Jika merujuk
pada ukuran kemuliaan hidup yang dituntunkan KGPAA Mangkunegara IV dalam Serat
Wedhatama, saya kian menyadari bahwa saya harus terus temukan jalan yang lebih
baik dalam menggembleng diri. Beliau
memberi petuah:
Bonggan kan tan merlok-na,
Mungguh ugering ngaurip,
Uripe lan tri prakara,
Wirya arta tri winasis,
Kalamun kongsi sepi,
Saka wilangan tetelu,
Telas tilasing janma,
Aji godhong jati aking,
Temah papa papariman ngulandara.
Artinya:
Salahnya sendiri yang tidak mengerti,
Paugeran orang hidup itu demikian seyogyanya,
hidup dengan tiga perkara;
Keluhuran (kekuasaan), harta (kemakmuran), ketiga
ilmu pengetahuan.
Bila tak satu pun dapat diraih dari ketiga perkara itu,
habis lah harga diri manusia.
Lebih berharga daun jati kering, akhirnya mendapatlah derita, jadi pengemis
dan terlunta.
Seorang manusia Jawa (yaitu siapa saja yang bertekad hidup sesuai
nilai-nilai keluhuran budi), bisa dipandang berhasil atau mencapai tujuan
perjalanan, manakala memenuhi 3 indikator: sugih
ngelmu, sugih banda, dan sugih kuwasa. Atau memiliki wirya, arta dan winasis.
Dengan tiga hal itulah, seseorang layak disebut telah sampai pada kamukten urip, kautamaan
urip, atau ngelmu sampurno.
Sangat mudah dipahami akal sehat, bahwa seseorang yang memiliki wirya, arta dan winasis, memiliki
peluang lebih besar untuk menjalankan dharma, melaksanakan tugas hamemayu hayuning bawono secara utuh. Adakalanya, dharma membantu sesama misalnya,
dipenuhi dengan segenap kata-kata bijak yang memotivasi. Tapi, pada saat yang lain, seseorang tidak
butuh dibantu hanya dengan kata-kata, tapi dengan uang dan kekuasaan.
Selama hidupnya, KGPAA Mangkunegoro IV memberi teladan tentang sosok
satrio pinandhita yang sugih ngelmu,
sugih bondo dan sugih kuwoso. Beliau adalah pujangga yang winasis, saat
yang sama, sebagai seorang Adipati, beliau memiliki kuasa untuk menegakkan
keadilan dan mengayomi rakyat, dan saat yang sama, beliau punya kecakapan
entrepreneurship yang membuat beliau berkelimpahan dan dengan hartanya membuat
rakyat dan negaranya makmur. Pabrik Gula Tasikmadu adalah salah satu buah karya KGPAA Mangkunegoro IV. Dalam bahasa lain, KGPAA Mangkunegoro IV
telah memberi teladan tentang menjadi manusia yang bisa mengintegrasikan
nilai-nilai kebrahmanaan, kesatriaan, kewaisyaan, dan kesudraan, sehingga bisa
tampil sebagai manusia yang linuwih jiwa raga dan benar-benar mencapai taraf urip kamukten. Jejak kegemilangan beliau bisa dilihat pada
makam beliau di Mangadeg, di lereng Gunung Lawu, yang benar-benar megah.
Lalu, apa petuah beliau bagi generasi masa kini? Demikianlah yang
beliau sampaikan dalam Serat Wudhatama:
Angur baya ngantepana,
Pranatan wajibing urip,
Lampahan angluluri,
Kuna kumunanira,
Kongsi tumekeng samangkin,
Artinya:
Lebih baik memegang teguh
aturan dan kewajiban hidup,
Menjalankan pedoman hidup
warisan leluhur dari zaman dahulu kala hingga kelak kemudian hari.
Nah, dengan kesadaran bahwa saya dalam usia saat ini ternyata belum
menggapai apa yang saya idealkan, sekaligus ditempatkan sebagai tujuan bagi
para pejalan spiritual oleh KGPAA Mangkunegoro IV, saya merasa perlu untuk
merevolusi cara belajar dan laku bathin saya.
Dan, dalam situasi seperti ini, kembali berlaku prinsip yang saya
temukan dalam untaian wejangan Robin Sharma, penekun tradisi spiritual India yang
hidup di Amerika Serikat: Saat sang murid
siap, maka sang gurupun tiba.
Saat ini, saya mendapatkan kesempatan untuk menekuni sebuah pola
pembelajaran spiritual yang sistematis dan mengacu pada warisan leluhur Jawa.
PURNAMA DI TELAGA MADIRDA
Sebagaimana disampaikan pamomong saya, Mas Heru Dipastraya, purnama adalah waktu istimrewa untuk menggembleng diri. Maka, mengikuti saran itu, saya ke Telaga Madirda di lereng Gunung Lawu, tepat pada saat purnama, dan 3 hari setelah purnama. Menggunakan bis umum, untuk bisa sampai ke titik tersebut dari rumah saya di Kuningan Jawa Barat, dibutuhkan waktu sekitar 11 jam. Jadi, sepanjang purnama kemarin saya kenyang berada di dalam bis. Demikianlah perjuangan yang memang harus dilakukan untuk menggapai sesuatu yang dipandang berharga.
Saat bulan tepat mencapai purnama, kami menjalankan tirakat di punden yang berada di Telaga Madirda, lalu kungkum di Telaga Tersebut, sambil menikmati purnama yang memancarkan aura magis tersendiri. Setelah itu, saya mendapatkan wawasan tentang cakupan ilmu/ngelmu yang harus saya seharusnya dipelajari oleh para pejalan spiritual: tidak hanya ilmu/ngelmu untuk memenangkan jiwa, tapi juga ilmu/ngelmu untuk menjadi manusia yang kecukupan sandang pangan, karena dua hal itu saling berkaitan dan saling mendukung. Tanpa kecukupan sandang pangan, kita tidak bisa menjalankan darma kita secara leluasa. Dan laku spiritual kita juga akan terganggu. Karena itu, sungguh penting kita belajar dari para guru spiritual yang sudah terlebih dahulu menjadi teladan dengan menjadi pemenang kehidupan – dalam segala ranah dan wilayahnya.
Dasar semua ngelmu itu adalah latihan yang intensif dalam pranayama atau olah nafas, karena nafas adalah intisari kehidupan, dan barang siapa yang bisa mengelola nafas, maka ia akan bisa mengelola kehidupan. Setelah ini dilakukan, proses mendalami ilmu lain baru bisa dilakukan.
Sebagaimana disampaikan pamomong saya, Mas Heru Dipastraya, purnama adalah waktu istimrewa untuk menggembleng diri. Maka, mengikuti saran itu, saya ke Telaga Madirda di lereng Gunung Lawu, tepat pada saat purnama, dan 3 hari setelah purnama. Menggunakan bis umum, untuk bisa sampai ke titik tersebut dari rumah saya di Kuningan Jawa Barat, dibutuhkan waktu sekitar 11 jam. Jadi, sepanjang purnama kemarin saya kenyang berada di dalam bis. Demikianlah perjuangan yang memang harus dilakukan untuk menggapai sesuatu yang dipandang berharga.
Saat bulan tepat mencapai purnama, kami menjalankan tirakat di punden yang berada di Telaga Madirda, lalu kungkum di Telaga Tersebut, sambil menikmati purnama yang memancarkan aura magis tersendiri. Setelah itu, saya mendapatkan wawasan tentang cakupan ilmu/ngelmu yang harus saya seharusnya dipelajari oleh para pejalan spiritual: tidak hanya ilmu/ngelmu untuk memenangkan jiwa, tapi juga ilmu/ngelmu untuk menjadi manusia yang kecukupan sandang pangan, karena dua hal itu saling berkaitan dan saling mendukung. Tanpa kecukupan sandang pangan, kita tidak bisa menjalankan darma kita secara leluasa. Dan laku spiritual kita juga akan terganggu. Karena itu, sungguh penting kita belajar dari para guru spiritual yang sudah terlebih dahulu menjadi teladan dengan menjadi pemenang kehidupan – dalam segala ranah dan wilayahnya.
Dasar semua ngelmu itu adalah latihan yang intensif dalam pranayama atau olah nafas, karena nafas adalah intisari kehidupan, dan barang siapa yang bisa mengelola nafas, maka ia akan bisa mengelola kehidupan. Setelah ini dilakukan, proses mendalami ilmu lain baru bisa dilakukan.
SEBUAH VISI DAN ORIENTASI
Beberapa minggu sebelumnya – saya kedatangan tamu dari Bekasi, yaitu Mas Aryanto, kerabat dari Kang Sabdalangit dan Nyi Untari, yang ingin ditemani melakukan tirtayatra di sekitar Gunung Ciremai, untuk menghubungkan diri dengan para leluhur Tanah Sunda. Maka, saya ajak Mas Aryanto ke Balong Dalem, Taman Purbakala Cipari, Petilasan Prabu Rama Jaksa dan Pangeran Arya Adipati Ewangga, serta Situs Sanghyang Ci Arca di Desa Sagarahyang. Tempat-tempat tersebut, termasuk Balong Darmaloka, Sumur Pitu Cikajayan, Situs Pajajar, dan beberapa pepunden lain di sekitar Gunung Ciremai, telah saya kunjungi berkali-kali. Sebagian di antaranya saya berkunjung dengan mengajak istri dan anak saya tercinta.
Dalam tirtayatra terakhir ke pepunden di sekitar Gunung Ciremai bersama
Mas Aryanto tersebut, saya mendapatkan sebuah orientasi dan visi bangsa ini di
masa depan. Mang Tablo, kuncen di
Sagarahyang, menuturkan sebuah kidung dari leluhur kita:
“Isuk jaganing pageto, kumaneh
sakabeh bakal kasampeur nusa jaya jaya deui.
Pajajaran ngadeg deui, lain
Pajajaran nu baheula, tapi Pajajaran nu ayeuna.
Heug geura koreh pependeman aing.
Cirina handeleum jeng hanjuang.
Guaran jaman nu bakal datang.
Bareng disusul kubituna tujuh
gunung. Alam donya ganjlong deui.
Garuda endogan deui.”:
Artinya:
“Pada suatu saat nanti, oleh kalian semua, akan dijumpai kejayaan
kembali di tanah ini (Nusantara).
Pajajaran berdiri lagi, tapi bukan Pajajaran yang dulu melainkan
Pajajaran yang sekarang.
Silakan gali apa yang aku pendam.
Cirinya handeleum dan hanjuang.
Itu pertanda datangnya jaman baru.
Akan disusul dengan meletusnya tujuh gunung. Alam diselaraskan kembali.
Burung Garuda bertelur lagi.”
Kidung ini mengingatkan saya pada sebuah visi yang saya dapatkan saat
bermeditasi di Tuk Bima Lukar Dieng pada tirtayatra setahun yang lalu. Saya menyaksikan gambaran pria dan wanita
yang berduyun-duyun mendatangi candi/punden di pegunungan, dengan membawa
sesaji buah dan bunga, sembari diiringi lantunan kidung.
Kata kunci untuk dicapainya kembali kejayaan bangsa ini – yang merupakan
pewaris peradaban besar di masa lalu (sebagian ahli menamainya Peradaban
Atlantis), adalah kembalinya kita pada tradisi leluhur kita sendiri. Tirtayatra ke punden-punden dan candi di
gunung-gunung, hutan, dan berbagai lokasi wingit lainnya, adalah cara kita menggali
kekuatan untuk membentuk masa depan gemilang bagi bangsa ini. Tirtayatra adalah sebuah cara untuk melahirkan
manusia-manusia Nusantara berjiwa Garuda yang perkasa.
Namun, catatannya, sesuai pengalaman saya, akan ideal jika tirtayatra
tersebut diiringi dengan pengemblengan diri lebih lanjut dan lebih sistematis
dengan mengacu pada sastra/ajaran warisan leluhur dalam lontar-lontar kuno yang
terjaga orisinalitasnya. Itu lebih
menjamin hasil yang optimal.
Demikian yang bisa saya sampaikan.
Rahayu rahayu rahayu sagung dumadi.
Post a Comment