JURUS MAHA KASIH





Di Puncak Gunung Batur, Abad 5 Masehi. Perang Puputan terjadi.  Para pendekar dari dari dua perguruan terbesar di Bali masa itu, yaitu Paguron Ardha Candra dan Paguron Surya, menyabung nyawa untuk menuntaskan perselisihan dan dendam bertahun-tahun.  Dan dalam pertempuran dahsyat itu, hanya 1 orang pendekar dari Paguron Ardha Candra yang selamat.  Itupun dalam keadaan penuh luka.

Demikian catatan peristiwa sebagaimana terekam dalam rontal yang masih dipegang oleh Perguruan Seruling Dewata di Bali.

Sebuah pertanyaan penting, mengapa peristiwa seperti itu terjadi? 

Menengok masa silam di mana puncak Gunung Batur yang pernah menjadi padang kurusetra bagi para pendekar di Bali Dwipa – dan sejak itu, banyak peristiwa serupa terjadi di Bali maupun Nusantara.  Maka, kita perlu KESADARAN BARU yang memastikan Nusantara ke depan ada dalam kedamaian dan harmoni, terlepas dari belengu keakuan sekaligus dualitas yang melahirkan konflik.

Bali Yang Semula Damai, Terkoyak Karena Keakuan

Bali, di permulaan jaman Masehi bahkan juga di masa sebelumnya - adalah tanah kedamaian.  Hutan lebat melingkupinya, mataharipun susah menerobos masuk.  Ada banyak pertapa, yang mencari suara dalam sepi dan terang dalam gelap.

Kala itu, hanya ada satu perguruan besar yang meliputi seluruh Bali. Ialah Paguron Sunia Nala Twara.  Keberadaan perguruan ini bebas, tanpa ikatan.  anggotanya bisa saling tidak mengenal, namun merasa diri satu.

Namun kemudian, mengikuti hasrat dan olah nalar, ada beberapa pihak yang berinisiatif membakukan kelompok-kelompok perguruan, hingga muncul dua yang terbesar, yaitu Paguron Surya dengan 11 Cabang dan Paguron Ardha Candra dengan 12 Cabang.

Pergeseran lokus kesadaran ke ranah nalar/pikir/kepala, diduga kuat menjadi sebab menguatnya keakuan dan menjadi pangkal konflik.  karena keakuan (disimbolkan dengan hasrat meraih gelar lelananging jagad), kedigdayaan yang dimiliki para pendekar perguruan malah jadi menghancurkan.

Benih Kesadaran baru
Puputan di Puncak Gunung Batur, menyisakan 1 pendekar dari Paguron Ardha Candra, yaitu Ki Goplo.  Ia satu-satunya yang hidup, walau terluka parah.  Ia memulihkan diri di pertapaannya, di puncak Gunung Watukaru.  Tak hanya memulihkan diri dari luka raga.  Ia melakukan permenungan atas semua yang telah terjadi, hingga terbitlah kesadaran baru.

Ki Goplo, kembali pada kesadaran yang berlokus pada rasa.  Itu disimbolkan oleh pusaka yang ia pegang: seruling.  Dari serulingnya itu, di Gunung Watukaru mengalun suara nan indah, sejuk, tenang, terutama di malam Bulan Purnama.

Ki Goplo, yang hidup dalam ketelanjangbulatan, kemaluannya ditutupi janggut yang panjang menjuntai, dan badannya diselimuti rambutnya yang putih panjang hingga kaki, menegaskan kembali keluasan nalar, kebijaksanaan, kebersahajaan, kelembahmanahan dan kasih murni.

Lalu, terjadi peristiwa penting. Ki Goplo bertemu 4 pendekar utama di Bali Dwipa yang mengklaim diri mereka sebagai 4 pendekar tanpa tanding, yang sedang mengeroyok seorang pengelana dari Jambu Dwipa atau India.

Hanya dalam satu gebrakan lembut, Ki Goplo merontokkan tenaga dalam mereka tetapi tanpa membunuh.

Maka, itu kemudian menjadi jalan bagi sang pengelana yang sebenarnya merupakan pangeran dari satu Kerajaan di Kanchipuram – Baramon dekat Madras, bernama Byanlu Syamar, untuk menjadi murid Ki Goplo.  Sang pengelana ini sebelumnya adalah murid dari Mahaguru di India berjuluk Swami Prajnatara. 

Ia telah menguasai kedigyaan dan kebijaksanaan tingkat tinggi, tapi disarankan gurunya mencari kesempurnaan ke Nusantara.  Dan dalam satu pertarungan, di Bali, ia sudah terpepet dan mendekati momen kematian ketika bertarung melawan 4 pendekar tanpa tanding sekaligus, yaitu I Manasara dari Gunung Batur, I Pisana dari Gunung Agung, I Krengga dari puncak kedua Gunung Watukaru, dan I Cangkreng dari Pulau Karang di Selatan Bali.  Lalu, datanglah pertolongan dari Ki Goplo yang datang tiba-tiba dan menaklukkan 4 pendekar itu melalui satu gerak yang mengandung 108 jurus sekaligus.

Maka, Byanlu Syanmar mau berguru pada Ki Goplo, karena sadar bahwa sosok satu ini memiliki kemampuan melampaui semua gurunya di India.  Ia tunduk tanpa peperangan kepada Ki Goplo yang mulai menghidupkan kembali ajaran kuna, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang datan ngasorake.

Byanlu Syamar, yang kemudian berjuluk Ki Budi Dharma dan menjadi sesepuh Perguruan Seruling Dewata di Watukaru, setelah menyerap ajaran dari Ki Goplo, bisa melahirkan jurus pamungkas bernama JURUS MAHA KASIH.  Ini adalah jurus tanpa gatra; tak terlihat tapi ada dan penuh daya.

Inilah salah satu jurus pamungkas yang kemudian diserap oleh Ki Hanuraga, penerus dari Ki Budi Dharma sebagai sesepuh Perguruan Watukaru generasi III yang berasal dari Jawa Dwipa.

Trio Pemersatu Nusantara
Ki Hanuraga, kemudian tercatat sebagai guru bagi 3 ksatria hebat: Gajah Mada, Ki Soma Kepakisan, dan Ki Kebo Iwa.

Tokoh ini teruji ketangguhannya ketika menundukkan Thi Khi Beng, pendekar Tiongkok paling hebat yang berkelana ke Tanah Jawa dan sempat tak terkalahkan oleh siapapun.

Lalu, pada masa pengelanaannya di Jawa Dwipa, Ki Hanuraga bertemu dengan Gajah Mada cilik, yang saat itu bernama I Dipa dan hidup di Desa Madakaripura, Probolinggo.  Pertemuan keduanya terjadi ketika Gajah Mada cilik membunuh sekaligus menghisap darah ular wilis sebesar pohon pisang, dan memakan jamur  bernama Ong Brahma yang sebenarnya adalah satu mustika.

Ki Hanuragalah yang menyelamatkan nyawa Gajah Mada kecil, yang pasti mati apabila tak tertolong akibat racun darah ular dan jamur dengan karakter energi berlawanan: dingin dan panas.

Gajah Mada, belajar dari Ki Hanuraga, bersama rekan seperguruannya Ki Soma Kepakisan. Mereka berdua mendapatkan ilmu-ilmu tertinggi dari Perguruan Watukaru.

Terkait dengan penyatuan Nusantara, Ki Hanuraga mengingatkan Gajah Mada agar sadar akan 4 perguruan terbaik di Nusantara, pertama adalah Perguruan Watukaru, dan selanjutnya adalah Pajajaran Madangkara di Jawa Dwipa bagian barat,yang ketiga adalah Bukit Siguntang di Swarna Dwipa dan terakhir Lembah Saweri Gading.

Ki Hanuraga juga menganjurkan Gajah Mada untuk membentuk pasukan khusus yang digelari Bala Dewata.

Pembelajaran dari Ki Hanuraga inilah yang menjadi dasar Gajah Mada kemudian melontarkan SUMPAH PALAPA untuk mempersatukan Nusantara.

Sementara itu, Ki Soma Kepakisan, saudara seperguruan Gajah Mada yang dalam perjalanan mencari Sang Maha Guru Ki Hanuraga di Bali Dwipa, kemudian merekrut Kebo Iwa yang perkasa sebagai muridnya.  Dan ketika ujungnya mereka bisa bertemu dengan Ki Hanuraga, Kebo Iwa ini selanjutnya juga menjadi murid langsung Ki Hanuraga.

Tiga murid Ki Hanuraga ini, selanjutnya menjadi trio pendekar pemersatu Nusantara, dengan peran yang berbeda: Gajah Mada sebagai pejabat negara berbasis di Majapahit, Ki Soma Kepakisan tetap menjalani peran sebagai begawan, dan Kebo Iwa sebagai pejabat negara berbasis di Bali.

Kunci Kehebatan
Kehebatan Ki Goplo, Ki Budi Dharma, Ki Hanuraga, Gajah Mada, Ki Soma Kepakisan dan Kebo Iwa, karena mereka ngugemi ngelmu Nusantara kuna.

Ngelmu ini berpangkal pada penyadaran akan rasa, yang mengarahkan setiap orang jumbuh dengan rasa sejatinya.

Ngelmu ini, mengarahkan seseorang untuk sadar akan getar terlembut  di pusat hatinya, yang membuatnya terhubung dengan sumber daya yang paling dahsyat, sekaligus sumber dari segala terang/cahaya dan kasih murni.

Ini perlu diungkap dengan lugas dan terbuka, karena inilah rahasia di balik kehebatan para ksatria dan begawan Nusantara di masa silam, yang masih relevan untuk dipraktikkan kembali pada masa kini guna memulihkan kejayaan Nusantara.
0 Response to "JURUS MAHA KASIH"

Post a Comment



Laku spiritual adalah proses bertumbuhnya pengalaman keilahian, wujudnya adalah menjadi penuh dengan daya, penuh kebijaksanaan, penuh kecerdasan, penuh kreatifitas, penuh welas asih.


Setyo Hajar Dewantoro
Founder of Mahadaya Institute


Buku

Buku Medseba Buku Sastrajendra Buku Suwung Buku Sangkan Paraning Dumadi Buku Jumbuh Kawula Gusti Buku Tantra Yoga Buku Kesadaran Matahari Buku Kesadaran Kristus

Kegiatan