SEMBAHYANG JALAN MENUJU KEMULIAAN SEJATI



Pada hakikatnya, kehidupan manusia adalah sebuah perjalanan. Setiap diri berjalan melintas jaman, meniti jalan setapak kehidupan yang berhulu pada kehidupan di alam rahim, menuju muara terakhir yang entah ada di mana. Perpisahan sukma dan raga sekadar pertanda kita berganti dunia. Tapi perjalanan itu sendiri teruslah berlanjut.

Dalam perjalanan panjang menuju muara terakhir kehidupan itu, seorang manusia mau tak mau harus melintasi rute yang dinamis: kadang kita mirip mendaki bukit dan gunung, kadang seperti menuruni lembah, kadang laksana menyeberangi samudra, sesekali tak ubahnya melewati jalan datar. Suka duka silih berganti hadir menjadi teman setia. Segenap energi harus dikeluarkan agar perjalanan bisa terus berlanjut.

Terkait dengan perjalanan panjang tersebut, berbagai tradisi agama menempatkan “sembahyang” sebagai ritus penting agar manusia bisa meraih keselamatan. Dalam tradisi Islam, sembahyang disebut juga dengan istilah shalat, yang dihayati sebagai “kunci pembuka surga” atau “mi’raj-nya kaum mu’min, sebuah momen di mana seorang Mu’min berkesempatan bertemu dengan Tuhan”. Tentu saja, tradisi agama-agama lain memiliki nama, bentuk, dan falsafah masing-masing terkait dengan kegiatan ruhani yang satu ini.

Dalam khazanah spiritual Nusantara, sembahyang bisa kita maknai sebagai tindakan untuk menyembah Hyang. Hyang adalah sebutan untuk Tuhan. Leluhur kita menyebut Tuhan dengan nama Hyang Manon, Hyang Tunggal, dan sebagainya.

Tulisan ini mencoba menghadirkan satu tafsir sekaligus pembabaran filosofis terhadap kata sembahyang, dengan merujuk pada Serat Wedhatama. Di dalam serat tersebut, ditembangkan sebagai berikut:
“Samengko ingsun tutur; Sembah catur supaya lumuntur; Dhihin raga, cipta, jiwa, rasa, kaki; Ing kono lamun tinemu; Tandha nugrahaning Manon”.

[Berikutnya saya bertutur. Empat macam sembah supaya dilestarikan; Pertama; sembah raga, kedua; sembah cipta, ketiga; sembah jiwa, dan keempat; sembah rasa, anakku ! Di situlah akan bertemu dengan pertanda anugrah Tuhan.]
Ternyata, ada 4 tingkatan menyembah Hyang! Sebelum saya paparkan satu persatu makna masing-masingnya, saya ingin mengajak Anda merenung dulu, siapakah sesungguhnya Dia yang kita sembah itu? Lalu mengapa kita mesti menyembah Hyang Manon atau Hyang Tungal?

Perenungan di atas, tentu saja sangat penting. Karena apa artinya kita menyembah sesuatu yang tidak kita ketahui. Juga apa artinya kita menyembah jika kita tak tahu untuk apa ia dilakukan.

Siapakah Hyang Manon atau Hyang Tunggal itu? Pada titik inilah kita bertemu dengan sebuah ironi. Orang-orang yang telah berjalan jauh untuk mengenal-Nya, pada akhirnya berkesimpulan:
SEJATINE ORA ONO OPO-OPO, SING ONO KUWI DUDU”. Sebenarnya tak ada apa-apa, yg ada itu pun bukan. Ternyata, para pejalan ruhani yang telah bersusah payah untuk menjangkau-Nya harus berkata dengan pasrah, tak ada yang bisa diketahui tentang Tuhan, tentang Hyang Manon atau Hyang Tunggal itu. Apa yang kita ketahui tentang-Nya, apalagi yang kita nyatakan lewat lidah kita tentang-Nya, itu jelas bukan Dia. Karena, begitu akal kita merumuskan bahwa Dia adalah Wujud yang Tanpa Batas, Yang Maha Meliputi Segalanya, Yang Maha Besar, maka sesungguhnya tak ada gambaran apapun yang bisa sesuai dengan rumusan itu. Segenap rumusan pada akhirnya terpatahkan oleh rumusan dasar tentang Tuhan itu sendiri.

Maka, dalam falsafah Jawa, dengan segala kerendahan hati akhirnya juga Tuhan disimpulkan secara sederhana yakni : Tan keno kinaya ngapa, tan keno kiniro. (Yang tak bisa dianalogikan/dibayang-bayangkan, dan tak bisa diandai-andaikan wujudnya).
Tuhan hanya dapat dirasakan dalam “wujud” paling konkrit berupa sebuah kekuatan dahsyat yg bersifat dan berpola selalu dalam keseimbangan alam semesta, yg berujud pula daya magis yg terangkum dalam hukum-hukum alam semesta. Tuhan pada akhirnya hanya bisa dikenali wajah-Nya, tanda-tanda-Nya yang tergelar di seantero jagad raya. Lewat matahatilah kita bisa mengenal kekuatan penggerak, penghidup, dan pengatur itu.

Karena itulah, Sembah Hyang, pada akhirnya, harus dimaknai sebagai upaya penundukan diri kita yang lemah ini - yang bahkan tak tahu sedikitpun tentang Dia yang Maha Misteri, kecuali sekadar bisa merasakan tanda-tanda keberadaan-Nya melalui wajah-Nya berupa alam semesta ini - kepada Dia Yang Maha Misteri dan menggenggam kehidupan kita!

Mengapa kita harus menundukkan diri kepada-Nya? Karena kita memang membutuhkan-Nya. Kita ada tanpa kita sadari bahwa itu adalah kemauan kita. Setiap helaan nafas menyambung hidup kita juga bukan atas kendali kita. Sembah Hyang adalah sarana untuk menjalin komunikasi dengan asal muasal sekaligus tujuan, dengan sumber sekaligus muara kehidupan kita – yang selamanya akan menjadi misteri bagi kita!
Ketika kita dengan jujur berani menyatakan kita sungguh tak tahu Tuhan itu seperti apa dan bagaimana, maka saat yang sama, bijaksanalah juga jika kita mengatakan bahwa cara sembahyang kita bukan satu-satunya jalan untuk menjangkau-Nya. Cara yang kita lakukan tak lebih dari sebuah pendekatan, yang dirumuskan oleh seorang yang kita anggap bijak dan kita jadikan teladan, untuk mendekati Dia Yang Maha Misteri. Orang lain tentu saja punya hak untuk memiliki pendekatan yang berbeda dengan kita. Alih-alih menyalahkan pendekatan itu, bukankah lebih mencerminkan kewelasasihan jika kita mendoakan agar baik diri kita maupun orang lain yang memiliki pendekatan berbeda itu agar sama-sama sampai pada tujuan dari sembahyang itu sendiri?

Menyangkut bentuk sembahyang, maupun tempat dalam menjalankan sembahyang, pada faktanya, kita bisa saja sangat berbeda. Semua perbedaan itu mencerminkan keberadaan Dia yang tak terbatas. Dia bisa didekati lewat Timur, Barat, Utara, Selatan – karena memang Dia bukan sesuatu yang ada di Barat, Timur, Utara, maupun Selatan. Cara kita yang berbeda-beda juga sekaligus menjadi cermin Kemahabesaran-Nya yang telah menciptakan makhluk bernama manusia yang demikian warna-warni.
Namun demikian, di balik perbedaan menyangkut cara dan tempat kita sembahyang, sesungguhnya ada prinsip-prinsip dasar yang layak kita jadikan bahan renungan bersama untuk mencapai tujuan dari sembahyang itu sendiri. Salah satunya menyangkut 4 tingkatan sembahyang, yang menggambarkan hakikat dari sembahyang itu sendiri, lapis demi lapis!

Sembahyang pada tingkat pertama disebut dengan sembah raga. Dalam tradisi Islam, ia dikenal sebagai shalat 5 waktu yang didahului dengan pensucian diri dengan air. Manfaat yang paling nyata dari sembah raga adalah badan yang menjadi segar, pikiran menjadi jernih, dan itu kemudian menjadi landasan tumbuhnya hati yang damai. Hanya di hati yang damailah, kelembutan dan keagungan bisa dirasakan kehadirannya.
Tingkat berikutnya adalah sembah kalbu. Dalam Serat Wedhatama digambarkan sebagai berikut: “Nantinya, sembah kalbu itu, jika berkesinambungan juga menjadi olah spiritual. Olah (spiritual) tingkat tinggi yang dimiliki Raja. Tujuan ajaran ilmu ini; untuk memahami yang mengasuh diri (guru sejati/pancer).” Itu diwujudkan melalui cara berikut: “Bersucinya tidak menggunakan air; Hanya menahan nafsu di hati; Dimulai dari perilaku yang tertata, teliti dan hati-hati (eling dan waspada); Teguh, sabar dan tekun, semua menjadi watak dasar. Teladan bagi sikap waspada.”
Lebih jauh, menyangkut Sembah Kalbu itu digambarkan fenomena-fenomena yang akan terjadi: “Dalam penglihatan yang sejati. Menggapai sasaran dengan tata cara yang benar. Biarpun sederhana tatalakunya dibutuhkan konsentrasi. Sampai terbiasa mendengar suara sayup-sayup dalam keheningan. Itulah, terbukanya alam lain, bila telah mencapai seperti itu.

Bagaimana cara agar sembah kalbu ini menemui tujuannya? Dijelaskan sebagai berikut: “Saratnya sabar segala tingkah laku. Berhasilnya dengan cara membangun kesadaran, mengheningkan cipta, pusatkan fikiran kepada energi Tuhan. Dengan hilangnya rasa sayup-sayup, di situlah keadilan Tuhan terjadi. (jiwa memasuki alam gaib rahasia Tuhan). Gugurnya jika menuruti kemauan jasad (nafsu). Tidak suka dengan indahnya kehendak rasa sejati. Jika merasakan keinginan yang tidak-tidak akan gagal. Maka awas dan ingat lah dengan yang membuat gagal tujuan.”

Tingkatan berikutnya adalah Sembah Jiwa. Serat Wedhatama menjelaskan soal ini:
“Sembah ketiga yang sebenarnya diperuntukkan kepada Hyang sukma (jiwa). Hayatilah dalam kehidupan sehari-hari. Usahakan agar mencapai sembah jiwa ini anakku! Sungguh lebih penting, yang disebut sebagai ujung jalan spiritual. Tingkah laku olah batin, yakni menjaga kesucian dengan awas dan selalu ingat akan alam nan abadi kelak. Cara menjaganya dengan menguasai, mengambil, mengikat, merangkul erat tiga jagad yang dikuasai. Jagad besar tergulung oleh jagad kecil,Pertebal keyakinanmu anakku ! Akan kilaunya alam tersebut. Tenggelamnya rasa melalui suasana “remang berkabut”. Mendapat firasat dalam alam yang menghanyutkan. Sebenarnya hal itu kenyataan, anakku ! Sejatinya jika tidak ingat, sungguh tak bisa “larut”. Jalan keluarnya dari luyut (batas antara lahir dan batin). Tetap sabar mengikuti “alam yang menghanyutkan”. Asal hati-hati dan waspada yang menuntaskan tidak lain hanyalah diri pribadinya yang tampak terlihat di situ. Tetapi jangan salah mengerti, di situ ada cahaya sejati. Ialah cahaya pembimbing, energi penghidup akal budi. Bersinar lebih terang dan cemerlang, tampak bagaikan bintang. Yaitu membukanya pintu hati, terbukanya yang kuasa-menguasai (antara cahaya/nur dengan jiwa/roh). Cahaya itu sudah kau (roh) kuasai. Tapi kau (roh) juga dikuasai oleh cahaya yang seperti bintang cemerlang.”

Beralih sembah yang ke empat. Ia disebut dengan Sembah Rasa. Menyangkut sembah rasa ini, Serat Wedhatama menggambarkan sebagai berikut: “Sembah rasa terasalah hakekat kehidupan. Terjadinya sudah tanpa petunjuk, hanya dengan kesentosaan batin.” Pada tingkatan ini, maka rahasia ketuhanan: “Demikian itu sebagai ketetapan hati. Yang membuka penghalang/tabir antara insan dan Tuhan, tersimpan dalam rahasia, terletak di dalam batin. Rasa hidup itu dengan cara manunggal dalam satu wujud, wujud Tuhan meliputi alam semesta, bagaikan rasa manis dengan madu. Begitulah ungkapannya.”

Sembah pada tingkat keempat ini diwujudkan melalui tatacara sebagai berikut: “ Melaksanakan petuah itu harus kokoh budipekertinya. Teguh serta sabar, tawakal lapang dada. Menerima dan ikhlas apa adanya sikapnya dapat dipercaya. Mengerti “sangkan paraning dumadi”. Segala tindak tanduk dilakukan ala kadarnya. Memberi maaf atas kesalahan sesama, menghindari perbuatan tercela, (dan) watak angkara yang besar. Sehingga tahu baik dan buruk, demikian itu sebagai ketetapan hati.”

Demikianlah, sembahyang atau Sembah Hyang bisa kita pahami sebagai sebuah kegiatan yang menggulung perilaku hidup mulia pada satu momen agar bisa bertemu dengan Tuhan, lalu pada saat yang sama, buah dari pertemuan dengan Tuhan itu kita buktikan melalui perilaku mulia kepada sesama makhluk.

Terakhir..ada sebuah nasihat penting dari mursyid saya, “Jangan sekali-kali kamu menganggap rendah mereka tidak shalat (seperti kamu)!”
0 Response to "SEMBAHYANG JALAN MENUJU KEMULIAAN SEJATI"

Post a Comment



Laku spiritual adalah proses bertumbuhnya pengalaman keilahian, wujudnya adalah menjadi penuh dengan daya, penuh kebijaksanaan, penuh kecerdasan, penuh kreatifitas, penuh welas asih.


Setyo Hajar Dewantoro
Founder of Mahadaya Institute


Buku

Buku Medseba Buku Sastrajendra Buku Suwung Buku Sangkan Paraning Dumadi Buku Jumbuh Kawula Gusti Buku Tantra Yoga Buku Kesadaran Matahari Buku Kesadaran Kristus

Kegiatan