Panduan Menemukan Guru Spiritual yang Sejati







Perjalanan spiritual meniti tangga-tangga kesadaran memang bukan perkara mudah.  Untuk mencapai tangga kesadaran yang semakin tinggi, jalannya memang berliku, penuh aral melintang.  Namun berita gembiranya, siapapun yang punya ketulusan dan bisa melampaui hasrat egoistiknya, niscaya bisa sampai tangga kesadaran tertinggi sesuai cetak birunya.  Demikianlah pengertian yang muncul saat saya merenungkan liku-liku perjalanan spiritual.

Bahkan ketika berbicara tentang “guru spiritual”, sungguh tidak mudah untuk menemukannya.  Banyak kasus dimana para pejalan spiritual mendapatkan penyingkapan betapa “guru spiritual” mereka sejatinya belum memiliki kejernihan jiwa.  “Guru spiritual” itu hanya punya kemampuan memainkan energi dan membuat banyak orang terkecoh persepsi dan penglihatannya.


Namun sejatinya tak ada peristiwa yang sia-sia.  Sehingga tepatlah pepatah, “Jangan pernah menyesali segala sesuatu yang telah berlalu!”.    

Semua peristiwa yang pahit, bahkan saat seseorang menjadi obyek penderita dari peristiwa manipulasi energi untuk kepentingan egoistik seseorang yang cukup full power, tetap ada banyak pelajaran yang bisa dipetik.  Semua pertistiwa hidup adalah proses menuju pematangan dan pemurnian jiwa.

Kriteria Guru Spiritual
Sebuah kewajaran, jika seorang pembelajar atau pejalan spiritual membutuhkan sosok yang bisa menuntun dan memandu.  Penuntun atau pemandu inilah yang biasa disebut sebagai Guru Spiritual.  Merekalah yang memberi peta jalan kepada kita bahkan menemani kita untuk sampai ke tempat tujuan.

Eyang Mangkunegara IV dalam Serat Wedatama telah mengingatkan kriteria orang yang memang bisa kita jadikan penuntun atau pemandu dalam proses perjalanan spiritual kita.  Merekalah yang dikategorikan sebagai “orang tua”, yaitu orang yang telah lebih dulu dan berpengalaman dalam meniti liku-liku perjalanan spiritual.

Demikian yang dituliskan oleh Eyang Mangkunegoro IV:
Iku kaki takokna, marang para sarjana kang martapi, mring tapaking tepa tulus, kawawa nahen hawa, wrohanira mungguh sanyataning ngelmu, tan mesthi nengjeneng wredha, tuwin muda sudra kaki.
(Anakku, tanyakan hal itu, kepada para sarjana yang berpengalaman, yang hatinya sudah menunjukkan ketulusan, dan sudah berhasil menahan hasrat egoistik. Ketahuilah sesungguhnya ilmu sejati itu tak hanya bisa dimiliki orang tua, tetapi juga bisa dimiliki kaum muda, bahkan orang tak berpunya)
Sapatuk wahyuning Gusti, ya dumilah mangulah ngelmu bangit, bangkit mikat reh mangukut, kukutaning jiwangga, yen mengkono kena sinebut wong sepuh, lire sepuh sepi hawa, awas roroning atunggil.
(Siapapun yang menerima wahyu Ilahi, lalu dapat mencerna dan menguasai ilmu, mampu menguasai ilmu kesempurnaan, yaitu kesempurnaan pribadi, orang yang demikian itu pantas disebut sebagai orang tua, orang yang sudah tidak lagi dikuasai hasrat egoistik, dapat menghayati manunggalnya dua keberadaan).


Guru spiritual yang sejati, memang sewajarnya telah mengalami pengertian yang cukup utuh mengenai kejumbuhan dengan Gusti.  Dia mengerti realitas Gusti yang tanpa batas lewat penyaksian batinnya, sekaligus terhubung denganNya yang mengejawantah di dalam diri sebagai Sang Guru Sejati.  Guru-guru seperti ini sejatinya hanya bertugas menuntun agar para pembelajar spiritual bisa terhubung dengan Sang Guru Sejati di dalam diri mereka masing-masing, lalu memerdekakannya.

Lalu, bagaimana cara menentukan apakah seseorang memang bisa ditempatkan sebagai seorang Guru Spiritual?  Jika penglihatan bathin seseorang cukup tajam, sesungguhnya dengan penglihatan bathinnya itu dia bisa menyingkapkan realitas jiwa mereka.  Jiwa yang jernih sangat bisa dibedakan jiwa yang tidak jernih.  Jiwa yang murni bisa dibedakan dengan jiwa yang ditunggangi entitas lain yang menjadi pemasok energi bahkan pemasok pengetahuan yang diajarkan.

Jika seseorang belum bisa mempergunakan penglihatan bathinnya, setidaknya dia bisa menimbang-nimbang dari aspek kebersahajaan dan ketulusan.  Ini tidak bicara tentang penampilan fisik yang dibuat sederhana atau ditulus-tuluskan.  Ini tentang perilaku yang serba spontan, tanpa pencitraan dan aura kasih yang dengan kuat bisa dirasakan.  Guru Sejati yang sesungguhnya adalah “orang-orang biasa” yang hidup tanpa peduli persepsi orang lain dan citra yang terbentuk.  Ia juga melayani dengan ketulusan yang bisa menyentuh jiwa kita.

Seorang pemandu spiritual yang sejati juga pada umumnya tidak akan membatasi pembelajaran sang pembelajar hanya kepadanya.  Ia akan membebaskan siapapun untuk belajar di manapun dan kepada siapapun.  Tetapi ia hanya memberikan pandangan mengenai realitasnya dan konsekuensi-konsekuensi yang bisa terjadi.

Pada kenyataannya, seorang pembelajar baru akan bertemu dengan sang guru spiritual yang sesungguhnya, setelah melewati proses berliku dan mengalami proses penjernihan jiwa.  Tak keliru pepatah yang menyatakan, “Saat yang murid siap, sang gurupun tiba”.

Dalam perjalanan lebih lanjut, sejatinya juga tak ada guru dan murid, apalagi dengan hubungan yang kaku dan formalistik.  Yang ada adalah sesama pejalan kehidupan yang saling berbagi pengalaman, pencerahan dan penyadaran.

Teruslah Berjalan
Memungkasi tulisan ini, saya ingin menyatakan, teruslah berjalan wahai para perindu kesejatian, para pembelajar yang tak pernah mau berhenti untuk belajar!  Di atas langit ada langit.  Tak ada titik henti untuk sebuah perjalanan spiritual.  Tak juga ada batas untuk pengetahuan yang didasarkan pada kenyataan hidup.

Ketika Anda sempat keliru jalan atau kesasar, tak perlu berkecil hati.  Ada pembelajaran tersendiri dalam proses itu meskipun terasa memedihkan.  Realitasnya, semesta menyediakan mekanisme perlindungan dan penyelamatan bagi siapapun yang tulus dalam melangkah dan benar-benar dibakar rindu untuk bertemu kesejatian.  
Tetapi, tentu saja sewajarnya jika Anda semakin lama semakin waspada dan cermat sehingga tidak kembali keliru jalan. 

Satu pengalaman pribadi yang bisa saya ungkapkan, ketika kita telah terhubung dengan Sang Guru Sejati di dalam diri, bukan berarti kita lalu berhenti belajar dari orang lain.  Setiap pribadi punya pengalaman unik, maka sewajarnya kita terus belajar dengan mencermati pengalaman unik orang lain itu.  Tak wajar jika kita bersikap menutup diri dari kemungkinan belajar kepada orang lain.  Apalagi sampai menganggap kita sebagai orang paling tahu dan paling tinggi kesadarannya.  Itu adalah pangkal kejatuhan!  Kita benar-benar pasti jatuh jika dilekati kesombongan.

Kemudian, kita juga bisa belajar dari guru-guru spiritual yang tak kasat mata.  Ada sosok-sosok metafisik yang bisa muncul dalam kehidupan kita saat jiwa kita semakin jernih.  Sebagaimana guru spiritual kasat mata, mereka juga bisa memberikan masukan, petuah, dan berbagai kesadaran baru.  Tetapi yang perlu dicatat, jiwa kita sewajarnya tetap merdeka, tak terbelengu oleh apapun.  Kenyataannya, guru-guru tak kasat mata itu sesungguhnya juga tak pernah bersikap memaksa, mendikte.  Mereka semata-mata juga hanya menyampaikan satu realitas semesta sebagaimana dititahkan Sang Sumber Keberadaan.

Rahayu!

3 Responses to "Panduan Menemukan Guru Spiritual yang Sejati"



Laku spiritual adalah proses bertumbuhnya pengalaman keilahian, wujudnya adalah menjadi penuh dengan daya, penuh kebijaksanaan, penuh kecerdasan, penuh kreatifitas, penuh welas asih.


Setyo Hajar Dewantoro
Founder of Mahadaya Institute


Buku

Buku Medseba Buku Sastrajendra Buku Suwung Buku Sangkan Paraning Dumadi Buku Jumbuh Kawula Gusti Buku Tantra Yoga Buku Kesadaran Matahari Buku Kesadaran Kristus

Kegiatan