Menikmati keheningan di tempat dengan energi yang besar, menghadirkan damai tersendiri.

Bersemedi di tempat tersebut, terasa benar ada kemenyatuan antara diri ini dan semesta.  Ya, saya tenggelam dalam hangatnya rengkuhan semesta di Situs Sanghyang Ci Arca/Sagarahyang.  Dan, setelah prosesi semedi berakhir, masih ada sajian memikat: alunan Rajah Prabu Siliwangi dari HP milik Kang Tablo.  Sambil menunggu saat kita bisa pulang meninggalkan situs tersebut, jiwa ini disentuh oleh kata-kata yang membius:
“amit ampun nun paralun
ka Gusti nu Maha Suci
neda pangjiad pangraksa
para abdi-abdi seni

seja ngaguar laratan
titis waris nini aki

ngembatkeun jalan laratan
katampian geusan mandi
ka leuwi sipatahunan leuwi anu ngaruncang
diri-dirina nu sakiwari
rek muru lurung tujuh ngaliwat ka pajajaran
bongan hayang pulang anting

padungdengan padungdengan
jeung usikna pangancikan

puuuunnn...sapuuuunnnn....

sampurasun karumuhun
kaHyang Prabu Siliwangi

numurba di Pajajaran
pangauban seuweu-siwi
nu gelar di tatar SUNDA
muga nyebarkeun kawangi”

Inti dari rajah atau kidung ini adalah spirit dari manusia masa kini untuk terus menghidupkan  tradisi masa silam, menghormati para karuhun atau leluhur, dengan harapan, segala keharuman di masa silam, bisa kita nikmati kembali saat ini bahkan bisa berkembang lagi.

Memang, di Tatar Sunda, hidup sebuah wangsit yang memberi harapan tentang kejayaan di masa depan, melanjutkan kejayaan di masa silam, yang bisa diringkas seperti ini, “Nusantara jaya jaya deui, Pajajaran ngadeg deui tapi lain Pajajaran nu baheula.......pageto aya pamingpin nu sok ngalalana, nyaeta budak angon...anu diangon lain domba, tapi nu diangon nyaeta kalakay jeung tutunggul”.  Nusantara yang jaya di masa silam akan jaya lagi.  Pajajaran akan berdiri lagi tapi bukan Pajajaran yang jaman dahulu.  Tandanya adalah ketika muncul pemimpin yang suka berkelana, dan hidupnya menggembala sesuatu, tapi bukan menggembala domba, melainkan ranting-ranting dan daun berserakan, serta batu-batu pepunden."

Ya, pada saatnya, akan ada transformasi di bidang politik, seiring transformasi di bidang kebudayaan.  Di mana jika semula yang berkuasa di pucuk kekuasaan politik adalah para petualang yang berwatak serakah karena tak bisa mengendalikan hasrat diri, pada  saatnya, hadir pemimpin berjiwa pandhita yang bisa mengayomi rakyat karena telah tuntas laku spiritualnya.

Lalu, siapa yang dimaksud budak angon tersebut?  Ia adalah siapapun, sekaligus bukan siapapun.  Ia bisa Anda, bisa saya, sekaligus bisa bukan Anda dan bukan saya.  Nujuman itu tidak merujuk pada orang tertentu, tapi merujuk pada kriteria yang perlu dipenuhi oleh sebanyak mungkin anak bangsa.  Semakin banyak anak bangsa, generasi muda, yang bisa memenuhi kriteria budak angon, semakin dekat dan nyata Nusantara ini kembali pada kejayaannya.  Maka, mari kita sama-sama meningkatkan kesetiaan kita pada tradisi leluhur dan makin gentur, makin tekun, dalam menggembleng diri.  Karena keberhasilan kita, adalah penentu nasib bangsa ini di masa depan.

Leluhur memberi banyak ajaran yang luhur.  Salah satunya adalah ajaran padarasa...ajaran agar kita bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain, dan bertindak sesuai dengan prinsip: kalau tidak mau disakiti jangan menyakiti..kalau tidak mau dirugikan, jangan merugikan.  Juga ajaran untuk eling sa’acan meunang kasusah, lan ulah nggresula.  Ingat untuk bertindak benar sebelum datang penderitaan (yang diakibatkan tindakan salah kita sendiri), dan jangan mengeluh atau memberontak dari ketetapan: bahwa kita sesungguhnya memetik apa yang kita tanam.  Kita dituntun untuk bisa nrimo ing pandum, menerima dengan legowo apa yang sudah mestinya kita terima, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas apa yang kita lakukan, sembari berusaha agar kita bisa memetik buah yang lebih manis di masa depan.  Memang, mengikuti ajaran leluhur itu tidak mudah. Tapi, ajaran demikian adalah jalan kita menuju kamukten, menuju kejayaan, kehormatan dan hidup penuh kebahagiaan.

Saat pulang dari Sagahyang, menyusuri jalanan sepanjang Sagarahyang-Cigugur yang sepiu dan berselimutkan malam yang pekat, saya mengalami dua hal yang membawa peningkatan kesadaran saya.  Pertama, seolah ada yang berbisik dari di dalam diri, “Sing Maha Suci anane ya ning badan ingsun, sing maha kuwoso anane yo ning badan ingsun”.  Yang Mahasuci ada di badanku, yang Mahakuasa juga ada di badanku.  Ini adalah pernyataan yang tegas tentang kebenaran yang biasa diungkapkan para spiritualis Jawa: jumenenge Gusti kuwi yo ning awake dewe.  Gusti bisa ditemukan dengan menyelami diri, seperti Bima yang menyelami samudera jiwanya.  Dan kekuatan-kekuatan dahsyat bisa ditemukan di dalam diri, dan bisa bermanfaat bagi hidup kita jika itu kita bangkitkan, dengan jalan yang tepat.

Kedua, di tempat-tempat yang sunyi, dan gelap – berupa gerumbul pepohonan atau bambu, hati ini terdorong untuk menyapa, “Rahayu rahayu rahayu sagung dumadi.  Ingsun hangaturaken uluk salam sih katresnan dumateng sedoyo titah alus dan titah urip ingkang wonten teng tlatah mriki.  Monggo kito silih donga dinonga supados tansah sami-sami tansah wonten ing karaharjan.”  Ya, ini adalah etika manusia Jawa: kita harus welas asih dan siap merajut harmoni dengan siapapun, termasuk titah alus yang dalam tradisi tertentu dianggap sebagai musuh yang harus dimusnahkan.

Menyatu dengan Unsur-unsur Semesta
Beberapa hari sebelum ke Sagarahyang, saya juga sempat tirtayatra ke beberapa tempat di Jawa Tengah bersama Mas Dipastraya dan teman2 seperguruan: yaitu ke Sendang Semangling, Kedungjati, Manggarmas, Bledug Kuwu, dipungkasi mandi di Sendang Ontrowulan.  Kunjungan ke Sendang Semangling yang berada di kaki Gunung Kendalisada adalah kali kedua, setelah kunjungan pertama beberapa bulan yang lalu.  Pepunden ini adalah tempat jumenengnya Begawan Mayangkara atau Eyang Hanoman, yang punya kaitan erat dengan Telaga Madirda, di Gunung Lawu, sebagai tempat jumenengnya Dewi Anjani, ibu beliau.

Sendang Semangling, seperti pernah saya tuliskan di catatan terdahulu, adalah tempat yang bagus untuk nyumunar atau nyemangling jiwa kita, agar bersinar dan berkilau.  Kedatangan kita ke tempat itu, memberi peluang bagi kita untuk mendapatkan energi yang berguna agar dalam hidup keseharian, kita bisa lebih terbimbing oleh sukma sejati kita sendiri, yang cahayanya diharapkan bisa makin menyinari pikiran, penglihatan, pendengaran, perasaan, dan tindakan kita.  Sementara di Telaga Madirda, kita bisa menyerap energi dari Cupu Manik Astagina, simbol esensi kehidupan, tirta perwitasari, yang jika benar-benar kita bisa dapatkan, maka itu menjadi kunci teraihnya kasampurnan.

Sendang Semangling dan Telaga Madirda yang dikaitkan dengan tokoh berujud kera dalam pewayangan, perlulah kita pahami filosofinya.  Tokoh Eyang Hanoman dan Dewi Anjani digambarkan bersosok kera, karena menjadi simbol manusia yang sangat berharap dan telah dekat pada kesempurnaan.  Dalam Ramayana diceritakan, pasukan kera bisa mengalahkan pasukan Alengka.  Dan Hanomanlah yang memenjara Rahwana. Itu simbol dari sebuah prinsip, “sebuah keangkaramurkaan hanya bisa dikalahkan oleh mereka yang punya hasrat kuat atau telah dekat dengan kesempurnaan/kesucian”, suradira jayaningrat lebur dening pangastuti.

Sementara itu, Manggarmas atau Mrapen, tempat dimana kita bisa bertemu dengan api abadi, dan Bledug Kuwu, tempat tanah selalu mengeluarkan letupannya, merupakan tempat di mana kita bisa menyatu dengan/menyerap energi api dan energi bumi.  Dalam rangka menuju kesempurnaan sebagai manusia, kita perlu pahami unsur-unsur yang membentuk manusia: Api, Udara, Tanah, Air, dan Eter.  Maka, untuk menuju kesempurnaan yang ditandai dengan bangkitnya kekuatan-kekuatan terpendam di dalam diri manusia, maka, ada dua hal yang harus dilakukan.  Pertama, intensif mengolah nafas agar bangkitlah kekuatan yang bersemayam dalam badan eter manusia.  Kedua, intensif menyelaraskan diri dengan tempat-tempat yang menjadi pusat kekuatan jagad raya, semisal Manggar Mas atau Mrapen yang menjadi pusat kekuatan api, dan Bledug Kuwu yang menjadi pusat kekuatan tanah, Gunung yang menjadi pusat kekuatan udara/angin, dan berbagai telaga dan samudera yang menjadi pusat kekuatan air..  Saat dua hal ini dilakukan, maka kekuatan di dalam diri manusia bisa terhubung dengan kekuatan semesta, manunggallah antara jagad alit dan jagad ageng.

Demikianlah, rangkaian tirtayatra bisa dipahami sebagai proses dengan multiorientasi.  Selain sebagai sarana kita untuk menyerap berbagai energi jagad raya dalam rangka penyempurnaan diri, tirtayatra juga sebagai upaya untuk melakukan penghormatan dan menunjukkan rasa bakti kepada para leluhur dan seluruh penguasa kekuatan jagad yang merepresentasikan keberadaan Tuhan Yang Mahasuci, dan telah berjasa kepada kita sesuai peran masing-masing.  Berbakti kepada leluhur, dan menghormat secara patut kepada seluruh entitas metafisik yang telah berjasa kepada kita – yang dalam konsep Jawa bisa disebut dewa, betara, danghyang, danyang – dan beberapa sebutan lainnya, merupakan manifestasi sikap manembah dan bakti kita kepada Gusti Ingkang Akaryo Jagad.  Kesemuanya itu adalah rangkaian jalan menuju urip kamukten, kasampurnan urip, dan kembalinya kita pada sangkan paraning dumadi.

Wong Jowo Gugat


Dalam perjalanan berkeliling ke beberapa pepunden/petilasan bersama Mas Dipastraya dan teman-teman seperguruan, saya makin sadar akan satu pesan metafisik: Leluhur Gugat, atau Wong Jowo Gugat.  Kenyataan di lapangan, memberi saya pemahaman bahwa memang gugatan tersebut adalah sebuah keniscayaan.  Pada perjalanan sebelumnya, sudah saya paparkan tentang pepunden leluhur, yaitu Gua Cerme di Bantul, yang diklaim sebagai warisan para wali.  Saat perjalanan kemarin, saya menemukan dua kasus serupa: Pertama, di Kedung  Jati, salah satu desa tandus di Kabupaten Purwodadi, salah satu pancer dari pusat-pusat energi di Benteng Kendeng Utara, yaitu pohon sonde – sebuah pohon tua yang sangat besar dan tak berdaun lagi, sebagai simbol jumenengnya Sang Hyang Wenang, diberi label “Tempat Istirahatnya Sunan Kalijaga Saat Akan Mendirikan Masjid Demak”.  Kedua, Watu Bobot yang merupakan batu penyangga tiang di Kraton Majapahit, juga diklaim sebagai Batu Peninggalan Sunan Kalijaga.

Pola-pola seperti ini, jelas membuat generasi penerus tidak lagi mengenal sejatinya sejarah dan arti sebuah tempat yang wingit atau punya nilai kesakralan.  Bisa dibilang, ini adalah pemerkosaan budaya.  Akibatnya, hubungan antara manusia Nusantara masa kini dan leluhur di masa lalu sulit terjadi, karena jembatannya diputus/ditutup.  Jika pola ini tidak dibongkar, jelas akan membuat bangsa ini kian sulit mengenal jatidirinya.  Karena itu, sangatlah dipahami jika ada pesan metafisik Leluhur Gugat atau lebih jelasnya, “Wis mangsa kalane wong Jowo gugat”.  Sudah waktunya, pola-pola demikian dibongkar.  Segala sesuatu dikembalikan pada tempatnya: apa yang memang warisan dari leluhur Nusantara ya harus disampaikan demikian, dan generasi masa kini harus tahu fakta tersebut.

Maka, menjadi komitmen saya, untuk menemukan semua fakta manipulasi terhadap pepunden Nusantara dan mengungkapkan kebenaran soal hal itu.  Itu adalah salah satu jalan agar generasi ini mengenal dan menghargai warisan leluhurnya.

Renungan tentang Dinamika Jiwa


Cerita wayang, tampaknya memang paduan cantik antara historisitas dan simbolisme.  Ya, dalam dunia wayang, ada lakon dan tokoh yang bisa dilacak keberadaan faktualnya.  Tapi, saat yang sama, cerita wayang menyajikan pembelajaran simbolik: tentang watak manusia, tentang pergulatan di dalam diri manusia.  Maka, Bharata Yudha, adalah simbol dari berbagai unsur di dalam diri yang terus bergolak, hingga bertemu titik keselarasan.  Buta (raksasa), dengan berbagai variannya, termasuk Buta Cakil, adalah gambaran dari hasrat-hasrat gelap di dalam diri, yang sewaktu-waktu muncul untuk merusak tatanan di dalam diri yang semula selaras, ayem tentrem.

Pengalaman saya menunjukkan adanya pergolakan jiwa yang terus menerus, Bharata Yudha atau pertarungan antara kekuatan terang dan kekuatan gelap di dalam diri yang tak berkesudahan.  Tirtayatra yang intensif, tak otomatis membuat jiwa ini ayem tentrem selamanya.  Ada kalanya, buta/raksasa atau energi gelap di dalam diri menyeruak bangkit dan ingin mendominasi.  

Bagi saya, jika hal demikian terjadi, berarti saya tengah diberi kesempatan menikmati kemunduran atau kejatuhan spiritual sementara.  Meski terkesan terperangkap keburukan, bagi saya, itu bukanlah keburukan sepenuhnya.  Semua peristiwa hidup adalah momen pembelajaran.  Memasuki ruang gelap, merasakan cengkeraman kegelapan, juga adalah bagian dari mengenal sejatinya hidup yang tak hanya punya terang.  Dan lebih dari itu, ia bisa menjadi semacam pijakan untuk naik lebih tinggi lagi dalam tangga spiritual.  Perjalanan menuju puncak spiritualitas yang diwarnai proses naik dan turun, bangkit – jatuh – lalu bangkit lagi, dalam kesadaran saya memang harus dijalani.  Itu yang membuat hidup berwarna dan penuh misteri.  Sekaligus, itu memberi peringatan, “Saya bukan orang suci, dan tak pantas mengaku sebagai orang suci.” 

Tentu saja, saya bukan menganjurkan Anda untuk senang berbuat keburukan dan gampang menuruti hasrat gelap di dalam diri.  Apalagi jika itu sampai merugikan pihak lain.  Justru kita harus punya tekad kuat untuk tidak merugikan pihak lain.  Saya hanya ingin menegaskan, bahwa dalam proses menuju kesempurnaan, kita harus mengakui ketidaksempurnaan diri kita.  Kita perlu menerima diri kita apa adanya, menerima bahwa sebagaimana kita bisa bangun, kita juga bisa jatuh.  Tak perlu terperangkap oleh rasa berdosa yang tidak perlu.  Saya sendiri, seringkali membiarkan diri saya berkelana dalam alam imajinasi, untuk mengetahui sejauh mana hasrat bisa bergerak, dan apa hasilnya jika hasrat itu dipenuhi.  Itu memberi saya pelajaran, ternyata hal yang berharga adalah ketenangan, kedamaian, dan kesunyian.  Gelegak hasrat hanya membawa pada dahaga yang menggelisahkan dan tak berkesudahan.  Pada akhirnya, ketika diri menyadari hal itu, ada energi tak kasat mata yang membawa kita kembali ke jalur, jalur menuju puncak spiritualitas.

 
Ya...selama kita jujur dan punya tekad kuat untuk menggapai kasampurnan urip, kita selalu punya jalan untuk menang dalam Bharata Yudha di dalam diri.  Kita bisa saja kalah dalam satu pertarungan, tapi pada akhirnya, kitalah yang memenangkan peperangan secara keseluruhan, sebagaimana para Ksatria Pendawa memenangkan akhir peperangan melawan Kurawa dan semua raksasa.

Refleksi Akhir: Bangkit dan Bergerak


Setelah menghabiskan malam Jum’at di Sagarahyang, pada hari Jum’at, saya berjalan ke Timur.  Saya memenuhi undangan dari teman-teman di Desa Munggur Karanganyar yang melaksanakan tradisi odalan pura di situ dengan prosesi sembahyangan dan menanggap wayang menampilkan lakon Wahyu Cakraningrat dengan dalang Ki Winarno Sabda dari Tengger.  Saya sendiri diminta untuk memberi darmawacana, atau berceramah kepada warga yang hadir.  Dalam kesempatan itu, saya sampaikan pengalaman saya kembali ke ajaran leluhur, dan pentingnya setya tuhu kepada tradisi luhur yang diwariskan para pendahulu kita.

Tengah malam, bersama Mas Dipa dan teman-teman seperguruan, kami menyempatkan diri mandi di Sendang Lanji, yang merupakan petilasan Ratu Shima.  Saya pribadi sangat menikmati meditasi di situ yang diwarnai rasa dingin yang menembus ke dalam diri: sensasi kesejukan dan keheningan.

Dalam perjalanan ke Timur ini, saya juga sempat sowan ke rumah Ki Sabdalangit dan Nyi Untari di Jogjakarta yang sudah saya anggap laksana orang tua saya.  Di sini, saya mendapatkan petuah penting terkait lakon hidup yang saya jalani.  Satu hal yang bisa saya sampaikan: sebuah kegagalan jangan dipahami sebagai akhir perjuangan.  Kita boleh kalah, tapi harus bangkit lagi untuk menuntaskan tujuan perjuangan tersebut.  Dalam rangka memanifestasikan kesadaran sebagai satrio pinandhita, saya sempat terjun ke kancah politik.  Tapi, saya gagal, karena – kasarnya – dikhianati oleh teman yang semula dalam satu barisan seperjuangan dan sangat saya percayai.  Nah, kegagalan tersebut, akhirnya bisa saya tempatkan sebagai umpan balik, bahwa laku saya – meminjam bahasa Bu Untari – masih cethek atau dangkal.  Dalam bahasa Ki Sabdalangit, untuk menggapai sebuah gegayuhan besar, tentu saja, laku bathinnya juga harus besar, tidak bisa sembarangan.  Jika investasi berupa laku prihatin kita belum tuntas, tentu saja gegayuhan tersebut  tak akan tercapai.  

Berangkat dari kesadaran tersebut, saya mencanangkan sebuah tekad untuk meneruskan semua laku prihatind dan latihan spiritual yang sudah saya jalani – yang jika dihitung sejak 2008 saat saya pertama kali ke pepunden, yaitu ke petilasan Ki Ageng Kebo Kanigoro di Selo Boyolali, baru berjalan 4 tahun.  Kalau dibandingkan yang dijalani para senior atau sesepuh, jelas itu belum apa-apa.  Kebanyakan beliau-beliau, investasi laku prihatin sebelum mencapai taraf kamukten, rata-rata durasinya adalah puluhan tahun.  

Saya bersyukur, saat ini, saya mendapatkan bimbingan secara intensif dan sistematik dari Mas Dipastraya untuk menyempurnakan laku saya dan meningkatkan taraf hidup di semua sektor, lahir dan bathin.  Dengan begitu, pada saatnya, saya bisa kembali menjalankan missi sebagai satrio pinandhita, secara lebih siap dari segi apapun: spiritual, kemantapan mental, dan ketersediaan finansial.

Demikianlah, kini saya tengah menata semuanya kembali: karier kembali saya bangun setelah sempat porak poranda karena energi saya tersedot oleh urusan politik.  Aspek intelektual dan spiritual juga tengah saya bangun lebih baik agar berbuah kasampurnan urip.

Mohon doa dan pangestu dari Anda semua.  Semoga Anda semua juga selalu dalam karahayuan.
Rahayu, rahayu, rahayu sagung dumadi.
0 Response to "PERJALANAN MENEMUKAN TIRTA PERWITASARI (V)"

Post a Comment



Laku spiritual adalah proses bertumbuhnya pengalaman keilahian, wujudnya adalah menjadi penuh dengan daya, penuh kebijaksanaan, penuh kecerdasan, penuh kreatifitas, penuh welas asih.


Setyo Hajar Dewantoro
Founder of Mahadaya Institute


Buku

Buku Medseba Buku Sastrajendra Buku Suwung Buku Sangkan Paraning Dumadi Buku Jumbuh Kawula Gusti Buku Tantra Yoga Buku Kesadaran Matahari Buku Kesadaran Kristus

Kegiatan