Nietzsche, dalam Bersabdalah Zarathustra menggagaskan kelahiran manusia super yang berawal dari pemakluman kematian Tuhan. Seseorang menjadi manusia super setelah menemukan diri yang penuh; baginya musnahlah sosok Tuhan yang selama ini diyakini dan menjadi gantungan saat merasa lemah. Ia tak lagi mendengar kata-kata Tuhan, tapi mendengarkan diri sendiri. Tuhan yang dibunuh dan diabaikan itu adalah Tuhan yang ada di benak manusia, sesuatu yang dipercayai, bukan sesuatu yang memang Ada.
Dalam tulisan ini saya ingin mengulas rumusan manusia super versi Jawa. Semuanya berawal dari pertanyaan, “Siapakah hakikat diriku? Di manakah titik terendah kelemahanku? Di mana pula batas tertinggi kekuatanku? Apa yang bisa dan tidak bisa kulakukan?” Sedikit jawaban yang mulai terkuak, saya ingin bagi dengan Anda sekalian.
Artadhaya, Kuasa di Dalam Diri
Gunung luhure kagiri-giri
Sagara agung datanpa sama
Pan sampun kawruhan reke
Artadaya puniku
Datan kena cinakreng budi
Anging kang sampun prapta
Ing kuwasanipun
Angadeg tengahing jagad
Wetan kulon lor kidul ngandap
Myang nginggil
Kapurba wisesa
Bumi sagara gunung myang kali
Sagunging kang isining bawana
Kasor ing artadayane
Sagara sat kang gunung
Guntur sirna guwa samyar nir
Sing awruh artadaya
Dadya teguh timbul
Lan dadi paliyasing prang
Yen lulungan kang kapapag wedi asih
Sato galak suminggah”
Artinya: “Gunung yang luar biasa tingginya. Lautan pasang tiada tara. Semua itu sudah diketahui. Sedangkan artadaya itu! Tak dapat dibayangkan oleh pikiran. Tapi, bagi mereka yang sudah mencapai kekuasaannya. Berdiri di tengah jagad, timur, barat, utara, selatan, bawah, dan atas, semuanya ada itu berada dalam kekuasaannya.
Bumi, lautan, gunung, dan sungai. Semua yang menjadi isi dunia. Takluk pada artadaya. Lautan kering, gunung dan guntur sirna. Gua menjadi hilang. Barang siapa mengetahui artadayanya, akan menjadi orang yang kuat tiada tanding. Menjadi pencegah timbulnya perang. Bila berpergian, yang bertemu merasa segan dan timbul kasihnya.”
Arthadaya, adalah konsep berharga tentang kuasa seorang manusia yang diwariskan Sunan Kalijaga. Konsep ini menginspirasi manusia untuk meyakini bahwa dirinya sudah memiliki semua bekal yang dibutuhkan berdiri tegak di muka bumi, dalam kesejahteraan dan kemandirian. Menyadari keberadaan Arthadaya, membuat seorang manusia potensial untuk menciptakan berbagai karya agung dan monumental, mulai dari yang berskala personal sampai yang berskala peradaban. Arthadaya, sebagai kekuatan yang memendar dari esensi kemanusiaan, adalah bekal sekaligus instrumen bagi seorang manusia untuk menciptakan takdir terbaik bagi dirinya.
Bagaimana membuat Arthadaya ini bekerja bagi kita? Prinsip dasarnya, ia harus dibangkitkan, berawal dari kesadaran dan konsistensi untuk terus berhubungan denganya. Dengan bahasa lain, Arthadaya bisa menjadi sesuatu yang bermakna bagi hidup kita, ketika kita mau memasuki dimensi diri yang paling dalam, melalui proses pengheningan dan penyatuan dengan Sang Sukma Sejati. Meditasi atau semedi, adalah langkah teknis untuk bisa memasuki alam penyatuan dengan Sang Sukma Sejati itu.
Kekuatan Ilahi di Dalam Diri Kita
"Ingsun anekseni ing Dhat Ingsun dhewe, satuhune ora ana Pangeran anging Ingsun, lan anekseni Ingsun satuhune muhammad iku utusan Ingsun. Iya sejatine kan aran Allah iku badan Ingsun, rasul iku rasane Ingsun, muhammad iku cahayaning Ingsun. Iya Ingsun kang urip tan kena ing pati, iya Ingsun kang eling tan kena ing lali, iya Ingsun kang langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan jati, iya Ingsun kang waskitha, ora kasamaran ing sawiji-wiji. Iya Ingsun kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana ora kekurangan ing pakerthi, byar sampurna padhang terawangan, ora kerasa apa-apa, ora ana katon apa-apa, amung Ingsun kang anglimputi ing alam kabeh kalawan kodrat Ingsun."
"AKU menyaksikan pada DzatKU sendiri, sesungguhnya tidak ada Tuhan kecuali AKU, dan menyaksikan AKU sesungguhnya muhammad itu utusanKU. Sesungguhnya yang bernama Allah itu badanKU, rasul itu rahsaKU, muhammad itu cahayaKU. AKUlah yang hidup tidak bisa mati, AKUlah yang ingat tidak bisa lupa, AKUlah yang kekal tidak bisa berubah dalam keberadaan yang sesungguhnya, AKUlah waskita, tidak ada tersamar pada sesuatu pun. AKUlah yang berkuasa berkehendak, yang kuasa bijaksana tidak kurang dalam tindakan, terang sempurna jelas terlihat, tidak terasa apa pun, tidak kelihatan apa pun, kecuali hanya AKU yang meliputi alam semua dengan kuasa (kodrat)KU."
Seseorang yang terus berjalan jauh dalam pengembaraan ruhani, akan sampai pada kesadaran Kemanunggalan Keberadaan Semesta: Yang ada hanyalah Dia. Bahkan menyangkut hidup manusia, yang hakiki ada adalah Dia. Keberadaan kita sebagai manusia, semata-mata sekadar manifestasi ataupun bayangan dari Keberadaan-Nya.
Pada tataran yang praktis, konsep ini bisa menjadi panduan pemberdayaan diri. Karena di dalam diri kita terdapat hakikat terdalam yang merupakan Dia sendiri, maka untuk mewujudkan kekuatan pribadi, yang bisa dilakukan adalah memanunggalkan karsa dengan-Nya. Itu bisa terjadi ketika kita memasuki dunia hening, alam kekosongan: dalam diri yang telah Kosong itulah, Dia muncul dengan segenap Kuasa-Nya. Raga kita hanya menjadi alat-Nya dalam mewujudkan Karsa-Nya. Dalam bahasa lain - dan ini mirip dengan ketika kita bicara tentang Arthadaya: Kuasa pribadi kita muncul, dan kita menjadi sosok powerfull, ketika yang bertindak melalui raga kita adalah Sang Sukma Sejati....
Sedulur Papat
Bagi orang Jawa, khususnya orang yang memahami tentang Kejawen, adanya para penjaga tersebut dikenal dengan sebutan “Sedulur Papat”. Siapa saja Sedulur Papat itu? Sedulur papat yang dikenal masyarakat yang memahami Kejawen adalah: 1. Kakang Kawah (Air Ketuban) 2. Adhi Ari-Ari (Ari-ari) 3. Getih (Darah) 4. Puser (Pusar).
Kakang Kawah Yang disebut dengan Kakang Kawah adalah air ketuban yang menghantarkan kita lahir ke alam dunia ini dari rahim ibu. Seperti kita ketahui, sebelum bayi lahir, air ketuban akan keluar terlebih dahulu guna membuka jalan untuk lahirnya si jabang bayi ke dunia ini. Lantaran air ketuban (kawah) keluar terlebih dulu, maka masyarakat Kejawen menyebutnya Kakak/Kakang (saudara lebih tua) yang hingga kini dikenal dengan istilah Kakang Kawah.
Adhi Ari-Ari Sedangkan yang disebut dengan adhi ari-ari adalah ari-ari jabang bayi itu sendiri. Urutan kelahiran jabang bayi adalah, air ketuban terlebih dulu, setelah itu jabang bayi yang keluar dan dilanjutkan dengan ari-ari. Karena ari-ari tersebut muncul setelah jabang bayi lahir, maka masyarakat Kejawen biasanya mengenal dengan sebutan Adhi/adik Ari-ari.
Getih Getih memiliki arti darah. Dalam rahim ibu selain si jabang bayi dilindungi oleh air ketuban, ia juga dilindungi oleh darah. Dan darah tersebut juga mengalir dalam sekujur tubuh si jabang bayi yang akhirnya besar dan berwujud seperti kita ini.
Puser Istilah Puser adalah sebutan untuk tali pusar yang menghubungkan antara seorang ibu dengan anak yang ada dalam rahimnya. Dengan adanya tali pusar tersebut, apa yang dimakan oleh sang ibu, maka anaknya pun juga ikut menikmati makanan tersebut dan disimpan di Ari-Ari. Disamping itu, pusar juga digunakan oleh si jabang bayi untuk bernapas. Oleh karena itu, hubungan antara ibu dengan anaknya pasti lebih erat lantaran terjadinya kerjasama yang rapi untuk meneruskan keturunan. Semuanya itu atas kehendak dari Gusti Allah Yang Maha Kuasa.
Ketika seorang jabang bayi lahir ke dunia dari rahim ibu, maka semua unsur-unsur itu keluar dari tubuh si ibu. Unsur-unsur itulah yang oleh Gusti Allah ditakdirkan untuk menjaga setiap manusia yang ada di muka bumi ini.
Man usia bisa menjadi berdaya, jika sedulur papat ini diakui keberadaanya, dan dijadikan mitra kehidupan. Masyarakat Jawa coba mengundang uluran bantuan dari sedulur papat ini, yang bisa melipatgandakan kekuatan pribadi kita, dengan menyebut saudara yang tak tampak mata itu secara lengkap yaitu “KAKANG KAWAH, ADHI ARI-ARI, GETIH, PUSER, KALIMO PANCER”.
Neng, Ning, Nung, Nang: Metode Meraih Kekuatan dan Kemenangan Hakiki
Orang Jawa mengenal falsafah Neng, Ning, Nung, Nang, untuk beranjak dari posisi tak berdaya menjadi penuh daya. Secara jelas, falsafah ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Neng; artinya jumeneng, berdiri, sadar atau bangun untuk melakukan tirakat, semedi, maladihening, atau mesu budi. Konsentrasi untuk membangkitkan kesadaran batin, serta mematikan kesadaran jasad sebagai upaya menangkap dan menyelaraskan diri dalam frekuensi gelombang Tuhan.
2. Ning; artinya dalam jumeneng kita mengheningkan daya cipta (akal-budi) agar menyambung dengan daya rasa- sejati yang menjadi sumber cahaya nan suci. Tersambungnya antara cipta dengan rahsa akan membangun keadaan yang wening. Dalam keadaan “mati raga” kita menciptakan keadaan batin (hawa/jiwa/nafs) yang hening, khusuk, bagai di alam “awang-uwung” namun jiwa tetap terjaga dalam kesadaran batiniah. Sehingga kita dapat menangkap sinyal gaib dari sukma sejati.
3. Nung; artinya kesinungan. Bagi siapapun yang melakukan Neng, lalu berhasil menciptakan Ning, maka akan kesinungan (terpilih dan pinilih) untuk mendapatkan anugrah agung dari Tuhan Yang Mahasuci. Dalam Nung yang sejati, akan datang cahaya Hyang Mahasuci melalui rahsa lalu ditangkap roh atau sukma sejati, diteruskan kepada jiwa, untuk diolah oleh jasad yang suci menjadi manifestasi perilaku utama (lakutama). Perilakunya selalu konstruktif dan hidupnya selalu bermanfaat untuk orang banyak.
4. Nang; artinya menang; orang yang terpilih dan pinilih (kesinungan), akan selalu terjaga amal perbuatan baiknya. sehingga amal perbuatan baik yang tak terhitung lagi akan menjadi benteng untuk diri sendiri. Ini merupakan buah kemenangan dalam laku prihatin. Kemenangan yang berupa anugrah, kenikmatan, dalam segala bentuknya serta meraih kehidupan sejati, kehidupan yang dapat memberi manfaat (rahmat) untuk seluruh makhluk serta alam semesta. Seseorang akan meraih kehidupan sejati, selalu kecukupan, tentram lahir batin, tak bisa dicelakai orang lain, serta selalu menemukan keberuntungan dalam hidup (meraih ngelmu beja).
Jelas sudah, bahwa falsafah Jawa menyediakan teks yang demikian kaya untuk memandu kita menjadi manusia super. Tinggal kita yang memilih, mau memanfaatkannya atau tidak.
Rahayu.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Post a Comment