Perjalanan menuju kesempurnaan kaweruh,
sungguhlah panjang, juga berlika-liku.
Di tengah perjalanan tersebut, terhampar aneka aneka rintangan dan
ujian. Benar-benar laksana mendaki
gunung. Tanpa tekad yang kuat,
ketekunan, dan hati yang sumeleh sekaligus lapang dalam menerima suka duka
perjalanan, tidaklah mungkin kita bisa sampai ke puncak. Saya pribadi menyadari, bahwa jikalah
kesempurnaan kaweruh itu diibaratkan sebagai puncak gunung, maka saya baru
berada di kakinya. Sejujurnya, saya
belum apa-apa, baru beberapa langkah perjalanan yang sudah saya tuntaskan. Tapi, itupun sudah sangat saya syukuri. Karena saya tahu persis, banyak orang belum
berkesempatan, atau bahkan tak punya keberanian, untuk menempuh jalan menuju
kesempurnaan kaweruh itu.
Rahasia Belajar Kaweruh
Jawa
Tak
semua pendaki gunung bisa mencapai puncak; sebagian ada yang tersesat karena
salah jalur, sebagian tak pernah sampai karena tak kuat meneruskan
perjalanan. Mirip dengan itu, tak semua
orang yang belajar kaweruh Jawa atau Kejawen bisa mencapai tataran nimpuno dan
sampurno. Sebagian orang hanya mencapai
tataran linuwih dibandingkan orang kebanyakan, tapi masih jauh dari kelayakan
untuk disebut nimpuno dan sampurno.
Sebagian lagi malah seperti tak ada hasilnya: linuwih tidak, perbaikan
kehidupanpun tak didapat (dengan bahasa lain, seorang yang telah belajar
demikian lama kok tak kunjung sakti dan waskita, malah hidupnya berantakan .....). Lebih dari itu, kadang orang belajar Kaweruh
Jawa tanpa proses yang benar, bisa terjebak pada ilusinya sendiri; merasa diri
sakti, tapi itu tak terbuktikan secara obyektif.
Lalu,
apa hal penting yang perlu diperhatikan agar seorang pembelajar kaweruh Jawa
atau Kejawen bisa berhasil?
Sejauh
pengalaman saya, ada dua hal yang sangat menentukan proses pembelajaran,
termasuk dalam pembelajaran kaweruh Jawa atau Kejawen, yaitu sistem
pembelajaran dan guru yang mengajarkan.
Sistem pembelajaran yang saya maksud adalah metode, manual, atau pedoman
tertulis dan tak tertulis tentang bagaimana seseorang mencapai tataran nimpuno
dan sampurno. Seseorang yang belajar
atas dukungan sistem yang telah teruji selama puluhan bahkan ratusan tahun,
jelas lebih punya kemungkinan berhasil ketimbang seseorang yang belajar
berdasarkan metode baru hasil eksperimen yang belum teruji benar kebenarannya. Kalau dibuat analogi, jika kita belajar di
perguruan tinggi ternama yang telah mapan sistemnya, tentu lebih memungkinkan
kita berhasil ketimbang belajar di kampus yang baru didirikan dan masih
coba-coba sistem. Nah....karena itu, sangatlah
penting bagi para pembelajar kaweruh Jawa atau Kejawen menemukan sistem atau
metode pembelajaran yang telah teruji efektivitasnya. Akan lebih mendukung keberhasilan jika
seseorang bisa belajar di perguruan Kejawen yang telah mapan dengan sistem yang
teruji baik proses maupun hasilnya.
Faktor
kedua, yang juga sangat penting adalah keberadaan seorang guru yang
menterjemahkan sistem dalam kegiatan pembelajaran hari demi hari. Guru yang saya maksud adalah seseorang yang
telah mencapai tataran nimpuno dan sampurna, yang berbagi pengalaman dan
membimbing para pembelajar agar juga sampai ke tataran itu. Maka, karakteristik pertama agar seseorang
layak dijadikan sebagai guru tentunya adalah telah mencapai tataran nimpuno dan
sampurno. Jika kita menggunakan ukuran
dalam Serat Wedatama: sugih ngelmu, sugih bondo, sugih kuwoso..maka idealnya
seorang guru telah memenuhi karakteristik tersebut. Lebih jelasnya, seorang guru yang menjadi
tempat kita belajar kaweruh sepuh seperti Kejawen, semestinya telah menunjukkan
dalam hidupnya sendiri berbagai kondisi ideal yang bisa dibayangkan manusia:
berbudi pekerti luhur, hidup berkelimpahan dan terbukti dengan hartanya itu
telah menolong banyak orang, keluarganya ayem tentrem, terbukti waskita
(mengetahui berbagai hal melampaui keterbatasan inderawi), dan seterusnya.
Tentu
saja, bukan berarti kita tak perlu belajar pada seseorang yang belum memenuhi
semua kualifikasi di atas. Dalam
kehidupan, kita bisa bahkan harus belajar pada siapapun, kepada mbok-mbok
penjual sayur di pasar, bapak-bapak pemulung, para preman di terminal, bahkan
kepada hewan dan tumbuhan. Tetapi, untuk
kebutuhan pembelajaran yang khusus, kita perlu guru yang khusus pula. Jika ingin belajar berenang, maka kita harus
belajar pada orang yang memang terbukti merupakan perenang handal. Jika kita ingin menjadi pendaki gunung yang
sukses, tentunya yang logis adalah belajar pada pendaki kawakan yang telah
menaklukkan berbagai tipe gunung.
Demikian pula, jika kita ingin menjadi waskita, maka kita harus belajar
pada yang benar-benar waskita.
Terlebih
dalam belajar kaweruh Jawa, banyak sekali rahasia tersembunyi. Jika kita tak hati-hati kita malah akan
terjebak dan menjadi keliru langkah.
Sebagai contoh, dalam hal tirtayatra atau perjalanan ke tempat-tempat
berenergi tinggi untuk menyelaraskan diri dan menyerap energi di sana. Ternyata, laku ini tak bisa kita lakukan di
sembarang waktu dan di sembarang tempat.
Jika dilakukan di waktu dan tempat yang keliru, bukannya kita
mendapatkan kebaikan, malah keburukan yang didapat. Laksana makan, bukannya mendapat asupan
makanan bergizi, kita malah kena racun.
Sepanjang
September 2012 kemarin, bumi kita tengah memasuki siklus baru setelah bumi,
matahari dan bulan berada pada garis sejajar.
Saat kita berada di awal siklus baru tersebut, alam tengah dalam kondisi
penuh gejolak...dalam bahasa Jawa kita bisa sebutkan, “Jagate lagi
nggegirisi”. Saat itu terjadi,
tirtayatra penyelarasan dan penyerapan energi sangat tidak dianjurkan. Nah, tanpa seorang guru yang berpengalaman –
dalam situasi dan kondisi jagad yang nggegirisi kita bisa jadi malah sibuk
menjalankan laku penyelarasan dan penyerapan energi. Hal demikian sejatinya malah berbahaya untuk
keberlangsungan perjalanan kita dalam menggapai kasampurnan. Demikian cuma sebuah contoh pentingnya belajar
dengan bimbingan seorang guru yang nimpuno dan sampurno.
Contoh
lain, sejauh pengalaman saya, dalam rangka mentransformasi diri kita menjadi
manusia penuh daya, seorang guru benar-benar berperan menjadi pengungkit dan
pendorong. Seseorang tanpa guru yang
nimpuno dan sampurno, ibarat berjalan kaki menuju ke titik tujuan, dengan bekal
pas-pasan dan ancaman bahaya di sana-sini.
Sang gurulah yang memungkinkan bekal kita lebih banyak, kita tak perlu
lagi terus berjalan kaki karena pada rute tertentu telah disediakan kendaraan
yang cepat, dan kita selalu mendapatkan petunjuk mana jalan yang aman untuk
dilalui.
Tirtayatra di Bulan Oktober
Telaga
Madirda
Pertengan
bulan Oktober, berdekatan dengan masa tilem, saya berkesempatan kembali mereguk
nikmatnya tirtayatra. Pertama, saya
tiryatra ke Telaga Madirda, memenuhi panggilan jiwa yang merindui tempat
tersebut. Seusai menjenguk ayah saya di
Magelang, saya meluncur ke Solo. Di
Terminal Solo, telah menunggu Mas Adi Tarbiyanto yang akan menemani saya ke Telaga
Madirda. Kami meluncur menggunakan
sepeda motor, menembus dinginnya Kota Solo yang saat itu baru saja diguyur air
hujan.
Setelah
melintasi jalan raya Solo-Tawangmangu, kami sampai di Karangpandan,
Karanganyar. Dari situ, kami memilih
jalur yang searah dengan Candi Sukuh.
Melewati pemukiman di beberapa titik, kami akhirnya mulai memasuki
kawasan yang sunyi sepi: hanya ada kegelapan di kanan kiri, dengan silhuet
perbukitan yang membayang. Udara tentu
saja makin dingin, karena semakin lama berjalan, kita semakin berada di dataran
yang tinggi, kian dekat dengan Gunung Lawu.
Berada di tempat seperti itu, hati saya tergetar dengan sendirinya. Oh demikian agung Sang Semesta! Ya, saya merasa dihadapkan pada wajah semesta
yang demikian gagah!
Semakin
lama kami berkendara, jalanan semakin menanjak.
Pada beberapa tanjakan yang sangat terjal, ternyata motor Mas Biyan tak
kuat, sehingga saya harus turun dan mendorong motor itu....He, he, inilah
bagian dari seni bertirtayatra..selalu ada pelajaran hidup di sepanjang
perjalanan.
Beberapa
puluh menit melintasi jalanan yang dilatari perbukitan yang gagah, akhirnya
saya dan Mas Biyan sampai di Telaga Madirda.
Setelah minta ijin kepada Bu Cipto yang bertanggung jawab ditempat itu
sepeninggal Pak Cipto yang baru saja meninggal dunia, kami menuju lokasi
pepunden. Kebetulan saat itu sedang
banyak mahasiswa berkemah; sebagian mereka tidur di teras pepunden. Sehingga kami harus membangunkan mereka untuk
bisa masuk pepunden.
Saya
dan Mas Biyan pertama-tama menyiapkan sesaji berupa kembang telon, air, sari,
dupa dan buah. Sesaji itu ditata di atas
nampan bambu bulat. Setelah siap, kami
memulai proses manembah. Kami duduk
bersila, lalu menata sikap dan nafas, perlahan-lahan meninggalkan keramaian
menuju hening. Jiwa kami menghaturkan
sungkem sembah bakti kepada Gusti Ingkang Murbeng Dumadi, kepada Bopo Angkasa
dan Ibu Pertiwi, kepada para pamomong, betara dan betari, dewa dan dewi, pitara
lan pitari, para leluhur, dan padanyangan panguasaning jagad, khususnya yang
jumeneng di wewengkon Telaga Madirda.
Selanjutnya kami memohon ampunan untuk diri kami, keluarga kami, orang
tua kami, para leluhur, dan semua titah pagesangan. Khusus bagi para leluhur yang telah
meninggalkan madyamada menuju alam kalanggengan, kami berdoa agar beliau-beliau
bisa kembali ke sangkan paraning dumadi dan mengecap kebahagiaan sejati.
Selanjutnya,
kami memohon doa restu kepada para leluhur dan padanyangan yang jumeneng di
Telaga Madirda, agar kami bisa bisa menyempurnakan laku kami dan mencapai
tataran nimpuno. Kami juga berharap
terus disengkuyungi agar hidup ini menjadi penuh berkah. Setelah itu, saya dan Mas Biyan masing-masing
bermeditasi sesuai kebutuhan.
Selesai
manembah di pepunden, kami menuju ke lokasi untuk siraman dan kungkum. Sebelumnya, kami manembah lagi di lokasi mata
air. Hal demikian adalah bentuk sopan
santun agar tirtayatra yang kita lakukan benar-benar memberi hasil yang baik.
Kami
memulai proses mandi di pancuran, dengan tata cara sesuai yang kami pelajari
dari guru kami: dimulai dengan menyiram ubun-ubun dan diakhiri dengan posisi
tangan menyembah dan menyiram ubun-ubun lagi.
Lalu, setelah selesai, kami berendam: saya pribadi bersila hingga air
menyentuh pangkal leher. Melakukan laku
seperti ini sungguh mengasyikkan: diri kita menyatu dengan semesta; semesta
memberikan kepada kita rengkuhan energinya yang menggetarkan. Baik saat kita mandi di pancuran maupun saat
berendam, terasa benar dahsyatnya Telaga Madirda. Apalagi jika kita melakukan itu di tengah
malam, disinari sejuta bintang di langit, dan dilatari aura malam Gunung Lawu
yang penuh misteri. Wewengkon ini memang
layak untuk menjadi tempat penggemblengan diri: untuk membuat jiwa kembali
bening dan berkembang menjadi lebih baik.
Puas
menikmati pengalaman penuh sensasi di Telaga Madirda, saya dan Mas Biyan
berpisah. Mas Biyan pulang ke rumah,
sementara saya melanjutkan perjalanan ke Jawa Timur.
Curug Sedudo
Saya
berada di Terminal Tirtonadi Solo ketika waktu sudah menunjukkan pukul
03.00. Setelah istirahat sejenak dan
menyeruput wedang susu jahe panas, saya melanjutkan perjalanan. Tadinya saya ingin naik Bus Patas, tapi
kemudian berubah pikiran: untuk efisiensi, saya naik bus Ekonomi AC, Sugeng
Rahayu. Dan ternyata, pilihan ini
memberi sebuah pelajaran: bus yang saya naiki ini melaju dengan kencang, di
beberapa tempat seperti terombang ambing, bahkan nyaris tabrakan. Dalam situasi demikian, saya hanya bisa
berserah diri, sumeleh, nyuwun diparingi slamet. Lagi pula, saya sudah biasa naik bus seperti
ini dulu, ketika setiap minggu pulang dari Jakarta ke Kuningan, dan jika
kehabisan tiket kereta, harus naik Bus Luragung yang ngebutnya tidak
ketulungan.
Saya
memiliki janji bertemu dengan Mas Dipastraya di sekitar Nganjuk pada jam 12
siang, untuk melanjutkan ngangsu kaweruh bersama-sama rekan seperguruan
lainnya. Tapi, saya ingin mendapatkan
pengalaman lebih: tadinya saya hendak ke Trowulan dan sudah membuat janji
dengan Mas Hendra Winarno di sana. Tapi,
di tengah perjalanan, saat sudah mendekati Nganjuk, saya merasa terpanggil ke
tempat lain. Saya minta petunjuk kepada
Mas Dipastraya dan disarankan ke Curug Sedudo, yang dulu menjadi tempat bertapa
Danghyang Lohgawe dan Ken Arok, Sang Amurwa Bumi, raja Singosari pertama. Raja-raja Kediri seperti Dandang Gendis juga
dulu bertapa di sekitar Curug Sedudo.
Hal demikian menunjukkan keistimewaan wewengkon Curug Sedudo yang berada
di kaki Gunung Wilis.
Saya
turun di Terminal Nganjuk, dan bertanya-tanya bagaimana cara mencapai Curug
Sedudo. Ada tukang ojeg yang menawarkan tarip 100 ribu sekali jalan. Bagi saya itu terlalu mahal. Lalu, saya dapatkan info tentang angkutan
umum menuju ke Sawahan, yang berada tidak jauh dari Curug Sedudo. Tak lama saya berjalan keluar terminal menuju
jalan raya, muncul angkutan umum menuju Sawahan, maka saya segera naik. Sopir angkutan itu bernama Pak Satiman. Setelah mengobrol, saya dapat gambaran
seputar lokasi Curug Sedudo, yang masih cukup jauh dari Sawahan dan harus
digapai menggunakan ojeg. Dari Sawahan
biaya ojeg sekali jalan sekitar 25 ribu.
Setelah saya hitung biaya total jika menggunakan ojeg, dan ada tawaran
Pak Man mengantar bolak balik dan menunggui saya dengan biaya 100 ribu, saya
setujui tawaran itu sehingga tak perlu repot-repot dan kesasar.
Demikianlah,
saya menyusuri jalan dari Kota Nganjuk menuju Curug Sedudo, melewati beberapa
desa. Setelah sampai Pasar Sawahan, kami
terus melaju, mulai memasuki kawasan kaki Gunung Wilis. Di desa Sawahan, saya saksikan di kanan kiri
penuh dengan pohon mawar yang sedang berbunga.
Rupanya desa ini memang penghasil bunga mawar. Jika saat hari besar keagamaan, harganya bisa
melambung hingga 120 ribu per kg.
Saat
itu, hari masih pagi. Jika saat saya menuju Telaga Madirda di malam hari
terhampar semesta yang sedang menunjukkan keagungannya, saat ini saya
menyaksikan semesta yang sedang tersenyum ramah. Matahari membuat barisan perbukitan di sekitar
Gunung Wilis terlihat hijau berkilauan.
Ditambah dengan udara yang teramat sejuk, masuk ke lokasi Curug Sedudo
membuat kita betul-betul bisa menikmati pesona swargaloka Nusantara.
Setelah
mobil diparkir, saya menuruni tangga ke lokasi Curug Sedudo. Curug Sedudo menjatuhkan airnya dari jarak
sekitar 100 meter. Air tersebut tertampung
oleh satu kolam. Sebelum jatuh ke kolam,
air tersebut terlebih dahulu membentur dinding batu, merambati dinding tersebut
ke bawah.
Saya
mengawali prosesi tirtayatra di Curug Sedudo dengan manembah, di satu titik dekat
kolam dimana orang biasa manembah dan menyalakan dupa. Saya heningkan diri, memuja Hyang Widi,
menghaturkan sembah bakti kepada para leluhur dan padanyangan khususnya yang
jumeneng di Curug Sedudo dan Gunung Wilis.
Saya memohon ijin dan restu untuk manekung, menyelaraskan diri dan menyerap
energi di Curug Sedudo.
Usai
manembah, saya masuk ke kolam dan mendekati air terjun. Wussshhhhh...dingin sekali rasanya. Badan terasa dibekukan ketika direndam air di
kolam ini. Rasanya air di Curug Sedudo
ini lebih dingin ketimbang air di Telaga Madirda. Tapi saya membulatkan tekad. Saya maju terus hingga mendekati jatuhan air
terjun. Lalu saya menyirami diri dengan
air terjun tersebut, sesuai patrap yang telah saya pelajari. Sensasinya begitu dahsyat!
Setelah
itu saya berendam dan mengolah nafas.
Saat berendam ini, rasanya air mengejar-ngejar di sekitar kepala
saya. Tak hanya itu, angin terdengar
mendesau-desau. Saya menikmati semuanya. Saya pasrahkan diri saya. Semoga Gusti Ingkang Murbeng Dumadi memberi
saya anugerah melalui berbagai unsur semesta yang ada di Curug Sedudo.
Candi
Lor
Sekitar
jam 12.30, saya bertemu Mas Dipastraya dan teman-teman lain di Ngrajeg,
Nganjuk. Dari situ, kami bersama-sama
menuju Candi Lor. Candi Lor ini
didirikan pada masa Empu Sindok di tahun 900 M.
Ia disebut juga sebagai Tugu Kemenangan, untuk memperingati kemenangan
Mpu Sindok dalam peperangan melawan musuh dari Jambi.
Prasasti Anjuk Ladang,
menyebutkan bahwa Mpu Sindok, raja Mataram
Hindu yang bergelar Sri Maharaja Sri Isyana Wikrama Dharmottunggadewa memerintahkan
Rakai Hinu Sahasra, Rakai Baliswara serta Rakai Kanuruhan pada tahun 937 untuk
membangun sebuah bangunan suci bernama Srijayamerta sebagai pertanda penetapan
kawasan Anjuk Ladang (kemudian nama
ini menjadi "Nganjuk") sebagai kawasan swatantra atas jasa warga
Anjuk Ladang dalam peperangan. Pada
areal Candi Lor terdapat dua makam abdi dalem kinasih Mpu Sindok yang disebut
Eyang Kerto dan Eyang Kerti.
Di
atas Candi Lor juga tumbuh pohon kepuh atau pohon jangkang. Diperkirakan pohon
ini telah berusia ratusan tahun. Pohon
kepuh atau jangkang, seringkali terlihat di pepunden-pepunden tua. Para leluhur senang menanam pohon ini. Harapan yang menyertainya adalah agar
siapapun yang manembah di pepunden tersebut kejangkung (terkabul) tujuannya.
Candi
Lor terbuat dari batu bata merah. Ini
meruntuhkan asumsi saya selama ini, sekaligus mengkoreksi teori tentang candi
selama ini, bahwa candi berbahan baku batu bata merah pastilah berasal dari
masa Majapahit, sementara dari masa sebelumnya terbuat dari batu andesit
hitam. Soal batu bata merah ini juga
saya temukan sebagai penyusun Selo Pancer di Sragen, yang menjadi tempat meditasi
untuk kepentingan-kepentingan keilmuan yang spesifik. Sementara Selo Pancer telah ada jauh sebelum
masa Majapahit. Kita perlu merenung, ada
apa dibalik “teori” yang keliru ini?
Apakah semata-mata karena kesalahan para ahli, atau ada kepentingan tertentu
di sana, semisal mengaburkan fakta tentang tua dan variatifnya peradaban
Nusantara.
Mas
Dipastraya mengajak kami ke Candi Lor terkait dengan peningkatan keilmuan saya
dan teman-teman. Dulu, Mas Dipastraya
juga dibimbing gurunya di tempat ini.
Jadi, Candi Lor memang punya posisi yang cukup istimewa dalam proses
ngangsu kaweruh kami.
Mas
Dipastraya dan teman-teman menyiapkan upakara atau sesaji. Termasuk di dalamnya upakara atau sesaji
khusus berupa minyak wangi yang berharga cukup mahal. Soal ini, saya mendapatkan wedaran bahwa di
masa lalu, leluhur kita – dalam rangka menguasai ngelmu tertentu – biasanya
memberikan sesaji berupa binatang seperti kerbau. Nah, karena muncul kesadaran untuk tidak
mengorbankan binatang, maka dipergunakanlah minyak wangi. Nilai minyak wangi itu sendiri kadang bisa sama
atau lebih mahal dibandingkan harga kerbau, sehingga bisa dianggap sebagai
pengorbanan yang setara.
Setelah
sesaji dan minyak wangi siap, Mas Dipastraya memimpin proses manembah di
situ. Saya benar-benar menyaksikan
fenomena yang cukup ajaib. Seiring
dengan pembacaan berbagai mantra berbahasa Jawa Purwa, angin tiba-tiba menderu,
makin lama makin kencang. Saat bersamaan,
terjadi hujan lokal. Saya bermeditasi di
tengah angin yang menderu dan rintik air hujan.
Saya pasrahkan diri ini, menikmati fenomena semesta yang menakjubkan
hati.
Para
leluhur, yang tidak lagi memiliki raga, acapkali mempergunakan unsur-unsur
semesta untuk hadir di hadapan generasi penerusnya yang masih hidup. Kadang mempergunakan angin, air, atau
eter. Mereka yang telah terbuka
papasunya bisa melihat sukma leluhur yang menyerupai badan cahaya. Tapi, mereka yang belum terbuka papasunya
tetap bisa menyaksikan kehadiran leluhur tersebut dengan menyimak fenomena
angin yang menderu-deru atau fenomena sejenis.
Demikianlah
yang terjadi di Candi Lor. Para leluhur
hadir untuk nyengkuyungi anak keturunan atau generasi penerusnya yang datang
marak sowan dan menghaturkan sungkem sembah pangabekti.
Pesarean
Ki Nantang Yuda
Agenda
berikutnya, saya bersama Mas Dipastraya dan rekan-rekan seperguruan meluncur
menuju Pesarean Ki Nantang Yudha di Maospati.
Ini adalah kunjungan saya yang kedua kali ke tempat ini. Seperti pernah saya ceritakan dalam tulisan
terdahulu, Ki Nantang Yuda adalah senopati pada masa pemerintahan Panembahan
Senopati. Beliau terkenal karena
kewelasasihannya. Sehingga walau beliau
sebetulnya senopati Mataram yang sedang berperang melawan Madiun, penduduk
Madiun sangat menghormatinya.
Pesarean
Ki Nantang Yuda sangat nyaman untuk bermeditasi. Lantainya telah berupa keramik putih,
dinaungi pohon beringin yang rimbun.
Di
sini, Mas Dipastraya kembali memimpin prosesi manembah. Dan mirip dengan di Candi Lor, di sini
manembah dan meditasi kami disambut dengan hadirnya angin yang
menderu-deru. Demikianlah pertanda
rawuhnya leluhur yang ada di wewengkon ini.
Alas
Ketonggo: Palenggahan Ageng Sri Gati
Tuntas
dari manembah di Pesarean Ki Nantang Yuda, kami menuju Alas Ketonggo. Alas Ketonggo adalah nama yang sangat
terkenal di kalangan pelaku spiritual, khususnya di Tanah Jawa. Alas Ketonggo berada di Ngawi, sekitar 12 Km dari arah Kota Ngawi tepatnya masuk Dusun Brendil,
Desa Babadan Kec. Paron. Alas Ketangga
adalah kode untuk tempat yang menjadi pusat berkumpulnya arwah leluhur. Selain di Ngawi, sebetulnya masih ada
beberapa tempat lain yang juga bisa disebut Alas Ketangga.
Di
Alas Ketonggo Ngawi ini, kami berkunjung ke Palenggahan Agung Sri Gati. Selain pepunden ini, terdapat juga beberapa
pepunden lain, seperti Sendang Minto Wiji, Sendang Drajat, Pertapaan Dewi
Tunjung Sekar, Umbul Jambe, Sendang Penguripan, Kori Gapit, Kali Tempur
Sedalem, dan Pesanggrahan Soekarno. Tapi
bisa dibilang bahwa Palenggahan Agung Sri Gati yang merupakan petilasan Eyang
Brawijaya V merupakan pusatnya.
Palenggahan
Agung Sri Gati berbentuk bangunan yang di dalamnya terdapat tanah yang terus
bertumbuh. Di tanah itulah dahulu Eyang
Prabu Brawijaya V lenggah atau duduk, saat kendran atau berjalan dalam
keprihatinan seusai tersingkir dari kursi kekuasaan di Majapahit akibat
penghianatan dari Adipati Demak yang didukung Wali Sanga. Di sini, ada mahkota, tombak, dan payung yang
dulu dibawa para pengiring Sang Prabu.
Kami
manembah di pepunden ini. Bermeditasi di
situ. Merasakan aura dan suasana bathin
di situ. Berbeda pada tempat-tempat
sebelumnya, di sini, yang bisa dirasakan adalah kesenduan. Ini tentunya sangat bisa dipahami, karena
mencerminkan keadaan Sang Prabu Brawijaya V yang dulu merasakan pahitnya
penghianatan dari orang-orang yang telah mendapatkan segenap kebaikan dari
beliau.
Untuk
memahami betapa pahitnya apa yang dialami oleh Prabu Brawijaya V, bisa saya
gambarkan satu hal: di masa beliaulah Majapahit mengalami masa kejayaan yang
langsung berganti dengan masa keruntuhan.
Pada masa beliau, Candi Cetho dan Candi Sukuh direnovasi melalui
kemahiran tangan arsitek dari Suku Inca yang tergerak mengapresiasi keberadaan
Majapahit yang pengaruhnya terasa hingga ke Amerika Latin. Tapi, pada masa beliau jugalah, sebuah
tatanan politik dan kebudayaan luhur porak poranda. Majapahit yang semula menjadi simbol kejayaan
Ibu Pertiwi, runtuh. Dan Nusantara
perlahan-lahan masuk dalam perangkap penjajahan: politik, budaya, ekonomi,
hingga saat ini.
Menjadi
kewajiban para penerus Trah Majapahit untuk memperjuangkan kembali kemerdekaan
dan kejayaan bangsa ini yang dulu telah dirintis oleh para leluhur, dari
generasi ke generasi.
Petilasan
Eyang Moromulyo
Mengakhiri
perjalanan spiritual kali ini, kami bersama-sama menuju Petilasan Eyang
Moromulyo. Petilasan ini berada di kaki
Gunung Lawu, dekat dengan Tlaga Sarangan, tak jauh dari Cemara Kandang, salah
satu pos pendakian Gunung Lawu di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Eyang
Moromulyo sendiri merupakan penasihat Prabu Brawijaya III. Saat Prabu Brawijaya V lengser keprabon,
beliau memilih menyepi di Gunung Lawu. Saat Prabu Brawijaya V kendran dan
menuju Gunung Lawu, beliau mencoba menemukan Eyang Moromulyo ini, yang disebut
juga Eyang Sarangsari dan Eyang Denggung.
Dari
Alas Ketonggo menuju Petilasan Eyang Moromulyo, setelah melewati Telaga
Sarangan, kita mesti menembus jalanan yang dikitari hutan lebat, hutan yang
masih alami khas Gunung Lawu. Kesunyian
yang melingkupi jalanan tersebut, menghadirkan suasana meditatif. Terasa sekali betapa agung dan syahdunya
Gunung Lawu dan lingkungan di sekitarnya.
Berhenti
di satu titik, kita mesti berjalan kaki, melintasi jalan setapak yang
berundak-undak hingga menjumpai pepunden berbentuk seperti makam. Itulah pepunden Eyang Moromulyo. Di sekelilingnya berdiri tegak pohon-pohon
besar dengan daun yang lebat. Berada di
sana tengah malam, terasa benar kesunyian yang membius.
Mas
Dipastraya memimpin prosesi manembah.
Kami menghaturkan sungkem sembah pangabekti, lalu bermeditasi. Berbeda dengan di Candi Lor dan Pesarean Ki
Nantang Yuda, di sini yang kami jumpai adalah keheningan yang total. Angin tak berhembus sama sekali, waktu
seperti berhenti. Tempat ini memang
sangat tepat untuk menyelami keheningan.
Demikianlah
catatan yang bisa saya sampaikan kali ini.
Semoga bermanfaat. Sampai jumpa
di lain waktu. Rahayu sagung dumadi.
Post a Comment