Hidup,
tampaknya akan akan selamanya menghadirkan misteri. Selalu ada yang sulit dipahami dan belum
diketahui. Karena itulah, belajar terus
menerus, menggali terus menerus, adalah pilihan bijak pagi setiap pejalan
spiritual.
Seusai
mengalami pengalaman eksotis di Puncak Suroloyo Kulonprogo, sang kehidupan
hadir dengan serangkaian pertanyaan yang menggelisahkan. Ya...mendadak, saya mejadi seperti seorang
pembelajar pemula, yang harus mencari jawab tentang Tuhan, hidup, peran dalam
hidup, dan seterusnya. Rupanya, apa yang
sudah kita ketahui di masa silam, belum tentu telah merupakan kesejatian yang
bisa menjadi jawaban langgeng.
Hasrat
untuk menemukan jawaban, juga didorong oleh kehadiran peristiwa-peristiwa
kehidupan yang menguras emosi. Bahkan
membuat saya nyeletuk, Sang Kehidupan ini memang “suka usil”. Kita, sebagai anak-anak kehidupan, seringkali
dipaksa berjibaku untuk mempertahankan hal-hal yang berharga dalam hidup ini,
seperti keluarga, pekerjaan, dan semacamnya.
Dan
menurut saya bukanlah kebetulan, bahwa seiring dengan bergolaknya diri yang
mencari jawab atas banyak hal, saya digiring semesta untuk banyak manekung di
kaki Gunung Salak, tepatnya di Pura Parahyangan Agung Jagadkarta. Sejak awal Januari 2013, hampir setiap minggu
saya ke tempat yang teramat eksotis tersebut, kadang bahkan sampai
menginap.
Terakhir,
saya berkunjung ke Pura Parahyangan Agung Jagadkarta bersama Bu Ida Susweniati,
Mas Yohanes Kartiko, Bu Endang Cahyo, dan Mbak Niken. Dan kunjungan bertepatan dengan hari Kamis
Pahing menjelang Jumat Pon ini, tampaknya menjadi puncak dari sebuah siklus
perjalanan dan pencarian di kawasan Gunung Salak, sebagai salah satu gunung
yang dianggap sakral di Tatar Parahyangan.
Sekilas tentang Pura Parahyangan Agung
Jagadkarta
Pura yang saya kunjungi dan saya jadikan tempat
manekung, diberi nama “ PARAHYANGAN AGUNG JAGAT KARTTA”. Ini diambil dari
filosofi penciptaan alam semesta, dimana ketika Ida Sang Hyang Widhi Wasa
menciptakan alam semesta serta menurunkan ajaran Sang Hyang Catur Veda,
bergelar Sang Hayng Jagat Kartta. (Lontar Widhi Sastra Catur Veda Gria Aan
Kelungkung). Dan pura ini
sendiri mulai dirintis pembangunannya pada tahun 1995, dimulai dengan pendirian
sebuah candi yang diyakini sebagai petilasan Prabu Siliwangi, dan langkah itu
merupakan upaya penghormatan kepada leluhur Tatar Sunda.
Prabu Siliwangi
sendiri, adalah nama lain dari Sri Baduga Maharaja, yang terkenal dengan
Sesantinya “Tata Tentrem Kertha Raharja”, dan tercatat telah membawa zaman
keemasan bagi Pajajaran. Di kerajaan ini, kehidupan masyarakat dijalankan
sebagai penghormatan kepada ajaran leluhur “Sang Hyang Dharma dan Sang Hyang
Siksa”. Masa jaya Pajajaran berlangsung selama Pemerintahan beliau tahun
1482 – 1521. Dan dilanjutkan oleh putranya yang bernama RAJA SURAWISESA,
tahun 1521 – 1535. Demikian yang tertera pada batu bertulis di Jalan Batu
Tulis Bogor, yang dibuat pada tahun Saka 1455 atau 1533 M.
Secara lengkap,
pura nan eksotis di kaki Gunung Salak tersebut bernama “PARAHYANGAN AGUNG
JAGATKARTTA TAMANSARI GUNUNG SALAK”. PARAHYANAG
berarti tempat para Hyang/Widhi; AGUNG berarti besar, mulia; JAGAT berarti
bumi; KARTTA berarti lahir, muncul, TAMANSARI berarti tempat yang indah, yang
kebetulan juga nama Kecamatan, lokasi Pura ini didirikan.
Keseluruhan
nama tersebut mangandung makna : “Pura ini adalah tempat yang indah dan mulia sebagai
Stana Tuhan Yang Maha Agung, yang berlokasi di Kecamatan Tamansari Gunung
Salak, Bogor Jawa Barat.
Satu hal yang
sangat menarik dari pura ini, adalah bahwa ia seperti menjadi rumah bagi semua
orang. Pihak pengelola pura membuka diri
terhadap kedatangan pengunjung dengan latar belakang agama bahkan etnis
apapun. Siapapun yang memang berniat ke
sana untuk mengolah bathin, manekung, maneges, atau untuk bertemu dan menjalankan
dawuh leluhur, bisa masuk ke Mandala Utama.
Seperti yang saya saksikan sendiri, pada satu kunjungan, seusai meditasi
di Mandala Utama, saya mengobrol dengan Mangku Darsa dan Mangku Linggih yang
tengah bertugas. Lalu, datang seorang
laki-laki berusia sekitar 50-an tahun, disertai istrinya, minta ijin untuk
hening di situ. Rupanya, ia mendapatkan
pesan lewat mimpi, untuk menjumpai leluhurnya yang akan hadir ke situ. Padahal, leluhurnya bukan orang Sunda,
melainkan dari salah satu suku tua di Sulawesi Utara.
Untuk para
pengunjung yang sekadar ingin menikmati keindahan kawasan pura juga
diperbolehkan. Tapi hanya sampai di
Mandala Tengah, di mana ada Palinggihan Sri Ganesha dan Palinggihan Ratu Agung
Dalem Ped. Kadang, ada pengunjung yang
bertindak lucu. Suatu waktu, saya
bertemu dengan dua orang remaja putri, mereka tiba di pelataran terbawah, lalu
dengan santai hendak naik ke atas, sambil bertanya ke petugas yang ada, “Ini
tempat apaan ya? Kalau di atas, ada apa
ya?” He, he, he, he..ya, pertanyaan yang
wajar sebetulnya, tapi membuat saya tak urung tertawa kecil....
Di Palinggihan Sri Ganesha
Pada kunjungan
terakhir saya, seperti biasa, saya dan rombongan mulai manekung di Palinggihan
Sri Ganesha. Tentunya, terlebih dahulu
kami menyiapkan ubo rampe dan membakar dupa.
Itu merupakan merupakan bentuk penghormatan kepada titah urip yang
menempati strata lebih tinggi, seperti para Dewa/Betara dan Leluhur, sekaligus
sebagai upaya untuk menghadirkan energi positif yang mendukung prosesi manekung.
Seperti dipaparkan cukup lengkap di situs Wikipedia, Sri Ganesta sendiri
dikenal dalam tradisi spiritual India sebagai Dewa Pengetahuan Dan Kecerdasan, Dewa
Pelindung, Dewa Penolak Bala/Bencana dan Dewa Kebijaksanaan. Dalam tradisi pewayangan, ia disebut Bhatara
Gana, dan dianggap merupakan salah satu putera Bhatara Guru (Siwa).
Secara umum, Ganesa
digambarkan berkepala gajah dengan perut buncit. Patungnya memiliki empat
lengan, yang merupakan penggambaran utama tentang Ganesa. Dia membawa patahan
gadingnya dengan tangan kanan bawah dan membawa kudapan manis, yang ia comot
dengan belalainya, pada tangan kiri bawah. Motif Ganesa yang belalainya
melengkung tajam ke kiri untuk mencicipi manisan pada tangan kiri bawahnya
adalah ciri-ciri yang utama dari zaman dulu. Patung yang lebih primitif di Gua
Ellora dengan ciri-ciri umum tersebut, ditaksir berasal dari abad ke-7.[13]
Dalam perwujudan yang biasa, Ganesa digambarkan memegang sebuah kapak atau
angkusa pada tangan sebelah atas dan sebuah jerat pada tangan atas lainnya.
Ganesha juga
digambarkan memiliki rambut yang disanggul ke atas menyerupai mahkota.
Mahkota-nya berbentuk bulan sabit dan di atas bulan sabit ada tengkoraknya yang
disebut Ardhacandrakapala, sebagai pertanda bahwa adalah anak Dewa Siwa. Ciri
lainnya adalah trinetra, yang hanya dimiliki oleh Siwa dan Ganesha. Telinganya
telinga gajah, dengan belalainya. Belalainya selalu menuju ke kiri menghisap
madu yang ada di mangkuk pada tangan sebelah kirinya melambangkan karakter
kekanak-kanakan dalam diri Ganesha, yang menyatakan bahwa ia adalah seorang
anak. Mangkok tersebut kadangkala digambarkan sebagai batok kepala, batok
kepala yang dibelah. Simbol yang menggambarkan Ganesha sedang menyerap otak
(kepala). Ganesha disebut dewa ilmu
pengetahuan karena ganesha digambarkan sedang menyerap otak, dimana otak
digambarkan sebagai sumber asal akal manusia yang merupakan sumber ilmu pengetahuan.
Ganesha
memiliki 4 tangan atau disebut juga catur biuja. Hal inilah yang membedakan
manusia dengan dewa. Dari keempat tangan, tangan yang di depan sebelah kanan
membawa gading yang patah (ekadanta). Ada juga arca yang digambarkan utuh dan
ada juga yang digambarkan patah. Patahan gading itu dapat digunakan ganesha
untuk membunuh musuhnya.
Tangan sebelah
kanan belakang membawa tasbih, sementara tangan kiri belakang membawa kapak.
Sebagaimana penggambaran arca dewa lainnya, arca patung Ganesha memiliki
lingkaran suci atau cahaya di belakang kepalanya, dalam bahasa sansekerta
disebut Sirascakra (sira berarti kepala, cakra berarti roda atau lingkaran).
Namun demikian arca Ganesha ada yang digambarkan dengan sandaran dan tanpa
sandaran. Bila ditempatkan di tengah relung candi biasanya tidak memiliki
sandaran. Ganesha juga memiliki tali kasta atau Upawita ular, selain itu juga
dilengkapi dengan kalung, kelat bahu, gelang tangan dan gelang kaki.
Dalam tradisi
Kundalini Yoga, Ganesa menempati cakra pertama, yang disebut muladhara. Mula
berarti "asal, utama"; adhara berarti "dasar, pondasi".
Cakra muladhara adalah hal penting yang merupakan manifestasi atau pelebaran
pokok-pokok kekuatan ilahi yang terpendam. Hubungan Gansea dengan hal ini juga
diterangkan dalam Ganapati Atharwashirsa. Courtright menerjemahkan pernyataan
sebagai berikut: "[O Ganesa,] Engkau senantiasa menempati urat sakral di
pondasi tulang punggung [mūlādhāra cakra]." Maka dari itu, Ganesa memiliki
kediaman tetap dalam setiap makhluk yang terletak pada Muladhara. Ganesa
memegang, menopang dan memandu cakra-cakra lainnya, sehingga ia mengatur
kekuatan yang mendorong cakra kehidupan.
Yang perlu saya
jelaskan, adalah bagaimana sebetulnya kesadaran saya ketika manekung di
Palinggihan Sri Ganesha. Pertama, saya
menyadari, bahwa manusia bukan satu-satunya titah urip berkesadaran spiritual
tinggi di jagad raya ini. Di luar diri kita yang masih menyadang raga dan hidup
di muka bumi, ada entitas-entitas lain, termasuk para leluhur yang dulunya adalah
manusia seperti kita tetapi kini telah hidup di alam kalanggengan dengan raga
yang berbeda. Juga ada betara-betari,
dewa-dewi, yang merupakan manifestasi cahaya Hyang Yaktining Hurip. Maka, saya menjalankan laku penghormatan
kepada semua titah urip tersebut sebagaimana saya menghormati orang tua saya.
Kedua, ketika
saya manekung, orientasi saya adalah menumbuhkan kekuatan Sri Ganesha di dalam
diri saya. Saya menyadari, bahwa diri
ini adalah miniatur jagad raya, sebuah mikro kosmos. Apa yang ada di jagad raya, ada juga di dalam
diri ini. Maka, sebagaimana kekuatan Sri
Ganesha telah menjadi nyata di jagad raya, itu harus dijadikan nyata juga di
dalam diri.
Dan, tampaknya
juga bukan kebetulan, bahwa Sri Ganesha menempati posisi cakra muladara, pada
saat saya mendapatkan satu saran dari Mas Teguh Prihartanto – salah satu
sparring partner saya dalam mengasah bathin yang tinggal di Semarang, bahwa
saya mesti memantapkan cakra muladara atau cakra dasar, karena itu yang menjadi
fondasi kesetimbangan antara perjalanan spiritual dan “kehidupan nyata” ( di
mana saya harus tetap mencari nafkah, ngayomi keluarga, dan seterusnya).
Semesta Menunjukkan Keagungannya
Tuntas
manekung di Palinggihan Sri Ganesha, kami bergegas ke titik berikutnya,
Palinggihan Ratu Agung Dalem Ped.
Berhubung hujan, kami akhirnya memilih manekung di salah satu pendopo
yang ada di dekat palinggihan tersebut. Mula-mula,
hujan kecil saja. Tapi, lama-lama, hujan
menjadi sangat deras. Tak hanya itu,
petir mulai hadir, bersahut-sahutan, dengan kelebat cahaya yang menggetarkan
dan suara menggelegar. Saya pribadi
meneruskan manekung sembari menikmati suasana semesta yang demikian dahsyat
itu. Dan walau sudah manekung di
Pendopo, karena hujan sangat deras, tetap saja saya tersiram hujan. Dan saya biarkan muka dan rambut ini menjadi
basah. Saya menganggap itu sebagai air
anugerah, yang membantu pembersihan jiwa raga saya.
Dalam
suasana seperti itu, ketika kita menganggap diri sebagai satu sosok dalam
konstalasi semesta yang demikian komplek, tumbuh kesadaran bahwa kita hanyalah
satu noktak teramat kecil, yang demikian tak berdaya di hadapan semesta yang
agung. Tapi, ketika kita mengubah
pandangan, menjadi sadar bahwa ada kesatuan antara diri kita dengan semesta
itu, terasa betapa energi semesta yang dahsyat mulai mengalir dari kedalaman
diri.
Tuntas
manekung di pendopo tersebut, kami menunggu hujan agak mereda sehingga kami
bisa berjalan ke Mandala Utama. Kami
menunggu, sambil menikmati suasana..dan membiarkan berbagai kesadaran mengalir
ke dalam diri yang tengah “tenang”.
Begitu
hujan mulai mereda, kami bergegas naik ke atas.
Dan kembali kami memilih manekung di salah satu pendopo di Mandala
Utama. Usai menyiapkan uborampe dan
membakar dupa, kami mulai manekung. Dan
ternyata, hujan deras diiringi petir kembali muncul. Suasana dahsyat kembali hadir. Sungguh indah, manekung di tengah dinamika
semesta seperti itu.
Dalam
hening, saya mendapatkan kesadaran-kesadaran baru. Khususnya tentang apa yang mesti saya lakukan
sebagai dharma bakti kepada Ibu Pertiwi, juga tentang sikap yang harus saya
pegang teguh. Salah satunya adalah
penguatan kesadaran, bahwa laku satria pinandhita dijalankan tidak mesti
terkait dengan sebuah jabatan politik/formal.
Kita tetap bisa dan memang harus menjalankannya walau kita tetap “bukan
siapa-siapa”. Sebagai “orang biasa” kita
tetap bisa berkarya, memberikan pengayoman, sesuai kemampuan terbaik kita. Kepemimpinan bukanlah soal posisi, tapi soal
pengaruh, soal sumbangsih bagi perubahan.
Kita adalah pemimpin, ketika bisa menggulirkan perubahan dan memberi
pengaruh lewat berbagai cara kepada satu komunitas, kepada satu bangsa, walau
kita tak menduduki jabatan politik apapun.
Bahwa suatu saat kita mendapatkan mandat sebagai pemimpin formal di
lingkup komunitas, daerah, bangsa, biarlah itu terjadi secara alami, tanpa
mesti dikejar dan dihasrati secara emosional.
Ketika
manekung selesai, cuacapun ikut berubah.
Langit menjadi terang, dan hujan berhenti turun. Upacara, ataupun sebuah perayaan, yang
melibatkan berbagai unsur semesta, telah usai.
Kami perlahan-lahan keluar dari Mandala Utama, menuruni anak tangga yang
menghubungkan dengan Mandala Madya. Saya
sendiri, melangkah dengan rasa yang campur aduk...tapi, semua itu kemudian
dinetralisir oleh satu sikap pamungkas: sumeleh, pasrah.
BUTIR-BUTIR PENCERAHAN
Belakangan,
saya mulai masuk pada kesadaran, bahwa kita, sebagai manifestasi dari Gusti,
yang harus dilakukan adalah merealisasikan kehadiran Gusti itu sendiri. Kita harus bergerak dari ketidaksadaran
menuju kesadaran. Dalam hal ini, saya
kemudian menyadari, bahwa ada yang kurang pas dalam pandangan banyak orang
terhadap ritual, termasuk doa dan sembahyang.
Dalam
pengamatan saya, dasar orang berdoa atau bersembahyang adalah kesadaran akan
keterpisahan, antara Aku (Diri) dengan Tuhan (Hyang Yaktining Hurip). Maka, kita kemudian berupaya untuk menyatu,
antara lain melalui aneka ritual. Dalam
ritual, kita seperti membangun jembatan: jembatannya adalah sukma sejati itu,
karena dianggap sebagai bagian dari diri yang bisa sowan atau menghadap kepada
Gusti.
Jika
kita menukik lebih dalam, mereguk dan mengalami realitas, termasuk yang kita
sebut sebagai Tuhan itu, kita akan tahu bahwa Tuhan sejatinya tak pernah
terpisah. Kita saja yang malah
menyadarinya terpisah. Seperti
disampaikan oleh Mas Paulus Bambang Susetyo, “Manusia bernafas ... menarik
udara ke dalam paru-paru ... Apakah udara yang di luar tadi terpisah dengan
udara yang di dalam paru-paru ... ataukah realitasnya tetap terhubung?” Tentu saja, sebetulnya terhubung. Kita saja yang sering memiliki kesadaran yang
tak sesuai realitas. Lebih jauh, beliau
menyampaikan, “Orang berdoa ... sembahyang ... tujuan utama adalah semestinya
untuk PENYADARAN DIRI bahwa dirinya itu berada dalam GUSTI dan dirinya dipenuhi
GUSTI ... dengan realitas ini ... bagaimana GUSTI itu akan diSOSOKkan ...
bukankah GUSTI itu sebenarnya REALITAs dari EKSISTENSI tak terbatas ... lalu
bagaimana jika mesti dipaksa dibatasi dengan sosok ..?”
Ya,
menurut saya, jika kita terjebak dalam ritual yang didasari asumsi bahwa kita
sedang menyembah Tuhan yang ada di luar sana, kita bukannya malah sampai pada
kesejatian, tapi terus ada dalam kesadaran yang keliru karena fondasinya belum pas.
Tapi,
mohon jangan disalahpahami bahwa saya menganggap ritual itu buruk. Tidak, setiap orang punya tataran
masing-masing dan hidup sesuai tataran tersebut. Hanya, bagi mereka yang ingin mencapai
kesejatian, saran saya, ritual mesti dipahami sebagai latihan mencapai hening,
masuk ke dalam diri, menyadari kemanunggalan diri dengan Hyang Jagadnata,
dengan semesta ini dan segala unsurnya.
Lebih
jauh, ritual semestinya kita sadari sebagai upaya untuk mengakses pusat
kesadaran tertinggi, yang membuat kita menjadi lebih berdaya, lebih tahu, lebih
bijaksana. Ringkasnya, ritual tak lebih
dan tak kurang, adalah upaya untuk mengenali diri dengan segenap lapisannya. Dan agar itu sendiri, ritual yang kita
lakukan, mesti mencakup proses untuk mengubah lokus kesadaran dari pikiran ke
rahsa sejati. Gerbangnya adalah
menyadari segenap aliran nafas, lalu menyadari raga kita, bagian demi bagian,
lapisan demi lapisan, hingga kita bisa bertemu dengan yang ada di balik raga
itu. Saat kita menyadari kemanunggalan
dengan Diri Sejati, dan lalu kita mengalir sesuai arahannya, kita bisa memperbaharui
hidup sehingga hidup kita lebih sesuai dengan cetak biru kita sendiri.
Selanjutnya,
kita juga tak perlu terlalu terikat pada ritual, apalagi menganggap hanya satu
tata cara ritual yang benar dan menyalahkan lainnya. Pada kenyataannya, pencerahan bisa hadir
kapan saja dan di mana saja, karena hening bisa kita peroleh tak hanya ketika
ritual. Ketika kita duduk di angkutan
kota pun kita bisa hening dan mengundang pencerahan. Jika mau melakukan ritual, lakukanlah itu
seiring dengan getaran dari kedalaman jiwa.
Dan jangan jadikan ia sebagai momen terpisah dari waktu kehidupan
lainnya. Sebetulnya, semua detik
kehidupan kita adalah waktu untuk beritual.
Yang berbeda cuma bentuknya saja, esensinya adalah sama jika kita
menyadari bahwa setiap detik adalah kesempatan untuk terhubung dengan pusat
kesadaran tertinggi.
Demikian
yang bisa saya sampaikan, tak lupa saya sampaikan terima kasih kepada seluruh
sesepuh yang telah turut memberi penyadaran – termasuk Pak Bagyo, sesepuh Sapta
Dharma di Jakarta, yang wejangan-wejangannya sungguh menyentuh hati, juga
kepada seluruh teman seperjalanan yang tak bisa saya sebutkan satu persatu. Panjenengan semua sangat berarti bagi hidup
saya.
Matur
sembah nuwun. Rahayu sagung dumadi.
tema blog nya jadi keren sekarang pak setyo,,, hehhehehee,,, salam rahayu,,,
ReplyDeletekl bs aq usul mas styo, silakan mampir d klaten,cawas,dsun sepi,petilasan.ktmu dng juru kunci.moga dpt menemukan apa yg d cari.
ReplyDelete