BENARKAH TUHAN ADA?






Jawaban atas pertanyaan apakah Tuhan itu ada, tergantung dari kesadaran kita mengenai kata ‘ada”.  Jika ada berarti kenyataan yang harus memiliki gatra atau bentuk fisik, sudah jelas jawabannya bahwa Tuhan memang tidak ada.  Karena dengan menggunakan instrumen apapun, tidak pernah ada yang bisa melihat atau menyaksikan sosok Tuhan. 

Jika “ada” diperluas hingga meliputi kasunyatan metafisik, pernyataan Tuhan itu ada atau tidak, tergantung kesadaran pada pengertian mengenai Tuhan itu sendiri.  Bagi yang berkesadaran bahwa Tuhan adalah Pribadi dengan keberadaan metafisik – dan secara sederhana kita mengkategorikan mereka sebagai penganut kepercayaan Tuhan Personal – ada teks kuno yang menyatakan bahwa Tuhan itu ada.  Diceritakan tentang orang tertentu yang menyaksikan realitas atau kenyataan berupa sosok yang menakjubkan, agung, yang kemudian dinyatakan sebagai Tuhan.  Dalam Bhagawad Gita tertulis bahwa Arjuna menyaksikan Sri Krisna dalam rupaNya yang sesungguhnya sebagai Saguna Brahman (Tuhan yang mempribadi). 

Di dalam Bhagawat Gita[1], Sri Krishna sebagai personalitas Tuhan Yang Maha Esa adalah narasumber yang menguraikan ajaran-ajaran filsafat vedanta, sedangkan Arjuna, murid langsung Sri Kresna yang menjadi pendengarnya.

Demikianlah teks dalam Bhagawat Gita yang menyatakan keberadaan Tuhan Personal:

Arjuna uvāca

madanugrahāya paramaṃ guhyam
adhyātmasaṃjñitam
yat tvayoktaṃ vacas tena mohoyaṃ vigato mama ||11.1|


"Arjuna berkata; Dengan mendengar wejangan tentang mata pelajaran yang paling rahasia ini yang sudah Anda berikan kepada hamba atas kemurahan hati Anda, khayalan hamba sekarang sudah dihilangkan."

bhavāpyayau hi bhūtānāṃ śrutau vistaraśo mayā
tvattaḥ kamalapatrākṣa māhātmyam api cāvyayam
||11.2|


"O Krsna yang mempunyai mata seperti bunga padma, hamba sudah mendengar dari Anda secara terperinci tentang muncul dan menghilangnya setiap makhluk hidup dan hamba sudah menginsafi kebesaran Anda yang tidak pernah dibinasakan."

evam etad yathāttha tvam ātmānaṃ parameśvara
draṣṭum icchāmi te rūpam aiśvaraṃ puruṣottama ||11.3|

"O kepribadian yang paling mulia, bentuk yang paling utama, walaupun hamba melihat Anda berdiri di sini di hadapan hamba dalam kedudukan Anda yang sejati, sesuai dengan uraian Anda tentang Diri Anda, hamba ingin melihat bagaimana Anda masuk dalam manifestasi alam semesta ini. Hamba ingin melihat bentuk Anda tersebut."

manyase yadi tac chakyaṃ mayā draṣṭum iti prabho
yogeśvara tato me tvaṃ darśayātmānam avyayam ||11.4|

"Kalau Anda berpikir hamba sanggup memandang bentuk semesta Anda, sudilah kiranya Anda memperlihatkan bentuk semesta Diri Anda yang tidak terhingga itu kepada hamba, o Tuhan yang hamba muliakan, penguasa segala kekuatan batin."

śrībhagavān uvāca

paśya me pārtha rūpāṇi śataśotha sahastraśaḥ
nānāvidhāni divyāni nānāvarṇākṛtīni ca ||11.5|

"Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda; Wahai Arjuna yang baik hati, wahai putera prtha, sekarang lihatlah kehebatan-Ku, beratus-ratus ribu jenis bentuk rohani yang berwarna-warni."

paśyādityān vasūn rudrān aśvinau marutas tathā
bahūny adṛṣṭapūrvāṇi paśyāścaryāṇi bhārata ||11.6|

"Wahai yang paling baik di antara para Bharatha, lihatlah di sini berbagai perwujudan para Aditya, vasu, Rudra, Asvini-kumara dan semua dewa lainnya. Lihatlah banyak keajaiban yang belum pernah dilihat atau didengar oleh siapapun sebelumnya."

ihaikasthaṃ jagat kṛtsnaṃ paśyādya sacarācaram
mama dehe guḍākeśa yac cānyad draṣṭum icchasi ||11.7|

"Wahai Arjuna apapun yang ingin engkau lihat, lihatlah dengan segera dalam badan-Ku ini! Bentuk semesta ini dapat memperlihatkan kepadamu apapun yang engkau ingin lihat sekarang dan apapun yang engkau ingin lihat pada masa yang akan datang. Segala sesuatu- baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak-berada di sini secara lengkap, di satu tempat."

na tu māṃ śakyase draṣṭum anenaiva svacakṣuṣā
divyaṃ dadāmi te cakṣuḥ paśya me yogam aiśvaram ||11.8|

"Tetapi engkau tidak dapat melihat-Ku dengan mata yang engkau miliki sekarang. Karena itu, Aku memberikan mata rohani kepadamu. Lihatlah kehebatan batin-Ku."

Sementara itu, dalam Layang Nata yang merupakan bagian dari Manuskrip Gunung Klothok[2], keberadaan Tuhan dinyatakan sebagai berikut: 

Siji  (1)
Gusti Hingkang Welas Hasih, Hingkang Handeg Wikan lan Waskita, hingkang hanitahake tinggewikan jeng salir wose. Lan kiye kang dadi wahananing  Gusti  sawara sakabehe, kang ngutus hulun maringi warta marang tumitah Djowo.

Gusti Yang Maha Pengasih, Yang Maha Mengetahui dan Bijaksana, yang menjadikan semesta ini beserta isinya.  Dan ini yang menjadi sabda Gusti, permulaan segalanya, yang mengutus aku memberi berita kepada tumitah Djowo.

Loro  (2)
Supaya sira warang Djowo, bisa piwaneh pangerten marang tumitah Djowo, huga tumitah liyane hing karasuh kiye. Supaya sakabehing tumitah bisa jumbuh marang Gusti, Sulo Kang Tenggil Puroso kang tan kena kinaya ngapa.  Hananging jalma tumitah kiyu wangkal marang Gusti kang paring hurip lan patine kabeh tumitah. Kiye wahana Gusti.

Agar Engkau orang Jawa, bisa memberi pengertian kepada seluruh manusia Jawa, juga manusia lain di jagad ini.  Agar seluruh manusia bisa jumbuh (bersenyawa) dengan Gusti, yang melampaui segalanya, yang tak dapat dibatasi oleh apapun.  Tetapi manusia keras kepala kepada Gusti yang memberi hidup dan mati kepada seluruh  keberadaan.  Ini Firman Gusti.

(Layang Nata, Wahananing Gusti Kang Kaparingake Marang Notodoko)

Dalam teks di atas, yang sama tuanya dengan Bhagawad Gita -  telah ada sekitar 5000 tahun sebelum Masehi, keberadaan Tuhan dinyatakan sebagai  “Yang menjadikan semesta beserta segala isinya”.  Tetapi tidak dinyatakan bahwa Tuhan bisa dilihat oleh manusia sebagai satu sosok baik melalui mata lahiriah maupun mata rohani. 

Para saintis atau siapapun yang berpegang pada pembuktian empiris tentu saja bisa menyangkal pernyataan di atas.  Namun, menyangkal realitas metafisik dengan pendekatan empiris jelas bukanlah kebijaksanaan.  Realitasnya memang perangkat inderawi manusia meskipun telah dibantu dengan alat yang paling canggih sekalipun tak akan pernah bisa mengungkapkan seluruh keberadaan.  Ada wilayah non materi yang hanya bisa ditangkap dengan perangkat non inderawi pada diri manusia.

Saya pribadi bisa memaklumi piihan dan kesadaran para penganut Tuhan Personal.  Tetapi saya sendiri mengerti kasunyatan Tuhan sebagai Suwung, sebagai realitas kekosongan yang menjadi inti dari segala yang ada sekaligus yang meliputi segala yang ada.  Tuhan bukanlah sosok, segala sosok bukanlah Tuhan.  Dalam satu sessi meditasi, saya mengalami keadaan ketika jiwa ini melampaui wadah dan batasan raga, memasuki langit penuh bintang dalam rasa yang melebur dengan keseluruhan jagad raya.  Lalu, tibalah di satu keadaan yang serba kosong, serba gelap, namun sangat menyamankan.  Dan saat itu, terasakan bahkan raga ini sudah tidak ada.  Yang ada tinggal kesadaran.  Menyatu, luruh, dalam kekosongan yang menjadi sumber dari segala yang ada. 

Pengalaman ini juga dialami beberapa praktisi meditasi yang saya kenal.  Kami menyebutnya sebagai pengalaman Suwung.  Dari sinilah kemudian saya bisa mengerti bahwa sejatinya Tuhan bukanlah sosok atau pribadi, melainkan kekosongan yang meliputi seluruh jagad raya.  Tuhan dalam keadaan esensialnya adalah kekosongan yang tanpa batas. 

Segala bentuk sosok seagung atau semenakjubkan apapun itu, sebagaimana disaksikan oleh beberapa pejalan spiritual, sejatinya tak lebih dari manifestasi atau pengejawantahan dari Tuhan, Sang Suwung.  Dalam kasus Sri Krisna yang disaksikan oleh Arjuna dalam Bhagawat Gita, itu adalah realitas dari Hyang Wisnu yang merupakan salah satu dari pengejawantahan Tuhan dalam tataran keberadaan bergatra cahaya atau dewa.  Sri Krisna berada yang sedang mengurai pelajaran bagi Arjuna sedang dalam keberadaan jumbuh sepenuhnya sehingga menjadi alat dari Sang Suwung untuk menjelaskan keberadaanNya dengan cara yang bisa dimengerti oleh kebanyakan orang yang membutuhkan sosok tertentu sebagai obyek sembah puja.

Sejauh saya mengerti, keberadaan Tuhan Personal hanyalah cara Sang Suwung untuk membuat manusia lebih mudah mengenal keberadaanNya sebagai realitas yang maha agung.  Pada satu waktu, Sang Suwung menunjukkan keberadaan Hyang Tunggal atau Eka Purusha (pengejawantahanNya yang tunggal) melalui Sanghyang Wisnu. Di waktu lain bisa melalui Sanghyang Syiwa.  Di saat yang lain bisa melalui kebeadaan Realitas Cahaya Tertinggi yang meliputi segalanya.

Maka, wajarlah jika ada yang berpersepsi bahwa Tuhan Personal itu adalah Sanghyang Wisnu dan melahirkan aliran Waisnawa, serta ada yang berpersepsi Tuhan personal itu adalah Sanghyang Syiwa dan melahirkan aliran Syiwais.  Bisa juga Tuhan Personal itu adalah dewa yang lain.  Pada titik tertentu, bisa terjadi kontestasi atas dasar klaim mengenai Tuhan Peersonal mana yang benar.  Ini pernah meruncing di Bali pada abad 10 terutama antara kelompok Waisnawa dan Syiwais.  Tetapi problem ini bisa dibereskan oleh Empu Kuturan yang membawa kesadaran bahwa melampaui kebenaran Tuhan Personal yang dipersepsikan sebagai Wisnu, Syiwa maupun dewa lainnya adalah Hyang Widhi yang Acintya (tak terpikirkan).  Empu Kuturan menegaskan Tuhan yang sesungguhnya adalah Suwung, Brahman yang tanpa sosok.

Sesungguhnya di dalam Bhagawat Gita sendiri, banyak teks yang mengungkapkan realitas Tuhan sebagai keberadaan tanpa sosok dan batasan.  Dalam Sloka XIII:12 dinyatakan, “Brahman tertinggi yang tanpa awal, yang dikatakan bukan ‘Sat’ atapun ‘Asat’.  Kemudian dalam Sloka XIII:15 ditegaskan, “Dia disebut sebagai keberadaan atau bukan keberadaan, ada di luar dan di dalam semua manusia, tak bergerak, tetapi bergerak, terlalu halus diketahui, jauh nian, namun juga dekat sekali”.

Sementara dalam Sloka XIII:16 dinyatakan, “Dia tak terbagi, tetapi seperti terbagi-bagi, tak dapat dibagi-bagi namun ada dalam setiap manusia, seakan-akan terbagi-bagi dan diketahui sebagai pemelihara semua makhluk memusnahkan dan menciptakan mereka”.   Dan selanjutnya dalam VIII:3) ditegaskan lagi, “Dia adalah aksaram brahma paranam svabhāvo” (‘Yang Kekal Abadi maha Agung adalah Brahman’).

Di dalam Layang Nata sendiri diungkapkan sebagai berikut:

Gusti  Kang Handeg Panguwasa, kang nganurung tinggewikan. Semono huga, Gusti  Kang Handeg Panguwasa nganurung kahuripan, kang katon huga kang hora katon, lan wose hana hing karasuh kiye.  Tanpa prakelare Gusti Sulo Kang Tenggil Puroso, bakal sirna karasuh kiye, semono huga bakal hora hana kahuripan kaya sakiki.

Gusti  Yang Maha Kuasa, yang menjaga semesta.  Demikian juga, Gusti  Yang Maha Kuasa menjaga kehidupan, yang terlihat maupun tak terlihat, dan isi yang ada di jagad ini.  Tanpa kekuasaan Gusti  Yang Melampaui Segalanya, akan sirna jagad ini, demikian juga, tidak akan ada kehidupan seperti sekarang.

Tuhan sebagaimana diuraikan oleh Eyang Josono adalah sumber segala keberadaan yang terlihat maupun tak terlihat (oleh mata ragawi).  Tuhan adalah pemelihara semesta beserta segenap kehidupan di dalamnya.  Dan sejatinya Ia adalah realitas tanpa sosok yang melampaui keberadaan jagad raya itu sendiri.  Ketika Ia mengejawantah, jadilah sebagai Pluntar Kahuripan (Cahaya kehidupan, cahaya yang meliputi seluruh yang hidup).

Jika kita meminjam temuan sains, kita bisa mengerti bahwa jagad raya ini tersusun atas benda-benda semesta: bumi, bulan, bintang, matahari, yang dalam konstelasi tertentu disebut sebagai tata surya dan galaksi.  Pada jagad raya yang teramati diperkirakan terdapat 170 milyar galaksi.  Dimana pada galaksi berukuran raksasa, bisa berisi 100 trilyun bintang.  Para pakar menyatakan keberadaan multiverse atau semesta parallel.  Semesta yang di dalamnya terdapat Galaksi Bimasakti dan Planet Bumi bukanlah satu-satunya semesta.  Nah, yang meliputi semua benda semesta itu adalah kekosongan yang tanpa batas.

Sementara itu, setiap benda semesta terdiri dari atom-atom. Pada setiap atom, keberadaan terbesar adalah ruang kosong. Di antara inti atom dan elektron yang mengelilinginya, yang ada adalah ruang kosong.  Saat inti atom dibelah, belahan itu yang disebut quark, juga berisi banyak ruang kosong. Dan jika diteruskan dibelah, yang ada pada ujungnya adalah ruang kosong.  Jadi ruang kpsong ini menjadi inti segalanya, dan meliputi segalanya. Kekosongan inilah yang dinamai SUWUNG. Inilah Tuhan.

Maka, kembali kepada pertanyaan apakah Tuhan itu ada, bisa ditegaskan bahwa Tuhan itu ada sebagai Suwung, kekosongan yang mengandung seluruh benih keberadaan dan meliputi segala yang ada.  Segala yang ada dan terlihat baik pada tataran metafisik maupun fisik, adalah pancaran dan pengejawantahan dari Suwung.


[1] Secara harfiah, arti Bhagavad-gita adalah "Nyanyian Sri Bhagawan (Bhaga = kehebatan sempurna, van = memiliki, Bhagavan = Yang memiliki kehebatan sempurna, ketampanan sempurna, kekayaan yang tak terbatas, kemasyuran yang abadi, kekuatan yang tak terbatas, kecerdasan yang tak terbatas, dan ketidakterikatan yang sempurna, yang dimiliki sekaligus secara bersamaan).  Penulis Bhagawadgita adalah Sri Krishna Dvipayana Vyasa atau Resi Byasa.

[2] Dicuplik dari naskah Layang Djojobojo atau Layang Nata berdasarkan manuskrip yang dikumpulkan oleh Raden Mas J.R. Basuki dan Michael Zwart, MBA, yang disusun dan dialihbahasakan oleh P.B. Susetyo dan S.H. Dewantoro. Ini merupakan bagian dari Manuskrip Kuno Gunung Klothok yang berisi firman Tuhan yang ditangkap oleh Josono dan pertama kali turun pada 4336 SM.

4 Responses to "BENARKAH TUHAN ADA?"

  1. Toto magnum itu judi, dilarang Allah. Kamu sedang diuji. Minta pada Allah, bukan Ki Sholeh.

    ReplyDelete
  2. Sayang sekali orang Islam perlukan Bhagavat Gita untuk mengetahui Tuhan. Akibatnya menyasar menganggap ruang kosong dalam atom itu tuhan. Apakah penjelasan Quran tidak cukup?

    ReplyDelete
  3. Tuhan ataupun sang hyang widi sang hyang manik moyo ataupun dgn nama dan sebutan kekuasaanNya adalah aku yg mempribadi dalam tiap keadaan. Pembaca dan penulis sama disini ada aku dgn cinta dan sama sama masih terpenjara jasad. Peace semua agama sama kita saling cinta dan menghargai hanya cara aturan berbeda namun tetap satu tujuan sangkan paraning dumadi

    ReplyDelete
  4. @ibn kassim. Bukankah Allah itu juga bersifat ghaib. Dan bukankah ghaib itu artinya juga "kosong/suwung"?
    Coba lihat telapak tangan kita, bukankah itu huruf arab yg artinya " Allah ". Jadi apa artinya kita yg menggenggam Allah atau Allah yg menggenggam kita? Di luar angkasa sana yg namanya " dark matter " itu bkn kah melambangkan "genggaman Allah"? Dan dark matter itu bersifat gelap dan kosong. Bukankah ini semua berhubungan satu dgn yg lainnya? Apa ingin dipersempit pemahamannya, sehingga hanya mengenal Allah berdasarkan qur'an saja, tanpa mengenalNya dgn " prakteknya " (kebenaran)?

    Ingatlah, pembenaran beda dgn "kebenaran" (praktek).

    ReplyDelete



Laku spiritual adalah proses bertumbuhnya pengalaman keilahian, wujudnya adalah menjadi penuh dengan daya, penuh kebijaksanaan, penuh kecerdasan, penuh kreatifitas, penuh welas asih.


Setyo Hajar Dewantoro
Founder of Mahadaya Institute


Buku

Buku Medseba Buku Sastrajendra Buku Suwung Buku Sangkan Paraning Dumadi Buku Jumbuh Kawula Gusti Buku Tantra Yoga Buku Kesadaran Matahari Buku Kesadaran Kristus

Kegiatan