"Kaca
Benggala itu dapat diibaratkan sebagai watak manusia yang sudah
sempurna, yaitu manusia yang sudah tidak mementingkan diri sendiri,
artinya tidak sekali-kali mempunyai niat menonjolkan dirinya ataupun
kebesaran dirinya. Sombong atau besar kepala, takabur, dan lain
sebagainya sudah tidak dimiliki. Mengapa sampai demikian? Hal ini
dikarenakan budinya sudah terlalu luhur dan nafsunya sudah sirna.
Keadaan dirinya tidak dihiraukan lagi, walaupun demikian dia masih dapat
memuat segala macam watak. Kehidupannya hanya ditujukan untuk
keselamatan orang banyak, dan senantiasa membuat kesenangan kepada
sesama. Orang yang seperti itu akan tetap tegar walaupun disangka rendah
budi, akan tetapi juga tidak menolak jika ada yang menyangka berbudi
luhur. Ketegarannya itupun tidak dipamerkan. Di dalam hatinya tidak ada
kegemaran apa-apa, tidak ikut-ikutan, tidak merasa senang terhadap
sesuatu yang baik dan benar ataupun tidak merasa benci terhadap sesuatu
yang jelek dan salah. Demikian sebaliknya juga tidak merasa senang
terhadap sesuatu yang jelek dan salah ataupun tidak merasa benci
terhadap sesuatu yang baik dan benar."
Perjalanan Spiritual
Saya menyadari, bahwa perjalanan yang satu ini bukan
perjalanan yang ada ujungnya. Ia sama
tak berujungnya dengan kehidupan; karena bahkan kematianpun hanya sebuah
gerbang untuk kehidupan baru yang berbeda.
Saat sebuah perjalanan spiritual mencapai satu stasiun, satu tataran,
ataupun sebuah puncak, ternyata ia hanya sebuah pintu untuk masuk ke tataran,
stasiun, atau puncak yang baru. Karena
itu, pada akhirnya, saya memilih untuk menyatakan, bahwa saya memang belum
sampai ke akhir perjalanan. Dan karena
saya sadar tak akan pernah ada kata sampai, saya memilih untuk menikmati setiap
proses perjalanan beserta setiap stasiun, tataran, dan puncak yang dijumpai.
Saya menyadari bahwa tak ada jalan tunggal untuk semua
orang. Setiap pejalan spiritual memiliki
jalan unik; setiap penyeragaman hanya akan membonsaikan pertumbuhan spiritual
seseorang. Seseorang yang telah lebih
dahulu berjalan, memang dibutuhkan keberadaannya sebagai tempat kita bercermin,
dan menemukan inspirasi yang memberi terang pada perjalanan kita. Tapi, kita sama sekali tak bisa mengkloning
diri kita seperti dirinya. Kita adalah
kita; keberbedaan itu adalah keniscayaan.
Yang Mahatunggal memanifestasi dalam rupa yang tak terhitung; jalan yang
berbeda-beda adalah pencerminan dari Keberadaan-Nya yang bisa dijangkau dari
pintu-pintu yang tak berhingga jumlahnya.
Saya menyadari, jalan spiritual yang tepat untuk saya, belum
tentu tepat bagi orang lain. Karena itu,
saya tak berhak memaksa orang lain untuk mengikuti saya dan membuat orang lain
sama persis dengan saya. Dalam kaitannya
dengan orang lain, tugas kita sebatas berbagi pengalaman, dan biarkanlah orang
lain untuk berjalan sesuai petanya sendiri.
Pahit manis yang mereka rasakan, adalah pelajaran dari Sang Kehidupan
dan Sumber Hidup yang tak pantas untuk kita cegah menjumpai kehidupan mereka.
Tujuan Perjalanan Spiritual
Perjalanan spiritual, bagi saya, bertujuan untuk menggapai
hal yang praktis: damai dan tentram dalam hidup ini. Pada dasarnya, diri kita adalah Padang
Kurusetra, tempat Barata Yudha berkecamuk.
Kekuatan-kekuatan baik bertempur dengan kekuatan-kekuatan jahat. Selagi itu berlangsung, diri akan jauh dari
damai dan tenteram. Selagi diri
mengikuti tarikan amarah, ambisi, apalagi angkara, kita seolah memasuki lorong
tak berkesudahan. Dan yang dijumpai adalah
dahaga yang hampa. Demikian pengalaman
pribadi saya, saat membiarkan diri terombang-ambing oleh berbagai daya yang bergejolak.
Pada akhirnya, saya mengetahui bahwa rahasia damai dan
tenteram adalah berlaku seperti samudera yang tenang, yang mampu mendiamkan
semua daya dan emosi yang bergolak.
Untuk sampai pada tataran ini, pengalaman saya pribadi, ada
kalanya kita perlu merasakan sakit yang diakibatkan oleh pilihan kita untuk
membiarkan angkara menjadi pemimpin di dalam diri. Sakit itu yang mendorong kita mencari dan
menemukan jalan menuju kehidupan yang lebih sejati. Jadi, jangan terlalu kecewa pada diri
manakala pada suatu saat terjerembab dan terjebak pada dinamika jiwa yang
sebetulnya tidak begitu disukai; semua adalah pelajaran berharga. Belajar, bisa dilakukan dari dari sisi terang
maupun sisi gelap kehidupan.
Kejayaan Nusantara
Kejayaan Nusantara harus diawali dengan kemunculan
putra-putri Nusantara yang berani dan siap melakukan revolusi bathin. Hanya ketika para cerdik pandai, para
ksatria, bisa bertemu dengan diri sejatinya, tenggelam dalam kedamaian yang
permanen, dan sanggup “memadamkan ego” (menihilkan keinginan untuk “rumongso bener
dewe”, dan menihilkan segala bentuk keserakahan), fajar di Nusantara akan
menyingsing.
Kegemilangan Nusantara hanya bisa diraih melalui
kebersamaan. Dan kebersamaan bukan
diraih melalui keseragaman pendapat, keseragaman kesadaran spiritual, ataupun keseragaman
agama. Kebersamaan adalah buah dari
kewelasasihan dan ketulusan; saat orang-orang yang berbeda-beda mau
menanggalkan segala ‘ageman’ ketika sedang bersama, dan menyingkirkan dulu
segenap ‘kepentingan pribadi’, kebersamaan itu akan tumbuh secara alami.
Tetapi saat kita, baik sebagai individu maupun kelompok,
merasa di pihak yang benar (sendiri) dan menganggap pihak lain tak berarti;
sampai kapanpun kekuatan dahsyat yang kita miliki sebagai pewaris kebudayaan
nan luhur, tak akan muncul. Bukankah
kita terjajah karena kita terpecah belah?
Kedigdayaan kita tak berarti manakala kita tak bisa membangun
kebersamaan dengan komponen bangsa yang lain.
Mari, kita bangun kebersamaan; kita tumbuhkan persaudaraan
sejati; kita hidupkan gotong royong dalam segala bidang. Dan bersama kita songsong Nusantara baru, di
tahun 2013.
RAH AYU.
Post a Comment