Bima (Sanskerta: Bhima) atau Bimasena (Sanskerta: Bhimaséna) adalah
putra Dewi Kunti dan dikenal sebagai tokoh Pandawa yang kuat, bersifat selalu
kasar dan menakutkan bagi musuh, walaupun sebenarnya hatinya lembut. Ia
merupakan keluarga Pandawa di urutan yang kedua, dari lima bersaudara. Saudara
se’ayah’-nya ialah wanara yang terkenal dalam epos Ramayana dan sering
dipanggil dengan nama Hanoman. Akhir dari riwayat Bima diceritakan bahwa dia
mati sempurna (moksa) bersama ke empat saudaranya setelah akhir perang
Bharatayuddha. Cerita ini dikisahkan dalam episode atau lakon Prasthanikaparwa.
Bima setia pada satu sikap, yaitu tidak suka berbasa basi dan tak pernah
bersikap mendua serta tidak pernah menjilat ludahnya sendiri.
Ia memiliki keistimewaan dan ahli bermain gada, serta memiliki
berbagai macam senjata, antara lain: Kuku Pancanaka, Gada Rujakpala, Alugara,
Bargawa (kapak besar) dan Bargawasta. Sedangkan jenis ajian yang dimilikinya
antara lain: Aji Bandungbandawasa, Aji Ketuklindu, Aji Bayubraja dan Aji Blabak
Pangantol-antol.
Bima juga memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran, yaitu:
Gelung Pudaksategal, Pupuk Jarot Asem, Sumping Surengpati, Kelatbahu
Candrakirana, ikat pinggang Nagabanda dan Celana Cinde Udaraga. Sedangkan
beberapa anugerah Dewata yang diterimanya antara lain: Kampuh atau Kain Poleng
Bintuluaji, Gelang Candrakirana, Kalung Nagasasra, Sumping Surengpati dan Pupuk
Pudak Jarot Asem.
Fragmen Kehidupan
Dalam wiracarita Mahabharata diceritakan bahwa karena Pandu tidak
dapat membuat keturunan (akibat kutukan dari seorang resi di hutan), maka Kunti
(istri Pandu) berseru kepada Bayu, dewa angin. Dari hubungan Kunti dengan Bayu,
lahirlah Bima. Atas anugerah dari Bayu, Bima akan menjadi orang yang paling kuat
dan penuh dengan kasih sayang.
Pada masa kanak-kanak Pandawa dan Korawa, kekuatan Bima tidak ada
tandingannya di antara anak-anak sebayanya. Kekuatan tersebut sering dipakai
untuk menjahili para sepupunya, yaitu Korawa. Salah satu Korawa yaitu Duryodana,
menjadi sangat benci dengan sikap Bima yang selalu jahil. Kebencian tersebut
tumbuh subur sehingga Duryodana berniat untuk membunuh Bima.
Pada suatu hari ketika para Korawa serta Pandawa pergi bertamasya di
daerah sungai Gangga, Duryodana menyuguhkan makanan dan minuman kepada Bima,
yang sebelumnya telah dicampur dengan racun. Karena Bima tidak senang
mencurigai seseorang, ia memakan makanan yang diberikan oleh Duryodana. Tak
lama kemudian, Bima pingsan. Lalu tubuhnya diikat kuat-kuat oleh Duryodana dengan
menggunakan tanaman menjalar, setelah itu dihanyutkan ke sungai Gangga dengan
rakit. Saat rakit yang membawa Bima sampai di tengah sungai, ular-ular yang
hidup di sekitar sungai tersebut mematuk badan Bima. Ajaibnya, bisa ular
tersebut berubah menjadi penangkal bagi racun yang dimakan Bima. Ketika sadar,
Bima langsung melepaskan ikatan tanaman menjalar yang melilit tubuhnya, lalu ia
membunuh ular-ular yang menggigit badannya. Beberapa ular menyelamatkan diri
untuk menemui rajanya, yaitu Naga Basuki.
Saat Naga Basuki mendengar kabar bahwa putera Pandu yang bernama
Bima telah membunuh anak buahnya, ia segera menyambut Bima dan memberinya
minuman ilahi. Minuman tersebut diminum beberapa mangkuk oleh Bima, sehingga
tubuhnya menjadi sangat kuat. Bima tinggal di istana Naga Basuki selama delapan
hari, dan setelah itu ia pulang. Saat Bima pulang, Duryodana kesal karena orang
yang dibencinya masih hidup. Ketika para Pandawa menyadari bahwa kebencian
dalam hati Duryodana mulai bertunas, mereka mulai berhati-hati.
Pada usia remaja, Bima dan saudara-saudaranya dididik dan dilatih
dalam bidang militer oleh Drona. Dalam mempelajari senjata, Bima lebih
memusatkan perhatiannya untuk menguasai ilmu menggunakan gada, seperti
Duryodana. Mereka berdua menjadi murid Baladewa, yaitu saudara Kresna yang
sangat mahir dalam menggunakan senjata gada. Dibandingkan dengan Bima, Baladewa
lebih menyayangi Duryodana, dan Duryodana juga setia kepada Baladewa.
Ketika para Bima beserta ibu dan saudara-saudaranya berlibur di
Waranawata, ia dan Yudistira sadar bahwa rumah penginapan yang disediakan untuk
mereka, telah dirancang untuk membunuh mereka serta ibu mereka. Pesuruh
Duryodana, yaitu Purocana, telah membangun rumah tersebut sedemikian rupa
dengan bahan seperti lilin sehingga cepat terbakar. Bima hendak segera pergi,
namun atas saran Yudistira mereka tinggal di sana selama beberapa bulan.
Pada suatu malam, Kunti mengadakan pesta dan seorang wanita yang
dekat dengan Purocana turut hadir di pesta itu bersama dengan kelima orang
puteranya. Ketika Purocana beserta wanita dan kelima anaknya tersebut tertidur
lelap karena makanan yang disuguhkan oleh Kunti, Bima segera menyuruh agar ibu
dan saudara-saudaranya melarikan diri dengan melewati terowongan yang telah
dibuat sebelumnya. Kemudian, Bima mulai membakar rumah lilin yang ditinggalkan
mereka. Oleh karena ibu dan saudara-saudaranya merasa mengantuk dan lelah, Bima
membawa mereka sekaligus dengan kekuatannya yang dahsyat. Kunti digendong di
punggungnya, Nakula dan Sadewa berada di pahanya, sedangkan Yudistira dan
Arjuna berada di lengannya.
Ketika keluar dari ujung terowongan, Bima dan saudaranya tiba di
sungai Gangga. Di sana mereka diantar menyeberangi sungai oleh pesuruh Widura,
yaitu menteri Hastinapura yang mengkhwatirkan keadaan mereka. Setelah
menyeberangi sungai Gangga, mereka melewati Sidawata sampai Hidimbawana. Dalam
perjalanan tersebut, Bima memikul semua saudaranya dan ibunya melewati jarak
kurang lebih tujuh puluh dua mil.
Di Hidimbawana, Bima bertemu dengan Hidimbi/arimbi yang jatuh cinta
dengannya. Kakak Hidimbi yang bernama Hidimba, menjadi marah karena Hidimbi
telah jatuh cinta dengan seseorang yang seharusnya menjadi santapan mereka.
Kemudian Bima dan Hidimba berkelahi. Dalam perkelahian tersebut, Bima
memenangkan pertarungan dan berhasil membunuh Hidimba dengan tangannya sendiri.
Lalu, Bima menikah dengan Hidimbi. Dari perkawinan mereka, lahirlah seorang
putera yang diberi nama Gatotkaca. Bima dan keluarganya tinggal selama beberapa
bulan bersama dengan Hidimbi dan Gatotkaca, setelah itu mereka melanjutkan
perjalanan.
Setelah melewati Hidimbawana, Bima dan saudara-saudaranya beserta
ibunya tiba disebuah kota yang bernama Ekacakra. Di sana mereka menumpang di
rumah keluarga brahmana. Pada suatu hari ketika Bima dan ibunya sedang sendiri,
sementara keempat Pandawa lainnya pergi mengemis, brahmana pemilik rumah
memberitahu mereka bahwa seorang raksasa yang bernama Bakasura meneror kota
Ekacakra. Atas permohonan penduduk desa, raksasa tersebut berhenti mengganggu
kota, namun sebaliknya seluruh penduduk kota diharuskan untuk mempersembahkan
makanan yang enak serta seorang manusia setiap minggunya. Kini, keluarga
brahmana yang menyediakan tempat tinggal bagi mereka yang mendapat giliran
untuk mempersembahkan salah seorang keluarganya. Merasa berhutang budi dengan
kebaikan hati keluarga brahmana tersebut, Kunti berkata bahwa ia akan
menyerahkan Bima yang nantinya akan membunuh raksasa Baka. Mulanya Yudistira
sangsi, namun akhirnya ia setuju.
Pada hari yang telah ditentukan, Bima membawa segerobak makanan ke
gua Bakasura. Di sana ia menghabiskan makanan yang seharusnya dipersembahkan
kepada sang raksasa. Setelah itu, Bima memanggil-manggil raksasa tersebut untuk
berduel dengannya. Bakasura yang merasa dihina, marah lalu menerjang Bima.
Seketika terjadilah pertarungan sengit. Setelah pertempuran berlangsung lama,
Bima meremukkan tubuh Bakasura seperti memotong sebatang tebu. Lalu ia menyeret
tubuh Bakasura sampai di pintu gerbang Ekacakra. Atas pertolongan dari Bima,
kota Ekacakra tenang kembali. Ia tinggal di sana selama beberapa lama, sampai
akhirnya Pandawa memutuskan untuk pergi ke Kampilya, ibukota Kerajaan Panchala,
karena mendengar cerita mengenai Dropadi dari seorang brahmana.
Bima dalam Bharatayuddha
Dalam perang di Kurukshetra, Bima berperan sebagai komandan tentara
Pandawa. Ia berperang dengan menggunakan senjata gadanya yang sangat
mengerikan.
Pada hari terakhir Bharatayuddha, Bima berkelahi melawan Duryodana
dengan menggunakan senjata gada. Pertarungan berlangsung dengan sengit dan
lama, sampai akhirnya Kresna mengingatkan Bima bahwa ia telah bersumpah akan
mematahkan paha Duryodana. Seketika Bima mengayunkan gadanya ke arah paha
Duryodana. Setelah pahanya diremukkan, Duryodana jatuh ke tanah, dan beberapa
lama kemudian ia mati.
Istri dan keturunan
Bima tinggal di kadipaten Jodipati, wilayah Indraprastha. Ia
mempunyai tiga orang isteri dan 3 orang anak, yaitu:
- Dewi Nagagini, berputera (mempunyai putera bernama) Arya Anantareja,
- Dewi Arimbi, berputera Raden Gatotkaca dan
- Dewi Urangayu, berputera Arya Anantasena.
Menurut versi Banyumas, Bima mempunyai satu istri lagi, yaitu Dewi
Rekatawati, berputera Srenggini.
Nama lain
- Bratasena
- Balawa
- Birawa
- Dandungwacana
- Nagata
- Kusumayuda
- Kowara
- Kusumadilaga
- Pandusiwi
- Bayusuta
- Sena
- Wijasena
- Jagal Abilowo
Aktualisasi Spirit Bima
Kelugasan dalama berbahasa dan keterusterangan
dalam bersikap, ada kalanya menjadi sesuatu yang langka. Yaitu
ketika kebanyakan orang memilih bersikap sebaliknya untuk alasan-alasan yang
egoistik. Di kantor, di lingkungan
sosial, didorong motif untuk tetap “aman dan untung”, orang bisa berkata tidak
sesuai dengan yang dipikirkannya, atau bertindak berbeda dengan apa yang
dianggapnya benar. Maka kehidupanpun berjalan penuh kepalsuan, dunia ibarat
panggung sandiwara para aktor bertopeng.
Saat itulah, karakter Bima menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan.
Kelugasan dan sikap apa adanya dari seorang Bima,
perlu dihidupkan untuk membongkar dunia yang sedang tenggelam dalam kepalsuan. Jiwa ksatria seorang Bima yang berani
memberontak terhadap kehipokritan (yang seringa mengatasnamakan harmoni sosial),
hemat saya, sangat mendesak dimunculkan pada saat ini. Berani berbeda atas dasar kesadaran dan
keteguhan memegang prinsip hidup, adalah dharma
seorang ksatria dalam menjalankan fungsi hamemayu hayuning bawono di dunia yang dipenuhi kerumunan – yaitu orang-orang
yang cenderung mengikuti begitu saja apa yang dianggap baik dan benar oleh kebanyakan
orang.
Spirit Bima juga bisa diaktualisasikan melalui
sikap pembelaan yang total terhadap kehormatan keluarga dan bangsa. Bima, dalam cerita pewayangan, dikenal
sebagai sosok pelindung bagi saudara-saudaranya. Ia rela mengorbankan dirinyaa demi
keselamatan saudara-saudaranya.
Lagi-lagi, jiwa patriotik seperti ini sangat berharga untuk ditampilkan
dewasa ini.
Berikutnya, spirit Bima yang layak mewarnai
kehidupan kita adalah keberanian dan keteguhan dalam mengarungi perjalanan
untuk menemukan kesejatian hidup. Bima
adalaha lakon utama dalam lakoan Dewa Ruci.
Dalam lakon ini, Guru Durna memberitahukan Bima
untuk menemukan air suci Prawitasari.
Prawita dari asal kata Pawita artinya bersih, suci; sari. Jadi
Prawitasari pengertiannya adalah inti atau sari dari pada ilmu suci. Itulah
perjalanan yang harus ditempuh oleh Bima dalam lakon Dewa Ruci yaitu menemukan
inti dari ilmu sejati.
Air suci itu dikatakan berada dihutan Tikbrasara, dilereng Gunung
Reksamuka. Tikbra artinya rasa prihatin. Sara berarti tajamnya
pisau, ini melambangkan pelajaran untuk mencapai lendeping cipta (mempertajam cipta). Maka Tikbrasara dapat diartikan
adalah kegiatan memprihatinkan diri untuk mengolah rasa agar dapat mempertajam
cipta.
Reksa berarti mamelihara atau mengurusi; muka adalah wajah, jadi yang dimaksud dengan Reksamuka dapat diartikan: mencapai sari ilmu sejati melalui meditasi dengan cara memperhatikan pikirannya sendiri, memperhatikan dirinya sendiri, memperhatikan wajahnya sendiri.
Reksa berarti mamelihara atau mengurusi; muka adalah wajah, jadi yang dimaksud dengan Reksamuka dapat diartikan: mencapai sari ilmu sejati melalui meditasi dengan cara memperhatikan pikirannya sendiri, memperhatikan dirinya sendiri, memperhatikan wajahnya sendiri.
Perjalanan awal Bima dalam lakon ini adalah mengolah diri dengan menjalankan laku prihatin dan menumbuhakan
kesadaran tentang dirinya sendiri, termasuk unsur-unsur dirinya.
Diceritakan juga, saat mencari Tirta Perwitasari
ini, di hutan, Bima diserang oleh dua raksasa yaitu
Rukmuka dan Rukmala. Dalam pertempuran yang hebat Bima berhasil membunuh
keduanya, ini berarti Bima berhasil menyingkirkan halangan agar dalam proses penemuan kesejatian diri.
Rukmuka : Ruk berarti rusak, ini melambangkan hambatan yang berasal dari
kemewahan makanan yang enak (kemukten). Rukmakala : Rukma berarti emas, kala adalah bahaya, menggambarkan halangan
yang datang dari kemewahan kekayaan material antara lain: pakaian, perhiasan
seperti emas permata dan lain-lain (kamulyan
jasad). Seorang Bima ternyata berani untuk
membebaskan diri dari kemelekatan terhadap gemerlap duniawi tersebut. Dia menggenggamnya tapi tak terikat olehnya.
Lebih jauh, Bima masuk ke dalam samudera dan bertarung dengan ular nan besar. Ular adalah simbol
dari kejahatan atau kelicikan yang
ada di dalam diri sendiri. Bima membunuh ular tersebut
dalam satu pertarungan yang seru. Itu
adalah gambaran untuk proses menjinakkan potensi-potensi kejahatan yang
sewajarnya ada dalam setiap pribadi.
Dalam proses ini, tentunya ada resiko penderitaan yang perlu
ditanggung. Menaklukkan kejahatan diri
pada awalnya memang membuat kita menderita, sekalipun ujungnya adalah
kebahagiaan tak terkira.
Dalam bahasa lain, Bima adalah karakter orang yang
telah sanggup keluar dari rumah egonya.
Ia melampaui belengu pikiran, kebiasaan, kenangan, dan tampil sebagai
pribadi yang merdeka sepenuhnya.
Lebih jauh, Bima kemudian bisa tampil sebagai
sosok dengan nilai-nilai keluhuran:
Rila: dia tidak susah apabila kekayaannya berkurang dan tidak iri kepada
orang lain.
Legawa: lapang dada terhadap peristiwa-peristiwa yang kadang tidak sesuai yang direncanakan atau diharapkan.
Legawa: lapang dada terhadap peristiwa-peristiwa yang kadang tidak sesuai yang direncanakan atau diharapkan.
Nrima: menerima kenyataan hidup
tanpa keluhan karena sadar bahwa demikianlah kehidupan yang sewajarnya dijalani
sebagai buah dari perilakunya sendiri.
Eling: selalu sadar terhadap diri dan kehidupannya
Eling: selalu sadar terhadap diri dan kehidupannya
Sesudah Bima membunuh ular dengan menggunakan kuku Pancanaka, Bima
bertemu dengan Dewa kecil yaitu Dewa Suksma Ruci yang rupanya persis seperti
dirinya hanya berukuran sebesar ibujari. Bima memasuki raga Dewa Suksma Ruci
melalui telinganya yang sebelah kiri. Di dalam, Bima bisa melihat dengan jelas
seluruh jagad raya, seluruh semesta raya, bahkan Bima menyaksikan bagaimana
kehidupan ini tercipta. Disini adalah
pertemuan agung dimana Bima bertemu dengan dirinya sendiri yang sejati.
Demikianlah, bagi siapapun yang hidup di masa
kini, spirit Bima bisa diaktualisasikan melalui keberanian untuk keluar dari
zona nyaman, dari rutinitas, dan tidak berpuas diri dengan hal-hal yang
dianggap kebanyakan orang sebagai tujuan hidup: karier mapan, jabatan, dan
semacamnya. Spirit Bima adalah spirit
untuk terus menemukan kesejatian: keadaan dimana seseorang bisa meraih
keberdayaan dan kebahagiaan yang sesungguhnya.
Post a Comment