LAKU SPIRITUAL SATRIA PINANDITA FASE II (1)



Selalu ada momen untuk penyadaran baru yang membawa pada penyempurnaan laku.  Demikianlah yang saya alami pada permulaan 2016.  Semesta menuntun untuk mempertanyakan kembali segenap laku dan capaian selama 2 tahun terakhir.  Maka tersingkaplah kasunyatan: kemajuan telah banyak dicapai, tapi mesti ada perubahan-perubahan revolusioner untuk mencapai kemajuan yang lebih signifikan dalam berbagai aspek kehidupan.

Satu kesadaran penting, bahwa metoda untuk mencapai tujuan dari laku spiritual tidaklah tunggal.  Tujuan laku spiritual adalah untuk menjernihkan jiwa dan membangun kesadaran.  Dalam kosa kata Jawa, tujuan laku spiritual adalah meraih sampurnaning hurip.  Ada banyak jalan untuk mencapai tujuan itu, setiap pribadi bisa berbeda karena setiap pribadi itu unik.  Kita sewajarnya tidak terpaku apalagi mengagungkan satu metoda sembari menyalahkan dan melecehkan metoda lain.

Terkait kesadaran baru itu, saya yang semula terpaku pada satu jalan dan metoda kemudian melepas itu.  Dan menjadi terbuka pada jalan dan metoda lain.  Tidak mudah prosesnya, karena sempat ada kebingungan layaknya orang kehilangan pegangan.  Apalagi saat itu, saya kadung dikenal sebagai "Master" dalam metoda yang saya lepaskan itu.  Tidak mudah untuk kemudian menemukan metoda lain yang cocok untuk diri pribadi.  Tapi pada pungkasannya, saya bisa melewati masa transisi ini.  Saya menemukan dan mempraktikkan metoda baru ini.  Dan saya jadi punya sikap lebih apresiatif pada berbagai metoda yang berbeda.

Kesadaran lain adalah bahwa sepatutnya saya kembali " anak semesta".  Dalam pengertian kembali menjalani laku manekung dan tapa brata di berbagai pepunden sebagaimana pernah saya jalani 5 tahun, sejak 2008-2013.  Tentunya dengan kesadaran baru, dengan jiwa yang lebih tulus dan tata cara yang lebih selaras dengan tuntunan Guru Sejati.

Keterhubungan dengan Guru Sejati dicapai melalui perjalanan ke dalam diri, antara lain melalui meditasi berfokus pada pusat hati/telenging manah.  Guru Sejatilah yang menjadi filter agar kita tidak terkontaminasi dan terpedaya oleh kebetadaan berbagai entitas metafisik seperti demit, siluman, jin, dan lainnya, yang wajarnya ada pada tiap pepunden.  Ketertuntunan oleh Guru Sejati membuat kita memancarkan vibrasi yang selaras dengan para Guru Suci dari kalangan dewa dewi maupun para leluhur.

Demikianlah, dalam rangka mencapai jiwa yang semakin jernih dan murni, saya tergerak untuk semakin intensif manekung dan menjalani tapa brata di berbagai pepunden.  Pada trip perdana di bulan Juni 2016, saya diperjalankan ke Candi Penataran di Blitar, Candi Badut dan Candi Sumberawan di Malang. dipungkasi dengan naik ke Gunung Arjuna lewat satu desa di Pasuruan.

Candi Penataran punya nama lain juga Candi Palah, sebagaimana disebut dalam prasasti Palah, dibangun pada tahun 1194 oleh Raja Çrnga (Syrenggra) yang bergelar Sri Maharaja Sri Sarweqwara Triwikramawataranindita Çrengalancana Digwijayottungadewa yang memerintah kerajaan Kediri antara tahun 1190 – 1200, sebagai candi gunung untuk tempat upacara pemujaan agar dapat menangkal atau menghindar dari mara bahaya yang disebabkan oleh Gunung Keludyang sering meletus. 

Candi Badhut ditemukan oleh pakar arkeologi di tahun 1923. Candi yang juga disebut Candi Liswa ini berlokasi kurang lebih 5 km dari kota Malang, tepatnya di Desa Karangbesuki, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Candi Badhut diduga diperkirakan dibangun jauh sebelum masa pemerintahan Airlangga, yaitu masa dimulainya pembangunan candi-candi lain di Jawa Timur, dan diduga merupakan candi tertua di Jawa Timur.

Sebagian ahli purbakala berpendapat bahwa Candi Badhut dibangun atas perintah Raja Gajayana dari Kerajaan Kanjuruhan. Dalam Prasasti Dinoyo (tahun 682 Caka atau 760 M), yang ditemukan di Desa Merjosari, Malang, dijelaskan bahwa pusat Kerajaan Kanjuruhan adalah di daerah Dinoyo.

Prasasti Dinoyo sendiri saat ini tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Tulisan dalam prasasti juga menceritakan tentang masa pemerintahan Raja Dewasimba dan putranya, Sang Liswa, yang merupakan masa keemasan Kerajaan Kanjuruhan. Kedua raja tersebut sangat adil dan bijaksana serta dicintai rakyatnya. Konon Sang Liswa yang bergelar Raja Gajayana yang sangat senang melucu (bahasa Jawa: mbadhut) sehingga candi yang dibangun atas perintahnya dinamakan Candi Badhut. Walaupun terdapat dugaan semacam itu, sampai saat ini belum ditemukan bukti kuat keterkaitan Candi Badhut dengan Raja Gajayana.

Sementara itu, Candi Sumberawan dulunya bernama Kasurangganan, berarti Taman Bidadari. Nama ini cukup terkenal dalam kitab Negarakertagama. Candi ini pernah dikunjungi oleh Hayam Wuruk pada tahun 1359 M, ketika ia mengadakan perjalanan.  Diperkirakan ia dibangun pada masa Singhasari.

Gunung Arjuno (Arjuna) sebagai tempat pamungkas yang saya kunjungi, memiliki ketinggian sekitar 3.339 mdpl dan berada di bawah pengelolaan Taman Hutan Raya Raden Soeryo. Saya sendiri mendaki lewat sebuah desa di Pasuruan.

Gunung Arjuna dikenal sebagai lokasi pemujaan sejak masa silam, bahkan hingga sekarang di kawasan Arjuno masih banyak ditemukan peninggalan bersejarah seperti arca maupun candi.  Di Gunung Arjuna juga terdapat petilsan sebagai berikut: Petilasan Eyang Antaboga, Eyang Abiyasa, Ayang Sekutrem, Eyang Sakri, Eyang Semar, Eyang Sri Makutharama dan petilasan Sepilar.

Saya karena keterbatasan waktu, hanya sampai Petilasan Eyang Semar yang bisa ditempuh dengan 4 jam pendakian.

Meditasi penyelarasan jagad alit jagad ageng di Gunung Arjuna menandai kelahiran baru.

Hom hulli hulli hom.
Suksma loka suksma loka paktry paktry.

0 Response to "LAKU SPIRITUAL SATRIA PINANDITA FASE II (1)"

Post a Comment



Laku spiritual adalah proses bertumbuhnya pengalaman keilahian, wujudnya adalah menjadi penuh dengan daya, penuh kebijaksanaan, penuh kecerdasan, penuh kreatifitas, penuh welas asih.


Setyo Hajar Dewantoro
Founder of Mahadaya Institute


Buku

Buku Medseba Buku Sastrajendra Buku Suwung Buku Sangkan Paraning Dumadi Buku Jumbuh Kawula Gusti Buku Tantra Yoga Buku Kesadaran Matahari Buku Kesadaran Kristus

Kegiatan