Hidup adalah momen pencarian terus
menerus; sebuah dinamika yang tak berkesudahan.
Demikian yang saya rasakan: tak ada kata selesai. Sebuah tangga pencapaian, tak pernah menjadi
tangga terakhir. Selalu ada tangga lain
yang harus digapai. Malah tak jarang,
bukannya naik kita malah turun – bahkan jatuh terjerembab. Bahkan, tampaknya perpisahan sukma dengan
sang raga yang ditandai dengan pelepasan nafas terakhirpun tak akan pernah
menjadi momen berhentinya dinamika itu.
Dalam kesadaran saya, tatkala sudah berpisah dengan ragapun, sang sukma
masih harus terus berjalan, menuai semua buah dari apa yang ditanam di
madyapada ini. “Kematian” hanyalah momen
perpindahan dimensi hidup; dan penanda kita memasuki sebuah siklus kehidupan
yang baru.
Lalu, dengan latar demikian, apa tujuan
hidup ini? Di mana sesungguhnya letak
kebahagiaan? Dan sejatinya, adakah
kebahagiaan yang kekal – yang mengandaikan dicapainya titik finish dalam
marathon kehidupan? Dan bagaimana kita
bisa meraih kebahagiaan tersebut?
Pada tulisan kali ini, ijinkan saya berbagi
renungan menyangkut soal-soal di atas.
SETITIK
KESADARAN
Para leluhur Tanah Jawa mewariskan
kepada kita konsepsi sangkan paraning
dumadi, asal dan muara kehidupan: Manungsa awitipun saking Gusti, wangsul
dumateng Gusti. Konsep ini memberi
kita kesadaran akan akar kita di masa silam, dan visi di masa depan. Menengok ke masa silam, ternyata yang kita
jumpai adalah sebuah dinding misteri - kahanan
kang tan kena kinira tan kena kinaya ngapa. Membayangkan masa depan, kita juga akan
membentur misteri yang sama: kahanan kang
tan kena kinira tan kena kinaya ngapa.
Mengapa saya katakan
kita membentur misteri? Sibaklah masa
lalu, bukalah tirai tentang SANG AKU di masa silam, maka menyeruaklah sebuah
misteri tentang masa ketika SANG AKU itu belum ada dan belum bisa dinamai. Apakah
yang ada ketika Sang Aku yang bisa menamai itu belum ada? Menjawab secara sederhana persoalan filosofis
ini, kita bisa katakan bahwa akar keberadaan kita adalah KEKOSONGAN,
sebagaimana berbagai unsur dan bagian dari jagad raya ini juga berakar pada
KEKOSONGAN. Ya, pada awalnya yang tiada
apa-apa: KOSONG. Tapi, KEKOSONGAN ini
bukanlah KEKOSONGAN yang mati, melainkan KEKOSONGAN yang hidup, karena di sana
ada benih kehidupan, yang pada masanya menjelma menjadi diri kita dan segenap
unsur/bagian jagad raya. Dari
KEKOSONGAN, muncullah manusia, bulan, bintang, planet, yang jika digabungkan
membentuk galaksi demi galaksi, dan pada
akhirnya, membentuk semesta yang tak berujung: jagad raya.
Saat kita coba
meneropong masa depan, muncul sebuah bayangan, bahwa ujung dari semuanya adalah
KEKOSONGAN juga. Semua yang sekarang
dikatakan ada karena memiliki dimensi ruang dan waktu, terus mengalami
perubahan, hingga mengurai dan menjadi tiada kembali: kembali ke KOSONG. Maka, diri ini, muaranyapun adalah ketika bisa
melebur kembali ke dalam KEKOSONGAN tersebut.
Berbicara tentang
Tuhan, maka sejatinya kita bicara tentang sangkan
lan paraning urip, yaitu KEKOSONGAN itu sendiri, sebuah keadaan dan
keberadaan yang tak bisa didefinisikan, dikira-kira, dibayangkan, dikonsepsikan. Maka, manunggal
kawula kalawan Gusti adalah keadaan ketika manusia menjadi tiada karena
melebur dengan asalnya, ibarat air dari pegunungan yang setelah melewati
jalur-jalur sungai kembali ke samudera: tak lagi bisa dikenali karena telah
menyatu dengan semesta air yang membentuk samudera.
Maka, tepatlah rumusan
leluhur tentang misteri hidup itu, lewat mantra: HONG WILAHENG SEKARING
BAWANA LANGGENG. Bahwa pada asal segala
sesuatunya adalah KEKOSONGAN – Hong – Suwung.
Lalu, seiring perjalanan waktu, dari yang Kosong atau suwung itu
menjelmalah berbagai entitas berbungkus raga/materi – yang pada akhirnya,
kesemuanya itu kembali pada Ketiadaan – Kosong – Suwung. Dan, sejatinya, hanya esensi hidup dan esensi
jagad raya, yang hanya bisa disifati dengan kata Kosong atau Suwung itulah,
yang abadi.
Maka, bicara tentang
kebahagiaan yang kekal, sejatinya bicara tentang kesanggupan kita untuk terus
mengalir hingga menggapai sangkan
paraning dumadi, asal sekaligus muara kehidupan. Kebahagiaan yang kekal itu, hanya mungkin
tatkala Sang Aku ini sudah melebur ke dalam KEKOSONGAN atau SUWUNG yang abadi
itu sendiri. Selama Sang Aku masih ada,
dengan bungkusan raganya, entah raga kasar ataupun raga halus, maka selama itu
pula ia masih akan terseret oleh pusaran kehidupan, yang menempatkannya kadang
di atas, kadang di bawah; kadang dalam benderang siang, kadang diselimuti malam;
kadang dalam bahagia, kadang dalam derita.
Leluhur Jawa memberi
petuah, untuk bisa melebur dalam KEKOSONGAN ini, dan mendapat damai abadi,
seseorang harus mempraktekkan ngelmu “ sugih
ngelmu, banda lan kuwoso, nangging ora nduweni rasa duwe”: kita menggenggam
dunia tanpa terpenjara olehnya.
TIRTAYATRA
DI GUA CERME
Memahami kehidupan bisa
menjadi pekerjaan tak berujung, karena hidup yang kita jalani demikian
panjangnya, tak tahu di mana batasnya.
Begitu satu rahasia kehidupan bisa dipecahkan, maka rahasia kehidupan di
lapis berikutnya langsung muncul dan menantang pikiran kita. Karena itu, sungguh bijak jika kita bisa
bersikap realistis, dengan memahami hidup tahap demi tahap, lalu mempersiapkan
segala sesuatu yang terkait dengan tahapan itu.
Saat ini kita hidup di
madyapada: maka langkah bijak bagi kita adalah membenahi kehidupan saat ini,
agar bisa menggapai kehidupan terbaik, dan pada saatnya kita mengakhiri
kehidupan di madyapada ini, kita juga bisa mendapatkan yang terbaik.
Terkait dengan hal ini,
saya mendapat anugerah melakukan perjalanan spiritual atau tirtayatra ke Gua
Ciremai: sebuah perjalanan menemukan Tirta Amerta/Tirta Kahuripan yang memberi
pelajaran tentang bagaimana menjalani hidup.
Gua Ciremai atau Gua Cerme, terletak di Dusun Srunggo, Desa Selopamioro, Kecamatan Imogiri, Bantul,
Yogyakarta. Saya tirtayatra ke tempat
ini, bersama Mas Dipa dan teman-teman satu perguruan.
Gua ini, dalam tradisi
spiritual Jawa adalah tempat menjalankan laku
methukke tirta (menjemput tirta
sebagai sangune laku). Kami ke tempat ini malam hari, memulai
perjalanan dari pintu gua jam 22.00. Sebelum
mencapai pintu gua, mobil yang kami kendarai harus menyusuri jalan yang
menanjak, dan punya beberapa kelokan tajam.
Di tepi kanan dan kiri, terlihat gerumbul pepohonan yang cukup
lebat. Diselimuti malam, gerumbul
pepohonan itu memancarkan aura yang menyimpan misteri. Di kawasan yang cukup tinggi, sudah mulai
dekat dengan lokasi gua, kita bisa melihat Kota Jogja yang dipenuhi pendar
lampu di seluruh sudutnya. Jogja yang
diselimuti malam, ditatap dari kejauhan, indah juga.......
Bagi yang mengendarai
kendaraan roda dua atau roda empat, tersedia tempat parkir di lokasi Gua
Ciremai. Sekaligus, ada beberapa warung
di situ, tempat men-charge energi
fisik jika kita kelelahan.
Untuk bisa masuk ke
dalam gua, kita sebaiknya menghubungi beberapa juru kunci di situ yang bisa
berperan sebagai pemandu, sembari menyewa senter, karena di dalam gua, tak ada
bedanya antara siang dan malam, sama-sama gua.
Rombongan kami, malam itu, diiringi dua pemandu.
Dari tempat parkir,
untuk sampai ke pintu gua, kami berjalan menyusuri jalan setapak, yang di
sekelilingnya tumbuh pohon-pohon besar. Dari
balik pohon-pohon yang menjulang, bintang-bintang mengintip sembari berkerlap
kerlip. Di pintu gua, terdapat satu
altar, tempat kita melaksanakan prosesi manembah, sebagai laku pembuka
perjalanan untuk mendapatkan restu dari Gusti Pangeran Ingkang Murbeng Dumadi,
para panguwasa kekiatan jagad dan para leluhur, khususnya yang jumeneng di Gua
Ciremai. Dalam prosesi ini kami
menghaturkan sesaji berupa pisang raja tadah, kembang telon dan dupa wangi. Apa yang kami lakukan ini adalah bagian dari
mengikuti etika tirtayatra di pepunden-pepunden: sebuah pembeda dengan lakunya
para wisatawan biasa. Ini dilakukanagar
tirtayatra memberi hasil dan dampak maksimal bagi kehidupan kita.
Dalam prosesi ini, mantra
pembuka disampaikan oleh Mas Dipa, selanjutnya Pak Puja yang merapalkan doa,
dilanjutkan oleh meditasi masing-masing anggota rombongan. Setelah tuntas, baru kami memulai
perjalanan, memasuki mulut gua, menuruni tangga, dan mulai meniti lajur sungai
di dalam gua. Jalan yang bisa kita lalui
memang lajur sungai bawah tanah di dalam gua tersebut.
Panjang Gua Ciremai,
total mencapai 1,3 km. Kami menempuhnya
selama 4 jam: masuk jam 22.00, keluar dari pintu gua di ujung yang berbeda, jam
02.00. Yang membuat waktu tempuh perjalanan
selama itu, pertama, adalah medan berat yang harus ditempuh dengan hati-hati
agar tidak celaka – karena kita harus menghindari batu tajam di dasar sungai, semacam
palung sungai yang bisa menjerumuskan kita, juga beberapa batu karang yang
menggantung mengancam kepala. Kedua, adalah prosesi ritual/manembah/upacara yang
kami lakukan di beberapa pepunden yang ada di gua tersebut. Prosesi ni pula yang menjadi pembeda antara
perjalanan wisata.
Tujuan utama dari
perjalanan ke Gua Ciremai, adalah meraih
Tirta Amerta/Tirta Kahuripan, yang berada di tengah gua. Tirta Amerta/Tirta Kahuripan adalah simbol
jiwa yang bening dan hidup. Secara
fisik, Tirta/Amerta ini adalah air bening yang keluar dari tuk/mata air di
celah-celah gua: lalu menggenang di sebuah cekungan pada batu karang yang
membulat. Airnya sungguh segar: tatkala
diminum memang menyegarkan raga yang lelah.
Secara filosofis, air ini mengingatkan kita pada prasyarat untuk
mencapai kebahagiaan yang kekal: kita harus kembali pada kesucian dan kemurnian
jiwa. Dan secara mistis, air ini punya
energi khusus yang membantu kita untuk menjadi lebih hening, murni, dan
berdaya.
Sebelum kita membasuh
raga dan jiwa dengan Tirta Amerta/Tirta Kahuripan ini dan memperoleh daya
magisnya, kita harus melalui tiga patirtan lainnya, yang masing-masing memiliki
arti tersendiri. Pertama, adalah Tirta
Panglukatan: sebuah mata air yang memiliki fungsi seperti Curug Panglebur Gongso,
tempat kita mensucikan jiwa dan raga.
Patirtan kedua, adalah Tirta Suci, yang juga menjadi tempat kita
mensucikan jiwa raga. Bersuci di dua
patirtan ini, membantu kita menyingkirkan segenap penyakit, derita, halangan,
kesialan, dan berbagai hal negatif lainnya yang melekat pada diri kita.
Patirtan ketiga adalah
Grojogan Sewu, yang mirip fungsinya dengan Telaga Madirda. Di sinilah kita membersihkan jiwa raga secara
total. Untuk mereguk energi air di
tempat ini, kita bisa mengguyur diri kita dengan air yang menggerojok dari
atas, laksana air terjun mini di dalam
gua, dan kungkum di lekukan-lekukan agak dalam yang bisa membuat tubuh kita
tertutup air. Baru setelah kita
membersihkan jiwa dan raga secara penuh, kita baru menggapai Tirta Amerta/Tirta
Kahuripan.
Dalam kehidupan, untuk
meraih mutiara dari samudera kehidupan berupa Tirta Perwitasari yang menjadi
simbol pencapaian spiritual, kita memang harus bersedia menjalani proses
pemurnian diri yang panjang, tahap demi tahap, yang harus dilakukan penuh
kesungguhan. Hanya dengan begitu
pencerahan bisa diraih, dan kautamaan &
kasampurnan urip bisa diraih. Berjalan di Gua Cerme, membuat sadar, untuk meraih hal yang istimewa dalam hidup ini, kita memang harus siap rekoso, tidak bisa golek penake dewe.
RENUNGAN
TENTANG PENCAPAIAN-PENCAPAIAN DALAM HIDUP
Berbicara tentang ngelmu kebathinan atau ngelmu kasampurnan Jawa, seringkali kita
terpaku pada hal-hal yang bersifat bathin/spiritual. Ada kecenderungan kita mengabaikan pencapaian
hal-hal yang bersifat kadonyan (keduniaan) berupa sandang, pangan, papan dan
berbagai kebutuhan hidup lainnya, karena dianggap bisa menjadi penghalang. Sehingga, ketika kita bicara seorang
spiritualis Jawa, yang biasanya muncul dalam benak kita adalah gambaran sosok
yang amat sangat bersahaja, hidup tanpa memiliki harta, laksana para rahim
pengelana. Dan laku bathin menuju
kasunyatan seringkali diasumsikan tidak sejalan dan tidak berhubungan dengan
membangun karier dan keberhasilan pada tata tataran finansial.
Pola seperti ini, dalam
pengalaman saya, cenderung membawa kita terjebak pada labirin panjang dunia
kebathinan yang tak berujung, yang kadang eksesnya adalah membuat kita tak bisa
mengikuti derap dan dinamika kehidupan dunia.
Kita seperti hidup di dunia yang lain: antitesis dari manusia kebanyakan
yang hidup dalam jeratan gemerlap dunia.
Sayangnya – ini renungan saya – dengan menjalani hidup semacam demikian,
kita cuma berpindah dari satu sudut kegelapan ke sudut kegelapan yang lain. Esensinya adalah sama: mereka yang
materialistis disibukkan dengan egoisme menumpuk kekayaan, dan mereka yang ada
di seberangnya – tenggelam dalam spiritualitas yang terpisah dari derap
kehidupan– juga sibuk oleh egoisme dalam bentuk lain; memikirkan keselamatan diri
sendiri, mengabaikan tugas hamemayu
hayuning bawono dalam bentuk yang kongkrit: menolong mereka yang kesusahan,
membebaskan mereka yang tengah mengalami perbudakan, dan semacamnya. Spiritualis yang tenggelam dalam dunia
keterasingannya itu, kadang tak peduli pada realita di depan mata yang
membutuhkan sentuhan, kadang merasa cukup dengan berdoa dan berkata-kata
tentang kebaikan.
Dalam kesadaran saya,
kita harus keluar dari jebakan jalan spiritual yang membuat kita terasing dari
dunia. Sebaliknya, kita perlu menempuh
jalan spiritual yang membuat kita mampu menggenggam dunia, dan membawa kita
pada keadaan sugih ngelmu, bondo dan
kuwoso. Menjadi spiritualis, tak
berarti kita menjadi orang berkekurangan, tak punya harta. Sebaliknya, menjadi spiritualis, seiring
dengan peningkatan tataran keilmuan kita, selayaknyalah keadaan kita secara
finansial juga mengalami peningkatan.
Dalam renungan saya, seiring dengan makin tingginya ilmu kita, maka
tanggung jawab hamemayu hayuning bawono
juga makin besar. Makin banyak yang
harus kita tolong, makin kompleks realitas sosial yang perlu kita
transformasi. Agar kita bisa melakukan
itu, jelas kita butuh power atau daya: dalam bentuk kekuatan ide, kekuatan
dana, dan kekuatan politik. Nilai
seorang spiritualis terletak pada berapa banyak orang yang bisa ditolong secara
kongkrit, juga dari seberapa jauh ia bisa mentransformasi sebuah realitas
sosial.
Para leluhur Nusantara yang
menjadi teladan sebagai spiritualis tingkat tinggi, bukanlah sosok yang lemah
dan papa. Tapi mereka adalah
manusia-manusia yang bisa menjadi ujung tombak perubahan dunia karena kekuatan
yang ada dalam genggaman: seperti KGPAA Mangkunegoro IV, Sultan Agung, Panembahan
Senopati, dan seterusnya: para raja seperti Prabu Kertanegara, Prabu Airlangga,
Prabu Jayabaya, dan para satria pinandhita yang mendampingi mereka. Menengok pewayangan, teladan kita juga bukan
sosok papa, tapi para satria dan ratu yang berkuasa: Prabu Arjuna Sastrabahu
dan Patih Suwanda, Pendawa Lima, Prabu Kresna, dan seterusnya. Hanya satu contoh teladan yang digambarkan
dalam keadaan papa dan hidup bersama rakyat jelata: Kaki Semar yang diiringi
anak-anaknya para punakawan.
Dalam hemat saya, dunia
pewayangan memberi pesan, agar kita tidak memperbanyak jumlah spiritualis yang
papa dan tidak punya kuasa politik ekonomi.
Cukup ada satu dua begawan yang hidup sebagai rakyat jelata: perannya
adalah sebagai penyeimbang dan penyalur suara rakyat. Tetapi, agar tercipta keadaan negeri yang gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta
raharja, harus ada sebanyak mungkin satrio pinandhita yang sugih ngelmu, bondo lan kuwoso.
Mari kita pikirkan
kehidupan kita saat ini: bagaimana kita bisa memperbaiki negeri ini yang telah
diporakporandakan kekuatan politik ekonomi asing, lewat berbagai perusahaan multinasional
yang mengeruk sumber daya negeri ini bekerjasama dengan para mitra lokalnya
yang tak kalah serakah, jika kita hanya punya bekal mantra? Itu tidak mungkin: kita harus punya kekuatan
yang setara! Dalam Bharata Yudha, Pendawa
yang di jalan kebenaranpun harus punya senjata yang ampuh untuk melawan Kurawa:
mereka menang bukan hanya karena mereka benar, lalu mencukupkan diri berbekal
mantra. Tidak, mereka menang karena
benar plus punya kekuatan yang disimbolkan oleh penguasaan berbagai senjata
ampuh seperti Pasopati dan pasukan perang yang besar!
Jadi, sebagai pejalan
spiritual, menurut hemat saya, kita juga harus punya kepedulian untuk menata
kadonyan, membangun hidup berkelimpahan.
Dan tentu saja, kita mencapai itu juga dengan jalan dharma, bukan dengan
jalan yang licik merugikan orang lain. Lalu,
apa yang kita raih, bukanlah untuk kita tumpuk dan nikmati sendiri, tapi
menjadi sarana menolong kaum papa dan tertindas. Saya membayangkan, pada suatu saat nanti,
negeri ini punya satrio pinandhita yang sugih
ngelmu, bondho lan kuwoso, yang tidak kalah dengan Georgo Soros: sosok kaya
raya keturunan Yahudi itu, yang berkarya melalui berbagai lembaga sosial,
antara lain Open Society Institute.
Sikap inilah yang dimaksud dengan “ora
nduwe rasa duwe”: kita tidak memiliki kemelekatan, atau merasa memiliki apa
yang ada pada kita, hati kita murah hati, siap berbagi untuk semua hal yang
kita punyai termasuk harta berharga kita.
Yang harus disadari, tanpa punya sesuatu kita tak mungkin bisa memberi
sesuatu. Yang bisa memberi anugerah
kehidupan adalah tanah yang subur, bukan tanah yang tandus!
Demikianlah bayangan
masa depan yang ingin saya ciptakan.
Saya ingin menjadi spiritualis yang berdaya – jauh lebih berdaya
daripada saat ini - sehingga mampu mengubah dunia dengan tindakan nyata dengan
kekuatan sendiri, seperti para guru saya.
Sebagai orang yang lama bergelut dalam dunia pemberdayaan masyarakat
lewat berbagai NGO, saya sadar betul tentang realitas ketimpangan sosial di
negeri ini. Selama ini, NGO kita hidup
dari bantuan para dermawan luar negeri.
Hal demikian, tentu saja tak akan pernah membawa kita pada perubahan
yang signifikan karena kita bagaimanapun tetap berada dalam ketergantungan pada
pihak asing. Sudah saatnya kita
membangun negeri ini dengan kekuatan kita sendiri!
CATATAN
AKHIR
Ada satu hal yang cukup menggangu saat
saya menceritakan soal Gua Ciremai atau Gua Cerme. Yaitu tentang klaim sesat yang harus kita
luruskan. Di situs Wikipedia dan
beberapa situs lainnya disebutkan demikian: Cerme dulunya digunakan
oleh para Walisongo untuk menyebarkan agama Islam di Jawa. Selain itu, Gua Cerme juga digunakan untuk membahas rencana
pendirian Masjid Agung Demak. Kata Cerme sendiri disebut berasal dari kata
Ceramah.I
Saya, pada dasarnya menghargai pilihan
jalan spiritual setiap orang, yang niscaya berbeda-beda. Orang bebas untuk menjalani sufisme Islam,
gnostikisme Katholik, ataupun Zen dan lainnya.
Termasuk saya hargai jika orang merasa puas dengan menjalani agama pada
tataran eksoteris. Tapi, saya paling
tidak bisa menerima segala bentuk dusta, apalagi itu dilekatkan pada upaya
penyebaran agama.
Klaim seperti pada Gua Ciremai di Imogiri,
juga terjadi pada berbagai patirtan di sekitar Gunung Ciremai Kuningan, seperti
Balong Darmaloka, Balong Dalem, Sumur Cikejayan Pesawahan, dan Cibulan. Kesemua
patirtan tersebut, disebutkan sebagai buatan para wali, yang notabene adalah
para penyiara agama keturunan luar negeri semua. Ini jelas mengusik patriotisme saya: sebuah
gugatan menyeruak, memang leluhur saya demikian bodoh, sehingga untuk urusan
patirtanpun harus diajari oleh pemuka agama dari negeri seberang?
Sudah saatnya klaim demikian dipatahkan,
karena ia adalah bagian dari hegemoni kebudayaan, dan sebuah strategi politik ekspansif
yang membonceng penyiaran agama, untuk menaklukkan negeri ini dimulai dari
tataran budaya, dengan membuat anak-anak Nusantara melupakan jatidiri dan karya
leluhurnya. Seperti Gua Cerme, kita
harus mulai meluruskan sejarah dengan menegaskan, bahwa ia merupakan bagian
dari kekayaan Nusantara yang sejak jaman dahulu telah menjadi tempat mendadar
diri bagi para leluhur kita. Leluhur
kita, sejak dahulu kala, sebelum para walisanga datang pada abad 13-15 M, telah
memiliki berbagai tempat favorit untuk menjalankan laku spiritual. Salah satunya adalah Gua Ciremai, yang
disamping memiliki beberapa patirtan sebagaimana telah disebutkan di atas, juga
memiliki beberapa simbol tradisi kuno: batu berbentuk lembu nandini, batu
berbentuk kura-kura yang merupakan salah satu awatara (penjelmaan) Betara
Wisnu, dan batu berbentuk Garuda plus telurnya – yang mengingatkan saya pada
konsep Garuda Endogan pada wangsit leluhur Tanah Sunda – pralambang lahirnya
para satria berjiwa Garuda yang setyotuhu kepada budaya leluhur - sebagaimana
dituturkan Mang Tablo kuncen Sagarahyang.
Ingat, konsep kadewatan bukanlah semata-mata dimiliki bangsa India,
sejak dahulu kala leluhur kita telah memiliki konsepi kadewatan juga. (Soal relasi dan kemiripan antara tradisi spiritual
Nusantara dan India, akan saya bahas lain waktu).
Generasi masa kini, perlu menyadari bahwa
Gua seperti Gua Cerme, bukanlah sekadar tempat piknik, apalagi dianggap sebagai
museum para wali, tapi benar-benar merupakan tempat mendadar diri, karena
memang merupakan pepunden yang berenergi besar, sebuah anugerah dari Gusti
Hyang Murbeng Gesang bagi para penduduk Nusantara dan siapa saja yang ingin
mengecap pesona spiritual Nusantara. Kita perlu mengikuti jejak Panembahan Senopati yang gemar tirtayatra sebagaimana digambarkan dalam tembang berikut:
Saben mendra saking wisma,
Lelana lalading sepi,
Ngingsep sepuhing supana,
Mrih pana pranaweng kapti,
Tis tising tyas marsudi,
Mardawaning budya tulus,
Mesu reh kasudarman,
Neng tepining jalanidhi,
Sruning brata kataman wahyu dyatmika.
|
Setiap mengembara meninggalkan rumah
(istana),
berkelana ke tempat yang sunyi,
menghirup tingginya ilmu,
agar jelas apa yang menjadi tujuan
(hidup) sejati.
Hati bertekad selalu berusaha dengan
tekun,
memperdayakan akal budi
menghayati cinta kasih,
ditepinya samudra.
Kuatnya bertapa diterimalah wahyu
dyatmika (hidup yang sejati).
|
Rahayu sagung dumadi.
Post a Comment