KGPAA Mangkunegoro IV - yang hidup sejaman dan menjadi sahabat Ronggowarsito pada abad 19 - dengan ke-waskito-annya, mensinyalir akan munculnya anak-anak muda yang terlalu Arab-oriented dan berbangga dengan ilmu yang sebetulnya masih dangkal. Ditembangkan sebagai berikut:
Aja kaya jaman mangkin; Keh pra mudha mundhi diri; Rapal makna; Durung becus kesusu selak besus; Amaknani rapal; Kaya sayid weton mesir; Pendhak pendhak angendhak; Gunaning jalma;
[Jangan seperti zaman nanti. Banyak anak muda yang menyombongkan diri dengan hafalan ayat. Belum mumpuni sudah berlagak pintar. Menerangkan ayat seperti sayid dari Mesir. Setiap saat meremehkan kemampuan orang lain]
Kang kadyeku; Kalebu wong ngaku aku; akale alangka; Elok Jawane denmohi. Paksa langkah ngangkah met. Kawruh ing Mekah.
[Yang seperti itu, termasuk orang mengaku-aku. Kemampuan akalnya dangkal. Keindahan ilmu Jawa malah ditolak. Sebaliknya, memaksa diri mengejar ilmu di Mekah]
Nora weruh rosing rasa kang rinuruh; lumeketing angga; anggere padha marsudi; kana kene kaanane nora beda; Uger lugu; Den ta mrih pralebdeng kalbu
[Tidak memahami hakekat ilmu yang dicari, sebenarnya ada di dalam diri. Asal mau berusaha sana sini (ilmunya) tidak berbeda. Asal tidak banyak tingkah, agar supaya merasuk ke dalam sanubari].
Tentu saja, tidak dimaksudkan bahwa ilmu yang berasal dari Mekkah itu buruk. Bukan begitu. Sebetulnya kebajikan dan kebenaran universal itu bisa muncul dari mana saja, termasuk dari Jazirah Arab. Dan sikap terbaik kita – sebagaimana diteladankan oleh para leluhur kita - adalah terbuka terhadap ilmu atau kebijaksanaan darimanapun datangnya, selama itu memang ilmu dan kebijaksanaan yang sejati. Pada faktanya, pada masa lalu Nusantara telah mendapatkan pengayaan khazanah pengetahuan berkat jasa ilmuwan Muslim baik yang datang langsung dari Jazirah Arab, maupun dari negeri-negeri lain seperti Campa, Malaka, maupun Gujarat. Sebagaimana kita juga harus berterima kasih kepada para sarjana Hindu-Budha dari India, China, dan negeri-negeri lainnya yang juga telah berjaya menghadirkan berbagai kemajuan peradaban sehingga meningkatkan kualitas hidup masyarakat Nusantara.
Namun yang dikritisi sebetulnya adalah sikap anak-anak muda pada masa kini yang membabi buta, sikap terlalu mengagungkan sesuatu yang berasal dari luar, sembari meremehkan keluhuran khazanah pengetahuan leluhur sendiri. Celakanya, yang diagungkan itu juga ternyata tak lebih dari ilmu kulit. Bukankah sungguh menyedihkan, anak-anak muda yang baru tahu ilmu kulit sudah merasa menjadi pemilik kebenaran? Sementara ilmu yang dicampakkan justru ilmu isi, ilmu hakikat, yang merupakan master piece dari leluhur atau orang tua sendiri.
Anak-anak muda yang terlalu Arab-oriented, seringkali juga tak memahami, bahwa dilihat dari sudut pandang derajat kesadaran, mereka itu baru mencapai derajat kesadaran jasmani. Ilmu yang dianggap mulia dan diyakini merupakan kebenaran sejati oleh mereka itu, ternyata tak lebih dari sekadar apa yang dilihat oleh mata dan didengar oleh telinga, ditransmisi dari orang lain yang dituakan, yang juga mendapatkan itu dari orang lain di masa lalu. Sementara potensi akal (yang menghasilkan kesadaran rasional) dan potensi mata batin (yang menghasilkan kesadaran ruhani) belumlah dipergunakan sungguh-sungguh. Lebih menyedihkan lagi, jika melihat sikap anak-anak muda itu, walau baru berada pada derajat kesadaran jasmani, sudah dengan semena-mena berani meremehkan orang lain, yang kadang telah lebih jauh perjalanan intelektual dan spiritualnya, sehingga memiliki derajat kesadaran jauh lebih tinggi.
Sesungguhnya, mencari ilmu sejati tidak mesti pergi kemanapun, karena ilmu sejati ada di dalam diri. Di dalam diri ada Guru Sejati, yang menjadi perantara bagi hadirnya cahaya dan ilmu dari Sang Sumber, Gusti ingkang Akaryo Jagad. Kuncinya adalah dengan membiasakan diri memasuki alam keheningan. Belajar dari orang lain (bahkan yang kita sebut orang-orang suci), darimanapun asalnya, sebetulnya tak lebih sebagai jembatan, pemicu, dan inspirasi untuk menggali sesuatu yang ada di dalam diri kita sendiri. Maka, mereka yang telah memasuki alam keheningan itu, akan tahu bahwa ilmu dari Arab, India, Cina, maupun dari Tanah Jawa sendiri – pada wujudnya sebagai ilmu sejati – sebetulnya ya sama saja. Karena ia sama-sama sebentuk kejernihan, sama-sama sebentuk kesegaran, sama-sama sebentuk terang benderang, sama-sama bersumber dari Dia Yang Maha Tunggal.
Berangkat dari cara pandang ini, maka kita bisa maklum mengapa ajaran-ajaran spiritual yang tumbuh berkembang di Tanah Jawa, punya citarasa yang sama dengan ajaran-ajaran spiritual para tokoh besar dari berbagai belahan dunia, termasuk yang berakar pada tradisi Islam (Arab ataupun Persia). Yang paling gamblang, paradigma manunggaling kawula kalawan gusti, satu citarasa dengan paham wahdatul wujud ala Hamzah Fansuri, Ibnu Arabi maupun al-Hallaj. Keterbukaan terhadap berbagai bentuk yang menjadi watak orang-orang bijak di Tanah Jawa, sungguh mirip dengan keterbukaan ruhani seorang Jalaluddin Rumi.
Karena itu, sungguh bijaklah mereka yang menyadari bahwa memang ada kebajikan universal, dan bahwa itu bisa ditemukan oleh siapa saja dan dari mana saja, selama mereka memenuhi prasyarat yang sama: ikhlas, tulus, hanif, yang dalam istilah Serat Wedhatama: lugu, tak banyak tingkah. Tak banyak tingkah itu ya sama dengan hening, diam, tenteram. Kondisi hening ini tentu saja harus diraih melalui upaya yang gigih untuk mengendalikan diri. Serat Wedhatama memaparkan metode meraih ilmu sejati secara gamblang:
Basa ngelmu; Mupakate lan panemune; Pasahe lan tapa; Yen satriya tanah Jawi; Kuna kuna kang ginilut tripakara; Lila lamun kelangan nora gegetun; Trima yen ketaman; Sakserik sameng dumadi; Tri legawa nalangsa srah ing Bathara
[Yang namanya ilmu, dapat berjalan bila sesuai dengan cara pandang kita. Dapat dicapai dengan usaha yang gigih. Bagi satria tanah Jawa, dahulu yang menjadi pegangan adalah tiga perkara yakni; pertama, ikhlas bila kehilangan tanpa menyesal; kedua, sabar jika hati disakiti sesama; ketiga ; lapang dada sambil berserah diri pada Tuhan.]
Akhirnya, kita bisa melihat bahwa mereka yang telah menggapai ilmu sejati, hidupnya selaras dengan irama semesta, harmoni sepenuhnya dengan Yang Maha Agung, sebagaimana dipaparkan secara indah sebagai berikut:
Bathara gung Inguger graning jajantung Jenek Hyang wisesa; Sana pasenedan suci; Nora kaya si mudha mudhar angkara
[Tuhan Maha Agung; diletakkan dalam setiap hela nafas; Menyatu dengan Yang Mahakuasa; Teguh mensucikan diri; Tidak seperti yang muda, mengumbar nafsu angkara.]
Selamat menggapai ilmu sejati!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Post a Comment