Pelajaran dari Eyang Singoprono
Pertengan Juli 2012, saya
berkesempatan melakukan tirtayatra ke makam Eyang Singoprono di Gunung Tugel
Simo Boyolali, bersama Mas Dipa dan Mas Marjoko. Eyang Singprono adalah cicit Prabu Brawijaya
V dari jalur Raden Jakadandung. Beliau
hidup semasa dengan Kanjeng Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja Mataram ke-3. Kunjungan ke makam ini perlu saya ungkap,
karena ada beberapa pelajaran penting bagi kita semua.
Secara visual, petilasan
Eyang Singoprono cukup enak dipandang karena keindahannya. Masuk ke komplek makam ini, kita terlebih
dahulu harus meniti anak-anak tangga yang menanjak. Jumlah anak tangganya, ternyata berbeda-beda
untuk setiap yang menghitung..karena kadang yang menghitung kurang akurat. Saya pribadi menghitung 415 anak tangga,
sementara Mas Joko 417 anak tangga, sementara angka akuratnya adalah 418 anak
tangga. Ini mirip dengan kalau kita meniti anak tangga di Pemakaman Imogiri.
Makam Eyang Singoprono yang
berada di puncak Gunung Tugel, dinaungi pohon besar dengan dedaunan rimbun,
menunjukkan usia pohon yang cukup tua. Di
dekat makam, terdapat area berpasir putih yang dilarang untuk diinjak, karena
merupakan bagian yang disucikan. Area
berpasir putih tersebut menyimbolkan bagian atas atau kepala dari makam. Tentu saja, tidak sopan jika kita
menginjak-injak bagian tersebut. Sama
saja, jika kita berkunjung kepada orang tua atau yang lebih dihormati, tidak
sopan jika kita mengambil posisi duduk yang lebih tinggi. Makamnya sendiri, dihiasi bebatuan
hitam. Di depan makam, terdapat tempat
untuk menyimpan dupa.
Saat itu, kami melakukan
prosesi manembah kepada Gusti dan penghaturan sembah pangabekti di depan makam,
setelah terlebih dahulu menunggu seorang peziarah lain tuntas dengan
doanya. Mula-mula sesaji berupa kembang
telon dan pisang raja disiapkan di atas nampan kecil dari bambu. Setelah siap, baru prosesi dimulai, dengan
mantra-mantra pembuka yang disampaikan Mas Dipastraya. Mantra-mantra tersebut pada intinya
menghaturkan pemujaan kepada Hyang Widhi, dan menghaturkan penghormatan kepada
para sinarnya Hyang Widhi yang dalam khazanah Jawa kuno dikenal dengan istilah
Sang Hyang Purwa, Sang Hyang Madya dan Sang Hyang Wasana, kepada Bapak Angkasa
dan Ibu Pertiwi serta sedulur papat kalima pancer, kepada para leluhur, dan
kepada padanyangan, para penguasa kekuatan jagad, khususnya yang jumeneng di
Gunung Tugel. Kepada beliau-beliau
disampaikan penghaturan sesaji dan permohonan maaf jika ada kekurangan, juga maksud
dan tujuan kehadiran ke tempat tersebut.
Setelah mantra pembuka, Mas Dipastraya mempersilakan kami untuk
melakukan meditasi masing-masing dan menepuk tanah tiga kali.
Saat kami melakukan proses
demikian dan bermeditasi, angin mendadak terdengar menderu-deru. Pohon-pohon besar yang ada di situ
berderak-derak diterpa angin besar. Fenomena
semesta seperti ini, adalah pertanda sambutan dari sang leluhur. Beliau yang tak beraga daging dan tulang,
menggunakan unsur alam berupa bayu/angin untuk menunjukkan keberadaannya.
Mengkaji kisah hidup Eyang
Singoprono, ada hal yang patut menjadi inspirasi bagi kehidupan kita di masa
kini. Salah satunya adalah soal
kesungguhan, profesionalitas, dan sika[murah hati. Terkenal cerita bahwa beliau membuat kebun
sayuran di sebelah Timur Dusun Walen, Simo, Kabupaten Boyolali, yang dipagari
sangat rapi, sehingga tidak ada orang maupun hewan yang bisa masuk dan merusak
tanaman di dalamnya. Maksudnya, adalah
agar tanaman-tanaman di situ bisa tumbuh sampai masa panennya. Tapi, begitu sudah siap panen, pagar akan
dibuka, dan siapapun baik manusia ataupun hewan, boleh mengambil dan
menikmatinya.
Ditarik ke laku spiritual,
sikap Eyang Singoprono tersebut, bisa menjadi inspirasi, agar proses
menggembleng diri, harus dilakukan penuh kesungguhan dan cara yang tepat,
hingga mencapai kesempurnaan, dan dengan begitu, ada buah yang bisa dipetik,
baik oleh diri kita, maupun oleh orang lain.
Seseorang yang menjalani laku prihatin dan penggemblengan bathin sampai
tataran nimpuno, akan memberikan buah
manis bagi kehidupan pribadi dan sesama.
Sebaliknya, jika cuma menjalankan laku prihatin dan penggemblengan diri
secara setengah-setengah, apalagi keliru jalannya, hasilnya tidak akan manis,
baik buat pribadi maupun orang lain.
Mengenai hal ini, saya
sendiri punya pengalaman, bersentuhan dengan orang-orang yang menjalankan laku
spiritual tapi tidak tuntas, bahkan dikotori dengan pikiran buruk. Orang yang
demikian, kadang malah jadi penipu spiritual: bertopengkan spiritualitas, tapi
pekerjaannya menipu dan merugikan orang lain.
Di beberapa petilasan atau pepunden, kadang tinggal orang-orang seperti
ini. Mereka mencari mangsa orang-orang
yang sedang bingung karena mengalami masalah kehidupan yang berat, menawarkan
formula ajaib, tapi ujung-ujungnya, uang dikeruk, masalah tak pernah
selesai. Karena itulah, penting bagi
kita, untuk “membersihkan” pepunden dan petilasan leluhur dari praktek-praktek
buruk seperti ini. Karena itu, jelas
mengotori nama baik para leluhur, sekaligus memberi pencitraan buruk pada
ajaran Jawa. Di makam Eyang Singoprono
dulu juga ada orang-orang seperti itu, sebelum mereka disadarkan oleh guru
saya, atau terpaksa harus pergi meninggalkan makam jika tak mau sadar.
Pelajaran dari Sendang Semangling
Pada hari Sabtu menjelang
akhir Juli 2012, saya dan Mas Bayu Budi, kembali berkesempatan untuk melakukan
tirtayatra bersama Mas Dipastraya, kali ini ke Sendang Semangling. Sendang Semangling berada di Desa Poncoruso Bawen
Kabupaten Semarang.. Menuju ke tempat
itu, kita bisa masuk dari Desa Semban, dekat Pom Bensin Merak Mati Bawen
Kabupaten Semarang. Tapi, walau saya
pernah ke sana dua kali, dan ada petunjuk rute, tetap saja saya dan Mas Bayu
Budi kesasar lebih dahulu. He, he,
tampaknya kecerdasan spasial saya di bawah standar, kurang berbakat jadi supir
taksi. Tapi, setelah berjuang keras,
melewati jalur berbatu yang sempit – karena memilih jalur yang salah, akhirnya
kami sampai juga ke Sendang Semangling.
Pas bertepatan dengan datangnya Mas Dipa yang saat itu bersama sang istri.
Setiba di sana, kami
menjalankan proses manembah kepada Gusti dan manekung. Setelah menyiapkan sesaji berupa kembang
telon dan pisang raja, serta menyalakan dupa, Mas Dipa mengucapkan
mantra-mantra berbahasa Sanskerta, berupa penghaturan sembah bakti kepada Gusti,
para dewa, leluhur, dan padanyangan. Dilanjutkan doa permohonan ampun dan
permintaan anugerah. Setelah itu, kami semua masing-masing melakukan semedi
atau manekung. Mengheningkan pikiran,
berfokus pada rasa.
Sendang Semangling merupakan
salah satu sendang penting dalam proses pendadaran seorang satria pinandhita. Di sini bersemayam Begawan Mayangkara atau
Hanoman, tokoh dalam cerita Ramayana, sang pembantu Prabu Rama. Kedatangan berulang kali ke Sendang
Semangling, berguna sebagai bagian dari proses untuk membersihkan jiwa akar
kotorannya hilang, dan bisa berkilau.
Seperti kita tahu, untuk memiliki jiwa yang berkilau, dan termanifestasi
dalam kesadaran tinggi dan perilaku mulia, kita memang membutuhkan proses yang
panjang. Pada manusia kebanyakan, kita
tersekat dari rahsa sejati kita, atau sukma sejati kita, karena adanya endapan
pikiran yang kotor dan perilaku yang keliru.
Untuk mengikisnya, tentu tak bisa sekali laku prihatin, tapi harus
melalui laku prihatin terus menerus dan berkesinambungan.
Pesona Candi Cetho
Akhir Juli 2012, saya juga
berkesempatan ke Candi Cetho. Sudah lama
saya ingin ke candi ini, setelah pada 2010 saya ke Candi Sukuh. Saya ke Candi Cetho bersama Pak Puja, menggunakan
sepeda motor dari Desa Munggur.
Sebelumnya, kami ke Telaga Madirda dulu, untuk membersihkan diri. Di Telaga Madirda, kami manembah dan manekung
terlebih dahulu di pepunden di mana Dewi Anjani, sang ibunda Hanoman,
bersemayam. Lalu, kami mandi di pancuran
dan kungkum di telaga tersebut. Setelah
merasakan kesegaran di situ, dan jiwa terasa tenteram, kami lanjutkan
perjalanan ke Candi Cetho.
Candi Cetho berada di
dataran tinggi, di kaki Gunung Lawu.
Situs Wikipedia menyebutkan sebagai berikut: Candi Cetho (ejaan bahasa Jawa:
cethå) merupakan sebuah candi bercorak agama Hindu
peninggalan masa akhir pemerintahan Majapahit
(abad ke-15). Laporan ilmiah pertama mengenainya dibuat oleh Van de Vlies pada
1842. A.J. Bernet Kempers juga melakukan penelitian mengenainya. Ekskavasi
(penggalian) untuk kepentingan rekonstruksi dilakukan pertama kali pada tahun
1928 oleh Dinas Purbakala Hindia Belanda. Berdasarkan keadaannya ketika
reruntuhannya mulai diteliti, candi ini memiliki usia yang tidak jauh dengan Candi Sukuh.
Lokasi candi berada di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, pada ketinggian
1400m di atas permukaan laut.
Kami tiba di Candi Cetho ketika hari
sudah memasuki senja. Setelah melewati
jalan berkelak kelok yang menanjak, dan kadang sangat curam, kami sampai ke
pintu gerbang candi. Setelah menarik
nafas sekejap, kami mulai melaksanakan prosesi manembah dan manekung di
situ. Pada setiap pepunden yang ada di
situ, kami duduk bersila, membaca mantra penghaturan sembah pangabekti kepada
Hyang Widhi, para dewa dan dewi, betara dan betari, para leluhur, dan
padanyangan, juga kepada Bapa Angkoso, Ibu Pertiwi dan sedulur papat kalima
pancer.
Di candi tersebut, pepunden atau tempat
manembah dan manekung, ada mulai dari di bagian bawah candi, hingga di bagian
atas. Di bagian atas, terdapat patung
Eyang Sabdo Palon dan Eyang Noyo Genggong, lalu Eyang Brawijaya V. Di puncak,
terdapat batu persegi. Sayang, saat itu
pepunden paling puncak terkunci sehingga kami tak bisa masuk. Maka, kamipun manembah dan manekung di bagian
luar.
Semedi di Candi Cetho sungguh
mengasyikkan. Berada di dalam bangunan
candi yang indah, dengan lanskap semesta yang mempesona, dan udara dingin yang
menyelimuti raga, membuat kita mudah tenggelam dalam hening yang membius.
Oh ya, mengenai sejarah Candi Cetho, ada informasi yang bisa saya tambahkan.
Keberadaan candi ini sempat membingungkan para peneliti. Karena di satu sisi, ada prasasti yang
menunjukkan tahun pendirian adalah 1475 M, pada masa Majapahit, tetapi bahan
bangunan candi adalah batu andesit hitam, bukan batu bata yang menjadi ciri
khas candi di era Majapahit. Jika
disebut candi yang lebih tua daripada era Majapahit, kita dibenturkan pada
fakta keberadaan patung Eyang Brawijaya V yang memang memerintah pada saat
candi didirikan (1475 M), juga keberadaan patung Eyang Sabdopalon dan Eyang
Noyogenggong, pengiring setia sang prabu.
Misteri ini baru terkuak saat saya
mendapatkan penjelasan dari Mas Dipa, yang mendapatkan informasi dari lontar
kuno, dan dari proses tutur pitara (dialog dengan leluhur yang terkait dengan
Candi Cetho). Candi Cetho memang candi
yang dibuat pada masa Majapahit, tetapi bukan oleh arsitek asli Majapahit,
melainkan arsitek dari salah satu suku di Indian. Sang arsitek membangun Candi Cetho mirip
dengan candi-candi yang ada pada suku Inca, sebagai penghormatan atas
keberadaan imperium Majapahit yang pengaruhnya hingga ke Amerika Selatan. Pengaruh ini dibuktikan oleh terpeliharanya tradisi
membaca mantra-mantra berbahasa Jawa purwa oleh para petinggi spiritual pada
suku Inca kontemporer hingga pada saat ini.
Ya, manusia Jawa ternyata memiliki ikatan spiritual dengan suku Inca!
Merenungkan kebesaran Majapahit di masa
silam, yang berarti kebesaran Nusantara, sungguh sedih jika melihat keadaan
saat ini. Jika dulu Majapahit tak
tergerogoti dari dalam oleh pendatang dari tanah seberang, tampaknya Nusantara
tak akan pernah terjajah. Hanya, setelah
peristiwa kudeta oleh sang anak kepada ayahnya atas motif keagamaan itu
terjadi, dan Majapahit lalu luluh lantak, kekuatan besar negeri inipun ikut lenyap,
dan tangan-tangan penjajah mencengkeram kuat.
Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan
banyak tokoh lainnya, yang bisa menggali sumber persatuan bangsa, berupa spirit
Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangruwa,
penjajahan Belanda bisa disingkirkan.
Sayang sekali, saat ini, kita belum sepenuhnya merdeka...hegemoni budaya
asing masing menghunjam kuat. Terlebih
saat ini...di beberapa tempat dan pada beberapa komunitas, kita seperti bukan
Nusantara lagi, tapi lebih mirip seperti serambinya negeri padang pasir.
Kita tentu tak bisa memutar waktu. Kita juga harus mengakui, leluhur di masa
lalu pasti berbuat keliru, minimal tidak eling lan waspada, sehingga
menyebabkan kita jatuh terperosok. Salah
satunya adalah dengan membuat kebijakan memberi lahan khusus di pesisir utara
Jawa bagi para saudagar dan penyebar agama Timur Tengah. Itu malah menjadi awal bencana, karena sang
tamu malah “memakan” tuan rumah. Tugas
kita saat inilah untuk memperbaiki itu semua, sebagai bentuk bakti kita pada
leluhur. Kita punya tanggung jawab
sejarah untuk membangkitkan kejayaan Nusantara, diawali dengan mendidik diri
kita masing-masing agar benar-benar menjadi manusia nimpuno, dan dengan itu,
bisa memberi karya terbaik bagi Ibu Pertiwi.
Tentang Sugih Ngelmu, Bondo lan Kuwoso
Dalam tulisan terdahulu,
saya berungkali perlunya kita mendadar diri agar bisa sugih ngelmu, sugih bondo, lan sugih kuwoso, agar punya daya untuk
mengabdi pada Ibu Pertiwi. Dalam tulisan
kali ini, perlulah saya jelaskan, khususnya menyangkut istilah sugih bondo lan sugih kuwoso, agar tidak
terjadi kesalahpahaman, seolah saya menganjurkan agar para spiritualis menjadi
manusia materialistis dan haus kekuasaan.
Menyangkut sugih bondo, mengapa ia perlu menjadi
titik tekan? Sederhana jawabannya: saat
ini, negeri perlu dibangun, tak hanya oleh aktor pemerintah, tapi juga oleh
masyarakat, agar semakin banyak orang bisa mengecap kesejahteraan. Dalam
membangun negeri ini, tentu saja, kita tak bisa hanya bermodalkan ilmu, tapi
juga harus memiliki kekuatan finansial, sebagai modal pembangunan. Contoh kasus, ketika kita masuk ke desa
tertinggal dengan banyak warga miskin, apakah cukup jika kita di situ hanya
datang untuk memberikan nasihat? Tentu tidak!
Kita harus hadir dengan strategi pemberdayaan yang canggih, plus
keberadaan dana untuk menunjang aksi kita, baik untuk menolong saat mereka
punya kebutuhan mendesak, maupun untuk memberdayakan mereka agar mereka
mandiri.
Dalam pengalaman saya
sebagai aktivis NGO, saya tahu persis, banyak agenda pemberdayaan di negeri ini
didanai oleh pihak donatur luar negeri.
Setelah saya merenungkan pola ini, saya menemukan bahwa itu kurang
ideal. Akan lebih baik jika kita
membangun negeri ini, dengan kekuatan dana kita sendiri, bukan memintap-minta kepada pihak asing.
Nah, proses penggemblengan diri agar sugih bondo, diarahkan untuk menjadikan diri kita sugih ning ora semugih (ora rumongso nduweni, atau dalam bahasa lain, sugih ning ora numpuk bondo). Kita perlu sugih, perlu punya kekayaan, agar hidup sejahtera. Tapi, itu bukan untuk kepuasan diri semata, dengan menumpuk harta benda termasuk yang tidak perlu, tapi sebaliknya, agar kita bisa memberi kesejahteraan pada keluarga dan orang-orang dekat kita, serta bisa menolong sesama.
Nah, proses penggemblengan diri agar sugih bondo, diarahkan untuk menjadikan diri kita sugih ning ora semugih (ora rumongso nduweni, atau dalam bahasa lain, sugih ning ora numpuk bondo). Kita perlu sugih, perlu punya kekayaan, agar hidup sejahtera. Tapi, itu bukan untuk kepuasan diri semata, dengan menumpuk harta benda termasuk yang tidak perlu, tapi sebaliknya, agar kita bisa memberi kesejahteraan pada keluarga dan orang-orang dekat kita, serta bisa menolong sesama.
Dan perilaku sugih ning ora semugih, dengan nyata
bisa saya lihat diteladankan oleh guru saya.
Dengan harta yang berlimpah, guru saya tidak terikat dengan hartanya,
tidak pelit, dan bisa menolong banyak orang.
Untuk mencapai tataran sugih bondo tersebut, tentu saja, bukan
melalui persekutuan dengan entitas metafisik/energi negatif – yang dikenal
dengan istilah pesugihan. Tapi, justru
melalui kewirausahaan, melalui pengembangan bisnis, yang selaras dengan jalan dharma,
ditunjang dengan upaya pembangkitan kekuatan di dalam diri, sehingga diri kita malah
“dikejar rejeki”. Seperti dipaparkan secara
saintifik oleh Rhonda Byrne dalam The
Secret, sesungguhnya kita bisa membangun energi diri yang berfungsi sebagai
penarik anugerah termasuk berupa rejeki berlimpah. Dan ngelmu
Jowo yang setara atau lebih powerfull
ketimbang teori The Secret jelas melimpah..dan itu tak ada kaitannya dengan
energi negatif!
Demikian juga, konsep sugih kuwoso bukan berarti menganjurkan
agar kita haus kekuasaan, dan menghalalkan semua cara untuk meraihnya. Konsep ini sebetulnya mengarahkan kita untuk
menumbuhkan jiwa ksatria, jiwa kepemimpinan. Melalui pendadaran jiwa yang panjang,
pada akhirnya, kita akan memiliki kualitas menjadi seorang pemimpin. Karena pemimpin
yang sejati dan layak diikuti hanyalah yang berjiwa pandhita: dia telah bertemu
dengan diri sejatina dan harmoni dengan semesta. Saat seseorang telah mencapai tataran satria
pinandhita yang sejati, secara alami dia akan jadi pemimpin. Dan melalui kuwoso atau jabatan sebagai pemimpin, kita bisa mengabdi pada Ibu
Pertiwi, mengayomi dan melayani masyarakat banyak.
Saya mendapatkan contoh
nyata, guru saya, justru sering bersikap melayani, tak hanya mengayomi. Keadaan yang powerfull, bukan alasan untuk bersikap tirani dan lalim, tapi
justru menjadi faktor pendukung untuk memberi manfaat pada sesama lewat
perilaku welas asih.
Dalam kondisi negara saat
ini yang telah rusak-rusakan, dibutuhkan kehadiran semakin banyak satrio pinandhita untuk menjadi
negarawan, agar jabatan di negeri ini, benar-benar menjadi anugerah bagi
rakyat. Dan untuk bisa meraih jabatan di
negeri ini, seorang satria pinandhita
tidak melakukan kampanye murahan dan pencitraan kosong, tapi melalui aksi nyata
yang memberdayakan rakyat, dan dengan itu, secara alami rakyat menerima
kepemimpinannya. Dan begitu jabatan
dipegang, karya yang lebih besar dan berdampak luas, bisa dilaksanakan.
Demikian yang bisa saya
sampaikan saat ini, sampai jumpa dalam tulisan berikutnya...Rahayu sagung
dumadi.
Post a Comment