Telah pernah kita bahas, bahwa pertanda kita telah mencapai puncak perjalanan ruhani adalah manakala kita telah menemukan kesadaran akan kemanunggalan segala wujud sebagai tajalli, manifestasi, penampakan Dzat Yang Maha Suci. Rasa kita melebur dalam cahaya terang benderang yang memancar dari Sang Sukma Sejati. Hati menjadi damai sekaligus bergelora karena pertemuan dengan Sang Kekasih yang dirindui sekaligus merindui.
Mereka yang telah sampai puncak itu digambarkan sebagai berikut: “ Dene awas tegesipun, weruh waranane urip, miwah wisesaning tunggal, kang atunggil rina wengi, kang mukitan ing sakarsa, gumelar alam sakalir.” Mereka yang telah waspada , telah dengan jelas mengetahui rahasia kehidupan, tirai kegaiban telah terbuka. Ia menyaksikan Sang Maha Hidup di balik segenap gerak kehidupan, Wujud Yang Mahatunggal meliputi segalanya. Dia yang menggerakkan segalanya dan mewujudkan segenap kehendak, maka terhamparlah segala peristiwa alam semesta.”
Pertanyaannya, bagaimanakah jalan untuk menggapainya? Di dalam Serat Wedhatama dipaparkan banyak nasihat kepada mereka yang berhasrat menggapai puncak perjalanan ruhani. “Marma den taberi kulup, angulah lantiping ati, rina wengi den anedya pandak-pandukung pambudi, mbengkas kardaning driya, supaya dadya utami.” Artinya adalah, “Oleh karena itu jadilah engkau manusia yang rajin dan tekun, anakku. Belajarlah untuk menajamkan perasaan. Lakukan itu siang dan malam. Tundukkan nafsu diri. Agar engkau menjadi manusia utama”.
“Pangasahe sepi samun, aywa esah ing salami, samangsa wis kawistara, lalandhepe mingis-mingis, pasah wukir reksamuka, kekes srebedaning budi”. Cara memperdalam rasa itu adalah dengan banyak melakukan semedi atau meditasi, memasuki alam kesunyian dan keheningan. Jangan pernah berhenti. Kelak pasti rasamu tajam luar biasa, ia dapat mengiris-ngiris gunung penghalang. Maka, terkuaklah semua tirai itu.
Lebih lanjut, disampaikan nasihat yang tegas, “Aywa sembrana ing kalbu, wawasen wusiriki ing kono yekti karasa, dudu ucape pribadi, marma den sambudeng sedya wewesan praptaning uwis”. Janganlah sekali-kali hatimu lengah. Engkau pasti akan bisa merasakan bahwa apa yang muncul dari dalam hatimu itu bukanlah kata-katamu sendiri (yang bersumber pada keakuanmu), melainkan bisikan dari Sang Sukma Sejati, yang identik dengan Sabda Ilahi. Oleh karena itu, bertanggungjawablah. Perhatikan segala sesuatunya dengan cermat hingga tuntas.
Menggapai kondisi batin demikian, tentunya tak bisa dilepaskan dari pendisiplinan diri. Cahaya Sang Sukma Sejati dan bisikan Tuhan yang mengalir lembut dari kedalaman hati, hanya bisa dirasakan oleh mereka yang telah terbiasa menundukkan keakuannya dan mengelola hawa nafsunya. Dipaparkan, “Simakna semanging kalbu, den waspada ing pangeksi, yeku dalaning kasidan, sinuda saka sathithik, pamothaning nafsu hawa, linalatiha mamrih titih.” Hilangkan keragu-raguan dan kesamaran di dalam hati. Buatlah hatimu menjadi mantap dan terang benderang. Caranya adalah dengan mengendalikan pandanganmu. Kurangi sedikit demi sedikit tuntutan hawa nafsumu. Latihlah agar sempurna, engkau bisa betul-betul selaras dengan kehendak Sukma Sejatimu!
“Aywa mamatuh nalutuh, tanpa tuwas tanpa kasil, kasalibuk ing sabeda marma dipun ngati-ati, urip reh rencananira, sambekala den keliling.” Jangan membiasakan diri berbuat aib atau keburukan. Karena itu tidak ada gunanya dan tak akan membawa hasil. Engkau malah akan terjerat rintangan, hijabmu dengan kenyataan sejati akan makin tebal. Bahkan hidupmupun akan penuh dengan masalah dan gangguan. Karena itu, segenap godaan harus diperhatikan agar engkau tidak terjebak di dalamnya.
“Upamane wong lumaku, marga gawat den liwati, lamung kurang ing pangarah, sayekti karendhet ing ri, apese kasandhung padhas babak-bundhas anemahi. Lumrah bae yen kadyeku, atatamba yen wis bucik, duwea kawruh sabodhag, yen tan nartani ing kapti, dadi kawruha kinarya, ngupaha kasil lan melik.” Ibarat orang berjalan melintasi tempat berbahaya, apabila kurang perhitungan, tentulah tertusuk duri, paling tidak terantuk batu, akhirnya terluka. Yang demikian itu biasa, engkau bisa berobat setelah terluka. Namun, engkau harus tetap waspada dan penuh perhitungan agar engkau tidak jatuh terjerembab. Jangan sampai engkau punya banyak pengetahuan, tapi hatimu tak waspada, sehingga pengetahuan itu hanya dipergunakan untuk mencari isi perut dan untuk sekadar pamrih.
Ya, perjalanan menuju pencerahan ruhani di mana kebahagiaan abadi tersibak dan jiwa bertemu dengan jatidirinya, sungguh tidak mudah. Setiap orang yang berhasrat kepadanya, memang harus berjuang keras. Sebagaimana kita merindui dan ingin bertemu Sang Kekasih, sosok yang memikat hati, maka segenap perjuangan penuh kesungguhan mutlak harus dilakukan. Karena tak ada hal istimewa yang terlampau mudah didapatkan. Pertanda keistimewaan sesuatu adalah bahwa ia harus diraih melalui rangkaian pengorbanan. Agar Sang Kekasih hati bisa kita jumpai, kita harus menjemputnya dengan hati bening yang penuh cinta, dan itu hanya mungkin jika kita telah berkorban, menundukkan keakuan sehingga hati itu benar-benar bersih dari segenap kotor dan noda.
Langkah-langkah untuk menundukkan keakuan hingga tercapainya kebeningan hati, dipaparkan sebagai berikut: “Pamoting ujar iku, kudu santosa ing budi teguh, sarta sabar tawakkal legaweng ati, trima lila ambek sadu, weruh wekasing dumados”. Untuk melaksanakan petuah itu – agar sampai pada pencerahan sejati, maka engkau harus membuat dirimu penuh kedamaian. Perilakumu harus kukuh dalam kebenaran. Engkaupun harus sabar, tawakal, rela terhadap segenap yang kau hadapi dan kau terima, berjiwa lapang dilandasi kewelasasihan tanpa bata. Engkau menjadi seorang pandita – orang bijak – yang terpercaya, yang mengetahui muara dari hidup ini.
“Sabaran tindak-tanduk, timindake lan sakadaripun, den ngaksama kasisipaning sasami, sumimpanga ing laku dur, ardaning budi kang ngrodon”. Engkau juga harus bertindak penuh kesabaran. Apa yang engkau lakukan itu bersahaja, dalam hal mencari kesenangan dunia engkau memilih untuk secukupnya saja, tidak berlebihan. Engkaupun harus lapang dada memaafkan sesama, serta menghindarkan diri dari tindakan tercela dan watak angkara murka.
Ahli Hakikat Palsu versi Ahli Hakikat Sejati
Pada kehidupan sehari-hari, pasti ada juga orang yang mengaku-ngaku telah mencapai tahap sembah rasa dan mengetahui hakikat. Mereka mengaku sebagai kekasih Tuhan. Satu-satunya pihak yang Dia cintai. Padahal kenyataannya sungguh jauh mereka dari keadaan itu. Sosok-sosok yang demikian, digambarkan dalam tembang berikut: “Meloke yen arsa muluk, muluk ujare lir wali, wola-wali nora nyata, anggepe pandhita luwih, kaluwihane tan ana, kabeh tandha-tandha sepi”. Terlihat bila berbicara, muluk-muluk dan meninggikan diri agar dianggap waliyullah. Ia menganggap dirinya pendeta (ulama) hebat, padahal tak terbukti. Kehebatannya tidak ada, di dalam jiwanya kosong tak ada tanda-tanda makrifat.
“Kawruhe mung ana wuwus, wuwuse gumaib-baib, kasliring thithik tan kena, mancereng alise gathik, apa pandhita antigakang mangkono iku kaki.” Pengetahuan orang yang demikian itu hanya di mulut saja. Kata-katanya digaib-gaibkan. Dibantah sedikit saja ia tidak mau. Mata membelalak, alisnya menjadi satu pertanda amarah tak terkendali. Yang seperti itu anakku, adalah pendeta (ulama) palsu.
Para ahli hakikat sejati, mereka yang telah makrifat, bisa diketahui dari paras wajah, tindakan, dan aura bathinnya. Kebajikan memancar dari kedalaman jiwanya, menghadirkan kesejukan dan keteduhan kepada segenap makhluk. Dipaparkan dengan jelas dalam tembang berikut:
“Mangka ta kang aran laku, lakune ngelmu sejati, tan dahwen pati openan, tan panesten nora jail, tan njuringi ing kaardan, amung eneng mamrih ening.” Padahal, prasyarat menguasai ilmu sejati itu, adalah tidak membiarkan diri dikuasai iri dan dengki, tidak mudah marah dan jahil, tidak melampiaskan hawa nafsu. Mereka yang telah makrifat, diam, tenang, syahdu, hening.
“Kaunang ing budi luhung, bangkit ajur ajer kaki, yen mangkono bakal cikal, thukul wijining utami, nadyang bener kawruhira yen ana kang nyulayani.” Mereka itu tersohor berbudi luhur. Pandai bergaul dengan siapapun, anakku. Di dalam dirinya tumbuh jiwa manusia sempurna. Ia tetap rendah hati ketika ada yang menyelisihinya, walau ia telah menguasai pengetahuan sejati.
Akhir kata, selanjutnya menjadi tugas kita untuk menentukan jalan mana yang kita tempuh: apakah jalan pengetahuan sejati, atau jalan pengetahuan yang penuh kepalsuan. Dewasa ini, kadang pengetahuan sejati ini dinistakan, bahkan dianggap sebagai kesesatan. Sebaliknya jalan yang penuh kepalsuan malah diagung-agungkan, dan para tokohnya dipuja laksana kekasih Tuhan. Dengan jernih kita memilih, memilih sesadar-sadarnya apa yang terbaik agar kita bisa kembali ke asal. Walau sendiri di jalan ini, itu lebih baik. Karena yang terpenting adalah hadirnya cahaya hangat dari Sang Kekasih sepanjang perjalanan yang kita lalui, dan di akhir perjalanan, kita bisa bertemu dengan Sang Kekasih itu. Tak ada yang lebih berharga daripada itu. Rahayu!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Rahayu..
ReplyDeleteartikel yg menarik dan memikat hati..ternyata para leluhur kita telah memahami hakikat sejati yg diajarkan ke anak cucu..Mari kita melangkah, apakah ingin terjebak di hakekat palsu atau sejati?
Rahayu
Rahayu..
ReplyDeleteartikel yg menarik dan memikat hati..ternyata para leluhur kita telah memahami hakikat sejati yg diajarkan ke anak cucu..Mari kita melangkah, apakah ingin terjebak di hakekat palsu atau sejati?
Rahayu