Kita adalah permata. Kita adalah matahari. Kita adalah bulan. Kita hanya perlu berjalan, agar kecemerlangan,
dan cahaya, menyeruak dari kedalaman diri lalu membawa terang dalam kehidupan.
Tatar Sunda menyimpan banyak
pesona mistis. Kata Sunda, kini memang
telah mengalami penyempitan arti, sehingga sekarang hanya dimengerti sebagai
kawasan di Jawa Bagian Barat. Tapi,
dengan mengunjungi kabuyutan, pepunden, atau petilasan di Tatar Sunda, kita
seperti dibimbing untuk mengenali asal muasal Nusantara secara
keseluruhan. Sunda, tampaknya adalah
adalah bagian tak terpisahkan dari seluruh dinamika peradaban di
Nusantara. Ia adalah benih – atau cikal
bakal, dari peradaban di Nusantara yang kemudian berkembang dengan berbagai
ekspresi kebudayaannya.
Setelah kunjungan ke Pura
Parahyangan Jagad Agung Jagadkarta di kaki Gunung Salak, saya mengikuti suara
hati untuk mengunjungi Situs Lingga di kaki Gunung Ciremai. Saya beberapa kali mendapatkan informasi soal
situs ini, ketika saya berkunjung ke Situs Sanghyang Ci Arca, di Desa
Sagarahyang, Kuningan. Mang Tablo,
kuncen situs-situs di kawasan ini, menjelaskan bahwa Situs Lingga adalah jejak
dari peradaban SUnda Kuno. Posisinya ada di
atas Situs Sanghyang Ci Arca, sekitar 1,5 km ke arah Puncak Ciremai. Sanghyang Ci Arca sendiri merupakan cikal bakal kerajaan
Saunggalah Kuningan. Kerajaan Saungalah/Saunggaluh
didirikan sang Sang Maharesi Demunawan. Sang Demunawan adalah cucu dari Prabu Wreti Kandayun pendiri
kerajaan Galuh. Sang Demunawan adalah tokoh agung yang sangat religius sehingga
mendapat gelar MAHARESI DIRAJA. Resiguru
Demunawan di kenal juga sebagai Rahiyang
Takuku.
Naskah
berbahasa Sunda Kuna yang berasal dari abad ke-16 Masehi, Carita Parahyangan, membahas
tentang Kerajaan Galuh dan Sunda sejak lahir hingga keruntuhannya. Di dalamnya dibahas eksistensi Kerajaan
Saunggalah di bawah pemerintahan Resiguru Demunawan (disebut juga Sang
Seuweukarma, Rahiyang Takuku atau Sang Kuku). Naskah ini
diantaranya mengisahkan bahwa Resiguru Demunawan adalah raja yang bertakhta di
Saunggalah, masa pendirian kerajaan ini hampir bersamaan dengan masa awal
pemerintahan Sanjaya di Kerajaan Galuh, yaitu pada abad ke-8 Masehi. Demunawan
melakukan tugasnya sebagai seorang raja dengan baik, sehingga
membawa kesejahteraan bagi kerajaannya. Daerah kekuasaannya hampir
menyamai luas daerah taklukan Sanjaya. Sanjaya menghormati tokoh dari
Saunggalah ini, karena Demunawan adalah seorang tokoh keagamaan sekaligus juga
uwaknya.
Demikianlah, pagi hari saya
berangkat ke Sagarahyang, menggunakan sepeda motor. Satu hal yang membahagiakan, istri saya
membekali dengan nasi dan lauk pauknya.
“Untuk dimakan setelah naik gunung”, ujarnya. Uborampe berupa kembang beragam rupa, saya
beli di Pasar Cilimus. Sementara dupa
sudah ada; itu saya beli ketika berkunjung ke Pura Parahyangan Agung
Jagadkarta.
Setelah menyusuri jalan yang
mengitari Gunung Ciremai sekitar 1 jam, akhirnya saya tiba di rumah Mang
Tablo. Pada kunjungan sebelumnya
beberapa bulan lalu, di malam hari, saya tak bisa bertemu dengannya, sekaligus
tak jadi naik ke Situs Sanghyang Ci Arca.
Beruntung, kali ini saya bisa bertemu dengannya. Mang Tablo masih ada di rumah; malah masih
tidur ketika saya datang karena agak kurang enak badan.
Setelah berbincang-bincang
sejenak dengan Mang Tablo, termasuk menyampaikan salam saya kepadanya dari
Mangku Darsa – yang bertugas di Pura Parahyangan Agung Jagadkarta, saya
kemudian memulai misi perjalanan ke kabuyutan.
Sesuai saran Mang Tablo, saya datang ke Situs Sanghyang CI Arca dulu,
baru naik ke Lingga. Demikianlah sopan
santunnya; tak patut kita melewati begitu saja satu kabuyutan tanpa tegur sapa.
Dari rumah Mang Tablo, saya
masih bisa menggunakan sepeda motor.
Menyusuri jalanan yang sering dilewati para petani, sekaligus mobil
pengangkut hasil tani, saya meluncur menuju Situs Sanghyang Ci Arca. Saya parkir motor di mulut jalan setapak
menuju situs – di situ ada papan penunjuk lokasi Situs Sanghyang Ci Arca maupun
Situs Lingga. Selanjutnya saya berjalan
kaki – tentu setelah menghaturkan hormat kepada karuhun yang jumeneng di situ, dan
mohon diijinkan masuk ke lokasi situs.
Saat berada di lokasi Situs
Sanghyang Ci Arca, saya melihat pohon besar yang melintang menutupi jalan
menuju situs. Entah kapan pohon besar
ini roboh. Tapi, mudah sekali
melewatinya, bisa dengan menerobos bagian bawah atau meloncatinya. Setelah menyimak suasana sekeliling sejenak –
tentu sembari menikmati suasana dan hawa khas kabuyutan, saya bergegas
menyiapkan segala sesuatu terkait dengan prosesi manembah. Saya siapkan uborampe kembang beragam
rupa, lalu membakar dupa. Dan setelah itu saya memulai proses manembah:
menenangkan cipta atau pikir, menyapa leluhur dan menyampaikan rasa hormat,
lalu membiarkan diri ini tenggelam dalam keheningan. Saya bisa sampaikan, bahwa berada di
kabuyutan memberikan kenikmatan yang sulit dikatakan, maupun dituliskan. Dalam pengertian saya, kabuyutan adalah
representasi dari semesta dalam kondisinya yang masih murni, belum
terdistorsi. Meditasi atau manembah
memang bisa dimana saja. Tapi, tentu ada
perbedaan signifikan jika itu kita lakukan di simpul-simpul keselarasan energi
semesta, di tempat yang energinya masih murni.
Sejauh orientasi kita benar, meditasi atau manembah di kabuyutan atau
tempat-tempat sejenis, tentunya memberi manfaat besar. Di satu sisi, kita merajut tali asih dengan
para leluhur, karuhun, dengan para orang tua kita. Di sisi lain, kita mengalami pemurnian energi
– saat kita terkoneksi dengan energi semesta yang murni, maka raga kita, jiwa
kita, terdorong untuk juga menjadi lebih murni.
Usai meditasi di situs
Sanghyang Ci Arca, saya melanjutkan perjalanan ke Situs Lingga. Saya masih bisa melanjutkan perjalanan naik
motor, hingga bertemu dengan satu lahan yang dinaungi pohon teramat besar. Saya perkirakan, diameter pohon itu bisa
mencapai 3 meter. Tempat itu merupakan
simpul pengangkutan hasil tani warga Sagarahyang. Dari tempat tersebut, saya memasuki jalan
setapak, yang kanan kirinya adalah lahan pertanian milik warga. Setelah berjalan beberapa lama menyusuri
lahan pertanian warga, dan menyaksikan hamparan daun bawah, atau kol, saya
masuk ke kawasan padang ilalang. Saya
sempat nyasar sebentar, sebelum kemudian kembali ke jalur yang tepat setelah
bertanya kepada petani yang saya jumpai.
Jalanan setapak yang saya
lalui, tentu saja jalurnya menanjak. Di
beberapa tempat harus melewati lubang atau bagian yang curam. Setelah berjalan kurang lebih satu jam,
akhirnya saya menemukan kawasan yang lebih rimbun, dinaungi pohon-pohon
besar. Ternyata, di situlah letak situs
Lingga. Secara visual, situs Lingga ini
mirim dengan situs Gunung Padang yang sering saya lihat gambarnya di berbagai
media. Tapi, ukurannya jauh lebih kecil. Situs ini berupa gundukan tanah membentuk
piramin terpenggal, di mana di atasnya berserakan bebatuan kuno. Ini tampaknya yang disebut dengan peninggalan
masa megalitikum.
Suasana di situs ini, saat
saya tiba di sana, cukup sunyi. Semula
ada 2 orang yang saya jumpai, mereka tampaknya habis berjalan-jalan di kawasan
hutan. Tapi, tak lama kemudian mereka
turun ke desa. Dan tinggal sendiri di
situs tersebut. Suasana kesendirian ini merupakan
salah satu momen yang paling saya sukai.
Betapa damainya, dalam kesendirian dan kesunyian direngkuh semesta yang
lembut.
Setelah menyiapkan uborampe
dan membakar dupa, saya memulai prosesi manembah. Seperti biasa, saya menyampaikan ungkapan
hormat saya, kepada para leluhur atau karuhun, kepada padanyangan atau entitas
yang masing-masingnya menguasai kawasan tertentu dalam tatanan yang teratur
rapi di jagad raya ini. Dan setelah itu,
saya mengembangkan sikap sumeleh, masuk ke dalam keheningan, menikmati segenap
sensasi berada dalam kesunyian, di lereng Ciremai yang menentramkan.
Setelah duduk diam beberapa
saat, angin yang teramat dingin namun membawa sejuk, datang menerpa. Sambil menikmati sensasi diterpa angin yang menyejukkan itu,
saya melanjutkan meditasi. Saya biarkan
pikiran ini hening, dan jiwa ini terhubung dengan dimensi hidup di balik yang
ragawi. Saya coba membuka diri bagi segenap
kesadaran dan pencerahan yang terbit dalam momen-momen keheningan seperti itu.
Dalam perjalanan pulang, saya
mendapatkan hadiah untuk mata dan jiwa.
Dari lereng Ciremai, tampak menghampar Waduk Darma dan bukit-bukit hijau
yang mengelilingi Kota Kuningan. Demikian indah, demikian agung.
Pengelanaan Lanjutan
Pasca kunjungan ke Situs
Sanghyang Ci Arca dan Situs Lingga, saya berkesempatan mengunjungi Pura
Parahyangan Agung Jagadkarta dua kali.
Kali pertama sendirian, sementara pada kesempatan kedua, bersama
rombongan: Bli Danu, Bu Ida, Mas Ruddy dan Mbak Sukma. Pada kesempatan kedua, ada hal-hal baru yang
saya peroleh. Ternyata, ada satu titik
yang terkait dengan sejarah awal pembangunan Parahyangan Agung Jagadkarta, dan
semestinya, dari situlah proses manembah bermula. Itu adalah Pura Pasar Agung/Melanting, yang
berada di sisi rumah Ibu Made, Jero Mangku di situ, yang terlibat dalam
pembangunan pura sejak tahap-tahap awal.
Sayang sekali, karena dibangun satu poros jalan utama langsung menuju ke
pelataran di bawah patung Ganesha, hanya sebagian pengunjung yang tahu soal
keberadaan tempat tersebut.
Dalam kunjungan bersama
rombongan kali ini, saya menjalani proses manembah/sembahyang ala tradisi
Hindu, lengkap dengan percikan tirta suci serta pemberian butiran beras untuk
ditempelkan di dahi dan pangkal tenggorokan, juga ditelan. Saya pribadi, menikmati semua bentuk liturgi
atau ritual, sepanjang itu kemudian tidak menjadi sesuatu yang mekanis.
Semua prosesi yang dipandu
oleh Bli Danu yang juga seorang Mangku tersebut – saya jalani dalam suasana
batin yang demikian damai. Senja yang
menyergap, juga gerimis yang membasahi raga, menjadi instrumen semesta yang
menarik diri ini tenggelam dalam keheningan dan kesyahduan. Ya, momen-momen seperti inilah yang membuat
saya ketagihan untuk datang dan datang lagi ke tempat-tempat seperti Pura
Parahyangan Agung Jagadkarta.
Lebih jauh, baik juga jika
saya berbagi, bahwa dalam hal ritual, manembah, sembahyang, maupun meditasi,
setiap orang punya kesadaran maupun orientasi berbeda-beda. Dan saya pernah menjalani berbagai kesadaran
maupun orientasi itu. Ada kalanya, saya
mengunjungi tempat-tempat sakral, karena mencari momen penghiburan untuk hati
yang sedang berduka. Atau, saya mencari
mukzizat untuk mengatasi problem-problem keseharian yang tak kuasa saya
selesaikan secara rasional. Adakalanya,
saya bertujuan mendapatkan dukungan untuk mewujudkan berbagai hasrat dan
keinginan. Namun, pada kunjungan
terakhir saya ke Pura Parahyangan Agungjagadkarta, saya hadir dengan orientasi berbeda.
Pertama, menghaturkan sembah bakti kepada para leluhur dan padanyangan yang
langsung maupun tak langsung memiliki keterkaitan dengan hidup saya. Kedua, saya mencari tempat yang saya anggap
pas untuk melemparkan diri saya dalam rengkuhan Semesta, yang memanifestasi
sebagai Bapa Angkasa dan Ibu Pertiwi, dengan keberserahdirian sepenuhnya, agar
saya bisa merasakan Kasih Murni yang memperharui hidup dan menyirnakan semua
beban. Ketiga, saya juga mencari tempat
yang pas untuk latihan membangkitkan daya kuasa dan daya cipta di dalam diri
saya. Untuk semua orientasi tersebut,
saya memandang kaki Gunung Salak sebagai tempat yang pas. Orientasi yang berbeda sebagaimana
digambarkan di atas, sejatinya adalah cerminan dari jiwa yang terus
bertumbuh. Pada tahap awal, jiwa
demikian kuat keakuannya, segala sesuatu termasuk ritual diarahkan untuk
memenuhi hasrat keakuan atau egonya.
Tapi, semakin lama, jiwa makin sadar bahwa ketulusan atau tindakan tanpa
pamrih adalah kebajikan utama, dan itu mesti melandasi satu prosesi
manembah. Lebih jauh lagi, pasca
keberserahdirian, kita menyadari bahwa setiap manusia, memiliki apa yang
disebut oleh sahabat dari Kahlil Gibran, Mikail Naimy: Kata-kata atau Sabda
yang berdayacipta. Doa, bukan lagi
peristiwa meminta. Tapi ia adalah
beristiwa jiwa yang bersabda dan mencipta, dalam rangka memenuhi misi hamemayu
hayuning bawono. Itu dimungkinkan,
seiring dengan kesadaran akan keberadaan Sang Misteri, Nothingness, yang
menjadi intisari sosok manusia.
Renungan Lebih Jauh Soal Ritual
Ritual, liturgi,
persembahyangan, kiranya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari setiap
institusi agama maupun metode spiritual.
Seiring perjalanan spiritual saya yang kian beragam, muncul kesadaran
baru mengenai soal ini. Dalam satu momen
beberapa waktu lalu, mendadak hadir kilatan kesadaran, bahwa ritual, liturgi
maupun persembahyangan yang keliru orientasi, malah bisa menyebabkan kemunduran
spiritual. Misalkan saja, ketika satu
ritual didasari satu asumsi ada satu sosok Tuhan di luar diri yang perlu
disembah. Bagi saya, hal demikian malah
menebalkan ilusi; membuat diri kita makin membenarkan sesuatu yang tidak ada
realitas faktualnya. Sejatinya, tidak
ada sosok Tuhan di luar diri manusia yang perlu kita sembah. Sejauh kita memahami Tuhan sebagai Keberadaan
yang menyeluruh, maka sejatinya tak ada jarak antara kita dan Tuhan. Ibarat ikan dan air, demikianlah ilustrasi
sederhana antara Tuhan dan manusia.
Tuhan meliputi manusia: Tuhan ada di dalam sekaligus di luar diri
manusia. Sehingga, menurut hemat saya,
lebih tepat jika kita mengorientasikan sebuah ritual, untuk mencapai keheningan
dan kesadaran yang sejati akan Keberadaan.
Kita masuk ke dalam diri sekaligus menjelajah keluar diri, untuk
mengerti jagad alit dan jagad ageng apa adanya.
Ritual yang dihayati sebagai
penyembahan untuk sesuatu yang diproyeksikan oleh pikiran kita sendiri, bisa
saja membawa kedamaian. Karena setiap
laku pembacaan mantra dan olah nafas, secara umum akan berimbas pada
terciptanya relaksasi jiwa yang mendamaikan.
Tapi, jika orientasi demikian diteruskan, tak akan membawa kita pada
tujuan paripurna dari sebuah perjalanan spiritual. Lebih
dari itu, secara faktual, pola-pola ritual demikian juga malah menumbuhkan
hiearki dan struktur yang potensial mengungkung jiwa manusia. Manusia yang naturalnya bebas merdeka, kadang
harus terbelengu oleh kehadiran pribadi tertentu – semisal pemuka agama, atau
tokoh spiritual - yang menempatkan dan mencitrakan diri sebagai perantara
antara manusia dan sosok Tuhan yang diasumsikan ada jauh di luar sana.
Akan lebih baik, jika sebuah
ritual dihayati sebagai momen masuknya kita kedalam keheningan yang bermuara
pada kebangkitan sifat-sifat ilahi diri dalam diri kita. Dalam bahasa lain, ritual adalah jalan agar
kita bisa merasakan Kasih Murni, sebuah rengkuhan semesta, yang membuat diri
kita seperti terlahir kembali dan bebas dari segala beban. Terkait dengan ini, perlu kita sadari, bahwa
raga kita adalah manifestasi yang paling sempurna dari dimensi fisik semesta:
karena semua unsur semesta ada di dalam diri kita – api, air, angin,
tanah. Saat yang sama, jiwa kita adalah
manifestasi dari dimensi tan kasat mata dari semesta – Sang Misteri
mengejawantah dalam diri sejati kita. Maka, ritual adalah sebuah momen agar
kita bisa menyadari secara penuh semua realitas ini. Dan kesadaran penuh inilah yang menurut saya
disebut keadaan manunggaling kawula kalawan gusti, manunggaling jagad alit lan
jagad ageng.
Jika merujuk pada ajaran
KGPAA Mangkunegoro IV, sebuah ritual atau aktivitas sembah-manembah itu,
memiliki 4 tataran yang masing-masing punya kegunaan berbeda: sembah raga –
manembah yang menekankan aspek pengolahan raga, berguna untuk relaksasi raga
dengan segenap sel-selnya, yang bermuara pada kesehatan raga. Tataran kedua adalah sembah pikir – manembah
yang mulai diorientasikan untuk membuat pikiran menjadi lurus, terfokus, dan
rileks. Manfaat akhirnya adalah
tumbuhnya pikiran yang benar. Tataran
ketiga adalah sembah rasa, saat manembah diorientasikan untuk membawa emosi ke
titik kedamaian. Caranya ya dengan
mengolah rasa, mengelola emosi: segenap distorsi emosi seperti kebencian,
amarah, irihati, dan lainnya, dibakar, disirnakan, melalui penghadiran cahaya
kasih yang murni. Tataran ketiga, adalah
sembah sukma. Pada tataran ini, kita
masuk pada keheningan yang bermuara pada jiwa yang menyadari kesejatiannya. Pada titik ini, jiwa juga melepas segala
keterikatan, segala keakuan, lalu
melebur dengan semesta dan berbagai unsurnya.
Kita menjadi tiada, karena jagad alit sudah melebur dengan jagad
ageng. Tak ada lagi batasan-batasan yang
membentuk sang aku.
Terakhir, sejauh pengalaman
saya, sebuah ekstase ternyata tak mesti hadir lewat ritual. Kata kunci ekstase adalah situasi santai,
relaks. Maka ia bisa terjadi di mana
saja dan kapan saja. Demikian pengalaman
saya, di luar keadaan menjalankan ritual, sering mendadak hadir kebahagiaan tak
terperi, semangat yang membumbung, gairah yang meledak, tanpa latar dan tanpa
sebab.
ass....Hal yang tidak pernah terbayankan kini menjadi kenyataan kepada keluargaku,,,untuk AKI JOGO kami ucapkan banyak terimakasih karna berkat bantuannya ALHAMDULILLAH keluarga kami bisa lepas dari masala utang dan ,karna nomor “GAIB”untuk pasang togel,hasil ritual AKI JOGO meman benar2 merubah nasib kami hanya sekejap,dan disitulah aku berkesempatan kumpulkan uang untuk buka usaha kembali,karna rumah juga sudah disita,,warung makan jg sudah bangkrut,,tapi itu semua aku masih tetap bertahan hidup dengan anak istriku,,walau cuma ngontrak tapi aku tetap bersabar dan akhirnya AKI JOGO lah yang bisa merubah nasib kami..maka dari itu AKI JOGO orang paling bersejarah di keluargaku…!!!jadi kepada teman2 yang di lilit utang dan ingin merubah nasib seperti saya silahkan hub AKI JOGO di nomor: 0823 1090 1997 dengan penuh harapan INSYAH ALLAH pasti tercapai.sekian kata hati saya yang sejujurnya
ReplyDeletetampah ada rekayasa...salam kenal dan salam lakomsel...
tankssss..roomnya sobat.>>>>