PERJALANAN MENEMUKAN TIRTA PERWITASARI IX






“Duh Gusti ingkang nyipto lan nguwasani Triloka,
Ingkang acahyo cumlorong pinuji,
Duh Gusti ingkang moho kuwaos,
Anugrahono kawulo ambuko cahya Paduko,
Sumunar moho suci ing budi manah kawulo.”

Anugerah di Telaga Madirda
Awal Agustus 2012, saya mendapatkan panggilan untuk melanjutkan ngangsu kawruh di kawasan Solo Raya.  Kebetulan, saat itu, saya sedang menjalankan tugas kantor untuk mengikuti sebuah acara di Jakarta.  Saya sempat bingung, antara menuntaskan tugas kantor, atau melanjutkan ngangsu kawruh yang jadwalnya sulit juga untuk dimundurkan.  Setelah menimbang-nimbang beberapa saat, akhirnya saya temukan jalan keluar: sebuah cara di mana saya bisa menjalankan tugas saya, sekaligus bisa ngangsu kawruh.  Saya akhirnya memutuskan untuk menyelesaikan tugas saya lalu pamit lebih cepat kepada panitia acara.  Dan terjadilah apa yang semestinya terjadi.  Saya mendapatkan ijin untuk pergi lebih awal, setelah saya berkontribusi ide dan pikiran secara memadai.

Maka, saat fajar, saya meninggalkan salah satu hotel di kawasan Melawai, Blok M, Jakarta Selatan, meluncur dengan taksi menuju Stasiun Senen.  Sampai Stasiun Senen, jam masih menunjukkan pukul 05.00.  Loket tiket belum buka, maka sayapun duduk menunggu, sambil relaksasi dan meditasi-sekaligus menikmati suasana sekitar.  Asyik juga mengamati orang hilir mudik dengan urusan dan pikiran masing-masing, he, he.  Tepat pukul 06.00, loket tiket di buka, dan saya beli tiket Kereta Api Fajar Utama menuju Jogjakarta – dan ini cara termudah dan terefisien untuk menuju Solo karena pada pagi hari tak ada kereta api kelas bisnis langsung ke situ.

Pukul 07.10, kereta api yang saya tumpangi mulai berangkat...dan petualangan spiritual edisi terbaru segera dimulai.  Jika direnungkan, proses untuk mengasah bathin itu bukan hanya ketika sudah sampai di patirtan/petilasan, tapi juga sepanjang perjalanan.  Mengapa demikian?  Karena di perjalanan yang memakan waktu panjang, kita memperoleh kesempatan untuk merenung panjang, sekaligus melatih kesabaran dan ketenangan.  Demikianlah....di dalam kereta api, saya beberapa kali melaksanakan sessi merenung dan meditasi.   Diselingi membaca surat kabar, buku, dan tentu saja tidur.  Dengan cara demikian, perjalanan panjang menjadi tidak terlalu mengesalkan.

Menjelang senja, saya tiba di Stasiun Solo Balapan, setelah transit di Stasiun Tugu.  Beruntung, saya dijemput oleh Mas Dipastraya.  Dan lebih beruntung lagi, setelah istirahat sejenak dan mengisi energi ragawi, Mas Dipastraya terlebih dahulu mengajak saya Telaga Madirda, sebelum ke Munggur, lokasi di mana saya dan bersama rekan-rekan seperguruan mendapatkan wedaran kawruh sampurnaning urip.
Waktu telah menunjukkan pukul 19.00 ketika saya dan Mas Dipastraya sampai Telaga Madirda.  Setelah sowan ke Pak Cipto, kuncen di situ, kami langsung meluncur ke lokasi.  

Malam telah menyelimuti telaga tersebut.  Tak lupa, ribuan bintang menjadi penghias langit dan kerlap kerlipnya terpantul di permukaan telaga berair jernih tersebut.  Setelah mobil terparkir, kami masuk ke lokasi pepunden: sebuah bangunan tembok dan batu hitam berukuran besar di dalamnya.  Batu tersebut, sebagian badannya terkubur oleh bukit yang menyatu dengan Gunung Lawu.  Di atas bangunan, bukit yang tinggi menjulang, dengan pohon-pohon rimbun, menjadi latar.  Sungguh, pemandangan yang mempesona.  Jika kita menyimaknya di malam hari, saat senyap dan gelap membungkus diri..bukan hanya pesona yang menghunjam jiwa, tapi juga sebuah rasa misterius..seolah kita ditarik ke dunia yang lain.

Kami ke Telaga Madirda, untuk melaksanakan prosesi manembah dan manekung.  Mas Dipa memulai prosesi dengan mempersiapkan uborampe atau sesaji. Seperti biasa, uborampe atau sesaji tersebut dipersiapkan secara cermat, agar benar-benar lengkap dan tepat susunannya.  Itu menunjukkan sikap serius kita, sekaligus penghormatan kita.  Saya sendiri, memutuskan untuk membersihkan diri dulu, mensucikan diri, dengan mandi di salah satu kamar mandi yang ada di situ.  Saya lakukan itu, karena saya ingat salah satu wedaran pada pertemuan ngangsu kawruh sebelumnya: salah satu etika saat tirtayatra atau sowan ke petilasan/patirtan, adalah membersihkan diri terlebih dahulu, jika bisa ya mandi membasahi semua anggota tubuh.  Walau nanti setelah manembah/manekung di pepunden, saya juga akan kungkum di telaga, saya ingin “tampil optimal” ketika sowan pada leluhur dan penguasa kekuatan jagad di pepunden itu.  Jadi, dinginnya udara maupun air di situ saya lawan: saya tetap mandi terlebih dahulu.  Tekad memang bisa mengalahkan semua kendala.  

Setelah mandi, badan terasa segar, pikiranpun terasa jernih.  Saya pun kembali masuk ke ruang pepunden. Di situ, Mas Dipa sudah siap untuk memulai proses manembah dan manekung.  Tapi, sebelum mulai, saya diminta untuk menyajikan sesaji dan dupa di luar bangunan, dikhususkan untuk titah alus dari tataran rendah.  Sementara sesaji di dalam pepunden, dikhususkan untuk titah alus dari tataran tinggi.  Jika sesaji disatukan juga tidak masalah; tetapi dipisah juga bagus-bagus saja.  Yang penting, kita menjaga sikap kita untuk tetap bisa ngayomi sesama titah urip: itu adalah etika standar manusia Jawa yang mengerti paugeran.  Memang, ada ajaran agama tertentu yang memandang rendah titah urip tataran rendah tersebut, bahkan memusuhi dan cenderungnya ingin memusnahkan.  Sikap demikian jelas keliru.  Karena titah urip bertataran rendah, tetaplah saudara kita: mereka punya asal muasal yang sama dengan kita, mereka tercipta atau termanifestasi dari Realitas Tertinggi yang kita sebut dengan nama Gusti, Hyang Widhi dan sebagainya.

Setelah sesaji diletakkan dengan baik, proses manembah dimulai.   Kami memulai dengan mensucikan diri kami, melukat diri kami, dengan dupa yang telah dinyalakan: sebagai simbol kekuatan api.  Perlu diketahui, bahwa api, sebagaimana air, dalam kaweruh Jawa kuno, dipergunakan dalam upacara atau prosesi manembah, karena memiliki fungsi panglukatan atau pensucian.  Setelah bersuci, kami mengatur nafas terlebih dahulu, lalu melaksanakan olah nafas sebagai upaya perlindungan diri dari segenap energi negatif.  Lalu, Mas Dipa membacakan mantra-mantra pembuka: berupa penghaturan rasa hormat dan bakti kepada Tuhan, kepada sinar manifestasi Tuhan (para betara/betari, dewa/dewi), kepada para leluhur, dan padanyangan, atau penguasa kekuatan jagad, khususnya yang jumeneng di Telaga Madirda.   Mas Dipa juga mengungkapkan penyerahan sesaji, dan permohonan maaf jika itu kurang layak, lalu menyampaikan maksud kedatangan ke Telaga Madirda.  Dan berikutnya, Mas Dipa menepuk pertiwi tiga kali.

Saya, dalam keadaan raga yang segar dan pikiran jernih karena digerujug air yang dingin, benar-benar menikmati prosesi manembah ini.  Maka, semakin dalam saya benamkan diri saya, sukma saya, dalam rengkuhan suasana yang makin kuat aura mistisnya.

Setelah itu, Mas Dipa masih meneruskan membaca mantram-mantram, beberapa diantaranya menggunakan Bahasa Jawa Purwa, beberapa di antaranya Bahasa Jawa kontemporer.  Melalui mantram-mantram tersebut, dihaturkan permohonan ampunan kepada Hyang Widhi, atas segala dosa dan kesalahan pribadi kita, juga dosa dan kesalahan orang tua kita, leluhur kita, dan semua titah pagesangan.  Selain itu, dihaturkan juga permohonan anugerah dari Gusti Ingkang Moho Welas Asih, berupa keselamatan, keberlimpahan rejeki, dan semua kebaikan lainnya.  Bukan hanya untuk diri pribadi, tapi juga untuk semua titah pagesangan, yang terlihat oleh mata ragawi maupun tidak.  Saya sungguh menikmati suasana syahdu yang terbangun....
Mengakhiri itu prosesi manembah di pepunden, kami masing-masing bermeditasi, meditasi angkasa dan pertiwi, untuk menyatukan diri kami dengan segenap unsur semesta.  Dan setelah itu, baru meluncur ke telaga untuk mandi di pancuran dan kungkum.

Sebelum mandi dan kungkum, terlebih dahulu kami manembah di bagian mata air Telaga Madirda dan di pancuran/tempat kungkum.  Demikianlah etika yang harus dijalankan karena kami hendak menyerap energi positif di telaga tersebut.  Setelah Mas Dipa menuntaskan mandi di pancuran dan kungkum, barulah saya giliran saya.  Setelah itu, kamipun sama-sama meditasi.  Kami duduk di atas batu-batu hitam di tepian telaga.  Pikirann kami heningkan.  Jiwa kami menyatu dengan semesta.   Dan, kembali saya menikmati sensasi yang tak terkatakan....Sudah berkali-kali saya ke Telaga Madirda, tapi sensasinya tak pernah pudar.  Selalu ada rasa yang baru, dan itu menerbitkan rindu untuk selalu kembali dan kembali ke Telaga Madirda.  Sungguh tak sia-sia,  saya meninggalkan ruang hotel yang nyaman di Jakarta, dan menempuh perjalanan panjang ke Solo......

Mengakhiri proses manembah, manekung, dan menyerap energi semesta di Telaga Madirda, kami “pamitan” di pepunden: menghaturkan terima kasih kepada Tuhan, juga leluhur dan padanyangan di tempat tersebut, atas segenap anugerah yang kami terima.  Perlahan kami bergerak meninggalkan Telaga Madirda. Rasa damai menyelimuti diri, dan jiwa ini terasa makin mantap untuk menjalani hidup di masa depan. 

Perjalanan ke Watu Pancer dan Sendang-Sendang di Sekitar Gunung Lawu


Gunung, merupakan salah satu pusat kegiatan spiritual manusia Jawa.  Gunung dihayati sebagai tempat yang sakral, karena di sana jumeneng atau bertahta para leluhur dan padanyangan (penguasa kekuatan jagad).  Dan salah satu gunung yang dianggap sakral tersebut adalah Gunung Lawu, yang sebagian kakinya berada di kawasan Karanganyar, Jawa Tengah.

Salah satu leluhur yang terkait dengan Gunung Lawu adalah Prabu Brawijaya V.  Gunung Lawu adalah tempat kamuksan beliau, setelah lengser keprabon akibat kudeta dari anaknya sendiri pada tahun 1478 Masehi  - sebuah masa yang kemudian dikenal dengan kode Sirna Ilang Kertaning Bumi. 

Setelah proses ngangsu kawruh pada awal Agustus 2012 kemarin, dibimbing oleh Mas Dipastraya, saya mendapatkan kesempatan untuk mengenal beberapa tempat yang ada kaitannya dengan proses kamuksan Prabu Brawijaya V, atau merupakan bagian dari sebuah konfigurasi tempat sakral bagi manusia Jawa dengan pusat Gunung Lawu.  

Tempat pertama yang saya kunjungi adalah Watu Pancer atau Selo Pancer, yang terletak di Masaran, Sragen.  Tempat ini merupakan salah satu tempat ketika Prabu Brawijaya V kendran setelah lengser keprabon, sebelum muksa di Gunung Lawu.  Kendran adalah perjalanan yang dilakukan di masa penuh keprihatinan.  Walau saat ini Watu Pancer telah dikeliling oleh rumah-rumah penduduk, sejauh saya rasakan, aura sakralitasnya tetaplah kental.

Secara fisik, Watu Pancer pada saat ini berbentuk altar, dengan bahan baku berupa batu bata persegi berukuran sekitar 30 cm x 30 cm, dengan tebal sekitar 12 cm.  Melengkapi altar untuk duduk bersemedi, terdapat batu untuk menyimpan sesaji, terbuat dari batu andesit hitam.  Sayang sekali, saat ini batu tempat sesaji tersebut sudah bergeser posisinya, bukan di tempat yang seharusnya.  Kita juga bisa menemukan sebuah pohon besar dan rimbun yang menaungi altar ini.  Kehadiran pohon besar ini tak hanya menambah estetika Watu Pancer, tapi juga mengentalkan aura mistisnya.  Saat kami datang waktu masih siang....terbayang jika kami datang malam hari, pastilah lebih mengasyikkan.

Watu Pancer sendiri memiliki fungsi sebagai tempat semedi dengan tujuan khusus.   Di masa lalu, para begawan dan ksatria yang sedang menuntaskan laku untuk mencapai tataran ilmu tertentu, bersemedi di tempat ini.  Biasanya, tempat-tempat dengan fungsi seperti ini, ditandai dengan batu penyusun yang berbentuk persegi dan berukuran besar berbahan tanah liat.

Puas melakukan kunjungan awal ke Watu Pancer, kami meluncur ke Munggur, Karanganyar, untuk melaksanakan agenda tirtayatra ke beberapa sendang di sekitar desa itu.  Setelah menjemput Pak Puja di Munggur, kami segera meluncur.  Tempat pertama yang dikunjungi adalah Sendang Tunggon, yang terletak di Desa Tunggon.

Sendang ini berair jernih, dinaungi pepohonan yang tak terlalu besar ukurannya.  Tapi, sendang ini sudah tidak lagi terkesan alami, karena sudah ditutupi tembok dan atap. Rupanya penduduk di sekitar menjadikan sendang ini sebagai sumber air minum bagi penduduk di desa tersebut dan sekitarnya.

Setelah bertegur sapa dengan warga yang ada di sendang tersebut, kami mencari tempat yang pas dan memulai proses manembah dan manekung.  Mas Dipa sebagai guru kami, menentukan titik yang paling pas untuk itu: di dekat pohon terbesar, dekat dengan lubang pada tembok yang menutupi sendang tersebut.
Setelah itu, kami menyiapkan sesaji.  Dan kali ini, saya yang mengambil inisiatif menata sesaji tersebut.  Ternyata, menata sesaji memang punya aturan tersendiri, tidak asal saja, karena ada filosofi yang hendak dibangun.  Sesaji harus diwadahi secara baik, misalnya di wadah dari anyaman bambu, dan dialasi daun pisang.  Itu simbol sopan santun kepada yang kita haturi sesaji.  Lalu, pisang raja tadah, yang diambil dari bagian tandan paling atas, yang secara alami pertama-tama menampung curahan hujan atau embun, diletakkan dengan membentuk simbol tangan yang menyembah.  Itu tanda rasa hormat kita sekaligus permohonan anugerah kepada Tuhan, para dewa-dewi, leluhur dan padanyangan.  Berikutnya, bunga-bungaan, atau kembang telon, harus kita tata dengan tepat: pertama-tama, bunga mawar merah yang masih utuh diletakkan di atas pisang raja tadah tersebut, dengan membentuk konfigurasi satu  pusat dan empat sudut, sebagai simbol sedulur papat kalima pancer.  Baru kemudian diletakkan bunga mawar merah dan kenanga mengikuti konfigurasi itu.  Setelah struktur utama beres, baru di semua sudut diwadah sesaji ditaburi bebungaan.  Tak lupa, sesaji lain yang bersifat simbolik diletakkan, seperti uang receh dan uang kertas. Itu simbol pengorbanan di jalan kebaikan.  Tentu saja, Tuhan ataupun leluhur maupun padanyangan tidak membutuhkan uang kertas maupun uang receh.  Yang diperlukan adalah pembuktian sikap hormat secara kongkrit...dan yang pasti, uang di wadah sesaji tersebut akan berguna bagi yang menemukannya di kemudian hari, entah kuncen, entah warga sekitar.

Setelah sesaji disiapkan, baru kemudian dupa dinyalakan, dan dipasang di tempat-tempat yang tepat.  Lalu, kami memulai prosesi: setelah bersuci, olah nafas untuk membentengi diri, kami memasuki hening, dipandu oleh Mas Dipa yang membaca mantram-mantram pembuka.  Lalu, doa-doa dibacakan, dan kami semua bermeditasi masing-masing.  Termasuk, melakukan meditasi pertiwi dan angkasa.

Setelah tuntas kegiatan di Sendang Tunggon, kami lanjutan perjalanan ke Sendang Dawe.  Sendang Dawe tak jauh dari Desa Munggur.  Tempatnya relatif sepi karena berada di lingkungan pesawahan.  Secara visual, sendang ini sangat indah.  Sendang yang sudah dibangun hingga berbentuk pancuran, dinaungi oleh pohon besar yang berusia tua.  Daunnya rimbun, akarnya bertonjolan ke luar, seperti tentakel gurita, merambati tanah.  Bebatuan hitam menjadi penambah estetika.  Sejauh saya rasakan, berada di tempat ini sangatlah nyaman, mendamaikan.

Setelah istirahat sejenak, kami memulai prosesi manembah.  Saya kembali mengambil inisiatif untuk menyiapkan sesaji.  Kali ini saya sudah relatif lebih ahli soal bagaimana menata sesaji tersebut.  Maka, dalam waktu tidak terlalu lama, siaplah sesaji berupa pisang raja tadah, bunga telon, uang receh, uang kertas, lalu dilengkapi dengan dupa wangi, yang juga berfungsi sebagai instrumen panglukatan/pensucian.
Mas Dipa lalu membuka prosesi tersebut dengan membaca mantram-mantram pembuka, lalu dilanjutkan dengan lantunan doa, dan diakhiri dengan meditasi masing-masing, berupa meditasi pertiwi dan meditasi angkasa.

Setelah meditasi tuntas, kamipun bergantian mandi di pancuran.  Duh, airnya demikian segar!  Setelah mandi di pancuran itu, jiwa saya merasa ringan, damai, tenteram....Oh, Gusti, terima kasih atas segenap anugerah yang tak terkira ini!

Perjalanan selanjutnya, kami menuju Sendang Gantung.  Dan, sebagaimana di Sendang Tunggon dan Sendang Dawe, kamipun melakukan prosesi untuk menunjukkan rasa hormat kami kepada Tuhan, kepada para dewa dan betara, kepada para leluhur, dan padanyangan, menyatukan rasa jiwa kami dengan semesta, dan menyerap energi positif yang berguna untuk kehidupan kami.

Di Sendang Gantung, kembali kami menikmati damai, tenteram,  serta jiwa yang segar dan terbarukan.
Demikianlah, hari ini, kami mendapatkan anugerah “bersentuhan” dengan sendang-sendang yang terkait dengan Gunung Lawu.  Sendang-sendang tersebut, khususnya Sendang Dawe dan Sendang Gantung, teridentifikasi memiliki energi kuat, dan merupakan bagian dari struktur tempat-tempat sakral dengan pusat di Gunung Lawu.  Tempat-tempat itulah yang menjadi ajang bagi para leluhur kita di masa silam untuk mendadar diri dan menaikkan tataran spiritualitas mereka.

Oh ya, sekali lagi perlu saya jelaskan soal sesaji: sesaji menjadi bagian tak terpisahkan dari laku manembah orang Jawa.  Mengapa demikian?  Karena ia adalah instrumen bagi setiap manusia Jawa untuk bisa membangun harmoni dengan berbagai unsur semesta.  Melalui laku spiritual yang tepat berdasarkan sastra warisan leluhur, salah satunya adalah dengan konsisten bersesaji – sebagaimana dibuktikan oleh guru-guru saya- semua dimensi kehidupan menjadi harmonis.  Mengapa demikian?  Karena aura yang terpancar dari mereka yang telah genap atau sempurna menjalankan laku bathin, termasuk dalam menyerap dan menyelaraskan diri dengan energi semesta, adalah aura kedamaian.   Melalui laku demikian, kita juga jadi bisa memahami manusia dengan berbagai watak dan karakternya.  Lebih dari itu, tumbuh pula di dalam diri kita sifat welas asih, kejernihan dalam berpikir, dan konsistensi dalam melawan adharma/ketidakbaikan  (untuk yang terakhir ini, tentu saja, dilakukan dalam sikap yang penuh kesantunan dan bisa memilah antara manusia dengan tindakannya.)  Lebih jauh, bisa digambarkan, mereka yang telah manunggal dengan semesta, akan bisa mempraktekan ngelmu samudera: jembar pikire, dowo ususe.  Dan yang terekspresikan adalah rasa damai, ketenangan, tepo seliro, dan berbagai sikap terpuji lainnya.  Hal-hal demikianlah yang dicontohkan secara nyata oleh guru-guru saya yang konsisten ngugemi tradisi atau ajaran spiritual Jawa kuno.

Ajaran Spiritual Jawa Kuno



Setelah ngangsu kawruh dari Mas Dipastraya, saya mendapatkan kesadaran baru, bahwa ajaran spiritualitas Jawa sejatinya telah ada pada yang sangat silam, sebelum muncul pengaruh agama-agama dari mancanegara.  Saat ini, muncul sebutan penyederhanaan untuk ajaran spiritualitas Jawa tersebut: Kejawen.  Nah, setelah saya kaji, terdapat perbedaan antara Kejawen versi pasca Majapahit, dan Kejawen era sebelumnya.

Saya sebelumnya mempelajari Kejawen dari beberapa guru: dan jika boleh saya kategorikan, Kejawen yang saya pelajari tersebut adalah Kajawen era pasca Majapahit.  Secara umum, ajaran Kejawen era pasca Majapahit memiliki kriteria yang merupakan antitesis atau “kebalikan” dari agama-agama resmi, khususnya yang berasal di Timur Tengah.  Misalkan, jika agama-agama Timur Tengah dinyatakan sebagai ajaran yang dibawa para nabi dan rasul, maka Kejawen tidak membutuhkan Nabi, bahkan yang disebut rasul itu ada di dalam diri sendiri, pada setiap orang.  Jika agama-agama Timur Tengah memiliki Kitab Suci, maka dinyatakan, kitab suci bagi para penghayat Kejawen adalah jagad gumelar ini, yang disebut sebagai kitab teles.  Lalu, jika agama-agama Timur Tengah menekankan pentingnya ritual dengan waktu-waktu tertentu dan memiliki nama tempat peribadatan tertentu, para penghayat Kejawen tidak seperti itu: manembah kita tidak terikat ruang dan waktu.  

Kini, saya sedang belajar kawruh Kejawen dengan tipologi yang berbeda.  Kawruh Kejawen yang diwedarkan kepada saya, memiliki sastra atau sumber ajaran yang jelas, berupa lontar-lontar kuno berbahasa dan berhuruf Jawa purwa, yang telah ada sebelum muncul pengaruh agama-agama mancanegara, dan terus diperbaharui informasinya seiring perjalanan waktu.  Tetapi, berbeda dengan "kitab suci" pada agama-agama Timur Tengah, lontar-lontar ini bukanlah untuk sekadar dipercayai, atau dibaca agar mendapatkan pahala.  Tetapi ia benar-benar merupakan peta jalan, petunjuk laku, yang kegunaannya sejauh mana jika kita menjalankan laku spiritual sesuai petunjuk di dalamnya.  Dan kita juga bisa membuktikan sendiri kebenaran-kebenaran yang ada di dalam lontar tersebut, termasuk kebenaran metafisik yang diungkapkan di situ.  Mengapa?  Karena memang kita dipandu atau diajari untuk bisa membuktikan kebenaran metafisik secara obyektif.

Berikutnya, saya kini juga tahu, bahwa leluhur kita memiliki ritual dan tempat ritual yang spesifik, dengan penjelasan yang sangat logis.   Leluhur kita mewariskan tradisi manembah mengikuti laku atau perjalanan matahari: saat matahari mulai bersinar di pagi hari, saat matahari berada di atas kepala pada siang hari, dan saat matahari tenggelam di petang hari.  Salah satu kunci melimpahnya anugerah bagi orang Jawa, adalah ketika pada tiga masa tersebut, kita berada dalam keadaan sadar dan jaga. Tentunya, lebih baik lagi, jika kita menyempurnakan laku demikian dengan kegiatan manembah.

Filosofi manembah yang mengikuti perjalanan matahari tersebut, adalah bahwa manusia semestinya bisa mengikuti laku dari matahari: sang matahari setia menjalankan tugasnya, memberi terang kepada dunia tanpa pilih kasih, secara tulus tak peduli bagaimana respon dari pihak lain.  Laku demikian merupakan salah satu bagian dari ajaran Hasta Brata.

Laku manembah mengikuti perjalanan matahari, yang dilaksanakan setiap hari, merupakan bagian dari latihan kedisiplinan manusia Jawa.  Disiplin adalah sikap berpegang teguh pada komitmen, pada jadwal yang telah direncanakan, yang dilandasi kesadaran.  Itu jelas berbeda dengan sikap robotik – yang dihindari oleh beberapa kalangan Kejawen.  Karena alasan tidak ingin menjadi atau seperti robot, mereka memilih untuk manembah tanpa terikat waktu.

Mengikuti kaweruh Kejawen kuno, justru kegiatan manembah yang dilaksanakan dengan tertib ini adalah bagian dari mengasah jiwa kita, mengukuhkann sikap eling lan waspada.   Minimal 3 hari sekali, kita secara serius mencoba untuk eling terhadap kesejatian kita, juga terhadap tindakan-tindakan kita yang tidak sesuai dengan kesejatian kita.  Minimal dalam 3 kali sehari, kita juga mencoba untuk membiasakan bersikap waspada: agar bisa menjalani hidup dalam kebaikan, tidak terjerembab dalam kesalahan.  Tentu saja, di luar tiga waktu tersebut, bukan berarti kita tidak perlu eling lan waspada.  Akan lebih ideal, di setiap waktu kita selalu eling lan waspada, sehingga hidup kita dipenuhi dharma, dan mencerminkan prinsip hamemayu hayuning bawana.  Manembah 3 kali dalam sehari adalah sembah raga: sebuah latihan agar kita mencapai tataran kesadaran tertinggi, yang harus diikuti dengan sembah cipta, sembah rasa, dan sembah sukma.

Tetapi, manembah menurut leluhur Jawa, punya fleksibilitas tinggi: tidak harus dalam bahasa tertentu.  Yang terbaik adalah menggunakan bahasa yang paling kita mengerti.  Yang penting, di dalamnya kita mengheningkan pikiran, lalu menyampaikan sembah pangabekti kepada Tuhan, para leluhur, dan padanyangan/penguasa kekuatan jagad, serta memohon ampunan dan anugerah, bagi diri kita, keluarga kita, orang tua kita, leluhur kita, tetangga kita, semua titah pagesangan. Kita juga tak perlu menghadap arah tertentu.  Kita bisa menghadapkan wajah kemanapun.  Kita pun bisa melakukannya di rumah, di kendaraan, di manapun (yang patut tentunya), sesuai keadaan kita.

Namun demikian, leluhur juga memiliki tempat-tempat khusus menjalankan ritual, dengan istilah tertentu.  Tempatkan semedi, sembahyang, manembah atau manekung, disebut dengan Panembah, Bahaktyan, Batu Pujan atau Altar Bathan.  Secara lebih jelas, tempat-tempat demikian bisa berupa gunung yang sakral, disebut Bathan Arga/Pujan Arga, atau bukit/wukir yang disebut Pujan Wukir atau Bathan Wukir.   Gunung Lawu adalah salah satu contoh Bathan Argha, sementara contoh Pujan Wukir adalah Wukir Barat Ketiga.   Tempat lainnya bisa berupa sungai, disebut Bathan Lepen, lalu laut, disebut Bathan Jaladri, ada juga yang disebut Bathan Samaden, seperti Watu Pancer di Masaran, dan tempat di bawah pepohonan-pepohonan besar yang disebut Bathan Sameden Wo.

Tempat-tempat demikian, tidak begitu saja dipilih leluhur sebagai tempat sembahyang atau manembah.  Tetapi, pasti karena memang memiliki sakralitas tertentu dan energi yang besar.  Leluhur punya kebijaksanaan, bahwa dalam rangka manembah kepada Gusti yang tan kawedar, tan kena kiniro, tan kena kinaya ngapa, ada satu tatanan spiritual yang harus diikuti.  Penghormatan kepada entitas-entitas metafisika luhur, adalah jembatan dan bentuk kongkrit manembah kita kepada Hyang Widhi.  

Saya sungguh bersyukur, mendapatkan kesempatan untuk kembali nguri-uri budaya leluhur, dan sedikit demi sedikit menyibak kaweruh leluhur sendiri yang menurut pikiran saya demikian canggih.  Ya, ternyata, leluhur kita memiliki sebuah sistem spiritual yang dirancang demikian cermat dan sangat memperhitungkan kondisi geo spiritual di Bumi Nusantara.

Sejujurnya, setelah mendapatkan kaweruh demikian, saya semakin bersemangat untuk menggali lebih jauh bagaimana sebetulnya ajaran leluhur – yang selama ini, dipelihara secara penuh kehati-hatian oleh para sesepuh yang winasis dan telah menggapai tataran sampurnaning urip.  Dan, jika ditanya, Kejawen apakah yang saya ugemi, tanpa ragu saya menjawab: saya ugemi ajaran Kejawen purwa, yang telah ada sebelum ajaran mancanegara datang, dengan sastra atau sumber ajaran yang jelas dan terpelihara orisinalitasnya.  Dan saya sendiri mendapatkan penguat akan pilihan ini: para guru saya, yang konsisten dengan ajaran Jawa seperti itu, memang terbukti bisa menggapai urip kamukten, yang secara sederhana disimbolkan oleh konsep sugih ngelmu, sugih banda, sugih kuwoso.

  

3 Responses to "PERJALANAN MENEMUKAN TIRTA PERWITASARI IX"

  1. pastinya sangat menyenangkan sekali ya pak,,,,

    ReplyDelete
  2. Mas..selamat menggenapi laku..semoga diberi kemudahan..

    ReplyDelete
  3. Pasti lah tentram sekali rasanya ya pak.. saya hanya sebatas pembaca.. yang berangan ketemu sedulur papat..

    ReplyDelete



Laku spiritual adalah proses bertumbuhnya pengalaman keilahian, wujudnya adalah menjadi penuh dengan daya, penuh kebijaksanaan, penuh kecerdasan, penuh kreatifitas, penuh welas asih.


Setyo Hajar Dewantoro
Founder of Mahadaya Institute


Buku

Buku Medseba Buku Sastrajendra Buku Suwung Buku Sangkan Paraning Dumadi Buku Jumbuh Kawula Gusti Buku Tantra Yoga Buku Kesadaran Matahari Buku Kesadaran Kristus

Kegiatan