Nulada laku utama, tumrape wong tanah Jawi, wong agung ing Ngeksiganda, Panembahan Senapati, kepati amarsudi, sudane hawa lan nepsu, pinesu tapa brata, tanapi ing siyang ratri, amamangun karyenak tyasing sesame.
Teladanilah perilaku utama, bagi orang-orang di Tanah Jawa, sosok agung di Mataram, yaitu Panembahan Senapati. Yang sungguh tekun, dalam mengendalikan hawa nafsu, melalui laku prihatin, dan siang malam selalu berusaha membuat orang lain merasa bahagia.
Samangsane pasamuwan, mamangun marta martini, sinambi ing saben mangsa, kala kalaning asepi, lelana teki-teki, nggayuh geyonganing kayun, kayungyung eninging tyas, sanityasa prihatin, pungguh panggah cegah dahar lawan nendra.
Dalam setiap pertemuan, menciptakan kebahagiaan lahir bathin, melalui sikap sabar dan tenang. Sementara pada setiap kesempatan ketika tiada kesibukan, pergi mengembara bertapa, mencapai cita-cita hati, ia terpesona oleh suasana syahdu. Ia senantiasa prihatin, mencegah dari berlebihan makan dan tidur.
Saben nendra saking wisma, lelana laladan sepi, ngisep sepuhing supana, mrih pana pranaweng kapti, tis tising tyasing marsudi, mardawaning budya tulus, mesu reh kasudarman, neng tepining jala nidhi, sruning brata kataman wahyu dyatmika.
Setiap pergi meninggalkan istana, berkelana ke tempat sunyi, mereguk berbagai ilmu yang mulia, agar tercapai yang dituju, maksud hati mewujudkannya. Yang utama darinya adalah kelembutan hati, ia memeras kemampuannya dalam menghayati cinta kasih. Di tepi samudera, karena kerasnya usaha dalam menjalankan laku prihatin, ia mendapatkan anugerah Ilahi (pencerahan).
Wikan wengkoning samudera, kederan den wus ideri, kinemat kamot hing driya, rinegan sagegem dadi, dumadyo angratoni, nenggyuh Kanjeng Ratu Kidul, ndedel nggayuh nggegana, umara marak maripih, sor prabawa lan wong agung Ngeksigondo.
Mengetahui kekuatan samudera, sudah ia lampaui, seluruhnya sudah dihayati meresap ke dalam sanubari. Ibarat digenggam dalam satu genggaman. Terkuasai. Maka tersebutlah Kanjeng Ratu Kidul, melejit ke angkasa, datang menghadap dengan hormat, karena ia kalah wibawa dari Panembahan Senopati.
Dahat denira aminta, sinipeket pangkat kanthi, jroning alam palimunan, ing pasaban saben sepi, sumanggem anyanggemi, ing karso kang wus tinamtu, pamrihe mung aminta, supangate teki-teki, nora ketan teken janggut suku jaja.
Maka ia memohon dengan sangat, agar bisa dekat dan menjadi pengikut setia, di dalam alam ghaib. Itu semua karena Panembahan Senapati, saat berkelana, siap berserah diri, kepada kehendak yang sudah ditetapkan, pamrihnya cuma meminta restu dalam laku prihatin itu, ia tidak perduli walau harus bersusah payah.
Prajanjine abipraya, saturun turning wuri, mengkono trahing ngawirya, yen amasah mesu budi, dumadya glis dumugi, iya ing sakarsani pun, Wong Agung Ngeksigondo, nugrahane prapteng mangkin, trah tumerah dharahe padha wibawa.
Ia punya janji luhur demi kemuliaan anak cucu kelak di kemudian hari. Begitulah sosok yang agung dan luhur budinya. Bila ia mempertajam hati, akhirnya kesampaian apa yang dihasratkan oleh sosok agung dari Mataram itu. Anugerah itu terus bertahan hingga sekarang, anak keturunannya berwibawa.
Ambawani tanah Jawa, kang padha jumeneng aji, satriya dibya sumbaga, tan iyan trahing Senapati, pan iku pantes ugi, tinelad labetani pun, ing sakuwarsanira, enake lan zaman mangkin, sayektine tan bisa ngepleki kuna.
Yang memimpin tanah Jawa, sebagai para raja, satria yang berilmu tinggi, tidak lain adalah keturunan Panembahan Senopati. Karena itu pantaslah keagungan Panembahan Senopati itu diteladani pada saat ini, walaupun harus menyesuaikan dengan tuntutan zaman, karena memang kita tidak bisa mengulang sesuatu persis seperti di masa lalu.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Post a Comment