REFLEKSI MENJELANG SPIRITUAL ODYSSEY 2







Tulisan ini saya buat, untuk menggenapi apa yang sudah ditulis oleh Kang Sabdalangit.  Kang Sabdalangit menyatakan bahwa agenda Spiritual Odyssey adalah sebuah pilgrimage atau perjalanan suci.  Saya setuju sepenuhnya; dan menambah satu pemaknaan: ia adalah miniatur dari perjalanan sepanjang hidup dari sang sukma dalam menggapai kesempurnaan yang selalu didambakannya.  Kesempurnaan yang dimaksud di sini adalah kondisi terbaik yang bisa digapai seorang manusia: KEMBALINYA KEMURNIAN DAN KESUCIAN, yang memungkinkan manusia kembali pada alam keheningan, kebahagiaan, kedamaian yang kekal.

Pelajaran dari Pengalaman Pribadi


Para pembaca yang saya hormati, ijinkan saya untuk berbagi tentang pengalaman diri saya sendiri.  Meringkas dan menyimpulkan perjalanan yang telah saya lalui, bisa saya katakan, bahwa saya benar-benar JATUH BANGUN.  Saya belajar tentang hidup dan kehidupan ini, dari sisi gelap maupun terangnya.  Ada masa-masa dimana saya merasa begitu dekat dengan KEMURNIAN dan KESUCIAN, yang langsung berimbas pada rasa damai tak terperi.  Tapi, ada kalanya saya terjebak dalam situasi yang tak saya mengerti: saya hanya merasa bahwa pada saat itu, yang ada hanyalah kegelisahan, kadang juga rasa bersalah.

Ada masa-masa di mana saya merasakan detik demi detik berlalu penuh dengan makna; dalam sebuah gairah mistis yang membuat sang sukma melambung tinggi, terbuai oleh kebahagiaan yang tak terkatakan.  Adakalanya saya terjerembab dalam duka, sebuah rasa merana akibat diri yang jatuh dan kesakitan.

38 tahun telah saya lalui kehidupan di muka bumi ini – sejak saya dilahirkan dari rahim ibunda tercinta, di Kota Magelang, tak jauh dari Gunung Tidar berada.  2 tahun lagi saya memasuki usia yang disebut fase kematangan oleh banyak orang.  Tapi, sejujurnya, saya merasa seperti belum jauh berjalan.  Saya merasa tujuan yang hendak saya capai benar-benar masih ada diujung sana, dan masih demikian jauh untuk dijangkau.  Walau telah banyak upaya yang saya lakukan untuk menambah pengertian akan hidup ini, dan banyak metode laku prihatin yang saya praktekkan, pada akhirnya, saya tetap merasa diri ini bodoh; lebih banyak tidak mengerti daripada mengertinya.

Dari satu guru ke guru lain, dari satu perguruan ke perguruan lain, saya lakoni proses ngangsu kaweruh yang dilandasi tekad untuk menggapai sampurnaning laku dan sampurnaning urip.  Selama proses itu, beberapa kali saya mengalami momen terhempasnya sebuah harapan.  Ya, entah kenapa, alih-alih lulus dari satu guru atau perguruan, saya justru harus menerima kenyataan yang berbeda. Ibaratnya, saya bukannya menghabiskan satu sajian hingga kenyang, tapi cukup mencicipinya, untuk kemudian berpindah ke sajian berbeda.  Walau setelah direnungi dengan jiwa yang tenang, secara keseluruhan, apa yang telah saya lalui, merupakan bagian dari skenario semesta yang harus saya jalani untuk mengisi hidup ini, dan membuat saya makin mengerti akan jalan hidup yang sesungguhnya.  Rupanya, semesta ini mengajari saya bukan dengan pendekatan sistematik laksana dalam sistem pendidikan formal: tapi, saya harus belajar dari fragmen demi fragmen, dan mengumpulkan sejumput kebijaksanaan demi kebijaksanaan, lalu merangkainya sesuai cetak biru saya sendiri.

Dari rangkaian pengalaman yang telah saya lalui, saya bisa menyimpulkan bahwa menggapai kesempurnaan laku dan kesempurnaan hidup, rupanya memang tak bisa dengan cara linear seperti ketika seseorang menuntaskan perkuliahan hingga menggapai gelar sarjana.  Ada misteri-misteri yang tak terduga.  Pencerahan, dan selanjutnya kesempurnaan, tampaknya tak bisa diprediksi kapan ia akan hadir.  Kesimpulan saya, ia hanya bisa muncul manakala kita sudah sumeleh pasrah, terlepas bebas dari semua obsesi bahkan target.  

Lebih dari itu, saya bisa menyimpulkan, bahwa semua warna kehidupan, gelap dan terang, sama-sama bisa menjadi guru untuk membantu kita memahami sifat kehidupan ini.  Pencerahan tak selamanya hadir lewat kejadian yang kita persepsi sebagai baik, tapi juga bisa melalui kejadian yang kita persepsi buruk.  

Maka, terkait dengan Spiritual Odyssey yang sama-sama akan kita jalani, ada satu hal yang ingin saya sampaikan: sebagaimana dalam perjalanan spiritual sesungguhnya kita sungguh tak bisa memancangkan sebuah target yang kaku, dalam agenda spiritual odyssey sebagai miniatur dari perjalanan spiritual sesungguhnya, kita juga tak bisa memancangkan satu target yang kaku.  Lebih bijak jika kita cukup belajar menikmati semua proses; memberikan daya terbaik kita pada setiap tahapan, tetapi kita biarkan semesta yang mengatur, hal apa yang layak untuk kita dapatkan....Dan manakala ada kejadian-kejadian tertentu yang di luar rencana atau harapan kita, jangan terlampau cepat kita menyimpulkan itu tak berguna.  Kadang, justru di situ letak pembelajarannya.

Ya...tampaknya, lebih baik kalau kita benar-benar sumeleh pasrah....Kita nikmati hidup dan segenap romantikanya, tanpa terlalu memusingkan mencapai dan mendapatkan apa.  Dalam konteks Spiritual Odyssey: kita nikmati semua prosesnya...kita nikmati saat berada di pesarean agung yang sakral; kita nikmati agungnya tepian Laut Selatan, kita nikmati pesona perbukitan Kahyangan Dlepih, kita nikmati pula estetika Candi Cetho di ketinggian kaki Gunung Lawu, kita nikmati semua yang terjadi.  Kita dedikasikan diri kita pada sebuah proses yang sakral, melalui kesungguhan dan kemurnian jiwa...dan setelah itu, biarkan semesta yang mengatur, apa yang bisa kita raih dan capai!

Tentu saja, sikap demikian bukan sikap fatalis..tapi lebih tepat sebagai sikap ngeli....menjalani tapa ngeli.  Orang fatalis tak akan bekerja dan mengeluarkan daya secara maksimal.  Tetapi pelaku tapa ngeli memilih untuk memberikan yang terbaik....tanpa terpancang pada hasil tertentu....Pelaku tapa ngeli percaya pada hukum semesta yang pasti berlaku: sing nandur bakal ngunduh.  Jika kita menandur dengan cara yang terbaik, maka hasilnya akan baik juga.  Ya, kita menyemai dan merawat biji dengan sebaik-baiknya, tanpa kita memaksa buah tanaman kita itu akan seperti apa dan bagaimana.

Sebuah Gerbang Pencerahan dan Pembaharuan


Spiritual Odyssey adalah miniatur dari perjalanan spiritual kita.  Karena itu, jangan berharap dengan mengikutinya kita langsung mendapatkan pencerahan yang paripurna.  Tetapi, kegiatan seperti spiritual odyssey ini, punya makna penting berikut: ia menjadi semacam titik ungkit, sebuah momen untuk melecut diri kita, agar kita bisa bergegas berbenah diri.  Spiritual Odyssey adalah gerbang untuk pencarian makna hidup yang lebih serius; gerbang untuk ngangsu kaweruh yang lebih sungguh-sungguh.

Bumi Nusantara ini kaya dengan khazanah spiritualitas. Para leluhur kita mewariskan kebijaksanaan yang demikian berharga: entah ia dinamai apa, yang pasti, kebijaksanaan itu nyata dan turun dari generasi ke generasi dengan berbagai cara.  Kadang dengan cara yang “tak masuk akal”.  Spiritual Odyssey adalah momen untuk mengenal khazanah spiritualitas leluhur tersebut.  Dan bagi yang sudah mengenalnya, Spiritual Odyssey adalah momen untuk meneguhkan komitmen kita, untuk setya tuhu pada para leluhur yang telah mewariskan Nusantara dengan segala pernak pernik kebudayaannya yang luhur.

Ada pola lampah atau metode jalan spiritual yang hendak disampaikan melalui Spiritual Odyssey ini.  Yaitu pola lampah dan metode jalan spiritual ala leluhur yang berorientasi membawa kita pada pengenalan diri dan jatidiri, sekaligus membuat diri kita berada dalam harmoni: dengan sesama manusia, dengan alam dan segenap unsurnya, dengan leluhur, termasuk dengan makhluk yang tak terlihat mata wadag.

Pengenalan akan diri dilakukan melalui metode laku prihatin, olah nafas, dan olah bathin – salah satunya melalui jalan meditasi.  Pengenalan akan jatidiri terlaksana melalui penyadaran akan budaya luhur yang kita warisi dari leluhur kita sendiri.  Dan harmoni diraih melalui penumbuhan sikap welas asih kepada sesama makhluk, dan rasa hormat kepada leluhur maupun para pamomong Bumi Nusantara.

Pola demikian adalah pola dasar, agar kita bisa mengapai tataran spiritual yang lebih tinggi.  Pasca spiritual odyssey, diharapkan pola dasar ini tetap bisa diteruskan hingga kita kian mendekati sampurnaning laku dan sampurnaning urip.

Selanjutnya, mari kita simak pepeling Eyang Mangkunegoro IV dalam Serat Wedhatama:
Wruhana raga pun iku dumadine saka alam telu Alam wadag, alam jiwa dan atmaneki Openan kanthi laku Lakune ngeningken batos

[Kini ketahuilah bahwa manusia itu Terdiri dari 3 alam Alam wadah atau jasmani, alam jiwa atau rohani, dan alam atman yang maha suci Ketiganya harus kita pelihara dengan baik Dan caranya hanya dengan mengheningkan hati kita sendiri]

Carane ana telu Tarak Brata, Tapa Brata iku Puja Brata iku laku kabeng katri Telu lakonono Runtut Dimen Tinampa Hyang manon

[Caranya ada tiga Yaitu tarak broto untuk jasmani kurangilah makan, tidur dan mengendalikan panca indera Topo Broto, Rohani kendalikanlah hawa nafsu Dan puja broto melaksanakan konsentrasi sepenuhnya dengan cara meditasi ketiga-tiganya harus dijalankan secara bersama-sama]

Tembang Gambuh di atas, memberi kita pedoman praktis. Laku prihatin yang hakikatnya adalah upaya pengendalian diri, dilaksanakan melalui Tarak Brata, Tapa Brata, dan Puja Brata. Ketiga langkah ini terkait dengan tiga dimensi diri kita: raga, jiwa dan atma. Diri kita, adalah kesatuan dari tiga lapis keberadaan. Pertama, raga yang mencerminkan 4 unsur bumi: api, air, udara, dan tanah. Kedua, sukma yang mencerminkan diri kita pada tataran yang lebih halus, yang bersinggungan dengan makhluk lain pada dimensi kegaiban (alam kasunyatan). Dan ketiga, Atma atau Sukma Sejati, yang mencerminkan keberadaan Wujud Maha Rahasia di dalam diri kita.

Laku prihatin dilakukan dengan mengolah tiga lapis keberadaan kita tersebut. Tarak brata dilaksanakan melalui upaya mengurangi konsumsi/pemuasan nafsu oleh raga kita: mengurangi makan, tidur, berhubungan seks, dan berbagai kegiatan lainnya yang terkait dengan panca indera kita. Tapa brata dilaksanakan melalui olah bathin, melalui olah pikir, dengan orientasi membuat jiwa kita selalu dalam kebaikan, terjauhkan dari angkara, egoisme, dengki, dan ekspresi jiwa negatif lainnya. Dalam bahasa lain, tapa brata adalah upaya kita untuk membuat jiwa dan pikiran kita selalu dalam keadaan positif, penuh syukur, penuh kewelasasihan, punya spirit untuk selalu memberi manfaat pada sesama, dan pada tingkat tertinggi, merasa diri melebur dengan semesta ini. Sementara puja brata adalah upaya untuk memasuki alam keheningan, menyatukan diri kita dengan Sukma Sejati, merasakan kemanunggalan dengan Atman...dengan Gusti Ingkang Murbeng Gesang.

Sebagai bagian dari laku prihatin, dan ini sangat vital, adalah sikap untuk berbakti kepada orang tua dan leluhur. Berbakti kepada orang tua adalah memuliakan orang tua dan melakukan berbagai upaya agar diri ini mendapatkan kewelasasihan dari orang tua kita. Kita memenuhi apa yang diinginkan atau dibutuhkan orang tua kita semampu kita. Sementara itu, berbakti kepada leluhur adalah sikap memuliakan, menyambung rasa, dan upaya meneruskan amanat dari orang-orang yang menurunkan kita. Leluhur adalah para pendahulu kita yang sudah hidup di alam kehidupan sejati tanpa ragawi. Leluhur dekat adalah orang-orang yang menurunkan kita sebagai generasi penerus kehidupan ini. Apabila ortu sudah meninggal dunia, ortu disebut pula sebagai leluhur paling dekat.

Pembaharuan Nusantara


Indonesia sedang berbenah; perubahan menuju keadaan baru yang lebih mencerminkan cita-cita para pendiri negeri ini, terus terjadi.  Salah satu mekanisme perubahan itu adalah perubahan pada tataran pribadi-pribadi: semakin banyak putra-putri Ibu Pertiwi yang terpanggil untuk menegakkan jatidiri bangsa dan membangun hubungan dengan para leluhur.

Kita, para putra-putri Ibu Pertiwi yang terpanggil mengikuti Spiritual Odyssey, adalah bagian dari mereka yang terpilih menjadi garda depan perjuangan mengembalikan kejayaan negeri ini.  Ini yang perlu disadari; dan menjadi pemicu bagi kita untuk berbenah diri lalu berupaya melahirkan karya terbaik bagi Indonesia tercinta.

Lewat Spiritual.Odyssey ini kita merekat persaudaraan, membangun jejaring dan kemitraan, agar lahir karya yang monumental bagi negeri ini.  Kita sama-sama mempraktekkan filosofi sapu lidi: dengan bersama kita menjadi kuat dan penuh daya.  Kita dengan berbagai latar belakang berbeda, mari menjadi satu padu, diikat oleh ikatan bathin tan kasat mata namun demikian kukuh.  Kita berjalan senasib sepenanggungan sebagai sesama manusia yang berpijak di Bumi Nusantara, menghirup udara dan sari-sari makanan dari Ibu Pertiwi.  Sudah selayaknya kita junjung bersama langit Nusantara: kita hidupkan budaya nan luhur warisan dari para leluhur Nusantara.  Demikianlah salah satu jalan agar kejayaan negeri ini bisa kembali.


Demikian yang bisa saya sampaikan.  Rahayu. Rahayu.  Rahayu.

3 Responses to "REFLEKSI MENJELANG SPIRITUAL ODYSSEY 2"

  1. SembahBekti kepada Para Pahlawan, Jayalah Nusantara..

    ReplyDelete
  2. matur nuwun sharing dan refleksinya.
    Ringkas, padat, dalam = "keren" sangat menyentuh dan menginspirasi.
    Nuwun. Rahayu.

    ReplyDelete
  3. Maturnuwun pencerahannya, rahayu

    ReplyDelete



Laku spiritual adalah proses bertumbuhnya pengalaman keilahian, wujudnya adalah menjadi penuh dengan daya, penuh kebijaksanaan, penuh kecerdasan, penuh kreatifitas, penuh welas asih.


Setyo Hajar Dewantoro
Founder of Mahadaya Institute


Buku

Buku Medseba Buku Sastrajendra Buku Suwung Buku Sangkan Paraning Dumadi Buku Jumbuh Kawula Gusti Buku Tantra Yoga Buku Kesadaran Matahari Buku Kesadaran Kristus

Kegiatan