Prolog
Spiritual
Odyssey, dirancang sebagai perjalanan sakral, sebuah ritual agung, yang
bertujuan mengharmonikan jagad alit lan jagad ageng, serta menumbuhkan
nilai-nilai kebajikan pada setiap diri, sebagai landasan terbangunnya bangsa
yang berbudi luhur. Karena itu, sebagai
salah satu penanggung jawab kegiatan tersebut, saya terpacu untuk mempersiapkan
diri lahir dan bathin. Dalam kesadaran
saya, agar seluruh peserta mendapatkan segenap hal terbaik berupa pencerahan,
kedamaian, persaudaraan, semangat transformasi diri, dan semacamnya, maka saya
harus sesuci dan menghimpun energi secukupnya.
Saya harus terlebih dahulu menjadi pribadi yang membawa terang, dan
kesejukan.
Demikianlah,
sebelum Spiritual Odyssey Trip 2 dilaksanakan, saya bersiap-siap dengan
menuntaskan laku lampah sesuai dengan dawuh yang saya terima di Gunung Tidar
beberapa minggu sebelumnya. Saya
jalankan puasa beberapa hari. Menggenapi
itu, saya adakan slametan wetonan saat Sabtu Pon, hari kelahiran saya. Dan selanjutnya, kembali marak sowan ke Eyang
Semar yang pepundennya ada di puncak Gunung Tidar, dengan membawa sesaji
khusus: pisang raja, kelapa ijo, mawar putih, melati putih, rokok klobot. Selain itu, saya juga menggunakan pakaian
khusus: celana komprang putih, jubah putih, dan iket putih. Tak lupa, saya membawa minyak cendana dan
dupa cendana.
Tanggal
13 November 2012, saya meluncur dari rumah saya di kaki Gunung Ciremai menuju
Jogjakarta. Menggunakan travel, saya
tiba di Wijilan, ndalemipun Ki Sabdalangit, sekitar pukul 5 pagi. Istirahat sejenak, sekitar pukul 6, saya
mblusuk ke Pasar Beringharjo membeli berbagai sesaji yang dibutuhkan untuk
marak sowan ke Gunung Tidar. Puji syukur
ke hadirat Gusti Ingkang Akaryo Jagad, saya dapatkan apa yang saya butuhkan di
situ, termasuk pisang raja berukuran super dua sisir, kelapa ijo, kembang, dan
tambir untuk wadah sesaji.
Selepas
tengah hari, saya mulai meluncur ke Gunung Tidar. Tiba di Magelang sore hari, hujan turun
dengan derasnya. Puji syukur, saya
bertemu dengan Mas Bias Remadyo yang berkenan menjemput saya dengan Corolla
DX-nya yang walau berusia tua masih nyaman dikendarai. Saya
sempat sowan ke ayah saya, dan mengajak beliau bersama-sama naik ke Gunung
Tidar. (Ayah saya kemudian juga ikut Spiritual Odyssey Trip 2 dan menjadi
peserta paling sepuh – ini sungguh membanggakan dan mengharukan saya).
Waktu
telah menunjukkan pukul 17 ketika kami tiba di kaki Gunung Tidar. Menunggu hari memasuki malam, saya bersama
Mas Biyas dan ayah saya, beristirahat sejenak di warung padang yang ada di
situ. Kami memang masih harus menunggu,
karena ada yang hendak ikut bergabung dengan kami naik Gunung Tidar. Pertama, rombongan Bu Endang Setyaningsih
yang tinggal di Kuala Lumpur; kedua, Brother Patrick, sosiolog dari Belgia yang
sudah fasih berbahasa Jawa, Brother Aaron, spiritualis Inggris penganut ajaran
Syiwais, serta Mas Moko pendamping mereka.
Brother Patrick dan Brother Aaron ini, pada hari sebelumnya meditasi di
Candi Cetho dan beberapa titik di sekitar Gunung Lawu.
Yang
pertama kali menyusul kami adalah Brother Patrick , Brother Aaron dan Mas
Moko. Yang membuat salut, mereka bertiga
mempergunakan sepeda motor dari Jogja menuju Magelang, dan menembus hujan
deras. Untuk sebuah alasan spiritual. Oh ya...terkait saudara-saudara bule ini, bisa
saya jelaskan – he, he – mereka juga punya nama Jawa disamping nama Barat
mereka. Patrick, nama Jawanya adalah
Petruk. Sementara Aaron, punya nama
Jawa: Gareng. Ini guyonan, tapi bisa
juga serius...he, he, he.....
Tak
lama kemudian, Bu Endang dan rombongan tiba.
Maka kami bersiap-siap naik.
Setiba
di pintu gerbang pendakian Gunung Tidar, kami terlebih dahulu menemui juru
kunci, seorang ibu berusia sekitar 50 tahunan.
Beliau saat itu sedang menyambut tamu di ruang kuncen. Tapi beliau bergegas menyambut kami juga, dan
mengajak kami ke rumah beliau yang tak jauh dari ruang kuncen.
Di
rumah beliau, kami semua memperkenalkan diri, berbincang tentang Gunung Tidar
dan sejarahnya dalam perspektif ibu kuncen tersebut, sekaligus menikmati
hidangan spesial: teh manis dan ketupat dengan lauk opor. Hujan saat itu masih rintik-rintik. Udara cukup dingin. Maka, hidangan dari keluarga ibu kuncen
tersebut terasa sangat nikmat dan menghangatkan.
Di
atas Gunung Tidar sendiri memang masih ada acara menyambut 1 Syuro – dalam
istilah Ibu Kuncen – “Eyang Semar lagi meeting”. Karena itulah, kami menunggu terlebih dahulu
sebelum dapat giliran naik. Tapi kami
menunggu tak terlalu lama, sekitar pukul 20.00, kami dipersilakan naik.
Istimewanya,
kami naik sekaligus mendapatkan mandat membawa berbagai sesaji yang telah
dipersiapkan keluarga Ibu Kuncen namun karena sejak siang hujan, tak kunjung
sempat di bawa ke atas: berbentuk nasi tumpeng.
Maka, selain saya membawa sesaji yang telah saya persiapkan sejak awal,
saudara-saudara yang ikut rombongan saya, masing-masingpun membawa tambir
berisi sesaji tumpeng. Kamipun
selanjutnya berjalan beriringan, meniti tangga menuju puncak Gunung Tidar di
mana pepunden Eyang Semar berada. Anda
bisa bayangkan keeksotisannya: di tengah rintik-rintik hujan, dan malam yang
menyelimuti, kami – termasuk saudara-saudara berkulit putih, wong bule, dari
negeri jauh, Patrick dan Aaron, membawa tambir berisi sesaji.
Di
sepanjang perjalanan, kami berpapasan dengan peziarah lain yang coba ngalap
berkah malam 1 Suri di Gunung Tidar.
Sebagian besar peziarah di Gunung Tidar berpakaian ala santri. Ini tentu dipengaruhi keberadaan makam Syeikh
Subakir yang dipandang sebagai penyebar Islam pertama sebelum era
Walisongo. Saya pribadi, jika berada di
pepunden, punya sikap tegas untuk mempertahankan identitas kejawaan saya. Dari segi pakaian maupun bahasa, saya
menunjukkan bahwa saya adalah penghayat jalan spiritualitas Jawa. Demikian pula dari segi siapa yang
disowani. Seperti di Gunung Tidar yang
menawarkan banyak pilihan tujuan berziarah, saya memilih dengan pasti hanya
mengunjungi pepunden yang punya kaitan langsung dengan tradisi spiritual Jawa. Tapi, tentu saja saya menghargai pilihan
orang lain yang berbeda.
Setiba
di pepunden Eyang Semar, kami bersiap-siap sejenak sebelum kemudian
bersama-sama manembah. Saya coba memandu
saudara-saudara yang lain: sekadar membuka prosesi. Di pepunden tersebut, ternyata masih ada
peziarah lain yang berdoa dengan patrap Timur Tengah. Yah, inilah eloknya Indonesia: negeri yang
sangat ramah pada hadirnya identitas spiritual dari negeri seberang. Saya sendiri, memilih melakukan ritual pembukaan
dengan bahasa lokal, dilanjutkan dengan semedi yang tak lagi mempergunakan
bahasa verbal karena hanya kenal keheningan dan bahasa sukma. Pilihan seperti ini, sebetulnya yang lebih
sesuai dengan sopan santun atau paugeran: kita sedang menjalani laku spiritual
di pepunden leluhur Nusantara. Tentu
saja, lebih pas jika kita mempergunakan bahasa dan metode manembah ala
Nusantara. Agak aneh jika kita sowan ke
leluhur Nusantara, tetapi kita mempergunakan bahasa asing, apalagi yang kita
sebut dan doakan lebih dahulu adalah sosok-sosok dari negeri seberang yang
bukan leluhur kita.
Oh
ya, saya sendiri, ketika manembah di pepunden, pertama-tama, mempergunakan
mantra sebagai berikut: Hong...Hong...Hong wilaheng sekaring bawono
langgeng. Ini adalah mantra untuk
menyelaraskan diri kita dengan intisari semesta, yaktining hurip, yaktining
jagad. Sekaligus untuk membangun
kesadaran akan hakikat kehidupan ini: semuanya berawal dari kekosongan – dari
kekosongan itu termanifestasi berbagai bentuk dan rupa kehidupan – dan pada
akhirnya, setiap bentuk dan rupa kehidupan itu kembali pada kekosongan. Sementara yang langgeng adalah intisari dari
kehidupan itu sendiri, yang bisa kita sebut sebagai ruh semesta, Tuhan, The
Universe, atau apapun.....
Selanjutnya,
saya mengucapkan mantra umum sebagai berikut: “Kawulo hangaturaken sungkem sembah pangabekti dumateng Gusti Ingkang
Moho Suci, dumateng Bopo Angkasa lan Ibu Pertiwi, dumateng sedulur papat kalima
pancer, dumateng poro leluhur ugi sedoyo padanyangan lan pamomong Nusantara”. Atau, bisa juga langsung matur secara
spesifik: “Kulonuwun Eyang Semar. Kawulo
hangaturaken sungkem sembah pangabekti dumateng Eyang Semar, ugi dumateng
sedoyo leluhur lan padanyangan ingkang jumeneng ing wewengkon Gunung
Tidar. Mugi2 Eyang sedoyo tansah wonten
ing karaharjan. Kawulo lan para sederek
marak sowan pratanda sikap bakti dumateng Eyang lan poro leluhur. Mugi2 Eyang kerso nampi kawulo sedoyo. Kawulo ugi hangaturaken sesaji, meniko
pratanda pisungsum kawulo. Nyuwun gung
pangaksami menawi wonten ingkang klentu lan mboten prayogi, saking tumindak lan
sesaji kawulo. Saklajengipun saestu kawulo
nyuwun supados Eyang kerso paring pangestu, lan tansah kerso njampangi,
nyengkuyungi, ugi mbiyantu kawulo lan para sederek saged ngawujudaken sedoyo
gegayuhan, ugi supados tansah wonten ing kawilujengan, karaharjan.” Selanjutnya adalah semedi, sumeleh pasrah,
memasuki keheningan dan menikmati segenap damai yang ada.....
Mantra-mantra
yang saya sebutkan di atas, sekadar sebuah pilihan. Setiap orang tentu punya pilihan
masing-masing. Saya percaya banyak
mantra lain yang lebih lengkap dan baik dari segi tata bahasanya. Silakan pilih mantra apapun, yang terpenting
sebetulnya adalah kita menemukan jembatan penyambung rasa dan sukma kita dengan
para leluhur yang kita sowani.
Oh
ya...dalam prosesi manembah di Gunung Tidar itu, saya menyaksikan bahwa yang
paling lama bersemedi adalah Brother Aaron.
Ia juga membawa sesaji sendiri, berupa buah-buahan, bunga dan dupa. Melengkapi sesaji yang saya bawa dan
dititipkan oleh keluarga Ibu Kuncen.
Melihat semangat dari Brother Aaron yang jauh-jauh dari Inggris untuk
menikmati pesona spiritual Nusantara, sudah semestinya kita yang warga asli
Nusantara tergerak hatinya untuk menjunjung tinggi leluhur Nusantara dan
segenap budaya luhur dan tradisi suci yang tumbuh di sini.....
Setelah
dari pepunden Eyang Semar, kami sempat sowan sebentar ke petilasan Pangeran
Purboyo, putra Panembahan Senopati dan Rara Lembayung (putri Ki Ageng Giring),
yang disebut juga Jaka Umbaran. Sekitar
pukul 10 malam, manembah di Gunung Tidar tuntas. Kami menyusuri jalan turun, ditemani kabut
malam yang menguatkan aura mistis, dan rasa damai yang dalam.....
Dari
prosesi di Gunung Tidar ini, saya
mendapatkan energi yang demikian berharga, yang memantapkan saya untuk
menjalankan tugas dalam agenda Spiritual Odyssey Trip 2....
Dari Kotagede Hingga Candi Cetho
Tanggal 15 November 2012, tepatnya pukul 17.00, kegiatan Spiritual Odyssey Trip 2 dimulai, bermula di Pesarean Agung Kotagede. Kali ini, peserta jauh lebih banyak dibandingkan pada Trip 1 – mencapai 69 orang. Peserta yang melimpah, membuat Pesarean Agung Kotagede pada malam itu sangat semarak. Kali ini, peserta datang dari berbagai tempat di Nusantara: kota-kota di Jawa, Bali, Sumatera, dan Kalimantan. Juga dari Kuala Lumpur. Sayang sekali peserta dari Brother Patrick dan beberapa sederek lain batal ikut karena ada tugas mendadak atau ada keperluan lain. Ada beberapa hal yang membedakan Spiritual Odyssey Trip 2 dengan Spiritual Odyssey Trip 1. Kali ini ada penyambut tambahan: Pak Tazbir, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi DIY. Kedua, karena bertepatan dengan peringatan Tahun Baru Jawa, para peserta mendapat hidangan spesial berupa Bubur Sura yang dimasak Ibu Untari.
Hadirnya
sederek-sederek dari berbagai pelosok Nusantara ini menegaskan salah satu
spirit Spiritual Odyssey: nglumpukke
balung pisah..menyatukan yang semula terserak...membangun persaudaraan sejati
demi kebangkitan Nusantara. Di Kotagede,
tempat sumare dan jumenengnya para pendiri, raja-raja dan tokoh penting Kraton
Mataram, kami semua sesuci, menghaturkan sembah bakti kepada para leluhur, lalu
dilanjutkan dengan ngangsu kawruh tentang prinsip-prinsip spiritualitas dan
meditasi bersama Kang Sabdalangit. Maka,
landasan pertama untuk sebuah transformasi diri, juga harmonisasi antara generasi
penerus dan para leluhurnya, terbangun dengan kukuh.
Disadari
bahwa yang punya hasrat untuk membenahi Nusantara bukanlah semata-mata generasi
yang hidup pada saat ini. Para leluhur
juga punya hasrat yang sama: bahkan mereka memiliki daya tertentu yang tidak
dimiliki generasi yang masih hidup dengan raganya. Kita, sebagai penerus para leluhur,
seyogyanya berkarya bersama, bahu membahu dengan leluhur, karena kitalah
penerus dharma mereka. Dan dari mereka,
kita memiliki negeri yang merdeka dengan segenap kekayaan budaya dan
alamnya. Dengan menyambungkan rasa kita
dengan para leluhur, kita sejatinya tengah merangkai sebuah jembatan yang
menghubungkan masa silam, masa kini dan masa depan. Masa depan yang lebih baik dibangun melalui
kekuatan yang hidup masa kini dan menyembul dari masa lalu, melalui pola yang
sinergis dan saling melengkapi.
Tahap
demi tahap, acara di Kotagede berlangsung dengan syahdu. Saya sendiri, sungguh terharu menyaksikan sebagian
sederek yang demikian gembira karena baru pertama kali berkesempatan sowan
kepada leluhurnya di Tlatah Mataram, dan menikmati eksotika menengok kembali ke
masa silam. Saya benar-benar berharap,
untuk selanjutnya, para sederek peserta Spiritual Odyssey makin berbakti pada
leluhur, dan sebaliknya, para leluhur senantiasa berkenan mendampingi para
sederek tersebut, sehingga kehidupan secara pribadi mengalami transformasi
menuju kebaikan, serta pada skala bangsa, kita bersama-sama mengalami kemajuan
dan kebangkitan.
Tuntas
di Kotagede, kami melanjutkan perjalanan ke Parangkusumo. Di Parangkusumo, kami duduk berbaris di
tepian pantai, menghadap ke Samudera Indonesia, memandang ombak yang
berdebur-debur demikian agungnya. Di
sini, kami pertama-tama melakukan ritual menghaturkan sembah pangabekti dan
nyuwun pangestu kepada Kanjeng Ibu Ratu Kidul, entitas widodari yang jumeneng
di Kraton Kidul dan menjadi salah satu pamomong Nusantara. Selanjutnya, kami bersama-sama bermeditasi,
mengecap pengalaman mistis bersentuhan dengan dimensi lain yang salah pintu
gerbangnya berada di Parangkusumo.
Di
Parangkusumo inilah, ada peristiwa yang aneh tapi nyata. Saat saya bermeditasi, mendadak dari langit,
seperti dijatuhkan seekor merpati putih.
Merpati putih tersebut hinggap di tubuh saya, lalu setelah beberapa saat
berdiri di samping saya. Tak lama
kemudian, muncul satu merpati lagi sehingga genap sepasang. Saya tak melihat bagaimana merpati itu jatuh
ke tubuh saya, bahkan semula saya tak tahu kalau itu merpati karena saya tetap
memejamkan mata dan hanya menangkap bau harum seiring hadirnya burung
tersebut. Tapi, beberapa tim panitia
seperti Mas Sunarto dan Mas Ismail menjadi saksi, karena mereka pas bertugas
memotret dan membuat video acara.
Peristiwa
seperti ini tentu bukan kebetulan semata, apalagi saat itu saya sedang lelakon
memakai pakaian dan iket serba putih.
Ada makna tertentu yang muncul, yang nanti saya babar di bagian penutup
tulisan ini. Yang pasti, sepasang burung
itu akhirnya ikut dengan saya, mereka tak mau saya pegang, tapi nyaman menclok
di tangan saya. Mereka menemani
perjalanan rombongan – maksudnya, merpati tersebut ikut mobil yang saya
kendarai bersama Kang Sabda dan panitia, hingga kemudian terbang ketika kami
tiba di Kahyangan Dlepih.
Selanjutnya,
saya bisa sebutkan bahwa di Parangkusumo ini, para peserta mengungkapkan
pengalaman/penyaksian mereka yang beragam tapi mengarah pada hal yang
sama. Berbagai pengalaman mereka
tersebut mengkonfirmasi keberadaan sosok Kanjeng Ratu Kidul yang jumeneng di Kraton
Kidul beserta para manggalanya.
Usai
kegiatan di Parangkusumo ini, kami berombongan menuju ke Kahyangan Dlepih. Kami tiba pagi hari, sekitar jam 7 pagi, terlambat
sekitar 2 jam dari jadwal. Yah,
demikianlah...situasi di lapangan memang sering berbeda dari yang direncanakan
di atas meja, karena banyak faktor yang di luar kendali. Apapun yang terjadi, semua harus diterima
dengan legowo karena memberi pelajaran lahir dan bathin.
Di
Kahyangan Dlepih, kami pertama-tama melakukan ritual manembah di beberapa
pepunden yang ada di situ. Sungguh
menggetarkan, kami puluhan orang, sama-sama memancarkan getaran yang relatif
sama..getaran harmonisasi diri dengan leluhur dan berbagai unsur semesta. Setelah itu, para peserta berlatih olah nafas
dan olah gerak untuk membangkitkan inner
power bersama Kang Sabdalangit.
Kami
menuntaskan agenda di Dlepih pada pukul 11 siang. Maka, kamipun bergegas menuju ke Candi
Cetho. Semula, panitia sudah
berkoordinasi dan menetapkan rute ke Cetho melalui Kota Wonogiri, Sukoharjo
baru berbelok ke Karanganyar. Kok
ndilalah, semua rencana berantakan.
Mobil saya dan Kang Sabda berangkat belakangan dan ada di posisi buncit
dalam rombongan. Sementara ada sopir
yang iseng ngobrol dengan salah satu penjaga warung, terpengaruh oleh saran
penjaga warung tersebut untuk menempuh jalur alternatif.
Maka,
terjadilah apa yang memang harus terjadi.
Sopir itu membuat kekeliruan ganda..pertama, dengan mengikuti bisikan
mengikuti jalur alternatif tersebut; kedua, salah ketika menentukan jalan
alternatif tersebut. Satu persatu mobil
rombongan malah bergerak menuju Jatisrono dari Tirtomoyo.....bukan sesuai rute
yang sudah ditetapkan panitia ke arah Wonogiri kota, bukan pula sesuai yang
dimaksudkan penjaga warung pemberi saran.
Dan, terjebaklah 10 mobil dalam petualangan mendebarkan menaklukkan
jalanan yang sungguh berat, karena dipenuhi tanjakan dan turunan yang
curam. Kami sebagai panitia sungguh
khawatir akan keselamatan peserta; apalagi kami saksikan, beberapa mobil di
depan kami begitu kesulitan untuk bisa menaklukan medan, mobil-mobil itu nyaris
mogok. Sementara di kanan kiri terdapat
jurang
Untung
saja, kami semua masih selamat. Setelah
1 ½ jam berjuang melintasi jalur itu, kami bisa melewati jalur berbahaya. Tapi, ada dampaknya: salah satu mobil rombongan
pecah radiatornya. Dan satunya lagi,
pecah bannya. Tentu saja...kami tertahan
beberapa waktu untuk memecahkan persoalan ini.
Setelah
memeras otak beberapa waktu, masalah bisa diselesaikan. Kami sudah mulai lega dan bersiap melanjutkan
perjalanan sesuai dengan jalur yang telah disepakati. Dari
Jatisrono kita meluncur ke arah Kota Wonogiri lalu ke Sukoharjo. Tapi ya ndilalah....entah apa yang ada di
benak para sopir.....di tengah perjalanan, mereka bukannya mengikuti mobil
panitia terdepan, mereka mengambil arah berbeda dan memilih jalur alternatif
via Jumapolo. Tak ayal lagi..rombongan
langsung bercerai berai, karena yang memimpin dan dipimpin tak lagi sinkron.
Dan
ada sedikit tragedi di sini, he, he, ketika salah satu peserta Pak Satyo Hadi,
yang menelpon saya dan kami kira salah satu sopir elf...sempat kami
marahi. Kami saat itu memang berpikir
harus lebih tegas supaya barisan kembali utuh tidak tercerai berai. Tapi, walau acara marah-marah dengan korban
Pak Satyo Hadi telah dilakukan (untungnya beliau sangat sabar – dan di akhir
acara saya sudah minta maaf, he, he), rombongan tetap bercerai berai karena
koordinasi untuk mengarahkan semua peserta sudah tak mungkin dilakukan. Maka, saya dan Kang Sabdalangit akhirnya
berserah diri: biarkan seluruh peserta berjuang sendiri ke Cetho dan menemukan
takdir masing-masing.
Kami
saat itu bergumam...sungguh berat untuk bisa sampai ke Cetho. Ternyata energi lahir dan bathin kami harus
benar-benar terkuras terlebih dahulu.
Tapi, kami tak patah semangat, kami harus sampai ke Cetho. Demikian pula tekad mayoritas peserta: mereka
sudah bulat untuk sampai ke Cetho, walau harus mencari jalan
masing-masing. Hanya ada beberapa peserta
yang memilih pulang lebih dahulu karena sudah kadung memesan tiket.
Puji
syukur...pada akhirnya, semua rombongan bisa sampai ke Cetho, sekalipun salah
satu mobil mogok 1 km menjelang gerbang candi karena tak kuat menanjak, dan
para penumpang mobil tersebut harus diunjali menggunakan ojeg sepeda motor.
Demikianlah..pada
akhirnya kami bisa menggelar proses di Candi Cetho. Setelah istirahat sejenak, saya berkesempatan
membabar soal Candi Cetho sebagai petunjuk keagungan peradaban Nusantara, dan
Kang Sabda membabar soal misteri Gunung Lawu.
Dan setelah itu, kami semua lalu manembah di altar utama Candi Cetho,
melaksanakan meditasi penyerapan energi, lalu melaksanakan prosesi maaf
memaafkan dan saling berterima kasih. Di
altar utama itu, segenap acara kami lakukan di tengah gelap yang mulai menyelimuti,
hawa dingin khas Gunung Lawa, dan hujan rintik-rintik yang membasahi kami. Tentu saja, terasa benar sakralnya suasana di
Cetho malam itu. Kami semua
terharu..hanyut oleh rasa tersatukan, tak hanya rasa tersatukan di antara
seluruh panitia dan peserta, tapi juga rasa tersatukan dengan semesta, dengan
segenap entitas leluhur yang ada di situ.
Lega. Bahagia.
Akhirnya acara bisa dituntaskan dengan baik walau tak sesuai
rencana. Dan pesona mistis Candi Cetho
akhirnya bisa kami nikmati bersama. Dan
kami memperoleh segenap limpahan energi, berkah, pencerahan, kebijaksanaan,
yang tak ternilai harganya. Selanjutnya,
kembali pada setiap diri, apakah siap atau tidak memanfaatkan anugerah yang
didapat tersebut untuk membangun kehidupan yang lebih baik.
Epilog
Spritual
Odyssey, sebagai perjalanan sakral, dalam setiap proses dan fragmennya memuat
pelajaran-pelajaran berharga. Tentu
saja, jika kita peka dan cukup terampil menterjemahkan segenap tanda-tanda
semesta. Pelajaran demikian muncul bukan
hanya dari wedaran, tapi juga dari pemaknaan terhadap peristiwa-peristiwa yang
di luar kebiasaan, juga dari kesulitan-kesulitan yang menguras emosi. Tepatlah jika dikatakan, bahwa acara
Spiritual Odyssey yang hanya berlangsung sekitar 24 jam tersebut, merupakan
miniatur dari perjalanan spiritual sesungguhnya yang tak berbatas waktu.
Dari
peristiwa kemunculan tiba-tiba sepasang merpati putih, saya menangkap pesan:
kita semua perlu sama-sama kembali pada kesucian, pada kemurnian, yang menjadi
watak dasar dari jiwa terdalam kita, sukma sejati kita. Lebih tegasnya, kita perlu berupaya lebih
serius membuat hidup kita, pikiran kita, tindakan dan bicara kita, selaras
dengan kehendak sang sukma sejati – yang pada hakikatnya adalah manifestasi
dari Sang Maha Suci yang ada di dalam diri kita sendiri. Menengok pada cerita Dewa Ruci...kita perlu
berjuang menemukan tirta perwitasari, melalui laku lampah yang penuh keberanian
untuk melampaui zona nyaman, masuk ke wilayah misteri, mengalahkan berbagai
godaan nafsu.
Sepasang
merpati putif itu juga menjadi penyampai pesan, bahwa kita perlu menjadi
duta-duta perdamaian dan cinta kasih murni, agar Nusantara ini bergerak ke arah
yang berbeda: menjadi negara ideal laksana Amarta yang dipimpin Puntadewa yang
suci dan bijaksana. Dalam konteks yang
lebih praktis, kita perlu menjadi pendukung perubahan politik agar negeri ini
dipimpin oleh para satrio pinandhito, memerintah dengan kebijaksanaan ilahi dan
keluhuran budi.
Di
Candi Cetho, kita bersama-sama telah mengukuhkan komitmen dan cinta kita kepada
Ibu Pertiwi, kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Walau sekarang negeri ini tengah terluka dan
rusak-rusakan, karena sering dikhianati oleh mereka yang mendapatkan mandat
menjadi pemimpin negeri ini, cinta kita pada negeri ini tak boleh pudar
sedikitpun. Negeri ini adalah warisan
berharga dari para orang tua kita, para leluhur kita. Sudah sepatutnya kita bersama-sama membangun
negeri ini sesuai kemampuan dan peran kita masing-masing.
Mari
kita hidupkan spirit Sang Saka Merah Putih di dalam jiwa kita
masing-masing. Anda semua, para peserta
Spiritual Odyssey, dan pembaca blog ini, adalah putra-putri Ibu Pertiwi yang
terpilih menjadi garda depan perubahan. Kita
teladankan sikap hidup yang mengutamakan persaudaraan sejati di tengah kebhinekaan
warga bangsa dari segi suku, agama, maupun kelas sosial. Dan gubahlah karya terbaik sesuai bidang
keahlian masing-masing. Bangun diri
Anda, keluarga Anda dan komunitas Anda.
Semakin banyak yang melakukan kebaikan seperti ini, perlahan tapi pasti,
negeri ini pasti tersembuhkan dan kembali pada kejayaannya.
Akhir
kata, saya haturkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam agenda
ini: Ki Sabdalangit dan Bu Untari, keluarga besar CV Lakutama yaitu Mas Bias dan Mas Diaz (yang tidak bisa hadir tapi saya percaya intensif merapal mantra demi kesuksesan acara), para asisten yaitu Mas Mulyono, Mas Gilang,
Mas Susilo, Mbak Rika, Mas Harimurti, Mas Tono, kepada Mas Sunarto dan Mas
Sigid Wibowo yang sangat kontributif dalam acara ini, kepada Mas Amir Pohan dan
tim yang dengan keahlian profesionalnya begitu berdedikasi merekam acara ini,
kepada seluruh peserta yang sangat bersemangat dan kooperatif, dan kepada
seluruh pihak yang tak bisa saya sebutkan satu persatu.
Jayalah
Nusantara! Rahayu..rahayu..rahayu....
Salam Persaudaraan..Jayalah Nusantara
ReplyDeleteMas Setyo, salam kenal
ReplyDeleteSaya sangat tertarik dengan kejawen saya ingin sekali bisa meditasi kiranya mas setyo bisa memberikan bimbingan, seperti pada SO ini kayaknya teman2 SO cepat paham lewat arahan Ki Sabdo dan anda bagaimana cara meditasi nya? sokur2 kalau ada video tentang arahan meditasi pada acara SO mas bisa di upload, sebelum dan sesudahnya saya ucapkan terimakasih
Salam Rahayu
Salam kenal mas setyo
ReplyDeleteSaya setuju dengan usulan dari mas anton agar rekan2 yang lain yang belum punya kesempatan utk ikut odissey bisa diajari meditasi walau hanya tingkat dasar.karena menurut pendapat saya untuk membangkitkan kembali semangat kecintaan nusantara harus dimulai dengan mempelajari dan melakoni tradisi2 nusantara yang kini sudah mulai tergerus oleh kepentingan2 golongan yang mengatas namakan konsep merasa kebenaran golongan sendiri saja yang benar. Sehingga atas alasan itu maka ada baiknya rekan2 seperti mas setyo dan mas sabda dapat memberikan pelajaran itu bagi kami dan rekan2 lain yang mulai bangkit kesadaran jiwa nusantaranya.
Atas kesediaan mas setyo dan mas sabda serta rekan2 yang lain yang memiliki pengalaman bersedia sharing ilmu nya kpd kami yang masih harus belajar banyak tentang budaya nusantara.
Rahayu
Donny
JAYA NUSWANTARA
ReplyDeleteThanks for such a great post and the review, I am totally impressed! Keep stuff like this coming. a course in miracles teacher
ReplyDelete