Murwakani sira olah bathin,
Sifat angkara sira singkirna,
Hawa nepsu talenane,
Manembah kang satuhu,
Siang ratri hamemuja Gusti,
Awas eling mring kahanan,
Nut swaraning kalbu,
Tindak tanduk kang prasaja,
Welas asih mring sarwa titahing urip,
Katekan kang sinedya.
(Tembang Dandang Gula, Ki Kemkembar)
Saya, anda, semua orang, niscaya merindukan kehidupan yang berkelimpahan, ayem tentrem, berhiaskan kebahagiaan. Dalam khazanah spiritualitas jawa, hal demikian hanya bisa dicapai jika kita terlebih dahulu menuntaskan tangga demi tangga menuju kasampurnan atau kautamaan urip. Beberapa hari yang lalu, saya mendapatkan satu tembang, gubahan Pak I. W. Puja Astawa dengan langgam dandang gula yang berisi ajaran budi pekerti luhur: untuk meraih kasampurnan dan kautamaan urip, seseorang harus tekun mengolah bathin, menyingkirkan angkara murka, mengikat hawa nafsu, sungguh-sungguh berbakti kepada Tuhan dan siang malam memuja-Nya, senantiasa awas dan sadar akan keadaan yang dihadapi, selalu mengikuti suara hati yang paling dalam, bertindak secara tepat, dan welas asih kepada semua makhluk.
Sebagai seorang cantrik, seorang pelajar yang tengah ngangsu kawruh tentang ngelmu kasampurnan dan kautamaan urip, saya bersyukur karena dianugerahi kesempatan untuk mendapatkan kebijaksanaan baru – dan dengan itu saya bisa memperbaiki diri. Dari guru yang satu ke guru yang lain, dari satu perjalanan ke perjalanan yang lain, kepingan-kepingan puzzle yang saya temukan makin lengkap dan saya berharap – bisa makin dekat pada kesempurnaan dan kautamaan urip. Kadang memang harus bongkar pasang, tapi memang demikianlah dinamika pembelajaran. Tak ada kata berhenti, dan pantang merasa sempurna.
Kini, saya tengah banyak belajar dari Mas Heru Dipastraya yang membimbing saya untuk meraih ngelmu kasampurnan dan kautamaan urip berdasarkan sastra/ajaran yang tertera pada lontar-lontar kuno karya para begawan di masa silam, lalu diwariskan dari generasi ke generasi secara hati-hati.
Konsep dasar yang dipakai: untuk meraih kasampurnan dan kautamaan urip, seseorang harus ngangsu kawruh dan menjalani proses pendadaran diri berdasarkan tatwa, etika dan upacara yang tepat dan lengkap. Tatwa berkaitan dengan filsafat dari sebuah laku. Etika menyangkut aturan yang harus diikuti saat kita menjalankan laku tertentu. Dalam bahasa lain, etika adalah paugeran. Sementara upacara menyangkut tata cara manembah yang harus dijalankan, termasuk di dalamnya menyangkut aturan uborampe yang dipergunakan dalam upacara.
Ketiga hal itu tidak bisa dipisah-pisah, dan harus dijalankan sebagai sebuah kesatuan. Menghayati filsafat kehidupan Jawa tanpa mematuhi etika dan menjalankan upacara, tak akan memberi hasil optimal. Demikian juga jika kita hanya menjalankan etika saja, atau upacara saja, tanpa unsur yang lain.
Inilah yang disebut ajaran teluning atunggil: tiga hal yang menjadi satu kesatuan. Laksana telor yang terdiri dari kuning telor, putih telor, dan kulit telor. Agar telor bisa menetas, melahirkan kehidupan baru, maka ketiga bagian telor itu harus matang dulu secara menyeluruh. Konsep teluning atunggil itu tak hanya perlu dipraktekkan dalam proses pembelajaran secara menyeluruh, tetapi juga harus mulai diterapkan dalam setiap jenjang dan momentum pembelajaran, termasuk saat kita menjalankan tirta yatra. Sebuah tirtayatra atau perjalanan spiritual ke petilasan atau pepunden tertentu untuk menemukan kemurnian/kesucian diri dan kawicaksanan, hanya bisa memberi hasil optimal jika dilakukan sesuai tatwa, etika dan upacara. Dan setiap tempat memiliki tatwa, etika dan upacaranya sendiri.
Dalam tulisan kali ini, ijinkan saya berbagi pengalaman perjalanan spiritual (tirtayatra) bersama Mas Heru Dipastraya, Pak I.W. Puja Astawa dan Mas Marjoko - plus Mas Daryanto yang setia mengantarkan kami - ke tiga tempat: Alas Krendowahono, Bledug Kuwu, dan Puncak Songolikur (Gunung Saptarengga).
Alas Krendowahono
Kamis tanggal 31 Mei 2012, jam 8 pagi, saya berjumpa dengan Mas Heru Dipastraya, Pak I.W. Puja Astawa dan Mas Marjoko di Terminal Tirtonadi Surakarta. Sebetulnya, saya sudah berangkat dari rumah pada sore hari sebelumnya-mengejar bis Patas terakhir Cirebon-Semarang sebelum lanjut ke Solo, dan transit di terminal tersebut sejak jam 2-8 pagi. Saya memilih menghabiskan waktu di dalam terminal dan tidak mampir ke mana-mana, karena demikianlah paugeran atau etikanya. Paugeran demikian juga berlaku saat kepulangan; setelah tuntas pada puncak tirtayatra, kita harus segera pulang ke rumah, tidak diperkenankan mampir ke mana-mana dulu. Secara filosofis, paugeran seperti ini bermakna, kita harus fokus pada tujuan utama. Kegunaannya adalah agar anugerah yang didapat dari proses tirtayatra betul-betul terserap oleh diri kita dan terbawa ke rumah, tidak terdistorsi atau hilang oleh hal-hal lain.
Sesuai arahan Mas Dipa sebagai sang pamomong, kami pertama-tama menuju ke Alas Krendowahono dulu. Perjalanan selanjutnya – walau kami sudah punya rencana ke Puncak Songolikur, tergantung pada kehendak alam: mengikuti pesan yang didapat di Alas Krendowahono. Tapi sebelum itu, kami mampir dulu ke pasar untuk membeli pisang raja tadah (yang dipotong langsung dari bagian paling atas tandannya), lalu membeli kembang telon: mawar merah, mawar putih, dan kenanga.
Alas Krendowahono terletak di Kecamatan Gondangharjo, Kabupaten Karanganyar bagian utara. Di sinilah pepunden Betari Durga, yang setelah diruwat oleh salah satu satria Pandawa, Sadewa, kembali menjadi Dewi Uma yang welas asih. Dan bisa dikatakan, ijin (secara metafisik) untuk naik ke Puncak Songolikur bisa diperoleh di sini, karena dua tempat ini berhubungan.
Mobil kami parkir di depan rumah Pak Darsono, kuncen pepunden atau petilasan ini. Rumah Pak Darsono bergaya kuno – sebuah rumah bergaya Joglo, sederhana namun memancarkan kharisma tertentu. Saat kami tiba, Pak Darsono rupanya sudah ada di pepunden, sehingga kami terus ke sana.
Kami memasuki gerbang menuju Alas Krendowahono, dan menyusuri jalan yang sudah dipaving block. Lokus utama petilasan atau pepunden ini adalah batu yang berada di bawah naungan pohon jati berukuran besar dan berusia tua. Di depan batu tersebut sudah dibangun altar. Dan terdapat prasasti yang memuat spirit kebangsaan, ditandatangani oleh 4 orang, salah satunya adalah Pak Darsono. Di sekelilingnya tumbuh pohon-pohon besar, sehingga suasana adem dan sunyi yang misterius langsung menyergap mereka yang masuk ke situ. Saya membayangkan, betapa asyiknya tempat ini jika di malam hari. Selain itu, terdapat satu petilasan tempat pertemuan Sunan PB VI dan Pangeran Diponegoro.
Mas Dipa dibantu Pak Wayan terlebih dahulu menyiapkan uborampe, berupa pisang raja tadah, kembang telon, dan dupa, plus minyak wangi. Uborampe tersebut disusun rapi di dalam keranjang dari bambu yang dialasi daun pisang. Sebelumnya Mas Dipa membagikan masing-masing satu botol kecil minyak wangi untuk kami pakai selama tirtayatra. Seperti sudah dijelaskan, sesaji atau uborampe ini adalah simbol rasa terima kasih kepada Gusti Hyang Murba Wasesa dan bentuk rasa katresnan kepada sesama titah gesang.
Setelah uborampe tuntas disiapkan, Mas Dipa memulai prosesi manembah di Alas Krendowahono, dengan mengucapkan mantra-mantra pembuka, berupa penghaturan sembah bakti kepada Gusti Yang Maha Suci, kepada Bapak Angkasa dan Ibu Pertiwi yang menjadi asal muasal kita, kepada kakang kawah dan sedulur papat lainnya yang berjasa dalam penyiapan hidup kita, kepada manifestasi Gusti yaitu Sang Hyang Purwa, Sang Hyang Madya dan Sang Hyang Wasana, yang setara dengan Betara Syiwa, Betara Brahma dan Betara Wisnu, kepada para pangreh gaib di 8 penjuru mata angin, kepada para leluhur, dan khususnya kepada Betari Durga yang jumeneng di situ.
Setelah pembacaan mantra pembuka dan tepukan ke pertiwi tiga kali, Pak Wayan melanjutkan membaca doa, antara lain membaca Mantram Gayatri dan doa permohonan anugerah untuk diri kita dan semua titah urip di jagad raya. Lalu, kami melakukan meditasi masing-masing, termasuk meditasi untuk menyerap energi pertiwi dan energi angkasa. Selain itu kami juga melaksanakan meditasi atau semedhi untuk benar-benar mencapai hening.
Prosesi manembah dan semedi di Alas Krendowahono kami laksanakan sesuai sastra Jawa kuno, dengan orientasi memanunggalkan jagad alit dan jagad ageng, menjalin sebuah harmoni antara diri dan semesta. Semoga, demikianlah yang terjadi......
Bledug Kuwu
Keluar dari Alas Krendowahono, kami mantap untuk menuju Puncak Songolikur karena telah mendapatkan ijin. Ijin ini sejatinya diperlukan agar bisa meringankan perjalanan menuju Puncak Songolikur: karena tanpa ijin itu, akan banyak kendala yang menghadang khususnya dari tataran metafisik.
Tapi, sebelum menuju ke Puncak Songolikur, kami mampir dulu ke Museum Sangiran dan Bledug Kuwu. Cerita dari Museum Sangiran akan saya sampaikan di lain waktu. Saat saya membahas soal asal muasal peradaban Nusantara. Dalam tulisan ini, saya fokus menceritakan soal Bledug Kuwu.
Bledug Kuwu terletak di Desa Kuwu, Purwodadi. Dinamai Bledug karena tempat ini memang tempatnya tanah yang mbledug atau meledak. Di hamparan tanah yang datar, ada beberapa kawasan di mana muncul titik-titik letupan dari ke dalaman tanah. Pada siang hari, letupan itu berkisar antara setengah – satu meter. Tapi, pada malam hari bisa lebih dahsyat, bisa mencapai 3-5 meter. Letupan ini sendiri menggambarkan energi pertiwi yang dahsyat.
Dari sisi arkeologis, Bledug Kuwu ditengarai sebagai bekas palung atau ceruk lautan yang dalam. Dulu, terdapat beberapa pulau yang saling terpisah, antara lain Nusa Muria, Nusa Kendeng, Nusa Pegon. Akibat letusan gunung berapi kuni, ketiga pulau itu tersatukan, dan yang semula lautan kini menjadi dataran. Bisa dilihat misalnya Sangiran, yang merupakan hasil letupan Gunung Lawu kuno. Bledug Kuwu juga punya sejarah serupa. Menggunakan indikator fisik, jika kita jilat material letupan tempat tersebut terasa asing, menunjukkan kadar garam yang tinggi. Karena kandungan garam yang tinggi ini pula, kawasan ini dikenal sebagai penghasil garam. Selain itu, Bledug Kuwu juga menghasilkan lumpur halus, yang sering digunakan beberapa perusahaan kosmetik untuk membuat bahan penghalus wajah.
Kedatangan kami disambut oleh kuncen di situ, bernama Mas Bayu, yang sangat ramah. Dia yang menunjukkan kami lokasi-lokasi letupan, sekaligus menunjukkan lokasi yang aman. Kita harus berhati-hati di tempat tersebut, khususnya di area yang berlumpur, dan berdenyut-denyut. Karena sewaktu-waktu bisa mencair dan mengisap apa dan siapa saja yang ada di atasnya.
Tujuan utama kami datang ke tempat ini, yang utama adalah untuk membangun keselarasan dengan pangreh gaib yang ada di sini, dan menyerap energi pertiwi. Di Purwodadi, memang terdapat tempat-tempat yang sangat bagus untuk menyerap energi bumi. Di Mrapen, tempat di mana ada api abadi yang sering digunakan untuk upacara pembukaan pesta olah raga nasional atau internasional, kita bisa melakukan meditasi penyerapan atau penyatuan dengan energi api.
Dari sisi mistik, Bledug Kuwu terhubung dengan Kraton Kidul; bisa dibilang tempat ini adalah salah satu pintu masuknya. Karena itulah, dalam proses manembah yang kami lakukan di sini, kita tidak hanya menghaturkan sembah hormat kepada pangreh gaib yang jumeneng di sini, tetapi juga pangreh gaib Kraton Kidul, yaitu Kanjeng Ibu Ratu Kidul.
Di kalangan masyarakat Purwodadi sendiri berkembang mitologi berkenaan Bledug Kuwu; dimana tempat ini diceritakan terkait dengan keberadaan Ajisaka dan Dewata Cengkar. Itu tertera dalam leaflet resmi yang dikeluarkan Pemkab Purwodadi dan dijual di lokasi Bledug Kuwu. Namun, bagi kami sendiri, yang paling menjadi perhatian adalah bahwa Bledug Kuwu adalah tempat nyawiji dengan kekuatan pertiwi.
Puncak Songolikur: Filosofi
Puncak Songolikur terletak di Gunung Saptarengga, yang berdampingan dengan Gunung Rahtawu dan Gunung Muria atau Argo Jembangan. Menuju tempat ini kita bisa melalui dua titik; Desa Keling di Jepara dan Desa Gebog/Rahtawu di Kudus. Kami sendiri memilih masuk dari jalur Gebog. Dari Purwodadi kami melintasi Demak terlebih dahulu baru tiba di Kudus. Dari Kota Kudus, setelah melewati Menara Kudus, kita ambil arah utara ke arah Besito hingga tiba di Polsek Gebog, lalu perempatan Pabrik Sukun Kudus. Dari situ, jika berjalan terus ke arah utara sepanjang sekitar 18 km, kita akan sampai ke gerbang Desa Rahtawu.
Saya sendiri, mengenal nama Puncak Songolikur dan mendapatkan saran ke sana, dari Sang Purbajati, salah satu sosok yang saya kenal di dunia maya dan hingga kini masih misterius, tapi petuahnya sering masuk ke hati saya. Namun, berulang kali saya hendak ke situ, tidak pernah kesampaian. Terakhir, saya tertahan di Purwodadi karena tidak dapat kendaraan. Maka, saya bersyukur, kali ini akhirnya sampai juga ke Rahtawu, dengan lancar dan selamat.
Senja mulai mencengkeram Rahtawu dan langit mulai temaram, saat rombongan kami tiba. Setelah melintasi jalanan berkelak kelok dengan jurang di kanan dan kiri – tapi sekaligus menyuguhkan hamparan pemandangan yang indah, akhirnya kami masuki Desa Rahtawu. Di permulaan masuk Rahtawu, kita bisa jumpai petilasan Eyang Lokajaya di sebelah kiri, dan petilasan Begawan Sakri di sebelah kanan. Di sini, kita memang akan menjumpai banyak petilasan atau pepunden. Di puncak Gunung Rahtawu sendiri kita bisa menemukan petilasan Begawan Abiyoso dan petilasan Eyang Polosoro. Sementara di Gunung Saptarengga terdapat Pertapaan Jonggring Saloka tempat bersemayamnya Betara Narada dan Betara guru, lalu petilasan Dananjaya atau Arjuna atau Begawan Ciptoning yang berdampingan dengan Sendang Bunton, lalu petilasan Eyang Sekutrem atau Manumayoso, petilasan Nakula Sadewa, petilasan Puntadewa, petilasan Pandudewanata, dan di puncak terdapat petilasan Sanghyang Wenang dan Sanghyang Wening. Di lereng yang menuju Keling, beberapa puluh meter dari puncak, kita bisa menemukan petilasan Kaki Semar. Selain itu, ada juga petilasan Watu Jaran, sebelum kita mencapai petilasan Arjuna, dan petilasan Selo Panjagi dan Selo Panangkep, sebelum sampai ke petilasan Sang Hyang Wenang dan Sang Hyang Wening.
Puncak Sangalikur merupakan papan kadewatan dalam perspektif leluhur Jawa. Tempat ini merupakan salah satu tempat dari 8 tempat di 8 penjuru mata angin yang harus dikunjungi dan dijadikan tempat mendadar diri oleh para pelaku kebathinan Jawa. Puncak Songolikur sendiri mewakili arah Timur Laut – dan posisinya menjadi semacam gerbang pencapaian ngelmu kasampurnan dan kautamaan urip. Tujuh tempat lainnya adalah Gunung Lawu di Timur, Gunung Wilis di Tenggara, Kraton Kidul di Selatan, Gunung Srandil di Barat Daya, Kahyangan Dlepih di Barat, Gunung Salak di Barat Laut, dan Gunung Merapi di Utara. Sementara pancernya adalah Gunung Tidar yang didampingi Gunung Ungaran.
Kita perhatikan, sebagian besar nama-nama petilasan tersebut terkait dengan nama-nama tokoh pewayangan. Dan kesemuanya membentuk satu formasi yang melambangkan cara pandang spiritual Jawa. Begawan Polosoro dan Begawan Abiyasa, menempati puncak Gunung Rahtawu. Itu menunjukkan posisi spiritual yang tinggi. Tapi, tetap terpisah dari jagad kadewatan yang berada di Puncak Songolikur. Mengapa demikian? Karena sekalipun beliau adalah para begawan, beliau masih dilekati sifat kamanungsan yang cukup kuat. Jika kita baca Mahabarata misalnya, kita mendapatkan cerita tentang Begawan Abiyoso yang “mengikuti obsesi” sang ibu sehingga melahirkan Destarata, Pandu Dewanata, dan Arya Widura.
Di Puncak Songolikur sendiri, terdapat petilasan Eyang Sekutrem atau Manumayoso, yang menjadi jembatan penghubung sekaligus pemisah antara Nakula-Sadewa dan Puntadewa, dengan sosok Arjuna yang petilasannya berada di bawah saudara-saudaranya itu, karena masih kental kamanungsannya, antara lain dicirikan oleh proklamasi dirinya sebagai sosok satria yang kesehariannya dihiasi peperangan, dan juga mempunya istri banyak. Eyang Sekutrem bisa dibilang sebagai sosok transisi.
Di setiap petilasan ini kita bisa memetik makna: dari petilasan Eyang Sekutrem kita berkesempatan mendapatkan energi pembangkitan papasu/mata ketiga. Di petilasan Arjuna, tepatnya dimana dia bertapa sebagai Begawan Ciptoning, kita belajar tentang tekad kuat untuk menegakkan kebenaran. Dari Nakula kita belajar tentang kecerdikcendekiaan, sementara dari Sadewa kita belajar tentang kebijaksanaan. Dan dari Puntadewa kita belajar tentang kejujuran dan kemurnian.
Lalu, mengapa Sang Bima, sang Pendawa yang gagah perkasa malah tidak ada petilasannya? Gunung Saptarengga itulah yang melambangkan Sang Bima: ia menjadi penopang saudara-saudara lainnya.
Betara Narada dan Betara Guru, malah menempati tempat di bagian bawah Gunung Saptarengga. Ini melambangkan cara pandang spiritual Jawa: bahkan para Dewa yang diberi mandat mengelola jagadpun, jika terbukti berlaku tidak sesuai darma, maka ia akan kalah mulia dibandingkan dengan manusia yang konsisten dalam darma – diwakili Nakula Sadewa dan Puntadewa. Dalam kisah pewayangan yang berkembang di Jawa, kita bisa seringkali membaca ketergelinciran Betara Guru, semisal dengan membela anaknya Dewa Srani yang salah jalan, ketimbang para Pendawa yang berada dalam jalan kebenaran, karena rasa sayang yang berlebihan dan tidak proporsional. Dan Sang Hyang Ismaya, yang mengejawantah dalam sosok Kaki Semar, sosok pamomong satria yang hidup di kampung sebagai warga biasa, malah menempati posisi sangat tinggi, cuma setingkat di bawah Sang Hyang Wenang dan Sang Hyang Wening. Pesannya adalah: yang terpenting bukan status atau jabatan duniawi, tapi laku dan budi pekerti kita!
Di puncak, bersemayam Sang Hyang Wenang dan Sang Hyang Wening, yang merupakan realitas spiritual tertinggi dalam kosmologi manusia Jawa. Pepunden Sang Hyang Wenang dan Sang Hyang Wening di Puncak Songolikur pada awalnya melambangkan kekosongan karena memang hanya berupa padang ilalang. Keberadaannya hanya bisa dirasakan secara energi metafisik. Ini melambangkan bahwa puncak perjalanan spiritual manusia Jawa, adalah masuk dalam kondisi suwung, sunyaruri, manunggal dengan Hyang Yaktining Hurip yang tan kena kinira tan kena kinaya ngapa, tanpa panggonan tanpa bentuk. Tapi, sekarang kita menemukan pura yang baru dibangun sebagai lokus keberadaan Sang Hyang Wenang dan Sang Hyang Wening. Tentu saja, penting bagi kita untuk tetap menyadari hakikat keberadaan Realitas Tertinggi yang tak tersekat oleh ruang dan waktu, dan tak mungkin diwadahi oleh persepsi pikiran kita.
Puncak Songolikur: Cerita Perjalanan dan Refleksi
Sesuai sastra atau ajaran Jawa Kuno, waktu terbaik untuk memulai tirtayatra ke Puncak Songolikur adalah jam 6 pagi, jam 12 siang, dan jam 6 sore. Semua waktu itu terkait dengan posisi sang surya: saat mulai terbit penuh, saat berada di puncak, dan saat mulai tenggelam. Kami sendiri, tiba senja hari, sehingga bisa memulai tirtayatra ini pada jam 6 sore. Kami memulainya dengan sowan ke Pertapaan Jonggring Salaka, tempat Betara Narada dan Betara Guru. Tempatnya berada di samping rumah Pak Sunaryo, sang kuncen. Saat kami tiba dan hendak memulai prosesi manembah dan semedi di situ, hujan mendadak turun dengan deras. Ini adalah sebuah tanda alam, sebuah sambutan.
Kami memulai prosesi setelah sempat beramah tamah secukupnya dengan Pak Sunaryo, dan Pak Sunaryo yang membukakan hubungan kami dengan para pangreh gaib di situ, dengan melantunkan mantra Hong Wilaheng Nglegena Sarine Bawono Langgeng, serta menyebut semua nama pangreh gaib yang ada. Selanjutnya Mas Dipa memandu prosesi lalu disambung oleh Pak Wayan, seperti halnya di Alas Krendowahono. Bedanya adalah di sini, pada sesi meditasi akhir, sebelum meditasi pertiwi dan meditasi angkasa, dibacakan petikan kidung dari Serat Wredatama:
Tan samar pamoring sukma,
Sinuksmaya winahya ing ngasepi,
Sinimpen telenging kalbu,
Pambukaning warana,
Tarlen saking liyep layaping aluyup,
Pindha pesating sumpena,
Sumusuping rasa jati.
Sejatine kang mangkana,
Wus kakenan nugrahaning Hyang Widhi,
Bali alaming ngasuwung,
Tan karem arameyan,
Ingkang sipat wisesa winisesa wus,
Mulih mula ulanira.
Artinya:
Tidak lah samar sukma menyatu
meresap terpatri dalam keheningan semadi,
Diendapkan dalam lubuk hati
menjadi pembuka tabir,
berawal dari keadaan antara sadar dan tiada
Seperti terlepasnya mimpi
Merasuknya rasa yang sejati.
Sebenarnya ke-ada-an itu merupakan anugrah Tuhan,
Kembali ke alam yang mengosongkan,
tidak mengumbar nafsu duniawi,
yang bersifat kuasa menguasai. Kembali ke asal muasalmu.
Prosesi serupa kami lakukan di semua petilasan, sebagai simbol bahwa kami menghormati semua pangreh gaib yang ada, tanpa membeda-bedakan. Jika ada perbedaan sedikit, itu terjadi ketika kami mulai manembah dan semedi di Selo Panjagi dan Selo Panangkep, yang menjadi pintu masuk ke alam kadewatan: di sini, tidak lagi dibacakan kidung, juga tak ada meditasi pertiwi dan meditasi angkasa. Yang ada hanya meditasi hening; doa tan wedar, kita berdoa tanpa terucap, yang ada hanya kepasrahan total. Demikian seterusnya hingga kami melaksanakan upacara/manembah di pepunden Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Wening, dan Sang Hyang Ismaya.
Kami mulai mendaki Gunung Saptarengga pada jam 7 malam. Ndilalah, saat itu hujan berhenti, seiring dengan tuntasnya prosesi manembah di Pertapaan Jonggring Saloka. Dengan diantar adik Pak Yanto, yaitu Yudi, kami berjalan beriringan – mula-mula melintasi jalan setapak, tepatnya tegalan, dengan kebun jagung di kanan dan kiri. Setelah menyeberang sungai, dan naik terus hingga melewati kebun jagung yang lebih tinggi, kami tiba di jalan tanah yang agak besar, yang bisa dilewati sepeda motor. Sungguh mengasyikkan, sekaligus menggetarkan jiwa, berjalan di kegelapan malam, memasuki Gunung Saptarengga yang diselaputi aura misteri.
Dalam berjalan, kami mengikuti tata cara sesuai sastra Jawa Kuno: berjalan tidak terburu-buru, tetapi betul-betul dengan meresapi setiap langkah, sembari hati dan mulut kita melantunkan mantra-mantra suci. Kita bisa memilih berulang membaca mantra “Ya Hu”, atau “Sang Hyang Purwa, Sang Hyang Madya, Sang Hyang Wasana”, atau Mantram Gayatri. Itu dilakukan agar kita manunggal dengan segenap kekuatan yang ada di gunung tersebut, dan dampaknya adalah menguatkan dan menyelamatkan langkah kita. Dalam perjalanan ini, saya juga disadarkan tentang pentingnya fokus pada masa sekarang, pada proses yang dijalani, tidak sibuk memikirkan tujuan. Nikmati hidup, jalani dengan sebaik-sebaiknya setiap momen kehidupan, maka itulah yang menjamin kita sampai ke tujuan dengan selamat.
Di perjalanan, kami menjumpai beberapa patirtan atau mata air, dan di setiap tempat itu, kami berhenti untuk melakukan prosesi penghormatan, manunggal dengan pangreh gaib yang ada di situ, termasuk dengan penguasa utama seluruh perairan di lautan dan daratan, Sang Hyang Baruna. Dan setelah melewati beberapa patirtan kecil, kami tiba di Sendang Bunton, tempat kami mandi mereguk kesegaran yang tak terkira.
Jalan menuju Puncak Songolikur, sungguh tak mudah untuk dilalui. Kita butuh keberanian, tekad kuat, yang dipadukan dengan kecermatan, dan kehati-hatian. Di beberapa tempat, jalan yang kita tapaki langsung berbatasan dengan jurang yang tak diketahui kedalaman dan dasarnya. Itu disebut Jurang Grawah.
Perjalanan kian berat ketika kita memasuki petilasan Eyang Sekutrem dan petilasan di atasnya. Karena jalan yang kita lalui makin terjal dan licin. Sekali lagi, untuk bisa berhasil melampaui medan ini, kita harus memadukan semua daya upaya kita yang dilambari sikap berani, cermat, penuh semangat, sekaligus hati-hati, dengan sikap sumeleh pasrah kepada kehendak Gusti.
Saat memasuki pepunden Selo Panjagi dan Selo Panangkep yang sudah dekat dengan puncak, kami bisa menengok ke kota di bawah kami. Sungguh indah. Dari ketinggian, sambil menikmati hembusan angin dingin, kami melihat kerlap kerlip di kejauhan, sebuah lanskap cahaya yang indah.
Tepat jam 2 pagi, kami tiba di Puncak Songolikur, dan kami bergegas melakukan prosesi di dua tempat yaitu pepunden Sang Hyang Wenang - Sang Hyang Wening dan Sang Hyang Ismaya/Kaki Semar agar bisa tuntas paling lambat jam 3 pagi. Dan puji syukur, itu bisa kami capai. Tepat jam 3 pagi, semua prosesi tuntas kami lakukan.
Setelah istirahat di puncak sekitar 1 jam di puncak sambil menikmati minuman hangat dan mie rebus – di puncak memang ada warung – tempat jam 4 pagi kami melanjutkan perjalanan. Dan saat perjalanan pulang inilah, kami mendapatkan satu kejadian yang mengejutkan dan memberi pelajaran berharga. Mas Dipa yang menjadi pemimpin rombongan sekaligus pembimbing kami, tiba-tiba tergelincir ke bagian jurang. Untung saja, masih selamat karena berpegangan pada rerumputan, lalu diangkat oleh teman-teman yang lain. Dan ini ternyata akibat kesalahan saya: saya membawa cincin batu giok lokal berwarna hijau. Dan keselamatan Mas Dipa juga tak lepas dari perlindungan para pangreh gaib yang baru saja disowani. Sementara etikanya, untuk naik ke Puncak Songolikur dan gunung lainnya, kita dilarang berpakaian hijau atau membawa benda berwarna hijau. Mas Dipa sebagai pembimbing saya mengambil tanggung jawab atas kesalahan saya itu. Dan memang, demikianlah etika seorang pembimbing spiritual, “Yen dadi ajar, kudu wani dadi arya bangah” – Jika sudah menyatakan siap menjadi seorang pembimbing spiritual, harus siap mengatasi resiko termasuk menangani dampak dari kesalahan yang diperbuat sang murid.
Pada titik inilah saya kian menyadari pentingnya patuh pada etika di setiap pepunden: itu sesuai dengan pepatah di mana bumi di pijak di situ langit dijunjung. Pada gunung-gunung atau tempat yang disakralkan, tentunya di sana ada banyak pangreh gaib dan titah alus lainnya. Kita perlu ngajeni mereka; sikap yang teledor bisa membuat marah khususnya titah alus yang berada di tataran bawah - dan mencelakakan kita. Di Gunung Saptarengga sendiri, tak sedikit yang celaka ditelan jurang yang dalam akibat ceroboh seperti dengan berbuat asusila.
Kesalahan saya dengan tidak mematuhi etika, mungkin juga ketidakmurnian saya, akhirnya saya sadari yang menjadi penyebab beratnya perjalanan menuju Puncak Songolikur, termasuk perjalanan turun ke bawah. Bahkan, itu juga yang tampaknya menjadi penyebab dalam beberapa sesi manembah saya benar-benar tak bisa menahan kantuk. Benarlah: Puncak Songolikur benar-benar merupakan tempat mendadar diri, sebuah gerbang untuk meraih kemurnian spiritual. Saya belajar banyak, dan bertekad menjadi manusia yang lebih baik dan murni. Yang semakin setya tuhu kepada budaya luhur Nusantara.
Puji syukur kepada Gusti Yang Maha Suci, akhirnya jam 7 pagi kami semua tiba dengan selamat di bawah, di rumah Pak Sunaryo . Kami, mendapatkan banyak pelajaran, dan spirit untuk terus menggembleng diri menjadi manusia yang lebih baik, hingga mencapai kasampurnan dan kautamaan urip. Saya pribadi khususnya betul-betul bersyukur bisa selamat dan kuat, karena selain keliru memakai cincin hijau, saya naik ke puncak gunung hanya pakai kemeja - jaket malah saya tinggal di mobil. Untunge kuat nahan adem! He, he, he. Terima kasih. Rahayu sagung dumadi.
kidung baris ke 3 salah dimas. yg benar Hawa nefsu talenane. baris ke 7 yg benar Nut swaraning kalbu. ngoten dimas 712 hehehe
ReplyDeletemantab mas Setyo...Rahayu
ReplyDeletecoba mas kalo anda berkenan mengunjungi situs watu payon di puncak termulus salah satu puncak peg muria lewat kab pati kec. tlogowungu krn sampe sekarang belum ada yang tahu situs watu payon petilasannya siapa pada jaman apa.thks
ReplyDeleteuntuk pertapaan eyang sakri kok ga' diulas kng setyo.
ReplyDeleteMantap kang
ReplyDelete