CETAK BIRU DAN FREE WILL MANUSIA





Sie Koeng Gembloeng dan Sie Cah Mbeling berbincang santai tentang rahasia kehidupan.  Mereka memilih duduk di bangku kayu panjang, di bawah pohon mangga dengan dahan besar dan daun rimbun.  Pohon mangga itu berwarna coklat kehitaman.  Di beberapa tempat pada dahan itu ditumbuhi lumut berwarna hijau.  Saat musim hujan tiba, dan dahan menjadi lembab, lumut itu semakin banyak.

Sie Koeng Gembloeng tengah membabar perkara cetak biru dan free will manusia.

“Perhatikan apa yang ada di halaman rumah ini.  Setiap tumbuhan di halaman rumah ini, mulai dari suruh wulung, mahkota dewa, kelapa gading, mangga, semuanya, punya kegunaan dan keindahan masing-masing.  Tegasnya, setiap pohon itu, sesuai karakter serta komposisi fisika dan kimia pada dirinya, memiliki kegunaan tertentu.  Dan ketika dipandang, masing-masing menunjukkan aspek keindahan tertentu.  Dipandang secara keseluruhan, seluruh pepohonan itu menggambarkan satu paduan yang serba harmonis, dan membuat jiwa kita mau tak mau akan berseru, ‘Betapa indahnya!’

Nah, demikianlah sesungguhnya manusia.  Setiap pribadi terlahir dengan peruntukan tertentu.  Jika pribadi tersebut hidup sesuai peruntukan demikian, keberadaannya pasti membawa harmoni, membuat jagad yang telah indah ini menjadi lebih indah.

Namun, kita perlu mengerti bahwa perbedaan manusia dengan tetumbuhan adalah, manusia punya free will atau kemerdekaan untuk memilih, apakah akan hidup dan bertindak sesuai peruntukannya atau tidak.

Sesungguhnya, setiap pribadi memiliki cetak biru untuk menjalankan missi agung, menjadi mitra Sang Penyelenggara Hidup ini dalam membangun keindahan yang serba harmonis di semesta ini.  Namun, karena setiap pribadi sudah dianugerahi kemampuan untuk mengambil keputusan yang otonom, maka kehidupannya selalu punya dua kemungkinan.  Selaras dengan cetak biru, atau berlawanan dengan cetak biru.”

Sie Cah Mbeling bertanya dengan wajah polos, "Koeng, apakah ada manusia yang memiliki cetak biru sebagai mafia?"

Sie Koeng Gembloeng menjawab sambil tersenyum.  "Hmmmm.....tidak ada satupun manusia yang memiliki cetak biru untuk menjadi perusak kehidupan yang sejatinya telah indah.  Jika ada seseorang yang bertindak atau memiliki profesi yang merugikan pihak lain dan mengakibatkan disharmoni, maka ia telah melenceng dari cetak birunya."

Mendengar itu, Sie Cah Mbelingpun menanggapi.  "Berarti begini Koeng. Dalam kehidupan mafia memang ada etika yang mesti dipegang.  Dan pasti ada tokoh mafia yang menjadi buah bibir karena kehebatan kepemimpinan, atau tindakan heroiknya dalam melindungi anggota keluarga.  Tetapi jika secara keseluruhan ada pihak-pihak yang dirugikan karena keberadaan mereka, bisa disimpulkan menjadi mafia itu bukanlah sebuah cetak biru dari Sang Penyelenggara Hidup.  Dia tak akan pernah mengadakan manusia untuk saling merugikan sesama dan menghancurkan tatanan-Nya.”

Sie Koeng Gembloeng menukas, “Ya, tapi kemudian, tetap cermat dan bijak untuk tidak menghakimi sebuah realitas.  Karena jagad ini penuh dengan kenyataan yang bisa membuat nalarmu ruwet jika kamu tidak cermat dan bijak.”

“Apa maksud Koeng?”  Tanya Sie Cah Mbeling.

“Perhatikan kehidupan kucing dan tikus.  Kucing itu memang punya instink memakan tikus.  Memakan tikus itu sudah bagian dari cetak biru si kucing.  Bisa saja kan kamu menyatakan, bahwa si kucing yang memakan seekor tikus telah merugikan si tikus, dan merusak harmoni kehidupan.”  Sie Koeng Gembloeng menjelaskan.

Sie Cah Mbeling tertawa lalu memberikan tanggapan, “Ha, ha, ha, ya Koeng.  Iya...itu menarik Koeng?  Kenapa Gusti membuat kucing punya instink memakan tikus?  Kan kasihan si tikus dong.....!”

Sie Koeng Gembloeng ikut tertawa lalu memberikan paparan, “Ha, ha, ha.  Ya memang akan repot kalau nalar seseorang dikendalikan oleh perasaan.  Kasihan itu adalah ekspresi perasaan manusia.  Padahal, jika kita mencermati sesuatu apa adanya..ya tidak ada yang perlu dikasihani.  Sesuatu yang berjalan natural, tidak perlu dilabeli apapun sesuai emosi kita.  Biarlah itu apa adanya, dengan watak dasarnya: keindahan dan harmoni!

Di jagad ini memang pasti ada siklus: ada kalanya sesuatu menggatra, lalu musnah dan memulai proses menjadi gatra baru.  Pada tetumbuhan, binatang, dan juga bumi ini, itu berjalan dalam satu tatanan yang serba harmoni. 

Gunung berapi, ada kalanya meletus, meluluhlantakkan satu tatanan ekosistem yang telah terbentuk.  Tapi, lewat peristiwa itu, lahir ekosistem baru.  Demikian pula, ketika terjadi gempa tektonik..tanah terbelah....sebuah perbukitan yang semula demikian indah, bisa mendadak hancur.  Tapi, setelah itu, akan terbentuk bukin baru yang tak kalah indah atau bahkan lebih indah.

Satu benih yang dibawa angin atau dijatuhkan burung di satu hamparan tanah subur, akan tumbuh secara bertahap.  Benih itu bisa saja semula berukuran tak lebih dari satu milimeter, tapi kemudian tumbuh menjadi pohon besar setinggi 15 meter dengan diameter tak kurang dari 1 meter.  Tapi, akan tiba saatnya, dedaunan di pohon itu berguguran, meluruh menyatu kembali dengan tanah.  Bahkan batangnya pun bisa melapuk dan mati.

Demikialah proses yang natural di jagad raya ini.  Ada proses mengada, bertumbuh, sirna dan menggatra dalam rupa yang baru.  Tidak ada yang kejam di sana.”  

“Ya Koeng.  He, he, he..penilaian kita memang seringkali berakar pada gejolak perasaan kita.  Dan gejolak perasaan itu acapkali dipengaruhi persepsi kita, termasuk dibentuk oleh nilai-nilai yang dikondisikan di dalam diri kita melalui pendidikan dan pergaulan di masyarakat."  Sie Cah Mbeling berkata lalu melanjutkan pertanyaannya.

"Kembali pada cetak biru manusia.   Berarti realitasnya adalah, setiap manusia telah memiliki rancangan untuk menjalankan missi tertentu yang unik.  Untuk menjalankan missi unik itu, setiap manusia dibekali dengan talenta dan karakter dasar tertentu.  Dan rancangan itu terbentuk selama proses pembuahan, pertumbuhan di dalam kandungan, dan kelahiran manusia.  Saat pembuahan, berbagai data semesta diterakan di dalam sperma.  Lalu, di kandungan, data itu diproses lebih lanjut berdasarkan karakter dari sel telur yang memiliki DNA mitokondria.  Lalu, finalnya, pancaran energi dari tempat dan konstelasi benda-benda semesta ketika sang bayi dilahirkan, membentuk konfigurasi fisika dan kimiawi dari sang bayi.  Itu membentuk sang bayi sebagai pribadi yang punya talenta dan karakter unik, sesuai dengan missi yang diembannya.

Nah, pertanyaan mbeling saya.....Hla kok kenapa Gusti memberi kehendak bebas terhadap manusia?  Kan gara-gara itu manusia jadi bisa hidup berlawanan dengan cetak birunya?  Yang semula diperuntukkan untuk membuat kehidupan yang telah indah menjadi lebih indah, manusia malah jadi perusak.”

Sie Koeng Gembloeng menjawab, “Ha, ha, ha.  Ya suka-suka yang membuat hidup ini tho....Dia mau memberi free will pada kita, dan tidak memberikan itu pada pohon mangga, memang siapa yang melarang?  Ha, ha, ha.”

Sie Cah Mbeling tertawa tapi terus bertanya, “Ha, ha, ha, ya tidak ada yang melarang tho Koeng.  Tapi mengapa?”

“Kamu ini nanyanya macam-macam ya!” Tukas Sie Koeng Gembloeng.

“Lho, justru itulah, saya juga jadi punya pertanyaan baru, mengapa Gusti memberi saya kuasa dan kemampuan untuk bertanya macam-macam seperti ini?  Ha, ha, ha, ha."  Sie Cah Mbeling berkelit.

Sie Koeng Gembloeng tak kehabisan jawaban, “Ha, ha, ha, ha.  Ada beberapa pertanyaan yang tidak perlu dijawab saat ini.  Salah satunya pertanyaan mengapa Gusti memberi free will kepada kita.  Hla itu kan bagian dari free will dari Gusti.  Gusti bebas melakukan apa saja, ha, ha, ha.  Tidak peduli kita mengerti atau tidak.

Tapi begini.  Manusia, engkau dan aku, juga semua yang lahir dari kandungan ibu di Planet Bumi ini, adalah pengejawantahan dari Gusti.  Pada setiap pribadi, Gustilah yang menjadi inti kehidupannya.  Dalam bahasa yang lebih sederhana, kita semua ini adalah anak-anak Gusti.  Gustilah bapak kita yang sejati.  Kanjeng Romo yang sesungguhnya bagi kita ya Gusti itu.  Itulah rahasia mengapa kita punya free will, punya kehendak bebas.

Dengan rancangan ini, bahkan Gustipun tak akan bisa memaksa kita mengenai apa tindakan yang akan dipilih.  Detik ini saja, engkau kan bebas memilih.  Untuk nggaruk-nggaruk kepala, pergi ke kamar mandi, pulang ke rumahmu, tetap di sini bersamaku, apapun.  Gusti tak akan memaksamu melakukan salah satu tindakan itu.

Gusti jelas memberikan petunjuk padamu, tapi perkara engkau mengikuti petunjuk itu atau tidak, itu sepenuhnya engkau yang menentukan.”


Sie Cah Mbelingpun menukas, “Ya Koeng.  Saya membayangkan, Gusti itu menjadikan titah urip seperti manusia ini, karena Dia ingin bisa menyaksikan jagad yang ramai, yang tidak membosankan.  He, he, he.  Tanpa ada manusia yang bisa mbeling, gemblung,  tetapi bisa juga patuh, anteng, jagad ini tak akan mengenal tragedi dan komedi yang dramatis dan menghebohkan.”
0 Response to "CETAK BIRU DAN FREE WILL MANUSIA"

Post a Comment



Laku spiritual adalah proses bertumbuhnya pengalaman keilahian, wujudnya adalah menjadi penuh dengan daya, penuh kebijaksanaan, penuh kecerdasan, penuh kreatifitas, penuh welas asih.


Setyo Hajar Dewantoro
Founder of Mahadaya Institute


Buku

Buku Medseba Buku Sastrajendra Buku Suwung Buku Sangkan Paraning Dumadi Buku Jumbuh Kawula Gusti Buku Tantra Yoga Buku Kesadaran Matahari Buku Kesadaran Kristus

Kegiatan