NGANGSU KAWRUH DARI KANG SABDALANGIT
Sore hari, usai dari agenda di Kota Gede, saya ke rumah Kang Sabdalangit dan Bu Untari, yang dalam beberapa tahun terakhir ini, menjadi salah satu tempat saya bertanya tentang ilmu kehidupan. Rumah ini telah menjadi seperti rumah sendiri setiap saya ke Jogja..tentu saja karena Kang Sabdalangit dan Bu Untari, sebagaimana Mbah Gatho, memberikan sambutan dan keramahtamahan kelas 1….
Hari itu adalah hari terakhir di tahun 2011, tengah malam nanti tahun akan berganti menjadi 2012. Dan saya bertekad, untuk mendapatkan sesuatu yang menguatkan bathin dan meneguhkan langkah saya ke depan….
Di luar diskusi tentang beberapa perkembangan keseharian, menjelang tengah malam, saya dan Kang Sabdalangit terlibat dalam diskusi serius seputar makna MENGENAL JATIDIRI. Dan ijinkan saya membagi paparan Kang Sabdalangit tentang makna MENGENAL JATIDIRI. Tentu saja, sebatas yang bisa saya tangkap, dan saya sajikan dengan bahasa saya.
Seseorang yang mengenal jatidiri, adalah seseorang yang telah mengetahui tentang apa sejatinya manusia dan apa dimensi-dimensi dari seorang manusia, darimana asalnya dan kemana ia akan menuju, apa hubungan antara diri manusia dengan semesta dan penghuni lain di dalamnya, apa arti hidup yang dijalani sang diri, dan bagaimana bisa menjalani hidup yang sejati. Tentu saja, pengetahuan itu tak berhenti sebatas menjadi pengetahuan, melainkan menjadi satu kesadaran yang hidup di dalam diri dan termanifestasi dalam perilaku yang sesuai dengan kesadaran tersebut.
Menelisik ke dalam diri kita, kita akan menemukan gambaran titah urip dengan konfigurasi dan struktur yang kompleks. Di dalam diri kita, terdapat SANG AKU yang menyadari keberadaannya, dan SANG AKU ini terbungkus oleh badan yang berlapis-lapis, dengan segala instrumennya. Dengan keadaan inilah SANG AKU dikenali sebagai manusia yang hidup di muka bumi.
Pada lapis terluarnya, SANG AKU memiliki badan fisik atau badan ragawi, yang dilengkapi panca indera. Dengan panca indera inilah SANG AKU berhubungan dengan semesta dan segenap penghuni di dalamnya. Masih dalam lingkup dimensi ragawinya, SANG AKU memiliki otak yang menjadi perangkat berpikir, dan hawa nafsu atau rahsaning karep yang menjadi daya dorong untuk tetap hidup dalam dunia fisik.
Di balik dimensi ragawinya, SANG AKU memiliki dimensi ruhani atau spiritual, yang pada lapis terluarnya membentuk sebuah entitas halus bernama sukma. Di balik sukma tersebut terdapat rahsa sejati, dan sukma sejati yang merupakan guru sejati manusia, dan di balik itu, bersembunyilah esensi terdalam manusia yang merupakan manifestasi dari Gusti Ingkang Murbeng Dumadi.
Jembatan penghubung atau tali perekat antara dimensi ragawi dan dimensi ruhani manusia adalah apa yang disebut dengan nyawa. Keberadaan nyawalah yang menjadi penanda manusia masih memiliki dimensi ragawi yang hidup sehingga bisa menjalankan kegiatannya di muka bumi sebagai titah urip yang wadag. Dan keberadaan nyawa ini sangat tergantung pada kondisi raga, ketika raga rusak pada organ-organ vitalnya, nyawapun sirna. Ketika nyawa ini tiada, berpisahlah sukma dengan raganya yang segera akan mengalami proses pembusukan hingga hancur melebur dengan bumi yang menjadi asalnya. Dan sukma memasuki dimensi kehidupan yang lain.
Kualitas seorang manusia, ditentukan pada dimensi mana lokus kesadarannya berada. Manusia yang laksana hewan, lokus kesadarannya terletak pada lapis luar dimensi ragawinya, dengan hawa nafsu sebagai pendorong utama apa yang dipikirkan dan apa yang dilakukan. Manusia yang lebih tinggi derajatnya, memiliki lokus kesadaran pada pikirannya. Dan yang lebih tinggi lagi derajatnya, adalah manusia yang lokus kesadarannya terletak pada dimensi ruhaninya: hidupnya dibimbing oleh rahsa sejatinya, atau lebih tinggi lagi, dibimbing oleh sukma sejati/guru sejatinya yang telah bisa ditemui.
Seseorang yang telah mengenal lapisan demi lapisan keberadaan dirinya, akan memiliki kejelasan arah dalam menuju kesempurnaan. Setiap dimensi diri bisa diolah agar mencapai atau setidaknya mendekati titik kesempurnaan. Untuk mencapai kondisi raga yang optimal, kita bisa mengolah raga kita dengan berbagai cara; kegiatan ini yang disebut dengan OLAH RAGA. Untuk mengembangkan kemampuan berpikir kita, kita belajar tentang filsafat dan sains – secara sederhana ini bisa kita sebut dengan OLAH PIKIR. Jika kita sadar bahwa ternyata otak juga mengandung kekuatan bawah sadar, kita bisa mengolahnya melalui berbagai metode pembangkitan kekuatan bawah sadar. Kita juga bisa melakukan OLAH NAFAS untuk membangkitkan tenaga dalam yang ada di dalam tubuh setiap orang secara potensial. Namun, sampai pada titik ini, yang kita kembangkan barulah dimensi ragawi dari seorang manusia.
Jika kita ingin lebih dalam mengembangkan potensi diri manusia, yang kita lakukan adalah OLAH BATHIN. Sehingga kita memiliki kesadaran yang berlokus pada rahsa sejati atau sukma sejati, sekaligus memiliki KEKUATAN BATHIN yang bisa melampaui segenap kekuatan ragawi.
Jika kita ingin menemukan model faktual sosok manusia yang terbukti mengolah semua dimensi dirinya, salah satu yang bisa saya rekomendasikan adalah Kang Sabdalangit, karena memang Kang Sabdalangit yang saya kenal adalah seorang pendekar silat, seorang pemikir, sekaligus praktisi kebathinan…..…(ngapunten Kang, saya punya bakat ‘nyaloin’, jadi suka promosi….he, he, he).
Seseorang yang secara konsisten menjalankan proses ngangsu kawruh dan laku bathin, akan sampai pada kesadaran tentang DZAT KANG URIP (Hidup) dan NGURIPKE (Menghidupkan) di dalam diri kita. Inilah yang disebut dengan GUSTI (Baguse ning Ati). Karena itulah, seseorang yang menekuni spiritualitas Jawa, biasanya akan sadar bahwa mencari Tuhan itu tidak perlu kemana-mana, karena Dia ada di dalam diri. Itu sejalan dengan apa yang disabdakan oleh filsuf Yunani, Socrates, bahwa barangsiapa yang mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya – istilah inilah yang kemudian diadopsi ke dalam khazanah tasawuf menjadi man arofa nafsahu faqod arofa robbahu.
Manifestasi kesadaran bahwa di dalam diri kita ada Dzat yang Urip dan Nguripke diri kita, adalah komitmen kita untuk Nguripi (Menghidupi) sesama, melalui mekanisme hamemayu hayuning pribadi, hamemayu hayuning bebrayan, dan hamemayu hayuning bawono.
Dari gambaran di atas, kita juga bisa menangkap bahwa sejatinya asal muasal kita pada dasarnya adalah DZAT MAHA HIDUP yang menghidupkan diri kita sekaligus menjadi dasar kehidupan semesta. Diri kita dan keseluruhan elemen semesta adalah manifestasi dari DZAT YANG MAHA HIDUP ini. DZAT MAHA HIDUP inilah yang dipanggil dengan nama berbeda-beda oleh berbagai agama dan tradisi spiritual: GUSTI, HYANG WIDI, ALLAH, ELOHIM, CAUSA PRIMA, dan semacamnya. Perbedaan orang per orang atau kelompok demi kelompok, adalah dalam memahami lebih jelas bagaimana sebetulnya keberadaan DZAT YANG MAHA HIDUP DAN MENGHIDUPKAN ini. Sebagian pihak memandangnya sebagai satu sosok, sebagai sebuah pribadi yang dilabeli berbagai sifat, yang dibayangkan berada nun jauh di luar diri kita. Ada yang kemudian menyimbolkannya dalam bentuk-bentuk terinderai, ada pula yang bersikukuh dalam tataran konseptual semata: Tuhan dihadirkan dalam bentuk konstruksi pikiran/imaji. Dalam kajian filsafat ketuhanan, mereka yang seperti ini, disebut kaum transendentalis. Lepas dari benar atau salahnya pemahaman ini, ia mengindikasikan kesadaran manusia akan keberadaan DZAT YANG MENGHIDUPKAN dirinya. Dan yang terpenting adalah bagaimana umat manusia yang menyadari Tuhan secara transenden ini bisa berlaku baik sesuai pemahaman mereka akan “KEHENDAK DZAT YANG MAHA HIDUP DAN MENGHIDUPKAN” tersebut.
Sementara itu, sebagian pihak lainnya memahami keberadaan DZAT MAHA HIDUP DAN MENGHIDUPKAN itu tidak dalam bentuk sosok atau pribadi: IA disadari sebagai sosok tan kena kinira tan kena kinaya ngapa, tanpo pangenan tanpo panggonan, (KEBERADAAN yang tidak bisa dibayangkan dan dikira-kira, yang tidak memiliki batasan ruang dan waktu), sehingga IA tak bisa dipersepsi pikiran bentuk, rupa dan sifatnya. Lebih jauh, kelompok yang dalam kajian filsafat ketuhanan disebut kaum imanen ini memahami Tuhan sebagai Yang Serba Meliputi, Yang jejak keberadaan-Nya ada di dalam diri sekaligus di luar diri, tetapi tidak bisa disebutkan IA ada di mana karena memang keberadaan-Nya tidak bisa dibatasi. Tetapi, walau disadari bahwa DZAT YANG MAHA HIDUP DAN MENGHIDUPKAN ini tidak bisa disebutkan tempat spesifik keberadaan-Nya, kaum imanen mengembangkan kesadaran bahwa jalan untuk berjumpa dengan-Nya adalah dengan menyelam ke dalam diri, karena di dalam diri inilah terdapat manifestasi-Nya yang paling agung.
Sebagian pihak lainnya dengan tegas menyangkal konsepsi ketuhanan dari kaum beragama yang cenderung menempatkan Tuhan sebagai sebuah sosok, karena mereka menyadari bahwa yang demikian itu memang tidak ada. Pada konteks inilah Mbah Gatho sering mengatakan TUHAN ITU TIDAK ADA. Dan mereka yang berada di luar tradisi kaum beragama ini melabeli KEBERADAAN YANG HIDUP DAN MENGHIDUPKAN, dan menjadi sebab primer dari semua keberadaan lainnya, yang bersifat melingkupi segalanya, sebagai ALAM SEMESTA atau THE UNIVERSE. Dan kalau direnungkan dengan dalam, sebetulnya sifat dari The Universe ini mirip dengan sifat Tuhannya kaum imanen: IA TAK TERBATASI RUANG DAN WAKTU. Lebih jelasnya, tak ada batas buat alam semesta dari segi ruang karena setiap batas yang ada hanyalah batas dari pandangan kita, di balik itu masih ada ruang yang bisa disebut bagian dari alam semesta. Demikian pula, dari segi waktu, ALAM SEMESTA itu tidak pernah tidak ada, sejak dulu ia ada dan akan selalu ada. Ini harus dibedakan dengan unsur-unsur alam semesta seperti bumi, matahari, dan semacamnya yang punya batasan ruang dan waktu sehingga bisa didefinisikan dan bisa diinderai (walau kadang harus dengan alat bantu).
Issue berikut yang menarik untuk dibahas adalah, bagaimana sebetulnya sifat kehidupan manusia: apakah kehidupan manusia di muka bumi ini adalah kehidupan satu-satunya bagi SANG AKU; lalu, setelah SANG AKU yang berbungkus badan sukma berpisah dengan sang raga, apa yang akan terjadi dengannya? Menyangkut issue ini, setidaknya ada tiga pandangan: pertama, pandangan bahwa hidup di muka bumi hanya punya sekali siklus sebagaimana pandangan mayoritas agamawan Islam dan Kristen; kedua, pandangan kaum agamawan Budha, Hindu, dan sebagian penghayat tradisi spiritual Jawa/Nusantara bahwa hidup di muka bumi punya siklus tak terbatas melalui sistem reinkarnasi atau tumimbal lahir; dan ketiga, pandangan sesepuh Kejawen bahwa hidup ini terus berkelanjutan, kita hanya berganti baju dan dimensi hidup – sekalipun ada kemungkinan secara terbatas kita kembali ke dunia ini untuk menebus sebuah kesalahan.
Manakah yang benar dari ketiga pandangan tersebut? Semua kembali kepada kesadaran yang berakar pada pengetahuan dan pengalaman kita masing-masing. Dalam tulisan ini, saya hanya ingin menjelaskan ketiga pandangan di atas secara lebih jelas, supaya kita punya perbandingan dan bisa memilih secara lebih akurat mana pandangan yang cocok bagi kita.
Dalam tradisi mayoritas agamawan Islam dan Kristen, hidup di muka bumi ini dinyatakan hanya satu kali – setelah kematian/perpisahan raga dan sukma, seseorang akan punya pilihan nasib: berada di surga atau neraka tanpa ada kemungkinan kembali ke muka bumi. Penentu semua ini, adalah Iman, dan atau kualitas perbuatan seseorang. Dalam Islam, pada umumnya diyakini, bahwa seseorang yang telah meninggal, terlebih dahulu berada di alam kubur/alam barzakh, sambil menunggu Kiamat dan Hari Pengadilan setelahnya, untuk kemudian mendapatkan vonis surga atau neraka. Karena Iman menjadi penentu, maka pada tradisi Islam dan Kristen dikenal istilah orang beriman dan orang kafir: yang pertama adalah calon penghuni surga, yang terakhir adalah calon penghuni neraka.
Sementara dalam tradisi Hindu, Budha dan sebagian penghayat agama lokal di Nusantara, reinkarnasi atau peristiwa tumimbal lahir berjalan melalui prinsip darma dan karma. Sebelum seseorang benar-benar mencapai taraf moksa atau bisa mencapai nirwana karena sudah bisa lepas dari seluruh kemelekatan sehingga tak menanggung karma setitikpun, ia harus kembali ke dunia untuk membayar hutang-hutang (karma) dan menjalankan kebajikan (darma) yang tertunda. Berdasarkan prinsip ini, maka siapapun kita, yang memiliki kehidupan pada saat ini, pasti di masa lalu telah memiliki kehidupan pula. Kita hanya berganti raga, dengan sukma atau jiwa yang sama. Sukma telah ada sebelum pertemuan ibu dan bapak, bahkan ia memilih ibu dan bapak itu sesuai skenario hidup yang harus dijalani. Dan kualitas kehidupan kita pada saat ini, ditentukan oleh apa yang kita lakukan di masa lalu. Maka, orang-orang yang pada masa kini menanggung derita dalam berbagai bentuknya, sejatinya tengah membayar hutang karma yang diperbuat di masa lalu. Lepas dari benar dan salahnya konsep ini, ia memang lebih bisa menjelaskan tentang makna keadilan ketika kita melihat manusia yang sejak lahirnya telah menderita, baik menderita cacat atau mengalami peristiwa yang buruk. Dengan mudah kita mengatakan, bahwa itu adalah buah dari perbuatannya selama kehidupan di masa lalu.
Sementara berdasarkan pandangan yang ketiga, sukma itu sejatinya baru dibentuk melalui pertemuan ibu dan bapak. Ia hadir ke dunia, sesuai dengan warisan genetik yang diterimanya. Sehingga bakat, karakter, dan peristiwa yang dialami dalam hidup, sangat ditentukan oleh apa yang diturunkan oleh orang tua/garis keturunan sebelumnya. Berdasarkan konsep ini, ada pribadi-pribadi tertentu yang harus menanggung akibat dari kesalahan orang tuanya; lepas dari itu layak disebut adil atau tidak, dengan kondisi buruk akibat kesalahan orang tuanya, pribadi seperti itu punya kesempatan hidup mulia dengan menanggung dan membayar kesalahan yang diperbuat orang tuanya melalui sikap hidup nrimo ing pandum. Berdasarkan konsep ini pula, nasib seseorang setelah sukma berpisah dengan raga, sangat tergantung pada bagaimana seseorang menjalani hidup saat ini. Jika seseorang gagal untuk menjalani urip kang sejati, hingga pada taraf berbuat kesalahan yang sangat fatal, maka ia punya kemungkinan untuk kembali ke dunia dan menempati raga binatang. Dan binatang yang dimasuki raganya ini tergantung pada tingkat kesalahan yang dilakukan; semakin besar kesalahan, semakin ‘hina’ raga binatang yang dimasuki. Hanya orang yang memenuhi ‘standar’ perilaku hidup yang benar yang bisa melanjutkan kehidupan di alam berikut yang lebih sejati.
Mereka yang perilakunya pas-pasan, walau terbilang lulus masuk ke kehidupan berikutnya, di sana akan menempati strata rendah, tanpa memiliki banyak otoritas dan kekuatan – termasuk dalam menolong anak keturunannya. Sementara mereka yang berhasil menjalani urip kang sejati, akan masuk ke alam kamulyan, alam kamulyan sejati, dan seterusnya, dan dianugerahi otoritas dan kekuatan tertentu. Berdasarkan konsepsi inilah kita bisa memahami makna leluhur yang bisa menolong anak cucunya melalui mekanisme ngampingi, njangkung dan semacamnya. Para leluhur yang hidup di alam kamulyan, alam kamulyan sejati dan seterusnya, punya energi yang memadai untuk berinteraksi dengan dunia wadag dan memberi pengaruh tertentu. Berdasarkan pandangan yang ketiga ini, juga bisa dijelaskan bahwa orang-orang yang punya kesalahan tertentu tapi tak terlalu fatal, tidak kembali ke dunia dengan memasuki raga binatang, tapi juga belum bisa melanjutkan perjalanan. Mereka tersangkut di dunia halus yang tergolong rendah, dengan menjadi kuntilanak, pocong, dan sebangsa – itu adalah bagian dari proses penebusan kesalahan mereka.
Saya pribadi, sejujurnya, belum bisa menentukan mana konsep yang benar: saya masih membutuhkan banyak pengalaman untuk bisa menentukan kebenaran dalam kasus ini. Yang pasti, kesamaan dari ketiga pandangan itu adalah hidup ini terus berjalan, dan apa yang kita terima di masa mendatang tergantung pada apa yang kita lakukan pada masa kini. Sesepuh bilang, hidup ini pada dasarnya berjalan berdasarkan prinsip ngunduh wohing pekerti (memetik buah prilaku kita sendiri). Lebih dari itu, pada dasarnya kita sedang berjalan dari asal muasal kehidupan menuju muara kehidupan yang sebetulnya SAMA– itulah yang disebut dengan sangkan paraning dumadi.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
JAYA NUSWANTARA
ReplyDelete