"Pada saatnya, kita bersama menikmati hidup di negeri gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja"
Pengantar
Kejayaan Nusantara. Untaian kata yang kini tertera
dalam kenangan dan angan. Menengok pada
masa silam, menyeruak bayangan kemegahan.
Kapal-kapal penjelajah samudera atau Jung dari Kraton Majapahit,
berbaris gagah menjalankan titah Sang Mahaprabu. Menembus deru samudera, menaklukkan badai
yang menderu, dengan jiwa perwira.
Mempersatukan berbagai pelosok negeri menjadi satu kesatuan politik yang
megah, sekaligus membangun kerjasama politik dengan imperium besar lainnya. Maka, jung-jung raksasa Majapahit itu
berlayar sampai ke Cina, Keling, Parasi, Egypt, Samudera,
Benggala, Makasar, Pahang, Kalantan (Kelantan), Bangka, Buwun, Beten.
Tulangbawang, Sela, Pasay (Aceh), Parayaman, Nagara Dekan, Dinah, Andeles
(Sumatera), Tego, Maloko (Melacca), Badan, Pego, Malangkabo (West Sumatera),
Mekah (Arab), Buretet, Lawe, Saksak, Se(m)bawa, Bali, Jenggi, Sabini, Ngogan,
Kanangen, Kumering, Simpang Tiga, Gumantung, Manumbi, Babu, Nyiri, Sapari,
Patukangan, Surabaya, Lampung, Jambudipa, Seran, Gedah, Solot, Solodong, Indragiri,
Tanjung Pura, Sakampung, Cempa, Baluk.
Djoko Nugroho dalam bukunya
Majapahit Peradaban Maritim (2011), menyebutkan bahwa jumlah armada Jong Majapahit ketika itu mencapai 400 kapal. Bandingkan dengan
armada kapal yang dimiliki VOC (Belanda), EIC, Spanyol, dan Portugis pada tahun
sesudahnya (1674). Kalau kekuatan itu digabung, mereka yang menguasai India,
Nusantara, Indocina, dan China hanya memiliki 124 kapal.[1]
Sebelumnya, Kraton Sriwijaya menjadi simbol kebesaran
Nusantara. Situs Wikipedia menggambarkan
dinamika ekonomi kraton ini: “Di dunia perdagangan, Sriwijaya
menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok, yakni dengan
penguasaan atas Selat Malaka dan Selat
Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka
komoditas seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading,
emas, dan timah, yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India.[13]
Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassal-nya
di seluruh Asia Tenggara. Dengan berperan sebagai entreport atau
pelabuhan utama di Asia Tenggara, dengan mendapatkan restu, persetujuan, dan
perlindungan dari Kaisar China untuk dapat berdagang dengan Tiongkok, Sriwijaya
senantiasa mengelola jejaring perdagangan bahari dan menguasai urat nadi
pelayaran antara Tiongkok dan India.”
Selain penguasaan teknologi perkapalan
dan kemajuan perdagangan, Nusantara masa lalu meninggalkan jejak keunggulan
arsitektur semisal melalui keberadaan Candi Borobudur, yang dibangun sekitar
824 M oleh Raja Mataram bernama Samaratungga dari wangsa Syailendra. Candi yang sangat berat ini dapat berdiri
kokoh dengan tanpa perlu memakukan ratusan paku bumi untuk mengokohkan
pondasinya. Bagi kita yang hidup saat
ini, sulit terbayangkan pula bagaimana batu-batu yang membentuk Borobudur itu
dibentuk dan diangkut ke area pembangunan di atas bukit. Borobudur juga
mengadopsi Konsep Fraktal. Fraktal
adalah bentuk geometris yang memiliki elemen-elemen yang mirip dengan bentuknya
secara keseluruhan. Kita juga punya
warisan keris yang mempergunakan bahan titanium, yang titik leburnya mencapai
60 ribu derajat celcius, jauh dari titik lebur besi, baja atau nikel yang
berkisar 10 ribu derajat celcius, dengan keunggulan berupa sifat keras, kuat,
ringan, tahan panas, dan juga tahan karat.
Namun, perjalanan waktu membuat semua cerita
membanggakan itu kini menjadi sekadar kenangan.
Karena fakta terkininya, Indonesia sebagai
kelanjutan Nusantara yang memiliki penduduk 230 juta, 17500 pulau, serta terdiri
dari sekitar 300 suku dan 740 bahasa daerah, berada pada tingkatan yang jauh
dari kemakmuran. Sebagai bukti, mari
kita simak data kuantitatif berikut.
Berdasar data IMF tahun 2011, PDB per kapita Indonesia sebesar $4,668
menempati peringkat 119 dari 181 negara yang disurvai. Qatar adalah negara
dengan PDB perkapita tertinggi sebesar $102,891, disusul oleh Luxemburg
($84,829), Singapura ($59,939), dan Norwegia ($53,376). Sedangkan yang terendah
adalah Republik Demokrasi Kongo diperingkat 181 dengan PDB per kapita
$347. Dari sisi tingkat kemiskinan,
berdasarkan standar garis kemiskinan nasional (Rp 230.000 per orang per bulan),
masih tercatat 13.33% penduduk di bawah garis kemiskinan. Jika yang digunakan adalah
standar garis kemiskinan internasional (US$2 per orang per hari), angka
kemiskinan membengkak menjadi 30%). Sementara
itu, tingkat pengangguran terbuka di negeri ini, menurut data BPS per tanggal 6
Agustus 2011, adalah 6.56%. Dari sisi
pendidikan, berdasarkan data UNESCO, Rata-rata lama sekolah tertinggi adalah
Amerika Serikat dengan 12 tahun, Indonesia adalah peringkat ke 66 dari 100
negara, yaitu 5 tahun, berarti rata-rata tidak tamat SD. Sedangkan peringkat
terendah adalah negara Guinea-Bissau yaitu 0.8 tahun. Dan dari sisi kesehatan – dengan indikator
angka harapan hidup, merujuk pada CIA World Factbook (perkiraan 2011), Indonesia
diperingkat 137 dengan angka 70.76 tahun.
Peringkat tertinggi adalah Monako dengan angka 89.73 tahun, sedangkan
terendah adalah negara Swaziland di Afrika, peringkat 223 dengan angka harapan
hidup yang hanya 31.88 tahun. [2]
Pertanyaan bagi kita saat ini,
bisakah kenangan indah itu berubah menjadi kenyataan di masa depan? Kita, sebagai anak bangsa pewaris Nusantara
yang agung, terlebih yang di darahnya mengalir darah para leluhur besar dari
masa lalu, mesti menjawab dengan tegas: BISA!
Tulisan ini, hendak membabarkan gagasan tentang bagaimana menciptakan
kejayaan tersebut melalui gerakan pendidikan dan kebudayaan.
Pendidikan Penentu Kejayaan Bangsa
Pendidikan adalah faktor penentu runtuh dan
jayanya sebuah bangsa. Tatkala pendidikan berjalan di rel yang salah, maka
hasilnya adalah warga bangsa yang serba salah.
Sebaliknya, manakala pendidikan yang dinikmati anak bangsa benar-benar
bermutu, akan lahir generasi yang siap membawa bangsa itu menuju
kejayaannya.
Menimbang jarak antara realita dan idealita
di negeri ini yang menganga demikian lebar, kita perlu berbenah secara
mendasar. Sembari tak lupa terus
mengupayakan solusi pada saat ini, hal yang rasional adalah mempersiapkan
generasi masa depan agar bisa lebih baik dari generasi saat ini. Dan itu, hanya bisa dilakukan melalui sektor
pendidikan. Pendidikanlah yang
menentukan kelak generasi penerus akan seperti apa dan bisa berbuat apa bagi
bangsa ini.
Sebuah bangsa menjadi jaya, karena tiga hal:
berbudaya sesuai jatidiri, berdikari secara ekonomi, dan berdaulat secara
politik. Maka, kita perlu mengembangkan
pendidikan yang bisa melahirkan faktor-faktor kejayaan tersebut. Lebih jelasnya, kita perlu mengembangkan pendidikan
sebagai proses untuk mewariskan/mengembangkan budaya bangsa, menciptakan
keberdikarian ekonomi, dan
menumbuhkan patriotisme/nasionalisme agar bangsa ini berdaulat secara politik. Dalam bahasa lain, kita perlu mengembangkan pendidikan yang bisa menjadi tempat bagi anak-anak
bangsa menemukan jatidirinya, mengembangkan diri hingga menggapai kemandirian sesuai cetak biru pribadinya, dan menumbuhkan
kesadaran sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab.
Dulu, Ki Hajar Dewantoro menetapkan visi, bahwa
pendidikan di negeri ini mesti bisa melahirkan sosok manusia Indonesia dengan
karakter berikut:
1) Berbakti kepada Tuhan Yang Maha
Esa
2) Cinta kepada alam
3) Cinta kepada Negara
4) Cinta & hormat kepada Ibu –
Bapak
5) Cinta kepada bangsa dan
kebudayaan
6) Keterpanggilan untuk memajukan
Negara sesuai dengan kemampuannya
7) Memiliki kesadaran sebagai
bagian integral dari keluarga dan masyarakat
8) Patuh pada peraturan dan
ketertiban
9) Mengembangkan kepercayaan diri
dan sikap saling menghormati atas dasar keadilan
10) Rajin bekerja, kompeten dan jujur, baik
dalam pikiran maupun tindakan.
Apa yang digagaskan oleh Ki Hajar Dewantoro masih relevan dengan
kebutuhan saat ini. Saya hanya ingin
mempertajamnya, dan menyegarkannya.
Menurut hemat saya, pendidikan yang kita kembangkan saat ini, semestinya
bisa melahirkan anak-anak bangsa dengan kriteria/karakter berikut:
1. Mengenal sejarah bangsanya
sebagai bangsa yang memiliki peradaban tua, memiliki jejak kejayaan, dan
memiliki warisan budaya yang agung;
2. Menghayati dan bangga pada
budaya warisan leluhurnya sendiri, baik pada ranah spiritual, adat istiadat,
kesenian, arsitektur, dan lainnya;
3. Menguasai teknologi tinggi
yang berwawasan lingkungan dan terintegrasi dengan spiritualitas;
4. Mampu mempraktekkan budi
pekerti luhur (lakutama) kepada semua titah urip;
5. Memiliki kesadaran
kebangsaan dan semangat Bhinneka Tunggal Ika;
6. Mampu mengenali cetak biru
pribadi, dan berkarya sesuai cetak biru itu;
7. Memiliki kerendahhatian
dan keterbukaan untuk menerima segala yang baik dari tradisi lain di seluruh
penjuru dunia.
Dalam perspektif lain, pendidikan kita
semestinya bisa melahirkan generasi yang mengambil peran sesuai konsep catur
warna dengan proporsi berikut:
- Begawan yang waskita (1 %);
- Satrio Pinandhita (10 %);
- Pengusaha yang Patriotik ( 4 %);
- Teknokrat dan Pekerja yang Handal (85 %)
Argumen saya, sebuah negeri mesti memiliki
para begawan yang memang hidupnya didedikasikan penuh pada dunia ilmu, tidak
terkontaminasi oleh dinamika dan pasang surut politik dan ekonomi. Angka 1 % adalah simbol untuk kriteria ketat
bagi siapapun yang akan menjalankan peran ini.
Peran sebagai begawan hanya layak bagi orang-orang yang telah
tergembleng panjang lewat disiplin spiritual yang serius, sehingga memenuhi
kriteria sugih ngelmu, sugih bondo, lan sugih kuwoso. Ini untuk menghindari munculnya model
penjahat yang bertopeng tokoh spiritual/tokoh agama dan berkhianat pada
kebenaran karena takluk pada kekuatan modal.
Maka, lewat pendidikan dasar dan menengah, semestinya sudah bisa
diketahui, siapa saja yang memiliki kelayakan untuk menjalankan peran ini. Dan itu tinggal dimatangkan lewat pendidikan
tinggi.
Selanjutnya, kita butuh secara serius
mencetak para pemimpin bangsa, para kesatria yang memiliki watak pandhita. Kita sadari bahwa saat ini kita memang
mengalami krisis pemimpin dan kepemimpinan; yang merebak adalah fenomena Petruk
Dadi Ratu. Sembari terus menerus
mengkonsolidasi sistem demokrasi kita agar lebih sejalan dengan kebijaksanaan
lokal, kita perlu merancang pendidikan yang memang berorientasi melahirkan para
pemimpin yang berjiwa luhur, patriotik, dan dapat diandalkan.
Lalu, kita juga perlu melahirkan para
wirausahawan yang berjiwa patriotik dan bisa mentransformasi sumber daya alam
negeri ini menjadi sumber kemakmuran bagi sebanyak mungkin warga bangsa. Secara teoritis, minimal kita harus punya 2 %
warga negara yang menjalankan peran sebagai wirausahawan. Maka, angka 4 % akan membawa bangsa ini
menjadi bangsa dengan kekuatan ekonomi yang layak diperhitungkan secara
global.
Dan selebihnya, warga bangsa ini harus bisa
mengambil peran sebagai pekerja profesional di level implementasi di semua
sektor perekonomian. Tentu saja,
nilai-budaya luhur dan etika profesional mesti tertanam kuat pada kalangan
pekerja profesional ini agar kita bisa berkompetisi dengan negara-negara lain
yang memiliki etos kerja sangat baik.
Nah, pendidikanlah yang mestinya berperan
membantu setiap orang hidup sesuai cetak biru pribadinya – yaitu mengenali apa
potensi diri dan orientasi peran dalam kehidupan dan mengembangkan diri
berdasarkan itu. Sehingga, angka trial and error menjadi berkurang
drastis dan tidak banyak anggaran terbuang untuk kesalahan mendidik yang hanya
menghasilkan manusia salah peran dan tidak produktif.
Basis Nilai untuk Pendidikan Kita
Pendidikan,
bukanlah sekadar proses memindah data dari pikiran/memori seorang guru kepada
anak didiknya. Tetapi ia adalah proses
untuk membangun manusia seutuhnya. Ya,
pendidikan seharusnya ditujukan untuk menumbuhkan setiap potensi kemanusiaan,
termasuk menghidupkan nilai-nilai luhur dalam diri dan kehidupan anak didik.
Berbicara
tentang nilai-nilai luhur yang harus dihidupkan melalui proses pendidikan, kita
memiliki khazanah yang demikian kaya. Dari
tradisi Jawa, kita misalnya memiliki nilai-nilai luhur sebagai berikut:
- Hamemayu Hayuning Bawono
- Welas Asih
- Tepo Seliro
- Gotong Royong
- Nrimo Ing Pandum
- Sepi Ing Pamrih
- Rame Ing Gawe
- Bhakti Marang Leluhur
Lebih
jauh merujuk ke jaman Majapahit, kita menemukan nilai-nilai luhur sebagai
berikut:
- 'Mitreka Satata'' (Terus-menerus membina persahabatan yang positif, baik ke dalam kerajaan maupun dengan pihak luar)
- 'Kadigwijayan ira narendara ring praja'' (Kejayaan raja itu terletak di hati rakyatnya - Raja akan jaya di hati masyarakat apabila sang raja berhasil mengisi hati rakyat menciptakan rasa aman dan sejahtera bagi bagi masyarakat)
- “Jnyana Wisesa Sudha” (pemimpin terutama raja harus menguasai ilmu pengetahuan suci)
- “Kaprahitaning Praja” (pemimpin harus memiliki rasa belas kasihan yang mendalam pada rakyat),
- “Kawiryan” (berani dengan tegas melakukan apa yang sudah diyakini benar, baik dan tepat)
- “Wibawa” (kualitas pribadi yang membuat orang lain menjadi segan dan bukan takut)
- "Bhineka Tunggal Ika tan Hana Dharma Mangruwa (Berbeda-beda tetapi sejatinya satu, dan tak ada jalan kebenaran yang mendua) [3]
Nilai-nilai di atas hanya sekadar contoh
nilai luhur yang semestinya ditumbuhkembangkan melalui pendidikan. Tentunya, masih banyak nilai –nilai lain,
termasuk dari tradisi di daerah lain di Indonesia. Tugas para perancang kebijakan pendidikan,
para pemikir pendidikan, dan para pendidik, adalah merumuskan nilai-nilai utama
yang bisa ditempatkan sebagai jiwa dari pendidikan kita.
Setelah itu, baru kita bicara tentang
metode pendidikan yang paling tepat untuk menghidupkan atau menumbuhkembangkan
nilai dalam diri pribadi dan kehidupan anak didik. Ki Hajar Dewantoro, memperkenalkan sistem
among yang dipraktekkan di Perguruan Taman Siswa. Sistem ini menempatkan sang guru sebagai sang
pamomong, yang bertugus ngemong/momong/mengasuh anak didik karena memiliki
pengalaman dan kepandaian lebih. Ikatan
dasar antara yang momong dan yang dimomong adalah kasih sayang. Sistem among memberikan ciri jiwa merdeka.
Jadi, mengajar dengan sistem among yang pertama harus ditumbuhkan adalah
mengenalkan, menanamkan, dan mewujudkan jiwa merdeka. Dengan jiwa merdeka,
kreativitas dn imajinasi siswa akan muncul dan kelak menjadi bekal membangun
Indonesia. Oleh karena itu, sistem among mengharamkan hukuman disiplin dengan
paksaan/kekerasan karena itu akan menghilangkan jiwa merdeka anak. Sistem Among
dilaksanakan secara “tut wuri handayani”, bila perlu perilaku anak boleh
dikoreksi (handayani) namun tetap dilaksanakan dengan kasih sayang.
Ki Hadjar Dewantara menyebutkan
bahwa “Sang anak harus tumbuh menurut kodrat (natuurlijke groei)
itulah perlu sekali untuk segala kemajuan (evolutie) dan harus dimerdekakan
seluas-luasnya. Pendidikan yang beralaskan paksaan-hukuman-ketertiban
(regering-tucht en orde) kita anggap memperkosa hidup kebatinan sang anak. Yang
kita pakai sebagai alat pendidikan yaitu pemeliharaan dengan sebesar perhatian
untuk mendapat tumbuhnya hidup anak, lahir dan batin menurut kodratnya sendiri.
Itulah yang kita namakan Among Methode.”
Merujuk pada metodologi jaman
kiwari, apa yang digagaskan dan dipraktekkan Ki Hajar Dewantoro, setara dengan pendidikan
pembebasan yang disampaikan oleh Paolo Freire dan student centered learning ataupun experiential learning yang digagaskan
para pemikir pendidikan jaman sekarang. Freire menempatkan proses pendidikan sebagai
sebuah proses dialogis. Ada komunikasi dua arah di sana – bahkan multi arah.
Peran subyek dimainkan baik oleh guru maupun murid. Guru dan murid sama-sama
berperan sebagai pencipta pengetahuan dan pemberi informasi, sekaligus juga
sebagai penerima pengetahuan dan tujuan informasi. Sasaran proses komunikasi
antara guru dan murid dalam sebuah proses pendidikan membebaskan, bukanlah
untuk memindahkan apa yang diketahui dan diyakini sang guru kepada para murid.
Sebaliknya, yang dilakukan adalah secara bersama menyusun kepingan pengetahuan,
keyakinan dan pengalaman yang dimiliki baik guru maupun setiap murid, agar bisa
diperoleh sebuah gambaran besar yang lebih utuh. Gambaran besar yang lebih utuh
itu adalah hasil sumbangan semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan,
dan disajikan juga kepada semua orang yang terlibat tersebut.
Peran seorang
guru, dengan demikian, lebih sebagai seorang fasilitator atau pengarah, yang
bertanggung jawab mengarahkan dan memfasilitasi agar proses belajar bisa
menghampiri tujuan-tujuan yang juga disusun dan disepakati bersama. Alih-alih
memanipulasi murid agar menerima apa yang diketahui dan diyakininya, seorang
guru yang membebaskan mesti menempatkan diri sebagai pemicu dan pembuka jalan
agar para murid bisa berpikir kritis, menilai sebuah kenyataan berdasarkan
pengalaman, nilai dan pengetahuan yang telah mereka ketahui, dan kemudian
menyampaikan pandangan atau pendapat secara bertanggung jawab.
Sementara itu, experiential learning
methode, menegaskan bahwa agar anak didik bisa menghidupkan sebuah nilai, dan
pada akhirnya, memiliki karakter yang baik, maka mereka tidak hanya perlu
diberi tahu tentang nilai itu, tetapi harus diajak mengalami dan berefleksi
tentang nilai itu. Lebih jelasnya,
metode ini adalah metode proses belajar mengajar yang mengaktifkan pembelajar
untuk membangun pengetahuan dan keterampilan serta nilai-nilai juga sikap
melalui pengalamannya secara langsung.
Berdasar
metode ini, pembelajaran akan bermakna tatkala anak didik berperan serta dalam
melakukan kegiatan. Setelah itu, mereka memandang kritis kegiatan
tersebut. Kemudian, mereka mendapatkan pemahaman serta menuangkannya
dalam bentuk lisan atau tulisan sesuai dengan tujuan pembelajaran. Dalam hal
ini, Experiential Learning menggunakan pengalaman sebagai katalisator
untuk menolong pembelajar mengembangkan kapasitas dan kemampuannya dalam proses
pembelajaran.
Pada
experiential learning, langkah
menantang bagi instruktur atau guru adalah memikirkan atau merancang aktifitas
pengalaman belajar seperti apa yang harus terjadi pada diri peserta baik
individu maupun kelompok. Aktifitas pembelajaran harus (fardu ‘ain)
berfokus pada peserta belajar (student-centered
learning). Dengan demikian, apa yang harus kita lakukan, apa yang harus
mereka lakukan, apa yang harus kita katakan atau sampaikan harus secara detail
kita rancang dengan baik. Begitu pula dengan media dan alat bantu pembelajaran
lain yang yang dibutuhkan juga harus benar-benar telah tersedia dan siap untuk
digunakan. Lewat berbagai kegiatan dan
pengalaman itulah, diproyeksikan anak didik bisa memahami dan menghidupkan
nilai-nilai luhur.
Secara
lebih teknis, bisa dibabarkan, bahwa untuk menghidupkan nilai di kalangan anak
didik, mereka harus dilibatkan dalam berbagai kegiatan yang variatif: kegiatan
diskusi, penelitian di lapangan, kegiatan seni budaya, kegiatan oleh raga,
kegiatan meditasi/semedi, dan berbagai aktivitas lainnya, yang semuanya pasti
memiliki dimensi penanaman dann penghidupan nilai.
Demikian gagasan awal yang bisa saya
sampaikan, semoga bermanfaat.
[1] Kajian Tim Turangga Seta
yang tersaji di blog: http://ekaandrisusanto.wordpress.com/2012/04/03/majapahit-kingdom-empires-the-rise-of-nusantara-in-asia/
ijin share mas
ReplyDeleteijin share mas
ReplyDelete