Tulisan ini
saya buat, untuk menggenapi apa yang sudah ditulis oleh Kang Sabdalangit. Kang Sabdalangit menyatakan bahwa agenda
Spiritual Odyssey adalah sebuah pilgrimage atau perjalanan suci. Saya setuju sepenuhnya; dan menambah satu
pemaknaan: ia adalah miniatur dari perjalanan sepanjang hidup dari sang sukma
dalam menggapai kesempurnaan yang selalu didambakannya. Kesempurnaan yang dimaksud di sini adalah
kondisi terbaik yang bisa digapai seorang manusia: KEMBALINYA KEMURNIAN DAN
KESUCIAN, yang memungkinkan manusia kembali pada alam keheningan, kebahagiaan,
kedamaian yang kekal.
Pelajaran dari Pengalaman Pribadi
Para pembaca
yang saya hormati, ijinkan saya untuk berbagi tentang pengalaman diri saya
sendiri. Meringkas dan menyimpulkan
perjalanan yang telah saya lalui, bisa saya katakan, bahwa saya benar-benar
JATUH BANGUN. Saya belajar tentang hidup
dan kehidupan ini, dari sisi gelap maupun terangnya. Ada masa-masa dimana saya merasa begitu dekat
dengan KEMURNIAN dan KESUCIAN, yang langsung berimbas pada rasa damai tak
terperi. Tapi, ada kalanya saya terjebak
dalam situasi yang tak saya mengerti: saya hanya merasa bahwa pada saat itu, yang ada
hanyalah kegelisahan, kadang juga rasa bersalah.
Ada masa-masa
di mana saya merasakan detik demi detik berlalu penuh dengan makna; dalam
sebuah gairah mistis yang membuat sang sukma melambung tinggi, terbuai oleh
kebahagiaan yang tak terkatakan.
Adakalanya saya terjerembab dalam duka, sebuah rasa merana akibat diri yang
jatuh dan kesakitan.
38 tahun
telah saya lalui kehidupan di muka bumi ini – sejak saya dilahirkan dari rahim
ibunda tercinta, di Kota Magelang, tak jauh dari Gunung Tidar berada. 2 tahun lagi saya memasuki usia yang disebut fase
kematangan oleh banyak orang. Tapi,
sejujurnya, saya merasa seperti belum jauh berjalan. Saya merasa tujuan yang hendak saya capai
benar-benar masih ada diujung sana, dan masih demikian jauh untuk
dijangkau. Walau telah banyak upaya yang
saya lakukan untuk menambah pengertian akan hidup ini, dan banyak metode laku
prihatin yang saya praktekkan, pada akhirnya, saya tetap merasa diri ini bodoh;
lebih banyak tidak mengerti daripada mengertinya.
Dari satu guru
ke guru lain, dari satu perguruan ke perguruan lain, saya lakoni proses ngangsu
kaweruh yang dilandasi tekad untuk menggapai sampurnaning laku dan sampurnaning
urip. Selama proses itu, beberapa kali
saya mengalami momen terhempasnya sebuah harapan. Ya, entah kenapa, alih-alih lulus dari satu
guru atau perguruan, saya justru harus menerima kenyataan yang berbeda. Ibaratnya,
saya bukannya menghabiskan satu sajian hingga kenyang, tapi cukup mencicipinya,
untuk kemudian berpindah ke sajian berbeda.
Walau setelah direnungi dengan jiwa yang tenang, secara keseluruhan, apa
yang telah saya lalui, merupakan bagian dari skenario semesta yang harus saya
jalani untuk mengisi hidup ini, dan membuat saya makin mengerti akan jalan
hidup yang sesungguhnya. Rupanya,
semesta ini mengajari saya bukan dengan pendekatan sistematik laksana dalam
sistem pendidikan formal: tapi, saya harus belajar dari fragmen demi fragmen, dan
mengumpulkan sejumput kebijaksanaan demi kebijaksanaan, lalu merangkainya
sesuai cetak biru saya sendiri.
Dari
rangkaian pengalaman yang telah saya lalui, saya bisa menyimpulkan bahwa menggapai
kesempurnaan laku dan kesempurnaan hidup, rupanya memang tak bisa dengan cara
linear seperti ketika seseorang menuntaskan perkuliahan hingga menggapai gelar
sarjana. Ada misteri-misteri yang tak
terduga. Pencerahan, dan selanjutnya
kesempurnaan, tampaknya tak bisa diprediksi kapan ia akan hadir. Kesimpulan saya, ia hanya bisa muncul manakala
kita sudah sumeleh pasrah, terlepas bebas dari semua obsesi bahkan target.
Lebih dari
itu, saya bisa menyimpulkan, bahwa semua warna kehidupan, gelap dan terang,
sama-sama bisa menjadi guru untuk membantu kita memahami sifat kehidupan
ini. Pencerahan tak selamanya hadir
lewat kejadian yang kita persepsi sebagai baik, tapi juga bisa melalui kejadian
yang kita persepsi buruk.
Maka, terkait
dengan Spiritual Odyssey yang sama-sama akan kita jalani, ada satu hal yang
ingin saya sampaikan: sebagaimana dalam perjalanan spiritual sesungguhnya kita
sungguh tak bisa memancangkan sebuah target yang kaku, dalam agenda spiritual
odyssey sebagai miniatur dari perjalanan spiritual sesungguhnya, kita juga tak
bisa memancangkan satu target yang kaku.
Lebih bijak jika kita cukup belajar menikmati semua proses; memberikan
daya terbaik kita pada setiap tahapan, tetapi kita biarkan semesta yang
mengatur, hal apa yang layak untuk kita dapatkan....Dan manakala ada
kejadian-kejadian tertentu yang di luar rencana atau harapan kita, jangan
terlampau cepat kita menyimpulkan itu tak berguna. Kadang, justru di situ letak pembelajarannya.
Ya...tampaknya,
lebih baik kalau kita benar-benar sumeleh pasrah....Kita nikmati hidup dan
segenap romantikanya, tanpa terlalu memusingkan mencapai dan mendapatkan apa. Dalam konteks Spiritual Odyssey: kita nikmati
semua prosesnya...kita nikmati saat berada di pesarean agung yang sakral; kita
nikmati agungnya tepian Laut Selatan, kita nikmati pesona perbukitan Kahyangan
Dlepih, kita nikmati pula estetika Candi Cetho di ketinggian kaki Gunung Lawu,
kita nikmati semua yang terjadi. Kita
dedikasikan diri kita pada sebuah proses yang sakral, melalui kesungguhan dan
kemurnian jiwa...dan setelah itu, biarkan semesta yang mengatur, apa yang bisa
kita raih dan capai!
Tentu saja,
sikap demikian bukan sikap fatalis..tapi lebih tepat sebagai sikap ngeli....menjalani
tapa ngeli. Orang fatalis tak akan
bekerja dan mengeluarkan daya secara maksimal.
Tetapi pelaku tapa ngeli memilih untuk memberikan yang terbaik....tanpa
terpancang pada hasil tertentu....Pelaku tapa ngeli percaya pada hukum semesta
yang pasti berlaku: sing nandur bakal ngunduh.
Jika kita menandur dengan cara yang terbaik, maka hasilnya akan baik
juga. Ya, kita menyemai dan merawat biji
dengan sebaik-baiknya, tanpa kita memaksa buah tanaman kita itu akan seperti
apa dan bagaimana.
Sebuah Gerbang Pencerahan dan Pembaharuan
Spiritual
Odyssey adalah miniatur dari perjalanan spiritual kita. Karena itu, jangan berharap dengan
mengikutinya kita langsung mendapatkan pencerahan yang paripurna. Tetapi, kegiatan seperti spiritual odyssey
ini, punya makna penting berikut: ia menjadi semacam titik ungkit, sebuah momen
untuk melecut diri kita, agar kita bisa bergegas berbenah diri. Spiritual Odyssey adalah gerbang untuk
pencarian makna hidup yang lebih serius; gerbang untuk ngangsu kaweruh yang
lebih sungguh-sungguh.
Bumi
Nusantara ini kaya dengan khazanah spiritualitas. Para leluhur kita mewariskan
kebijaksanaan yang demikian berharga: entah ia dinamai apa, yang pasti,
kebijaksanaan itu nyata dan turun dari generasi ke generasi dengan berbagai
cara. Kadang dengan cara yang “tak masuk
akal”. Spiritual Odyssey adalah momen
untuk mengenal khazanah spiritualitas leluhur tersebut. Dan bagi yang sudah mengenalnya, Spiritual
Odyssey adalah momen untuk meneguhkan komitmen kita, untuk setya tuhu pada para
leluhur yang telah mewariskan Nusantara dengan segala pernak pernik
kebudayaannya yang luhur.
Ada pola
lampah atau metode jalan spiritual yang hendak disampaikan melalui Spiritual
Odyssey ini. Yaitu pola lampah dan
metode jalan spiritual ala leluhur yang berorientasi membawa kita pada
pengenalan diri dan jatidiri, sekaligus membuat diri kita berada dalam harmoni:
dengan sesama manusia, dengan alam dan segenap unsurnya, dengan leluhur,
termasuk dengan makhluk yang tak terlihat mata wadag.
Pengenalan
akan diri dilakukan melalui metode laku prihatin, olah nafas, dan olah bathin –
salah satunya melalui jalan meditasi.
Pengenalan akan jatidiri terlaksana melalui penyadaran akan budaya luhur
yang kita warisi dari leluhur kita sendiri.
Dan harmoni diraih melalui penumbuhan sikap welas asih kepada sesama
makhluk, dan rasa hormat kepada leluhur maupun para pamomong Bumi Nusantara.
Pola demikian
adalah pola dasar, agar kita bisa mengapai tataran spiritual yang lebih
tinggi. Pasca spiritual odyssey,
diharapkan pola dasar ini tetap bisa diteruskan hingga kita kian mendekati
sampurnaning laku dan sampurnaning urip.
Selanjutnya, mari kita simak pepeling Eyang Mangkunegoro IV dalam Serat
Wedhatama:
Wruhana raga pun iku dumadine saka alam telu
Alam wadag, alam jiwa dan atmaneki Openan kanthi laku Lakune ngeningken batos
[Kini ketahuilah bahwa manusia itu Terdiri dari 3 alam Alam wadah atau jasmani, alam jiwa atau rohani, dan alam atman yang maha suci Ketiganya harus kita pelihara dengan baik Dan caranya hanya dengan mengheningkan hati kita sendiri]
Carane ana telu Tarak Brata, Tapa Brata iku Puja Brata iku laku kabeng katri Telu lakonono Runtut Dimen Tinampa Hyang manon
[Caranya ada tiga Yaitu tarak broto untuk jasmani kurangilah makan, tidur dan mengendalikan panca indera Topo Broto, Rohani kendalikanlah hawa nafsu Dan puja broto melaksanakan konsentrasi sepenuhnya dengan cara meditasi ketiga-tiganya harus dijalankan secara bersama-sama]
[Kini ketahuilah bahwa manusia itu Terdiri dari 3 alam Alam wadah atau jasmani, alam jiwa atau rohani, dan alam atman yang maha suci Ketiganya harus kita pelihara dengan baik Dan caranya hanya dengan mengheningkan hati kita sendiri]
Carane ana telu Tarak Brata, Tapa Brata iku Puja Brata iku laku kabeng katri Telu lakonono Runtut Dimen Tinampa Hyang manon
[Caranya ada tiga Yaitu tarak broto untuk jasmani kurangilah makan, tidur dan mengendalikan panca indera Topo Broto, Rohani kendalikanlah hawa nafsu Dan puja broto melaksanakan konsentrasi sepenuhnya dengan cara meditasi ketiga-tiganya harus dijalankan secara bersama-sama]
Tembang
Gambuh di atas, memberi kita pedoman praktis. Laku prihatin yang hakikatnya
adalah upaya pengendalian diri, dilaksanakan melalui Tarak Brata, Tapa Brata,
dan Puja Brata. Ketiga langkah ini terkait dengan tiga dimensi diri kita: raga,
jiwa dan atma. Diri kita, adalah kesatuan dari tiga lapis keberadaan. Pertama,
raga yang mencerminkan 4 unsur bumi: api, air, udara, dan tanah. Kedua, sukma
yang mencerminkan diri kita pada tataran yang lebih halus, yang bersinggungan
dengan makhluk lain pada dimensi kegaiban (alam kasunyatan). Dan ketiga, Atma
atau Sukma Sejati, yang mencerminkan keberadaan Wujud Maha Rahasia di dalam
diri kita.
Laku prihatin dilakukan dengan mengolah tiga lapis keberadaan kita tersebut. Tarak brata dilaksanakan melalui upaya mengurangi konsumsi/pemuasan nafsu oleh raga kita: mengurangi makan, tidur, berhubungan seks, dan berbagai kegiatan lainnya yang terkait dengan panca indera kita. Tapa brata dilaksanakan melalui olah bathin, melalui olah pikir, dengan orientasi membuat jiwa kita selalu dalam kebaikan, terjauhkan dari angkara, egoisme, dengki, dan ekspresi jiwa negatif lainnya. Dalam bahasa lain, tapa brata adalah upaya kita untuk membuat jiwa dan pikiran kita selalu dalam keadaan positif, penuh syukur, penuh kewelasasihan, punya spirit untuk selalu memberi manfaat pada sesama, dan pada tingkat tertinggi, merasa diri melebur dengan semesta ini. Sementara puja brata adalah upaya untuk memasuki alam keheningan, menyatukan diri kita dengan Sukma Sejati, merasakan kemanunggalan dengan Atman...dengan Gusti Ingkang Murbeng Gesang.
Sebagai bagian dari laku prihatin, dan ini sangat vital, adalah sikap untuk berbakti kepada orang tua dan leluhur. Berbakti kepada orang tua adalah memuliakan orang tua dan melakukan berbagai upaya agar diri ini mendapatkan kewelasasihan dari orang tua kita. Kita memenuhi apa yang diinginkan atau dibutuhkan orang tua kita semampu kita. Sementara itu, berbakti kepada leluhur adalah sikap memuliakan, menyambung rasa, dan upaya meneruskan amanat dari orang-orang yang menurunkan kita. Leluhur adalah para pendahulu kita yang sudah hidup di alam kehidupan sejati tanpa ragawi. Leluhur dekat adalah orang-orang yang menurunkan kita sebagai generasi penerus kehidupan ini. Apabila ortu sudah meninggal dunia, ortu disebut pula sebagai leluhur paling dekat.
Pembaharuan Nusantara
Laku prihatin dilakukan dengan mengolah tiga lapis keberadaan kita tersebut. Tarak brata dilaksanakan melalui upaya mengurangi konsumsi/pemuasan nafsu oleh raga kita: mengurangi makan, tidur, berhubungan seks, dan berbagai kegiatan lainnya yang terkait dengan panca indera kita. Tapa brata dilaksanakan melalui olah bathin, melalui olah pikir, dengan orientasi membuat jiwa kita selalu dalam kebaikan, terjauhkan dari angkara, egoisme, dengki, dan ekspresi jiwa negatif lainnya. Dalam bahasa lain, tapa brata adalah upaya kita untuk membuat jiwa dan pikiran kita selalu dalam keadaan positif, penuh syukur, penuh kewelasasihan, punya spirit untuk selalu memberi manfaat pada sesama, dan pada tingkat tertinggi, merasa diri melebur dengan semesta ini. Sementara puja brata adalah upaya untuk memasuki alam keheningan, menyatukan diri kita dengan Sukma Sejati, merasakan kemanunggalan dengan Atman...dengan Gusti Ingkang Murbeng Gesang.
Sebagai bagian dari laku prihatin, dan ini sangat vital, adalah sikap untuk berbakti kepada orang tua dan leluhur. Berbakti kepada orang tua adalah memuliakan orang tua dan melakukan berbagai upaya agar diri ini mendapatkan kewelasasihan dari orang tua kita. Kita memenuhi apa yang diinginkan atau dibutuhkan orang tua kita semampu kita. Sementara itu, berbakti kepada leluhur adalah sikap memuliakan, menyambung rasa, dan upaya meneruskan amanat dari orang-orang yang menurunkan kita. Leluhur adalah para pendahulu kita yang sudah hidup di alam kehidupan sejati tanpa ragawi. Leluhur dekat adalah orang-orang yang menurunkan kita sebagai generasi penerus kehidupan ini. Apabila ortu sudah meninggal dunia, ortu disebut pula sebagai leluhur paling dekat.
Pembaharuan Nusantara
Indonesia sedang berbenah; perubahan menuju keadaan baru yang lebih mencerminkan cita-cita para pendiri negeri ini, terus terjadi. Salah satu mekanisme perubahan itu adalah perubahan pada tataran pribadi-pribadi: semakin banyak putra-putri Ibu Pertiwi yang terpanggil untuk menegakkan jatidiri bangsa dan membangun hubungan dengan para leluhur.
Kita, para putra-putri Ibu Pertiwi yang terpanggil mengikuti Spiritual Odyssey, adalah bagian dari mereka yang terpilih menjadi garda depan perjuangan mengembalikan kejayaan negeri ini. Ini yang perlu disadari; dan menjadi pemicu bagi kita untuk berbenah diri lalu berupaya melahirkan karya terbaik bagi Indonesia tercinta.
Lewat Spiritual.Odyssey ini kita merekat persaudaraan, membangun jejaring dan kemitraan, agar lahir karya yang monumental bagi negeri ini. Kita sama-sama mempraktekkan filosofi sapu lidi: dengan bersama kita menjadi kuat dan penuh daya. Kita dengan berbagai latar belakang berbeda, mari menjadi satu padu, diikat oleh ikatan bathin tan kasat mata namun demikian kukuh. Kita berjalan senasib sepenanggungan sebagai sesama manusia yang berpijak di Bumi Nusantara, menghirup udara dan sari-sari makanan dari Ibu Pertiwi. Sudah selayaknya kita junjung bersama langit Nusantara: kita hidupkan budaya nan luhur warisan dari para leluhur Nusantara. Demikianlah salah satu jalan agar kejayaan negeri ini bisa kembali.
Demikian yang
bisa saya sampaikan. Rahayu.
Rahayu. Rahayu.
SembahBekti kepada Para Pahlawan, Jayalah Nusantara..
ReplyDeletematur nuwun sharing dan refleksinya.
ReplyDeleteRingkas, padat, dalam = "keren" sangat menyentuh dan menginspirasi.
Nuwun. Rahayu.
Maturnuwun pencerahannya, rahayu
ReplyDelete