Adipati Karna adalah saudara
tiri para Pendawa. Ia adalah putra Dewi
Kunti dan berayahkan Betara Surya. Dalam
Bharata Yudha, ia menjadi senopati utama menggantikan Resi Drona, dan kemudian
tewas di tangan Arjuna setelah sebelumnya sempat menundukkan Gatotkaca, putra
Bima. Ia dikenang dalam memori pecinta
wayang sebagai ksatria yang tahu membalas budi dan berani berkorban demi
tegaknya kebenaran.
Fragmen Kehidupan
Mahabharata bagian pertama atau Adiparwa mengisahkan
seorang putri bernama Kunti yang pada suatu
hari ditugasi menjamu seorang pendeta tamu ayahnya, bernama Resi Durwasa. Atas jamuan
itu, Durwasa merasa senang dan menganugerahi Kunti sebuah ilmu kesaktian
bernama Adityahredaya, semacam mantra untuk memanggil dewa dan mendapat
anugerah putra darinya.
Pada keesokannya
Kunti mencoba mantra tersebut sambil memandang matahari terbit.
Akibatnya, dewa penguasa matahari yaitu Surya pun muncul dan
siap memberinya seorang putra. Kunti yang ketakutan menolak karena ia
sebenarnya hanya ingin mencoba keampuhan Adityahredaya saja. Surya
menyatakan dengan tegas bahwa Adityahredaya bukanlah mainan. Dengan
sabda sang dewa, Kunti pun mengandung. Namun Surya juga membantunya segera
melahirkan bayi tersebut. Surya lalu kembali ke kahyangan setelah
memulihkan kembali keperawanan Kunti.
Sebuah lukisan dalam kitab Srimad Bhagawatam dari yayasan ISCKON, menggambarkan adegan saat Kunti memanggil Dewa Surya. Atas pemanggilan
tersebut, Kunti memperoleh putra yang kemudian dibuangnya ke sungai. putra
tersebut adalah Radheya, alias Karna.
Demi menjaga nama
baik negaranya, Kunti yang melahirkan
sebelum menikah terpaksa membuang "putra Surya" yang ia beri nama
Karna di sungai Aswa dalam sebuah keranjang. Bayi itu kemudian terbawa arus
sampai akhirnya ditemukan oleh Adirata yang bekerja
sebagai kusir kereta di Kerajaan Kuru (atau Kerajaan
Hastinapura). Adirata dengan gembira menjadikan bayi tersebut
sebagai anaknya. Karena sejak lahir sudah memakai pakaian perang lengkap dengan
anting-anting dan kalung pemberian Surya, maka bayi itu pun diberi nama Basusena.
Basusena pun
diasuh dan dibesarkan dalam keluarga Adirata, sehingga ia dikenal dengan
julukan Sutaputra (anak kusir). Namun, julukan lainnya yang lebih
terkenal adalah Radheya, yang bermakna "anak Radha" (istri
Adirata). Meskipun tumbuh dalam lingkungan keluarga kusir, Radheya justru
berkeinginan menjadi seorang perwira kerajaan. Adirata pun mendaftarkannya ke
dalam perguruan Resi Drona yang saat itu
sedang mendidik para Pandawa dan Korawa.
Akan tetapi,
Drona menolak menjadikan Radheya sebagai murid karena ia hanya sudi mengajar
kaum ksatriya saja. Radheya yang sudah bertekad
bulat memutuskan untuk mencari guru lain, dan ia pun menyamar menjadi kaum
Brahmana agar mendapatkan pendidikan dari Parasurama. Parasurama adalah guru
dari Bhisma dan Guru Drona, jadi, Karna mendapatkan guru yang lebih baik dari
Guru Drona. Malangnya, Ia ketahuan berbohong lalu ia dikutuk oleh Parasurama
agar ilmu yang diajarkannya tidak berguna lagi untuk Karna.
Dalam bahasa Sanskerta istilah Karna bermakna
"telinga". Hal ini mengakibatkan muncul mitos bahwa Karna lahir
melalui telinga Kunti. Namun, Karna juga dapat bermakna "mahir" atau
"terampil". Kiranya nama Karna ini baru dipakai setelah Basusena atau
Radheya dewasa dan menguasai ilmu memanah dengan sempurna.
Ketika tiba
waktunya, Drona mempertunjukkan hasil pendidikan para Pandawa dan Korawa di hadapan para
bangsawan dan rakyat Hastinapura, ibu kota Kerajaan Kuru. Setelah melaui berbagai tahap
pertandingan, Drona akhirnya mengumumkan bahwa Arjuna (Pandawa nomor
tiga) adalah murid terbaiknya, terutama dalam hal ilmu memanah. Tiba-tiba Karna
muncul menantang Arjuna sambil memamerkan kesaktiannya. Resi Krepa selaku pendeta
istana meminta Karna supaya memperkenalkan diri terlebih dahulu karena untuk
menghadapi Arjuna haruslah dari golongan yang sederajat. Mendengar permintaan
itu, Karna pun tertunduk malu.
Duryodana (Korawa tertua)
maju membela Karna. Menurutnya, keberanian dan kehebatan tidak harus dimiliki
oleh kaum ksatriya saja. Namun
apabila peraturan mengharuskan demikian, Duryodana memiliki jalan keluar. Ia
mendesak ayahnya, yaitu Dretarastra raja
Hastinapura, supaya mengangkat Karna sebagai raja bawahan di Angga. Dretarastra yang berhati lemah
tidak mampu menolak permintaan putra kesayangannya itu. Maka pada hari itu
juga, Karna pun resmi dinobatkan menjadi raja Angga.
Adirata muncul menyambut
penobatan Karna. Akibatnya, semua orang pun tahu kalau Karna adalah anak
Adirata. Melihat hal itu, Bimasena (Pandawa nomor
dua) mengejeknya sebagai anak kusir sehingga tidak pantas bertanding melawan
Arjuna yang berasal dari kaum bangsawan. Sekali lagi Duryodana tampil membela
Karna.
Suasana semakin
tegang dan memanas. Namun tidak seorang pun yang menyadari kalau Kunti jatuh pingsan di
bangkunya setelah melihat kehadiran Karna. Kunti langsung mengenalinya sebagai
putra sulung yang pernah ia buang dari pakaian perang dan perhiasan pemberian Surya yang melekat di
tubuh Karna.
Suasana yang
menegangkan itu diredakan oleh terbenamnya matahari. Dretarastra membubarkan
acara tersebut sehingga pertandingan antara Karna melawan Arjuna pun tertunda.
Sejak saat itu dimulailah persahabatan antara Karna dengan Duryodana, pemimpin
para Korawa.
Karna pernah
berguru kepada Parasurama yang juga pernah
mengajar Drona. Brahmana gagah berumur panjang tersebut memiliki
pengalaman yang buruk dengan kaum ksatriya. Untuk itu,
Karna harus menyamar sebagai brahmana muda agar bisa
mendekatinya. Dengan cara tersebut Karna berhasil menjadi murid Parasurama.
Pada suatu hari,
Parasurama tidur di atas pangkuan Karna. Tiba-tiba muncul seekor serangga menggigit paha
Karna. Demi menjaga agar Parasurama tidak terbangun, Karna membiarkan pahanya
terluka sedangkan dirinya tidak bergerak sedikit pun. Ketika Parasurama bangun
dari tidurnya, ia terkejut melihat Karna telah berlumuran darah. Kemampuan
Karna menahan rasa sakit telah menyadarkan Parasurama bahwa muridnya itu bukan
dari golongan brahmana, melainkan seorang ksatriya asli.
Merasa telah
ditipu, Parasurama pun mengutuk Karna. Kelak, pada saat pertarungan antara
hidup dan mati melawan seorang musuh terhebat, Karna akan lupa terhadap semua
ilmu yang telah ia ajarkan.
Kutukan kedua
diperoleh Karna ketika ia mengendarai keretanya dan menabrak mati seekor sapi
milik brahmana yang sedang menyeberang jalan. Sang brahmana pun muncul dan
mengutuk Karna, kelak roda keretanya akan terbenam ke dalam lumpur ketika ia
berperang melawan musuhnya yang paling hebat.
Pusaka Vasavi shakti atau Konta
Apabila Karna
dilahirkan Kunti melalui anugerah Dewa Surya, maka, Arjuna lahir melalui
anugerah Dewa Indra. Menyadari
kesaktian Karna, Indra merasa cemas kalau Arjuna kelak sampai kalah jika
bertanding melawan putra Surya itu. Maka, Indra pun merencanakan merebut baju
pusaka Karna dengan menyamar sebagai seorang pendeta. Konon, jika mengenakan
pakaian pusaka tersebut, Karna tidak mempan terhadap senjata jenis apa pun.
Rencana Indra
terdengar oleh Surya. Ia pun memberi tahu Karna. Namun Karna sama sekali tidak
risau. Ia telah bersumpah akan hidup sebagai seorang dermawan sehingga apa pun
yang diminta oleh orang lain pasti akan dikabulkannya.
Indra yang
menyamar sebagai seorang resi tua datang
menemui Karna saat sedang sendirian. Ia meminta sedekah berupa baju perang dan
anting-anting yang dipakai Karna. Karna pun mengiris semua pakaian pusaka yang
melekat di kulitnya sejak bayi tersebut menggunakan pisau. Indra terharu
menerimanya. Ia pun membuka samaran dan memberikan pusaka Indrastra baru berupa
Vasavi shakti atau Konta (yang bermakna "tombak")
sebagai hadiah atas ketulusan Karna. Namun, pusaka Konta hanya bisa digunakan
sekali saja, setelah itu ia akan musnah.
Terbukanya jati diri
Setelah masa
hukuman atas kekalahan dalam permainan dadu berakhir, para Pandawa pun muncul
kembali untuk mendapatkan hak mereka atas Kerajaan
Indraprastha. Pihak Korawa menolak dan
memaksa Pandawa merebutnya dengan jalan perang. Pandawa pun mengirim Kresna sebagai duta menuju Hastinapura. Dalam kesempatan itu, Kresna
menemui Karna dan mengajaknya berbicara empat mata. Ia menjelaskan bahwa Karna
dan para Pandawa sebenarnya adalah saudara seibu. Apabila Karna bergabung
dengan Pandawa, tentu Yudistira akan merelakan
takhta Hastinapura untuknya.
Karna sangat
terkejut mendengar jati dirinya terungkap. Ia menghadapi dilema yang sangat
besar. Dengan penuh pertimbangan ia memutuskan tetap pada pendiriannya yaitu
membela Korawa. Ia tidak mau meninggalkan Duryodana yang telah
memberinya kedudukan, harga diri, dan perlindungan saat dihina para Pandawa
dahulu. Rayuan Kresna tidak mampu meluluhkan sumpah setia Karna terhadap
Duryodana yang dianggapnya sebagai saudara sejati.
Setelah pertemuan
dengan Kresna, esok harinya Karna bertemu dengan Kunti. Kunti menemui
putra sulungnya itu saat bersembahyang di tepi sungai. Ia merayu Karna supaya
mau memanggilnya "ibu" dan sudi bergabung dengan para Pandawa. Karna kembali
bersikap tegas. Ia sangat menyesalkan keputusan Kunti yang dulu membuangnya
sehingga kini ia harus berhadapan dengan adik-adiknya sendiri sebagai musuh. Ia
menolak bergabung dengan pihak Pandawa dan tetap menganggap Radha sebagai ibu sejatinya. Meskipun
demikian, Karna tetap menghibur kekecewaan Kunti. Ia bersumpah dalam perang
kelak, ia tidak akan membunuh para Pandawa, kecuali Arjuna.
Dalam pewayangan
gubahan pujangga Jawa, diceritakan bahwa Karna menolak ajakan bergagung dengan
Pendawa, dengan alasan sebagai seorang kesatria, ia harus menepati janji bahwa
ia akan selalu setia kepada Duryodana. Kresna terus
mendesak bahwa dharma seorang kesatria yang lebih utama adalah menumpas angkara
murka. Dengan membela Duryodana, berarti Karna membela angkara murka. Karena
terus didesak, Karna terpaksa membuka rahasia bahwa ia tetap membela Korawa
supaya bisa menyemangati Duryodana agar berani berperang melawan Pandawa. Ia
yakin bahwa angkara murka di Hastinapura akan hilang bersama kematian
Duryodana, dan yang bisa membunuhnya hanya para Pandawa. Karna yakin bahwa jika
perang meletus, dirinya pasti ikut menjadi korban. Namun, ia telah bertekad
untuk menyediakan diri sebagai tumbal demi kebahagiaan adik-adiknya, para
Pandawa.
Perselisihan dengan Bisma
Perang besar antara kedua
pihak tersebut akhirnya meletus. Pihak Korawa memilih Bisma (bangsawan
senior Hastinapura) sebagai
panglima mereka. Terjadi pertengkaran di mana Bisma menolak Karna berada di
dalam pasukannya, dengan alasan Karna terlalu sombong dan suka meremehkan
kekuatan Pandawa. Sebaliknya, Karna pun bersumpah tidak sudi ikut
berperang apabila pasukan Korawa masih dipimpin oleh Bisma.
Bisma akhirnya
roboh pada pertempuran hari kesepuluh. Tokoh tua itu terbaring di atas ratusan
panah yang menembus tubuhnya. Karna muncul melupakan semua dendam untuk
menyampaikan rasa prihatin. Bisma mengaku bahwa ia hanya pura-pura mengusir
Karna supaya tidak bertempur melawan Pandawa. Bisma mengetahui jati diri Karna
sebagai kakak para Pandawa setelah diberi tahu oleh Narada (maharesi kahyangan). Seperti halnya
Kresna dan Kunti, Bisma juga
menyarankan supaya Karna bergabung dengan para Pandawa. Namun sekali lagi Karna
menolak saran tersebut.
Pertempuran melawan Gatotkaca
Kehadiran Karna
sejak hari kesebelas segera membangkitkan semangat pihak Korawa. Ia menyarankan
agar Duryodana memilih Drona sebagai
pengganti Bisma, dengan alasan Drona merupakan guru sebagian besar sekutu
Korawa. Dengan terpilihnya Drona maka persaingan antara para pendukung Korawa
memperebutkan jabatan panglima dapat dihindari.
Karna tampil
dalam perang besar tersebut sebagai pendamping Drona. Pada hari ke-14 malam,
perang tetap terjadi tanpa dihentikan sehingga melanggar aturan yang telah
disepakati. Duryodana menderita luka parah saat menghadapi Gatotkaca putra Bimasena. Ia pun mendesak
Karna supaya menggunakan pusaka Vasavi shakti atau Konta untuk membunuh
Gatotkaca. Karena terus didesak, Karna pun melepaskan Konta dan menewaskan
Gatotkaca.
Sesuai janji Indra, Shakti Konta
pun musnah hanya dalam sekali penggunaan. Kresna selaku penasihat
pihak Pandawa merasa senang karena dengan demikian, nyawa Arjuna bisa
terselamatkan. Ia mengetahui kalau selama ini Karna mempersiapkan Shakti Konta
untuk membunuh Arjuna.
Menjadi panglima pasukan Korawa
Setelah Drona gugur pada hari
kelima belas, Duryodana menunjuk Karna
sebagai panglima yang baru. Karna maju perang dengan Salya raja Madra sebagai kusir keretanya, dengan
harapan bisa mengimbangi Arjuna yang dikusiri Kresna. Salya sendiri
sakit hati karena merasa direndahkan oleh Karna. Sambil mengemudikan kereta ia
gencar memuji-muji kesaktian Arjuna untuk menakut-nakuti Karna.
Pada hari keenam
belas, Karna berhasil mengalahkan Yudistira, Bimasena, Nakula, dan Sadewa, namun tidak
sampai membunuh mereka sesuai janjinya di hadapan Kunti dulu. Karna
kemudian bertanding melawan Arjuna. Keduanya saling berusaha membunuh satu sama
lain. Ketika Karna mengincar leher Arjuna menggunakan panah Nagasatra,
diam-diam Salya memberi isyarat pada Kresna. Kresna pun menggerakkan keretanya
sehingga panah pusaka tersebut meleset hanya mengenai mahkota Arjuna.
Pertempuran tersebut akhirnya tertunda oleh terbenamnya matahari.
Pertempuran terakhir
Pada hari ketujuh
belas, perang tanding antara Karna dan Arjuna dilanjutkan
kembali. Setelah bertempur dalam waktu yang cukup lama, kutukan atas diri Karna
pun menjadi kenyataan. Ketika Arjuna membidiknya menggunakan panah Pasupati, salah satu roda
keretanya terperosok ke dalam lumpur sampai terbenam setengahnya. Karna tidak
peduli, ia pun membaca mantra untuk mengerahkan kesaktiannya mengimbangi
Pasupati. Namun, kutukan kedua juga menjadi kenyataan. Karna tiba-tiba lupa
terhadap semua ilmu yang pernah ia pelajari dari Parasurama.
Karna meminta
Arjuna untuk menahan diri sementara ia turun untuk mendorong keretanya agar
kembali berjalan normal. Pada saat itulah Kresna mendesak agar
Arjuna segera membunuh Karna karena ini adalah kesempatan terbaik. Arjuna
ragu-ragu karena saat itu Karna sedang lengah dan berada di bawah. Kresna
mengingatkan Arjuna bahwa Karna sebelumnya juga berlaku curang karena ikut
mengeroyok Abimanyu sampai mati pada
hari ketiga belas.
Teringat pada
kematian putranya yang tragis tersebut, Arjuna pun melepaskan panah Pasupati
yang melesat memenggal kepala Karna. Karna pun tewas seketika.
Aktualisasi Spirit Karna
Adipati Karna, di
dalam Serat Tripamama Yasa, dinyatakan sebagai sosok ksatria yang dinyatakan
layak diteladani, bersama Bambang Sumantri – sang patih bagi Prabu Arjuna
Sasrabahu di Kraton Maespati, dan Kumbakarna – adik Raja Rahwana dari Kerajaan
Alengka. Tentunya ada keistimewaan pada
kepribadian Adipati Karna sehingga KGPAA Mangkunegoro IV memilihnya sebagai role model bagi para ksatria Jawa.
Menurut hemat saya,
ada beberapa karakter utama Adipati Karna yang layak diteladani dan dihidupkan
pada keseharian kita, yaitu: pertama, kesadaran akan lakonnya sebagai seorang
ksatria – dan itu membuatnya berani menanggung resiko kalah ataupun menang
dalam satu pertarungan. Ia berprinsip,
nilai atau derajat seorang ksatria bukan terletak dalam kemenangan atau kekalahan
dalam sebuah pertarungan, melainkan dalam bagaimana ia menjalani pertarungan
itu. Seorang ksatria sejati adalah
mereka yang bertarung dengan penuh kesungguhan, mengeluarkan semua kemampuan
terbaiknya, tak peduli menang atau kalah.
Bahkan, dalam kasus Adipati Karna, ketika ia sadar pasti kalah melawan
Arjunapun, ia tetap bertarung gigih hingga titik darah penghabisan, sehingga
pertarungannya melawan Arjuna menjadi salah satu pertarungan paling agung dalam
sejarah pewayangan.
Kedua, Adipati
Karna adalah pribadi yang rela mengorbankan diri untuk kepentingan lebih besar,
yaitu kepentingan sosial dan tegaknya keadilan.
Ketika ia memilih untuk memihak Kurawa, itu bukan semata-mata karena
tindakan balas budi atas kebaikan Prabu Duryudana. Juga bukan karena rasa dendam terhadap
saudara-saudara tirinya di pihak Pendawa. Tapi itu dilakukan untuk memuluskan
terjadinya Bharata Yudha yang diyakini memang harus terjadi agar Pendawa tak
selalu tertindas, dan agar keadilan bisa tegak.
Post a Comment