SYARIAT VS HAKIKAT: MERENUNGKAN AJARAN SYEIKH SITI JENAR

Dalam sejarah, kita mengenal dua nama besar yang menjadi simbol pertarungan antara dua modus beragama: Syariat vs Hakikat, yaitu Mansur Al-Hallaj dan Syeikh Siti Jenar. Keduanya menempuh jalan kematian yang terbilang tragis dalam kacamata manusia pada umumnya, karena dieksekusi oleh mereka yang mengaku sebagai penguasa dan ulama pemilik kebenaran agama.

Kisah tersebut memang sudah lama berlalu. Kabut sejarahpun sebenarnya masih menyelimutinya; dalam pengertian, masih banyak rahasia kebenaran yang belum terungkap. Pada kasus Syeikh Siti Jenar misalnya, muncul pertanyaan, bagaimana mungkin para Waliyullah bisa menghakimi Waliyullah lainnya dengan cara yang kasar dan tidak manusiawi? Jika mereka berdalih Syeikh Siti Jenar patut dihukum karena keliru dalam cara menyampaikan ajaran – yaitu menyampaikan ajaran yang sebenarnya benar tapi disampaikan kepada khalayak yang kurang tepat – mengapa tidak diselesaikan secara baik-baik? Jika memang tidak ditemukan kesepakatan, bukankah bisa berpegang pada pendapat bahwa dua cara yang dipergunakan, yaitu cara Wali Sanga dan cara Syeikh Siti Jenar, sama-sama benar karena merupakan produk dari sesama Waliyullah? Jika ternyata yang sesungguhnya terjadi adalah bahwa eksekusi Syeikh Siti Jenar (sebagaimana eksekusi Manshur Al-Hallaj) adalah karena persoalan politik – yaitu demi melanggengkan kekuasaan dengan memanipulasi agama – bagaimana mungkin para Waliyullah bersepakat melakukan hal sekotor itu? Atau sebaliknya, bagaimana mungkin mereka yang melakukan kekejian dan tindakan sekotor itu disebut Waliyullah?

Saya tak akan mengajak sahabat sekalian berdebat tentang sejarah berkabut sebagaimana di atas. Yang menjadi perhatian utama saya, adalah bagaimana kita bisa menemukan inspirasi dan makna dari kisah sejarah itu. Pertama, setidaknya kita bisa bertanya, manakah modus beragama yang kita pilih: cara beragama Mansur Al-Hallaj dan Syeikh Siti Jenar yang beresiko mengantarkan kita pada “tragedi”, atau cara beragama kaum “penguasa dan ulama pembela syariah” yang dinilai lebih “aman”? Saya pribadi jelas memilih mengikuti suara hati apapun resikonya. Bagaimana dengan Anda? Anda yang berhak untuk memilih....

Kedua, kita bisa merenungkan pernyataan bahwa “kaum hakikat”, dalam tradisi Islam adalah para para sufi atau pemeluk Islam Jawa, adalah para “penentang Syariat” atau mereka “mengabaikan Syariat”. Saya punya beberapa hasil perenungan soal hal ini yang ingin saya bagi dengan para sahabat.

Sahabat yang saya kasihi...jika kita renungkan dengan jernih, sebetulnya tak mungkin kita sampai “tujuan” tanpa menempuh “jalan”. Jika hakikat adalah sebuah tujuan, maka tak mungkin ia bisa dicapai tanpa syariat, karena makna syariat adalah jalan. Sejauh saya pelajari, hakikat dalam pengertian Syeikh Siti Jenar, adalah hakikat kebenaran dalam beragama, yaitu bahwa Kebenaran Tertinggi adalah ketika kita bisa “Manunggal” dengan Kebenaran itu sendiri (Manunggaling Kawulo-Gusti). Jika diibaratkan sebuah titik persinggahan dalam pendakian sebuah gunung, itu adalah titik persinggahan tertinggi atau puncak gunung sendiri. Sebagaimana dalam mendaki gunung secara harfiah, tidak mungkin puncak gunung dicapai tanpa titik-titik persinggahan sebelumnya. Dan mendaki titik persinggahan demi titik persinggahan itu, adalah sebuah perjalanan, sebuah ikhtiar menapaki “syariat” (jalan menuju tujuan akhir).

Syeikh Siti Jenar bukanlah penempuh hakikat tanpa syariat! Syeikh Siti Jenar juga bukan penentang syariat! Karena sebagai sosok yang menyadari sepenuhnya makna hukum semesta dan kehidupan......ia tahu persis tidak mungkin mencapai hakikat tanpa syariat! Yang ia lawan adalah kecenderungan untuk memutlakkan sebuah jalan dengan menafikan jalan lainnya. Syeikh Siti Jenar, sejauh saya pelajari, memahami Islam sebagai ajaran universal...ia menangkap intisarinya..Dalam hal ini, Islam dipahami benar-benar sebuah “tadzkirah” (pengingat) akan hal-hal sudah diketahui benar (ma’ruf) oleh setiap kaum. Diyakini bahwa sebetulnya ada kebenaran universal yang sepanjang sejarah dan peradaban tak pernah berubah dan tak pernah orang berselisih tentangnya. Islam mengingatkan kembali manusia akan kebenaran universal dan abadi (shopia perennia) ini. Tapi menyangkut implementasi Islam dalam kehidupan sehari-hari, Syeikh Siti Jenar benar-benar mempertimbangkan kearifan lokal. Toh faktanya, ketika Islam hadir ke Indonesia atau Jawa, tanah ini bukan tempat tanpa peradaban, bahkan telah memiliki budaya luhur plus peradaban yang relatif maju untuk ukuran jamannya.

Yang dilakukan Syeikh Siti Jenar adalah berkreasi untuk menciptakan “syariat” versi Jawa: menyangkut cara menyembah Tuhan, cara mengembangkan potensi diri, cara menyikapi setiap momen kehidupan, dan seterusnya. Pada titik ini, apa yang diajarkan Syeikh Siti Jenar tampak berbeda dengan “syariat” sebagaimana yang dipraktekkan Nabi Muhammad di Jazirah Arab. Tapi berbeda, bukan berarti bertentangan. Karena apa yang diajarkan Nabi Muhammad dan Syeikh Siti Jenar bersumber pada hakikat kebenaran yang sama. Bahkan dari sudut pandang mistis, ia sama-sama bersumber pada Ruhul Qudus yang bersemayam di kedalaman jiwa setiap manusia. Mengapa pendekatan men-Jawa-kan Islam atau mengembangkan “syariat versi Jawa” ini dilakukan? Karena itu merupakan implementasi sifat fathonah yang merupakan sifat kenabian: salah satunya tercermin dalam keberanian mengembangkan budaya sesuai tantangan dan karakteristik alam di mana dia hidup.

Pada level esensi, apa yang diajarkan Syeikh Siti Jenar, sebetulnya selaras atau bahkan sama dengan apa yang diajarkan para mistikus besar di seluruh peradaban: Nabi Muhammad itu sendiri, para waliyullah penerusnya seperti Imam Ali, Ibnu Arabi, Manshur al-Hallaj, Jalaluddin Rummi, termasuk “orang suci” dari tradisi lain: Budha Gautama, Lao Tzu, Plato, dan lainnya.

Sungguh sayang, jika kebijaksanaan agung ala Syeikh Siti Jenar dibumihanguskan baik karena alasan kebodohan maupun karena alasan melanggengkan kekuasaan duniawi.
Bagaimana menurut Anda?
Mengikuti tuntunan sang guru sejati, penulis, trainer dan healer. Saya bisa dihubungi di setyohajardewantoro@gmail.com