Prolog
Agenda
Spiritual Odyssey Trip 1 telah terlaksana dengan baik, walau tak sepenuhnya
sesuai rencana dalam hal tempat yang dikunjungi. Puji syukur kepada Gusti Ingkang Akaryo
Jagad. Terima kasih kepada Kang Sabdalangit
dan Bu Untari, kepada Mas Gilang, Mas Mul, Mbak Rika dan teman2 tim asisten,
kepada para peserta yang sangat bersemangat, Mas Amir Pohan dan seluruh kru
yang rela berlelah-lelah mendokumentasikan acara demi mengungkap bagaimana
ekspresi Kejawen di masa kini, dan kepada seluruh pihak yang telah membantu
acara ini hingga berhasil: Mas Biyan, Pak Slamet dan para abdi dalem di
Pesarean Agung Kotagede, Mas Sri di Dlepih, dan banyak nama yang tak bisa saya
sebutkan satu persatu. Tentunya, terima
kasih tak terhingga juga patut saya sampaikan kepada istri dan anak-anak saya
tercinta yang merelakan saya meninggalkan rumah beberapa hari.
Sungguh,
begitu acara selesai dengan baik, saya lega luar biasa. Karena, saya mengalami banyak hal sebelum
acara berlangsung, yang membuat saya “agak tertekan”, he, he. Pas kebetulan, mendekati pelaksanaan acara,
saya mengalami momen-momen penting terkait dengan perubahan mendasar dalam arah
hidup saya. Ada momen jatuh bangun yang sangat
cepat pada masa-masa itu. Saya sempat
bimbang seolah kehilangan arah. Saya
juga sempat berada kondisi lemah seolah tak punya energi. Untunglah, saya masih bisa mengerjakan persiapan-persiapan
acara Spiritual Odyssey tersebut. Dan sehari
sebelum acara, melalui meditasi dengan sikap dasar sumeleh total, saya mulai
pulih dan berada dalam kondisi siap menjalankan tugas.
Dalam
meditasi yang saya lakukan di kamar pojok di rumah Kang Sabdalangit, saya
mendapatkan cahaya kesadaran. Cahaya
kesadaran tersebut mengkristal dalam sebuah semangat: “Sebagai bakti pada Ibu Pertiwi, saya harus melahirkan karya yang
berharga. Nusantara ini ibarat kanvas.
Maka, saya harus bisa membuat lukisan nan indah di atasnya.” Agenda Spiritual Odyssey, adalah salah satu “lukisan”
saya, yang saya garap bersama teman-teman yang memiliki satu visi...
Pesarean Agung Kotagede
Saya
tiba di Kotagede sekitar 4 sore; saya bergegas meluncur ke situ agar bisa
menyambut teman-teman peserta Spiritual Odyssey yang telah mengabarkan via SMS
telah mulai berada di Jogja. Dengan hati
penuh kegembiraan saya menjadi penerima tamu-tamu agung yang berdatangan dari
berbagai kota: Maumere, Surabaya, Jakarta, Bandung, Surabaya, Tasikmalaya, dan
lain sebagainya.
Sekitar
pukul 17.00 mayoritas peserta sudah hadir, dan pada 17.30 acara resmi
dimulai. Saya kebagian tugas memberi
sambutan singkat, lalu selanjutnya Kang Sabdalangit yang memandu. Kemudian, Pak Slamet sebagai Lurah Abdi Dalem
Pesarean Agung Kotagede juga turut memberikan beberapa patah kata yang
menjelaskan perihal sejarah Mataram dan Pesarean Agung Kotagede. Kotagede, dulunya bernama Alas Mentaok,
tempat di mana Tanah Perdikan Mataram pertama kali dibuka oleh Ki Ageng
Pemanahan. Seiring perkembangan waktu, Tanah Perdikan Mataram berkembang
menjadi sebuah kerajaan, menggantikan Kerajaan Pajang sebagai pusat kekuasaan
politik di Tanah Jawa, dengan pimpinan pertama Raden Sutawijaya yang kemudian
dikenal dengan gelar Panembahan Senopati.
Nama Kotagede sendiri menyimbolkan keberadaan tempat itu sebagai ibu
kota Kerajaan Mataram.
Saat
malam mulai turun, dan peserta masih menyimak wedaran dari Kang Sabdalangit
mapun Pak Slamet, hadirlah wedang yang eksotik khas Kotagede: Cangrehe. Wedang atau minuman ini terdiri dari Secang,
Sereh dan Jahe. Rasanya manis dan
membawa kehangatan....sungguh nikmat...apalagi dipadu dengan hidangan tahu
bacem. Banyak peserta yang baru pertama
kali menikmati wedang ini.
Setelah
istirahat lalu makan malam dengan hidangan Gudeng Roda Bu Citra – dan sebagian
peserta menunaikan ibadah shalat – para peserta menuju Sendang Kakung dan Sendang
Putri sesuai jenis kelamin masing-masing untuk mandi mensucikan diri, dengan
dipandu para abdi dalem. Kang Sabda
sendiri memberi petunjuk agar para peserta menyiram tubuh 17 kali, sebagai
simbol permohonan agar hadir pitulungan
lan kawelasan dari Gusti Ingkang Akarya Jagad.
Para
peserta yang telah mandi mensucikan diri, diarahkan untuk segera berganti
dengan pakaian adat, lalu secara berombongan bergiliran masuk ke ruang utama
Pesarean Agung Kotagede, sowan kepada para leluhur yang sumare di situ: Ki
Ageng Pemanahan, Panembahan Senopati, Sultan Hadiwijaya, Ki Juru Martani, Ratu
Kalinyamat, Sultan Hamengkubuwono II, Ki Ageng Mangir dan lain sebagainya. Peserta juga dipandu untuk melakukan ritual
khusus di soko atau tiang yang dulu menjadi tempat semedi Pangeran Puger – yang
kemudian menjadi raja di Kraton Surakarta dan bergelar Sunan Pakubuwono I.
Banyak
di antara peserta yang baru pertama kali menggunakan pakaian adat dan sowan ke
makam raja-raja. Karena itu, aya
perhatikan, banyak yang merasakan kegembiraan tersendiri, dan bergegas
mengabadikannya menggunakan kamera. Tentu saja, sesuai paugeran, kamera hanya
bisa dipergunakan di halaman utama dekat bangsal, bukan di dalam pesarean. Sungguh mengharukan menyaksikan Wong Jawa bali menyang Jawane......
Ada
4 rombongan yang bergantian masuk ke pesarean.
Itulah salah satu manifestasi berbakti kepada leluhur. Saya sendiri, bersama Mas Diaz, menyusul
sowan dan manekung di pesarean saat semua peserta telah tuntas. Sungguh damai...menyatu dalam rasa, dengan
para leluhur tanah Jawa....
Selanjutnya,
Kang Sabdalangit memandu peserta memahami konsep dasar meditasi dan
bersama-sama mempraktekkannya. Peserta
duduk bersila, berbaris-baris di halaman Pesarean Agung Kotagede. Mereka mengikuti instruksi untuk mengatur
nafas, menarik – menahan – dan menghembuskan nafas – serta memejamkan
mata. Pada momen ini, ada pelajaran
berharga. Salah satu peserta dari Jawa
Timur yang juga menggeluti ilmu kebatinan, mendadak kerasukan entitas metafisik
yang ada di situ. Saya kebetulan
menyaksikan sejak awal...mula-mula ia memutar-mutarkan wajahnya...sementara
tatapan matanya makin nanar. Lama-lama,
ia mengaum, dan berlaku seperti harimau.
Rupanya, entitas metafisika berbentuk harimau yang merupakan salah satu “pusaka”
Panembahan Senopati yang merasuki peserta tersebut. Mengapa ini terjadi? Yah....sederhana saja...Pesarean Agung
Kotagede memang wingit...kita harus berlaku santun dan rendah hati ketika di
situ. Jangan sampai berlaku sembrono,
apalagi iseng mencoba-coba ilmu ghaib di situ.
Peserta ini kembali normal setelah didekati oleh Kang Sabdalangit dan Bu
Untari.
Kegiatan
di Pesarean Agung Kota Gede berlangsung hingga sekitar pukul 23.00. Kami semua – panitia maupun peserta –
mengakhiri kegiatan kami di sana dengan bersama-sama menghaturkan sembah hormat
kepada para leluhur di Kotagede.
Parangkusumo
Kami,
rombongan Spiritual Odyssey, tiba sekitar pukul 00.00 alias pukul 24.00. Setelah mobil diparkir, kami berjalan
beriringan menuju tepian pantai. Di
sekitar, pemandangan sungguh beragam.
Ya, Parangkusumo memang tempat untuk semua niatan. Anda mau berspiritual bisa, berhedonisria
juga bisa.
Oh
ya, ada satu peristiwa yang patut menjadi renungan. Kepada para peserta, sudah diumumkan bahwa di
Parangkusumo dan Kahyangan Dlepih dilarang menggunakan pakaian berwarna
hijau. Kok ndilalah, jaket Mbak Sri
Rahayu yang berwarna hijau, ketinggalan di Kotagede sehingga Mbak Sri Rahayu
tidak mempergunakannya saat itu.
Rupanya, Mbak Sri Rahayu diparingi anugerah oleh leluhur dengan
diingatkan melalui peristiwa tersebut.
Jaket itu sendiri pada akhirnya ditemukan Kang Sabdalangit dan
diserahkan kepada sang pemilik dibarengi sedikit wewarah.
Kang
Sabdalangit selanjutnya meminta para peserta berbaris dua saf, menghadap ke
pantai. Lalu, sebuah garis persegi yang
melingkari para peserta dibuat, dan para peserta diminta untuk tidak keluar
dari garis tersebut. Para asisten Kang
Sabda menyiapkan lentera di beberapa sudut, untuk menambah terang lokasi
tersebut. Sebetulnya, saat itu tepian
pantai Parangkusumo sudah cukup terang karena disinari bulan tiga perempat, dan langitpun sedang cerah.
Tak
lama kemudian, seiring dengan peserta yang mulai duduk bersila, sesaji
diletakkan di tepian pantai. Untuk
selanjutnya, dilarung oleh Kang Sabdalangit.
Sejujurnya,
saya sendiri, untuk momen di Parangkusumo ini, malah sibuk dengan pergulatan
atau dinamika di dalam diri. Mumpung
Kang Sabdalangit yang secara penuh memandu peserta, saya rehat untuk membiarkan
diri ini menyelesaikan masalahnya sendiri...antara lain rasa kantuk, lelah,
yang terakumulasi sekian lama dan mencapai puncaknya pada saat itu. Saya coba bertahan dan mengendalikan diri
agar bisa tetap dalam kondisi sadar dan duduk bersila, he, he...jika tidak,
saya pasti sudah tidur terlentang di tepian pantai....
Jadi,
mohon maaf, tak banyak yang bisa saya ceritakan selanjutnya soal apa yang
terjadi di Parangkusumo. Silakan baca
saja ulasan Kang Sabdalangit di: http://sabdalangit.wordpress.com/2012/10/31/ihtisar-so-1-going-to-so-2/. (Sebetulnya ada banyak peristiwa metafisika
yang disaksikan oleh para peserta sesuai tingkat kepekaan mereka....)
Kahyangan Dlepih
Kami
meninggalkan Parangkusumo menuju Kahyangan Dlepih pukul 01.30 WIB. Saya tak banyak ingat apa yang terjadi di
sepanjang perjalanan, karena saya langsung tertidur pulas di dalam mobil yang
dikendarari Mas Gendon, bersama Mas Diaz.
Bangun-bangun, kendaraan sudah mendekati Kahyangan Dlepih. Saat itu fajar sudah mulai merekah. Jadi pemandangan yang indah di sisi kanan dan
kiri jalan, terlihat dengan jelas.
Barisan perbukitan yang anggun, dengan pepohonan yang berdiri kokoh,
diselingi areal persawahan yang menghijau, sungguh sajian penuh pesona yang
bisa dinikmati dengan rasa penuh syukur. Saya membayangkan, pemandangan seperti
ini, tentunya sesuatu yang sangat istimewa khususnya bagi para sederek yang hidup
di kota besar dan terbiasa dikelilingi hutan beton.
Sekitar
pukul 05.30 rombongan tiba di Kahyangan Dlepih.
Kami semua turun dari kendaraan, lalu menikmati sajian teh dan kopi
hangat yang tersaji dan sudah kami pesan dari salah satu warung. Minuman hangat ini cukuplah untuk
mengembalikan kami pada kondisi berkesadaran penuh.
Sambil
menikmati wedang teh dan kopi, kami ngobrol dengan santai. Saya dan Kang Sabda bergantian menjelaskan
berbagai informasi terkait dengan Kahyangan Dlepih. Di antaranya, saya menjelaskan bahwa
Kahyangan Dlepih merupakan salah satu simpul dari konfigurasi tempat-tempat
berenergi tinggi di Pulau Jawa yang berpusat di Gunung Tidar. Sehingga, wajar jika banyak spiritualis yang
menempa diri di sini. Selanjutnya Kang
Sabda menjelaskan, bahwa Pak Harto, the
smiling general yang pernah jadi pemimpin terlama di negeri ini, juga
menjadikan Kahyangan Dlepih sebagai salah satu tempat favoritnya. Salah satu rahasianya, di Kahyangan Dlepih
terdapat entitas metafisik berupa ular besi yang bisa menjadi pusaka bagi para
pemimpin.
Kahyangan
Dlepih berada di tepian sungai berbatu-batu, di kaki perbukitan di kawasan
Tirtomoyo Wonogiri. Terdapat batu-batuan
besar di situ, dengan beragam posisi.
Ada batu besar yang terjepit oleh tebing, ada juga batu besar yang
berdiri menjulang dan membentuk satu ceruk yang biasa dijadikan tempat
manembah/meditasi. Di sekeliling tumbuh
pohon-pohon besar dengan daun yang rimbun.
Suasana alam di situ telah mengisyaratkan Kahyangan Dlepih sebagai
tempat yang berenergi tinggi dan wingit.
Setelah
beristirahat sejenak, para peserta berbondong-bondong menuju halaman yang telah
berlapis pavingblock. Menuju ke situ,
para peserta harus melewati jalan setapak.
Sebelumnya, ada beberapa pepunden yang harus dilalui. Maka, saya menyempatkan diri untuk manekung
menyapa leluhur di pepunden tersebut, sembari menghaturkan sesaji kembang
setaman.
Di
halaman berpaving block, para peserta kemudian duduk bersila dan mengikuti
instruksi dari Kang Sabdalangit untuk melatih beberapa gerakan olah nafas dan
meditasi.
Setelah
tuntas berlatih olah nafas dan meditasi, para peserta kembali meniti jalan
setapak, menuju areal paling puncak dari Kahyangan Dlepih. Di situ ada pepunden berupa batu besar yang
merupakan tempat pertemuan antara Panembahan Senopati dan Kanjeng Ratu
Kidul. Di sekelilingnya terdapat
batu-batu besar menghiasi sungai – dan batu-batu tersebut bisa menjadi tempat
untuk duduk bersila dan bermeditasi. Maka,
para peserta duduk bersila dan bermeditasi di situ.
Saya
sendiri coba menelusuri beberapa tempat di sekitar situ. Antara lain, saya menemukan batu bulat yang
teramat besar tapi terjepit tebing. Di
dalamnya, terbentuk satu aliran sungai dan terlihat di ujungnya satu air terjun
kecil. Ingin saya mandi di air terjun
itu. Tapi tak ada jalan ke situ kecuali
melewati bagian sungai – berupa kedung, yang menurut feeling saya pasti sangat dalam, dan saya tak mau gegabah. Maka, saya hanya bisa melihat air terjun
tersebut dari kejauhan. Selain itu, ada
satu titik lagi yang belum saya temukan, di bagian paling atas dari Kahyangan
Dlepih. Saya bertekad kembali lagi ke
sini, dan menikmati aura spiritual yang demikian mempesona.
Puas
bermeditasi dan menikmati indahnya alam di kawasan tersebut, kami lalu kembali
ke lokasi parkir di mana terletak warung tempat kami bisa sarapan. Maka, kami serombonganpun makan dengan lahap
hidangan yang tersaji berupa sayur nangka, tumis, tahu dan tempe bacem, dan
ikan goreng.
Sekitar
pukul 10.00, kami meninggalkan Kahyangan Dlepih menuju Candi Sukuh di kaki
Gunung Lawu.
Candi Sukuh
Kami
mencapai Candi Sukuh melalui jalur alternatif melewati Jumapolo, Jumantono dan
Matesih. Jalan yang kami lalui
berkelak-kelok, turun dan naik. Pukul
14.00 kami tiba di Candi Sukuh. Tapi,
rombongan yang menggunakan bus tertahan karena tidak kuat melintasi salah satu
tanjakan. Maka, mobil-mobil yang lain
dikerahkan untuk menjemputi para peserta yang tertinggal itu.
Setelah
istirahat sejenak dan makan siang, sekitar pukul 15.00, kami memulai acara di
Candi Sukuh. Saat hendak mulai,
tiba-tiba turun gerimis. Maka, saya
bertanya kepada Kang Sabda, apakah ini bentuk sambutan dari leluhur, atau hujan
biasa – sehingga kita perlu menyingkir ke Pendopo. Kang Sabda menyarankan kami bertahan di situ –
dan benarlah bahwa itu adalah gerimis sambutan dari leluhur yang segera hilang
tak lama setelah kita mulai acara.
Saya
mengawali acara dengan memaparkan sekilas tentang candi-candi yang ada di
Indonesia – corak dan fungsi berbagai candi.
Di antara penjelasan saya adalah soal candi-candi warisan leluhur yang
bercorak Budhis. Saya paparkan tentang Borobudur yang lebih sebagai “buku
berbentuk candi” tempat kita membaca tentang sejarah dan kisah yang memuat
nilai-nilai luhur. Di Borobudur malah
tak dijumpai tempat untuk meditasi atau manembah. Jika mau meditasi atau manembah, itu malah
bisa dilakukan di Candi Mendut.
Sementara
itu untuk candi warisan leluhur yang bercorak Hindu, kita bisa temukan candi
yang berfungsi sebagai tempat perabuan, tempat manembah, dan tempat bertapa. Candi bercorak Hindu ini sebagian terbuat
dari batu bata merah, sebagian lagi terbuat dari batu andhesit hitam.
Nah,
Candi Sukuh, sebagaimana Candi Cetho, memiliki ciri-ciri yang agak berbeda
dengan umumnya candi-candi di Indonesia yang berada dalam kategori-kategori di
atas. Candi ini lebih mirip dengan
bangunan suci milik Suku Inca di Peru dan Suku Maya di Mexico. Pertanyaannya adalah, mengapa kemiripan ini
bisa terjadi? Salah satu jawaban yang
saya temukan adalah, memang ada hubungan antara Nusantara dengan kaum Indian
Benua Amerika. Sebagaimana diungkap
Prof. Gualberto Alonzo Zapata, memang ada kemiripan antara pola kesadaran
spiritual antara suku-suku tersebut dengan masyarakat di Asia termasuk
Nusantara. Kemiripan ini terjadi karena
peristiwa saling mempengaruhi antara dua kebudayaan melalui kontak dan
komunkasi langsung: baik di masa silam sebelum abad 1 Masehi, maupun pada abad
15 saat Prabu Brawijaya V memerintah - ketika Candi Sukuh dan Candi Cetho
mengalami renovasi.
Saya
juga coba menjelaskan bahwa Candi Sukuh adalah tempat suci, sehingga kita harus
memegang teguh etika yang ada sebagai bentuk penghormatan pada leluhur. Antara lain, kita masuk ke candi lewat pintu
depan, dan menghaturkan uluk salam.
Sementara itu Kang Sabdalangit menjelaskan struktur Candi Sukuh yang
terdiri dari 9 teras, yang menyimbolkan babagan howo songo – 9 lubang nafsu
pada diri manusia. Maka, sambil kita
meniti teras demi teras, kita perlu membangun kesadaran tentang pengendalian
terhadap semua lubang nafsu kita.
Demikianlah,
setelah itu, kami berombongan masuk ke komplek Candi Sukuh, mulai dari teras
pertama, naik teras demi teras. Saya
kembali menjelaskan beberapa hal, dilengkapi oleh Kang Sabdalangit. Antara lain mengenai soal relief yang
menggambarkan interaksi antara Sadewa, salah satu dari Pendawa Lima, dengan
Betari Durga. Saya juga menjelaskan soal
posisi wayang sebagai simbolisasi terhadap satu fakta historis, bukan sekadar
dongeng. Dari Candi Sukuh, kita memang
bisa belajar tentang berbagai hal, mengenai sejarah bangsa kita, juga soal
filosofi dan budaya luhur di tanah air tercinta ini.
Akhirnya,
kami sampai ke puncak Candi Sukuh, di teras ke-9. Kami bersama-sama bermeditasi di sana. Dalam hening, dan hembusan angin sepoi-sepoi
yang sangat menyejukkan kami semua memanunggalkan diri dengan semesta. Sungguh momen yang eksotis!
Berikutnya,
kami menuju ke lapangan rumput di teras 2.
Para peserta mengikuti instruksi dari Kang Sabdalangit untuk berlatih
olah nafas dan meditasi, dilanjutkan dengan ujicoba langsung pembuktian
sensitivitas peserta terhadap peserta energi.
Sungguh menarik, melihat para peserta bergantian mencoba mendemonstrasikan
inner power yang terbangkitkan....
Akhirnya,
materi demi materi terselesaikan. Karena
waktu telah menjelang senja dan ada beberapa peserta yang harus kembali pulang,
kami rembugan dan menyepakati untuk mengakhiri acara di Candi Sukuh dan menunda
kunjungan ke Candi Cetho.
Maka,
segeralah digelar acara penutupan, dimulai dengan membentangkan bendera Merah
Putih, diikuti dengan kegiatan mengheningkan cipta diiringi lagu nan syahdu
karya Ismail Marzuki:
Tanah airku Indonesia
Negeri elok amat kucinta
Tanah tumpah darahku yang mulia
Yang kupuja sepanjang masa
*courtesy of LirikLaguIndonesia.Net
Tanah airku aman dan makmur
Pulau kelapa yang amat subur
Pulau melati pujaan bangsa
Sejak dulu kala
Negeri elok amat kucinta
Tanah tumpah darahku yang mulia
Yang kupuja sepanjang masa
*courtesy of LirikLaguIndonesia.Net
Tanah airku aman dan makmur
Pulau kelapa yang amat subur
Pulau melati pujaan bangsa
Sejak dulu kala
Reff:
Melambai lambai
Nyiur di pantai
Berbisik bisik
Raja Kelana
Nyiur di pantai
Berbisik bisik
Raja Kelana
Memuja pulau
Nan indah permai
Tanah Airku
Indonesia
Nan indah permai
Tanah Airku
Indonesia
Berikutnya
kami semua bersama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya, kemudian mengikuti
Kang Sabdalangit mengucapkan Sumpah Pemuda.
Terakhir, Pak Fx. Kamari mewakili para peserta menyampaikan kesan dan
pesan. Kata-kata beliau sungguh
menggugah nasionalisme, dan menyadarkan saya pribadi, betapa kita memang perlu
memperbanyak acara semacam Spiritual Odyssey ini.
Epilog
Tibalah
kami berpisah sementara. Para peserta
pulang ke rumah masing-masing. Sebagian
sempat sowan dulu ke rumah Kang Sabdalangit dan ngobrol hingga pagi di sana.
Saya,
keesokan harinya, sebelum pulang ke rumah, saya memutuskan untuk naik ke puncak
Gunung Tidar dulu, untuk menunjukkan rasa terima kasih saya kepada Gusti
Ingkang Akaryo Jagad, juga para leluhur dan para pamomong Nusantara.
Dan,
ada satu peristiwa yang menggetarkan hati saya ketika tiba di sana...ini akan
saya ceritakan di kemudian hari, jika sesuatunya telah jelas dan tuntas.
Rahayu
sagung dumadi.
KangMas Setyo terimakasih atas kebersamaannya..saya mendapat pengalaman berharga.
ReplyDeleteSalam Hormat
bambangsetiawan
Ass... mas setyo, saya dapat sms dari mas gugi, katanya mas menitipkan buku untuk saya? meskipun bukunya belum sampai, saya menghaturkan terima kasih, semoga kebaikan panjenengan dapat balasan dari Allah SWT.... Rahayu
ReplyDeleteInggih Mas Bambang, saya sungguh gemberi bisa merekat persaudaraan dengan Mas Bambang dan teman-teman lain. Rahayu
ReplyDeleteWassalam Kang Dudung...saya menitipkan buku karya Pak Fx. Kamari, sebuah buku yang bagus dan mengandung banyak pencerahan.
ReplyDeletePak Setyo, sebelumnya perkenalkan saya adalah seorang TKI di Abu Dhabi yg belum lama ini tertarik untuk mengenal lebih dalam tentang Kejawen.
ReplyDeleteRasanya saya lebih memilih SO yg ini daripada yg jauh ke seberang sana. Sebenarnya saya ingin bergabung di SO-2, namun kondisi tak mengizinkan. Visa sedang dalam proses perpanjangan, jadi tak bisa pulang ke Nusantara.
Semoga akan ada SO-3, 4 dst dimana sayapun memiliki kesempatan ambil bagian menimba ilmu dan merajut persaudaraan dengan saudara2 yg lain.
Pada waktunya panjenengan pasti bisa bergabung Mas.....Semoga pekerjaan panjenengan terlaksana dengan baik. Untuk sementara waktu, mari kita merekat persuadaraan lewat dunia maya ini.
ReplyDeleteRahayu
asem tenan, gek idene sopo tuk nyanyi, coba ada clips nya, jadi tambah jealous tenan ada "soul"nya
ReplyDeleteMas Setyo, syair Tanah Airku yg satunya. Kan sekarang ada dua. Berikut yg kita nyanyikan di Halaman Candi Sukuh :
ReplyDeleteTANAH AIRKU
TANAH AIRKU TIDAK KULUPAKAN
KAN TERKENANG SELAMA HIDUPKU
BIAR PUN SAYA PERGI JAUH
TIDAK KAN HILANG DARI KALBU
TANAHKU YANG KUCINTAI
ENGKAU KU HARGAI
WALAUPUN BANYAK NEGERI KU JALANI
YANG MASHUR PERMAI DIKATA ORANG
TETAPI KALBU DAN RUMAHKU
DI SANALAH KU RASA SENANG
TANAH KU TAK KULUPAKAN
ENGKAU KU BANGGAKAN
TANAH AIRKU TIDAK KU LUPAKAN
KAN TERKENANG SELAMA HIDUPKU
BIAR PUN SAYA PERGI JAUH
TIDAK KAN HILANG DARI KALBU
TANAHKU YANG KUCINTAI
ENGKAU KU HARGAI
rahayu mas setyo dan sedulur2.........
ReplyDeleteacaranya bagus sekali mohon maaf pas di sukuh saya "ditodong" untuk menjelaskan masalah percandian tidak bisa ikut urun rembug, kebiasaan saya kalo ditodong gitu suka blank...... o iya pas saya jalan ke atas mungkin belum sampai paling atas ada petilasan prabu airlangga di selo gowok, dan diatasnya lagi ada petilasan pangeran jatikusumo anak sultan hadiwijoyo juga murid sunan kalijogo menurut info yg saya dapat....mau keatas lagi tiba2 tanahnya longsor dr atas pertanda gak boleh meneruskan....demikian sedikit share saya......nuwun
2 lagu diatas yg jd wirid sy saat memulai meditasi hening.....
ReplyDeletesunggun dahsyat getaran hati...