KEAJAIBAN MALAM (1): DATANGNYA SEBUAH PENGERTIAN


Dalam sebuah halaqoh (pertemuan) di sebuah tempat di Cirebon, guru saya ditanya, “Kenapa sih orang dulu banyak yang sakti-sakti?” Beliau memberikan jawaban singkat, “Karena, orang dulu banyak yang memilih sedikit makan dan jarang (bahkan tidak pernah) tidur.” Kepada hadirin, beliau kemudian memberikan nasihat, “Jika ingin pikiran terbuka, usahakan sering melek…berjagalah di tengah malam…jika tidak sanggup melek penuh di tengah malam karena harus bekerja di siang hari, sempatkan melek setidaknya hingga jam 1 atau jam 2 malam, baru tidur…….”
Sejujurnya, saya tidak sempat hadir dalam halaqoh (pertemuan) itu, karena masih berada di Jakarta. Tapi sahabat saya menceritakan apa yang terjadi, dan saya merekamnya dalam benak.

Malam ini, tanggal 3 Maret 2009, saya – yang pada dasarnya pemalas (alias tukang tidur) - berkesempatan mempraktekkan nasihat sang guru. Sejujurnya, ini tanpa sengaja. Pada awalnya ini tuntutan pekerjaan. Bos saya meminta saya untuk bekerja dengannya jam 12 malam (untuk mendiskusikan berbagai hal dan merancang berbagai konsep – ini biasa dilakukan karena di siang hari beliau tak sempat melakukannya – maklum pejabat negara, banyak tamu dan urusan sana-sini). Tengah malam saya bangun, ternyata ada sms, pertemuan diundur ke jam 5 pagi.
Alhamdulillah, kali ini saya mengambil keputusan yang sangat baik..saya tidak tidur lagi, tetapi langsung mengambil air wudhu….shalat 2 rakaat….membaca wirid…lalu keluar rumah dan duduk di kursi taman..melihat langit yang tanpa bintang. Sambil tafakur…atau lebih tepatnya melamun. Dan saya mendapatkan sesuatu yang teramat berharga. Bukan kesaktian, tetapi sebuah pengertian, sebuah jawaban terhadap pertanyaan yang menggelisahkan.

Saya memang tengah mencari jawaban untuk sebuah pertanyaan yang memusingkan saya di siang hari sebelumnya, “Untuk apa Tuhan menciptakan kita (sebagai manusia)?” Jawaban di dalam Al Qur’an belum sepenuhnya memuaskan saya. Bukan karena saya tak meyakini kebenarannya, tetapi karena saya belum memahaminya. Dalam Surat Adz-Dzariyat: 56 dinyatakan bahwa “Tidaklah kuciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah (menyembah, mengabdi) kepada-Ku”. Saya bertanya-tanya, apa yang disebut menyembah. Sebagai penutur bahasa Indonesia, saya memahami kata menyembah sebagai kegiatan mengagungkan Zat yang Disembah. Sayapun bertanya-tanya, apakah benar Tuhan butuh untuk diagungkan. Bukankah Dia yang Memiliki Segenap Keagungan? Sehingga pengagungan dari manusia sama sekali tak menambah Keagungan-Nya, sebagaimana penolakan manusia untuk mengagungkan-Nya tak akan mengurangi keagungan-Nya setitikpun. Sebuah ilham lantas menyeruak, “Tuhan tak butun diagungkan, tapi Dia ingin Keagungan-Nya dikenali”.

Saya lantas merenungkan apa makna mengabdi. Saya memahaminya sebagai kegiatan memberikan pelayanan, ketaatan, kepada sosok yang kita anggap sebagai tuan. Pertanyaan muncul di benak saya, “Apakah Tuhan membutuhkan pelayanan dari kita, sementara Dialah Yang Maha Kaya, Yang Tak Tergantung Kepada Siapapun, Yang Maha Mandiri?” “Apakah Dia membutuhkan ketaatan kita?” Sepertinya jawabannya jelas, “Tidak”. Kemahakayaan-Nya, Ketaktergantungan-Nya, membuat-Nya tak membutuhkan pelayanan dan ketaatan dari kita. Lalu, sebuah ilham lagi-lagi memasuki benak, “Dia memang tak membutuhkan pengabdian, pelayanan dan ketaatan darimu, tapi Dia ingin Kemahakayaan-Nya, Ketaktergantungan-Nya, Kemahabesaran-Nya, dikenali.”
Maka, teringatlah saya pada sebuah ujaran yang oleh kalangan sufi diyakini sebagai hadits Qudsi, yang bunyinya kurang lebih, “Tuhan adalah khazanah tersembunyi, dan Dia ingin agar dia dikenali, maka dia menciptakan alam semesta.” Saya juga teringat pada penafsiran Ibnu Abbas terhadap kata “illa liya’buduun” dalam QS Adz Dzariat 56 sebagai “kecuali untuk mengenal-Nya”. (Tolong jangan tanya kitab referensinya, karena saya lupa judul buku dimana saya membaca penafsiran seperti itu…tapi saya berani bersumpah bahwa saya mengingat apa yang saya baca…)

Menjadi benderang dalam pikiran, jawaban mengapa Tuhan menciptakan manusia dan alam semesta. Tanpa manusia dan alam semesta, Keberadaan Tuhan menjadi tak bermakna, karena tak ada yang mengenali Keberadaan-Nya. Sesungguhnya sesuatu ada karena ada yang mengenalinya dan menyebutnya ada. Sifat Wujud atau Ada pada Diri-Nya, hanya bermakna jika ada yang mengenali, menyaksikan dan menyatakan Wujud atau Keberadaan-Nya.

Demikian pula, Kemahaagungan Tuhan, Kemahakayaan Tuhan, Kemahapemurahan Tuhan, Kemahaindahan Tuhan, hanya bermakna jika ada yang mengenali, menyaksikan dan menyatakannya.

Pikiran nakal saya mengambil kesimpulan, bahwa pada awalnya Tuhan sendirian dan Dia kesepian…..maka Diapun menciptakan manusia (dengan mengubah setitik debu menjadi gubahan maha agung, lalu meniupkan ruh-Nya yang suci). Melalui keberadaan manusia, Tuhan tak lagi sendirian..kini ada ada yang menemani-Nya, ada yang mengenali-Nya, ada yang menyebut-nyebut nama-Nya, ada yang melantunkan puja-puji kepada-Nya……
Sungguh puas hati ini, karena telah menjadi jelas bahwa hidup ini bukan tanpa makna..saya ada karena Dia Yang Maha Agung membutuhkan saya…oh, betapa terhormatnya menjadi manusia…..!

Tak cukup sampai di situ..hati saya menjadi makin berbunga-bunga, karena ada ilham lain yang mampir ke dalam pikiran, “Tuhan menciptakan manusia dan menurunkannya di muka bumi, bukan hanya agar Dia ada yang mengenali, tapi juga karena Tuhan ingin bercermin..Tuhan ingin melihat Diri-Nya…..dan itu bisa terjadi ketika Tuhan melihat manusia yang ternyata sanggup mencerminkan sifat dan akhlak-Nya (yaitu ketika manusia menebar cinta dan kasih sayang, memberi kepada yang kekurangan, dan semacamnya….)

Lebih jauh, saya sepertinya punya jawaban, mengapa dunia dan kehidupan di dalamnya, tersaji seperti sekarang, penuh kisah suka dan duka, ada tragedi dan komedi, penuh ketegangan, kadang mengundang kesyahduan. Ya, sepertinya Tuhan memang terhibur menyaksikan teater atau film kehidupan yang Dia sutradarai sendiri…..Dia sepertinya memang senang melihat warna-warni dunia…Dia bisa menyaksikan berbagai lelakon: tokoh spiritual, perampok, pelacur, pejabat tinggi, tukang batu, penyair, tukang sampah……(sungguh tak terbayangkan jika dunia ini hanya berisi orang-orang shalih yang kerjanya hanya shalat dan berzikir…sungguh kehidupan ini tak akan lagi menjadi teater dan film yang mengasyikkan….)

Saya menduga, sepanjang kehidupan ini ada, begitulah adanya..akan selalu ada sisi gelap dan terang, ada kisah suka dan duka, ada komedi dan tragedi, ada pendeta dan pelacur, ada dermawan dan perampok, ada negarawan dan pencoleng…….
Tinggal kita yang memilih…lelakon apa yang kita mainkan. Yang pasti, kehidupan kita di dunia – dengan wujud, jasad, nama panggilan dan sifat seperti saat ini - benar-benar sementara…Selanjutnya kita punya pilihan, untuk kembali kepada-Nya dan mengecap kebahagiaan kekal…atau terus terperangkap dalam lelakon dan perjalanan tak berkesudahan di muka bumi yang dihiasi suka dan duka silih berganti. Apa yang sebaiknya kita pilih..dan benarkah kita bisa memilih…mari kita bahas dalam tulisan berikut, menunggu ilham lebih lanjut. Terakhir…mohon maaf jika saya “agak kurang ajar”…tapi saya yakin sepenuhnya bahwa Tuhan akan marah..karena memang Dia tak pernah marah….[shd]
Mengikuti tuntunan sang guru sejati, penulis, trainer dan healer. Saya bisa dihubungi di setyohajardewantoro@gmail.com