Kyai Lurah Semar Badranaya adalah nama tokoh panakawan paling utama
dalam pewayangan Jawa dan Sunda. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh
sekaligus penasihat para kesatria dalam pementasan kisah-kisah Mahabharata dan
Ramayana. Dalam tradisi spiritual
Jawa saat ini, beliau yang dipanggil akrab Eyang Semar atau Kaki Semar
dipandang tetap eksis sebagai pamomong dan sumber ajaran keluhuran.
Silsilah dan Keluarga
Dalam pewayangan dikisahkan, Batara Ismaya sewaktu masih di
kahyangan sempat dijodohkan dengan sepupunya yang bernama Dewi Senggani. Dari
perkawinan itu lahir sepuluh orang anak, yaitu:
- Batara
Wungkuham
- Batara
Surya
- Batara
Candra
- Batara
Tamburu
- Batara
Siwah
- Batara
Kuwera
- Batara
Yamadipati
- Batara
Kamajaya
- Batara
Mahyanti
- Batari
Darmanastiti
Semar sebagai penjelmaan Ismaya mengabdi untuk pertama kali kepada
Resi Manumanasa, leluhur para Pandawa. Pada suatu hari Semar diserang dua ekor
harimau berwarna merah dan putih. Manumanasa memanah keduanya sehingga berubah
ke wujud asli, yaitu sepasang bidadari bernama Kanistri dan Kaniraras. Berkat
pertolongan Manumanasa, kedua bidadari tersebut telah terbebas dari kutukan
yang mereka jalani. Kanistri kemudian menjadi istri Semar, dan biasa dipanggil
dengan sebutan Kanastren. Sementara itu, Kaniraras menjadi istri Manumanasa,
dan namanya diganti menjadi Retnawati, karena kakak perempuan Manumanasa juga
bernama Kaniraras.
Dalam pewayangan Jawa Tengah, Semar selalu disertai oleh
anak-anaknya, yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong. Namun sesungguhnya ketiganya
bukan anak kandung Semar. Gareng adalah putra seorang pendeta yang mengalami
kutukan dan terbebas oleh Semar. Petruk adalah putra seorang raja bangsa
Gandharwa. Sementara Bagong tercipta dari bayangan Semar berkat sabda sakti
Resi Manumanasa.
Dalam pewayangan Sunda, urutan anak-anak Semar adalah Cepot, Dawala,
dan Gareng. Sementara itu, dalam pewayangan Jawa Timuran, Semar hanya
didampingi satu orang anak saja, bernama Bagong, yang juga memiliki seorang
anak bernama Besut.
Bentuk Fisik
Semar memiliki bentuk fisik yang sangat unik, seolah-olah ia
merupakan simbol penggambaran jagad raya. Tubuhnya yang bulat merupakan simbol
dari bumi, tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya.
Semar selalu tersenyum, tapi bermata sembab. Penggambaran ini
sebagai simbol suka dan duka. Wajahnya tua tapi potongan rambutnya bergaya
kuncung seperti anak kecil, sebagai simbol tua dan muda. Ia berkelamin
laki-laki, tapi memiliki payudara seperti perempuan, sebagai simbol pria dan
wanita. Ia penjelmaan dewa tetapi hidup sebagai rakyat jelata, sebagai simbol
atasan dan bawahan.
Keistimewaan Semar
Semar merupakan tokoh pewayangan ciptaan pujangga lokal. Meskipun
statusnya hanya sebagai abdi, namun keluhurannya sejajar dengan Prabu Kresna
dalam kisah Mahabharata. Jika dalam perang Baratayuda menurut versi aslinya,
penasihat pihak Pandawa hanya Kresna seorang, maka dalam pewayangan, jumlahnya
ditambah menjadi dua, dan yang satunya adalah Semar.
Semar dalam karya sastra hanya ditampilkan sebagai pengasuh
keturunan Resi Manumanasa, terutama para Pandawa yang merupakan tokoh utama
kisah Mahabharata. Namun dalam pementasan wayang yang bertemakan Ramayana, para
dalang juga biasa menampilkan Semar sebagai pengasuh keluarga Sri Rama ataupun
Sugriwa. Seolah-olah Semar selalu muncul dalam setiap pementasan wayang, tidak
peduli apapun judul yang sedang dikisahkan.
Dalam pewayangan, Semar bertindak sebagai pengasuh golongan
kesatria, sedangkan Togog sebagai pengasuh kaum raksasa. Dapat dipastikan anak
asuh Semar selalu dapat mengalahkan anak asuh Togog. Hal ini sesungguhnya
merupakan simbol belaka. Semar merupakan gambaran perpaduan rakyat kecil
sekaligus dewa kahyangan. Jadi, apabila para pemerintah – yang disimbolkan
sebagai kaum kesatria asuhan Semar – mendengarkan suara rakyat kecil yang
bagaikan suara Tuhan, maka negara yang dipimpinnya pasti menjadi nagara yang
unggul dan sentosa.
Aktualisasi
Spirit Semar
Kaki Semar atau Eyang Semar, hidup abadi dalam
kesadaran manusia Jawa yang eling
akan kejawaannya. Karena memang peran
beliau sebagai pamomong manusia Jawa tidak pernah berhenti. Seringkali beliau dengan segenap
kebijaksanaannya, ngejawantah melalui
berbagai pribadi yang nyata dan bisa dijumpai dalam kehidupana modern. Ada banyak ajaran beliau, tapi yang paling
terkenal adalah ajaran untuk Aja Dumeh
(Jangan mentang-mentang) dan Eling lan
Waspada.
Mengaktualisasi spirit Eyang Semar, perlu dimulai
dengan kesadaran bahwa kita sebagaia manusia Jawa atau manusia Nusantara,
adalah titisan para dewa. Di balik raga
secara biologis mirip dengan binatang, ada spirit keluhuran: kita adalah dewa
yang mengejawantah atau titisan dewa sebagaimana
Kaki Semar yang merupakan leluhur kita. Nusantara
adalah negeri dewata, dengan berbagai tempat yang secara mudah bisa dirasakan
sebagai wewengkon kadewatan. Dewata
adalah titah urip dengan ragawi halus yang terbentuk dari cahaya – maka manusia
Nusantara sejatinya adalah makhluk spiritual atau titah urip berbadan cahaya
yang terbungkus oleh raga yang terbentuk dari tanah. Tepatlah konsepsi Jawa yang menyatakan kita
sebagai putra dari Bapa Angkasa dan Ibu Pertiwi. Bapa Angkasa mencerminkan entitas dari dunia
atas, kahyangan, sementara Ibu Pertiwi mencerminkan entitas dari dunia bawah,
bumi.
Maka, kita anak-anak Nusantara perlu keluar dari
jebakan konsep bahwa kita adalah bangsa yang tak berdaya dan jahiliyah (bodoh) yang harus menghamba kepada pihak lain dalam
berbagai bidang kehidupan, mulai dari ekonomi sampai agama. Sebagai putra wayah dari Kaki Semar, sebagai titisan
atau pengejawantahan dewata, sewajarnya
kita memelihara dengan teguh kemerdekaan kita, kemandirian kita, keberdayaan
kita. Kita perlu menyadari jatidiri kita
dan atas dasar itu, bergegas membangun peri kehidupan, kebudayaan, dan
peradaban di Nusantara ini yang didasarkan atas nilai-nilai keluhuran dan
ajaran kadewatan.
Lebih jauh, sebagai momongan ataupun putra wayah
Kaki Semar, sewajarnya pula kita mengikuti gaya hidup beliau: merakyat! Kesadaran akan keluhuran asal muasal kita
tidaklah sepantasnya menjadi pendorong lahirnya sikap jumawa, adigang adigung,
lalu membangun lapisan elit yang hidup di menara gading. Sebaliknya, kita sepatutnya hidup bersama
rakyat kebanyakan, menyadari dinamika, harapan dan kesulitan mereka secara
nyata, dan berupaya untuk memberi sumbangsih sesuai dengan kebutuhan mereka dan
kemampuan kita.
Guna mengakses daya Kaki Semar, ada banyak tempat
yang bisa dikunjungi. Beberapa di
antaranya adalah petilasan Kaki Semar di Puncak Songolikur Kudus, juga di
Gunung Tidar dan Gunung Srandil. Tetapi sejatinya,
terhubung dengan Sang Hyang Ismaja, mengikuti rumus: tan kena panggonan tan kena wangenan.
Post a Comment