Pada hari Selasa Wage 15 bulan April
2014, malam Rabu Kliwon bertepatan dengan Sang Sasadara memasuki hari ke 15, Purnama Sidhi. Ketika itu bulan yang
bulat penuh benar-benar satu garis dengan bangunan kubus di Candi Cetha. Perjalanan tersebut mengantarkan saya dan Mas Paulus Bambang Susetyo menemukan
dan mengurai kode dari sebuah pesan masa silam yang diterakan di Candi Sukuh
dan Candi Cetha: ruwat-lah (kelolalah)
dirimu, agar hidupmu menjadi cetha (jelas
sekali).
Candi
Sukuh
Candi adalah suatu bangunan luhur yang
dipergunakan untuk me-langgeng-kan
sesuatu, baik itu pesan atau perkara yang lainnya. Mungkin kita pernah
mendengar ungkapan kosa kata Jawa “cinandhi”
itu pengertiannya adalah “di-langgeng-kan”. Pengertiannya secara utuh, tentang candi
adalah suatu sarana untuk me-langgeng-kan
atau mengabadikan pengetahuan. Dengan menggunakan
sarana berupa candi, maka para leluhur memberikan pembelajaran tentang
kehidupan melalui struktur bangunan candi maupun relief yang ditera pada
dinding candi. Agar sebuah candi
memiliki nilai guna dalam kehidupan kita pada masa kini, kita perlu mengurai
kode yang tersimpan dalam sebuah candi untuk bisa mendapatkan pembelajaran
berharga.
Kata “sukuh” adalah kata Jawa Kuna yang berarti “perang”. Mengacu pada kata tersebut, candi ini dapat
dimengerti sebagai bangunan yang menampilkan pesan dan pelajaran tentang bagaimana kita bisa
memerangi kejahatan atau keangkaramurkaan yang mencengkeram diri manusia.
Perang ini merupakan tindakan peleburan atau penghancuran dan pemusnahan segala
perkara yang dapat merugikan kehidupan manusia
Bangunan
Candi Sukuh terletak di lereng kaki Gunung Lawu pada ketinggian kurang lebih 1.186 meter
di atas permukaan laut pada koordinat 07o37, 38’ 85’’ Lintang
Selatan dan 111o07,. 52’65’’ Bujur Barat. Candi ini terletak di
Dukuh Berjo, Desa Sukuh, kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Letak bangunan Candi ini berjarak kurang lebih 20 kilometer dari kota Karanganyar dan 36 kilometer dari Surakarta. Situs candi
Sukuh dilaporkan pertama kali dalam masa pemerintahan Britania Raya di tanah Jawa
pada tahun 1815 oleh Johnson, Residen Surakarta. Johnson kala itu ditugasi oleh Thomas
Stanford Raffles dalam
rangka untuk mengumpulkan data-data yang diperlukan guna penulisan bukunya The
History of Java. Setelah masa pemerintahan Britania Raya berlalu, pada
tahun 1842, Van der Vlis, arkeolog Belanda, melakukan penelitian. Pemugaran pertama dimulai pada
tahun 1928.
Jika kita mau memperhatikan Candi Sukuh
dengan lebih cermat, maka akan diketemukan struktur bangunan yang terpapar sebagaimana
berikut ini:
Teras pertama candi
Di teras pertama
terdapat gapura utama. Pada gapura ini ada sebuah sangkala (penanda
tahun berbentuk rangkaian kata-kata) dalam bahasa Jawa yang berbunyi ‘gapura buta abara wong’.
Artinya dalam bahasa Indonesia
adalah “Gerbang raksasa memangsa manusia”. Kata-kata ini memiliki pengertian mengenai
angka penunjuk tahun: 9 (gapura), 5 (buta), 3 (abara), dan 1 (wong).
Jika dibalik (karena memang cara membaca angka sangkala/sengkalan adalah
dari belakang) maka didapatkan tahun 1359 Saka atau tahun 1437 Masehi.
Teras kedua candi
Gapura pada teras kedua sudah rusak. Di kanan dan kiri
gapura terdapat patung penjaga pintu atau dwarapala yang biasa ada, namun dalam
keadaan rusak dan sudah tidak jelas bentuknya lagi. Gapura sudah tidak beratap
dan pada teras ini tidak terdapat banyak patung-patung. Pada gapura ini
terdapat sebuah candrasangkala dalam bahasa Jawa yang berbunyi ’gajah
wiku anahut buntut’ yang berarti “Gajah pendeta menggigit ekor”
dalam bahasa Indonesia. Kata-kata ini memiliki makna 8 (gajah), 7 (wiku), 3 (anahut), dan 1 (buntut). Jika dibalik maka didapatkan tahun 1378 Saka atau bertepatan
dengan tahun 1456 Masehi.
Teras
ketiga candi
Pada teras ketiga ini
terdapat pelataran besar dengan candi induk dan beberapa relief di sebelah kiri
serta patung-patung di sebelah kanan.
Candi utama berbentuk gua garba
atau vagina perempuan, simbol dari Ibu Pertiwi/Bumi. Tepat di atas candi utama di bagian tengah
terdapat sebuah bujur sangkar yang sejatinya merupakan portal dengan dimensi
lain, adalah simbol keterhubungan kita dengan Bapak Angkasa (Realitas langit yang tak terbatas). Dan ini menyadarkan manusia akan realitasnya
sebagai putra dari Bapa Angkasa dan Ibu Pertiwi.
Kemudian pada bagian
kiri candi induk terdapat serangkaian relief-relief yang merupakan mitologi
utama Candi Sukuh dan telah diidentifikasi sebagai relief cerita Kidung Sudamala. Urutan reliefnya adalah sebagai berikut.
Relief pertama
Di bagian sebelah kiri
dilukiskan sang Sahadewa atau Sadewa, saudara kembar Nakula dan merupakan yang
termuda dari para Pandawa Lima. Kedua-duanya adalah putra Prabu Pandu dari Dewi
Madrim, istrinya yang kedua. Madrim meninggal dunia ketika Nakula dan Sadewa
masih kecil dan keduanya diasuh oleh Dewi Kunti, istri utama Pandu. Dewi Kunti
lalu mengasuh mereka bersama ketiga anaknya dari Pandu: Yudhistira, Bima dan Arjuna. Relief ini menggambarkan Sadewa yang sedang
berjongkok dan diikuti oleh seorang punakawan atau pengiring. Berhadapan dengan Sadewa terlihatlah
seorang tokoh wanita yaitu Dewi Durga yang juga disertai seorang punakawan.
Relief kedua
Relief ketiga
Relief keempat
Relief kelima
Lukisan dalam relief ini merupakan adegan adu kekuatan
antara Bima dan kedua raksasa Kalantaka (Sang Kematian) dan Kalañjaya (Sang
Kemenangan). Bima dengan kekuatannya yang luar biasa sedang mengangkat kedua
raksasa tersebut untuk dibunuh dengan kuku pañcanakanya. Ini menggambarkan
mengenai keteguhan hati manusia yang akan mampu memusnahkan segala keraguan
yang menghadang dan merintangi jalannya. Pancanaka merupakan lambang dari Panca
Indera yang telah terasah sempurna, sehingga kesemuanya dapat dipergunakan
secara optimal untuk menepis segala keraguan dalam diri manusia.
Patung-patung sang Garuda
Lalu pada bagian
kanan terdapat dua buah patung Garuda, ini merupakan bagian dari cerita mengenai pencarian tirta amerta (air kehidupan) yang terdapat dalam serat Adiparwa, yaitu serat pertama dari Mahabharata. Pada bagian ekor sang Garuda terdapat sebuah
prasasti.
Kemudian sebagai rangkaian
dari cerita mengenai pencarian tirta amerta
itu pada bagian ini terdapat pula tiga patung kura-kura yang melambangkan bumi
dan penjelmaan Dewa Wisnu. Bentuk kura-kura ini menyerupai meja, nampaknya ada
kemungkinan memang didesain sebagai tempat menaruh sesajian. Selanjutnya ada sebuah
bangunan berbentuk piramida dengan puncak terpotong, ini merupakan lambang dari
Gunung Mandaragiri yang diambil puncaknya dan dipergunakan untuk mengaduk-aduk samudera
susu guna mencari air kehidupan atau tirta
amerta.
Beberapa bangunan dan patung lainnya
Selain candi utama dan patung-patung kura-kura, garuda
serta relief-relief, masih ditemukan pula beberapa patung hewan berbentuk
celeng (babi hutan) dan gajah berpelana. Ini adalah merupakan simbol dari berbagai
daya dorong yang ada dalam diri pribadi manusia.
Lalu ada pula bangunan yang reliefnya berbentuk tapal
kuda dengan dua sosok manusia di dalamnya, di sebelah kiri dan kanan, berhadap-hadapan
satu sama lain. Ada sebagian yang berpendapat relief ini melambangkan rahim
seorang wanita, sedangkan sosok di sebelah kiri melambangkan kejahatan dan
sosok di sebelah kanan melambangkan kebajikan. Kemudian ada lagi sebuah
bangunan kecil di depan candi utama yang disebut candi perwara. Di bagian tengahnya, bangunan ini berlubang dan terdapat
patung kecil tanpa kepala.
Candi
Cetha
Cetha
adalah kosakata Jawa yang bearti ”sangat jelas, tak terselimuti,
senyatanya”. Maka, Candi Cetha adalah
bangunan yang menjadi bahan pembelajaran tentang bagaimana manusia membangun kehidupan yang senyatanya, yang
sangat jelas, penuh terang karena tersingkap semua perkara yang semula
menyelimutinya. Keadaan ini bisa diraih
melalui sikap hidup yang selaras dengan seluruh keberadaan semesta agar terjaga
harmoninya.
Candi Cetha berada di lereng Gunung Lawu pada ketinggian 1496 m di atas permukaan laut, dan
secara administratif berada di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan
Jenawi, Kabupaten
Karanganyar. Pada
keadaannya yang sekarang, kompleks Candi Cetha terdiri dari sembilan tingkatan
berundak. Sebelum gapura besar berbentuk candi bentar, pengunjung mendapati dua pasang arca penjaga. Aras
pertama setelah gapura masuk (yaitu teras ketiga) merupakan halaman candi. Aras
kedua masih berupa halaman. Pada aras ketiga terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi, leluhur masyarakat Dusun Ceto.
Sebelum memasuki aras
kelima (teras ketujuh), pada dinding kanan gapura terdapat inskripsi (tulisan
pada batu) dengan aksara Jawa Kuna berbahasa Jawa Kuna berbunyi pelling
padamel irikang buku tirtasunya hawakira ya hilang saka kalanya wiku goh anaut
iku 1397[1]. Tulisan ini diartikan sebagai fungsi candi adalah untuk
menyucikan diri (ruwat) dan penanda
tahun pembuatan gapura, yaitu 1397 Saka atau 1475 Masehi. Di teras ketujuh terdapat sebuah
tataan batu mendatar di permukaan tanah yang menggambarkan kura-kura raksasa, surya
Majapahit (diduga sebagai lambang
Majapahit), dan simbol phallus (penis, alat kelamin laki-laki) sepanjang 2 meter dilengkapi
dengan hiasan tindik (piercing)
bertipe ampallang. Kura-kura adalah sebagai lambang penciptaan semesta raya
sedangkan penis merupakan simbol penciptaan manusia. Terdapat penggambaran binatang-binatang
lain, seperti mimi, katak, dan ketam. Simbol-simbol binatang yang ada, dapat dibaca
sebagai suryasengkala berangka tahun 1373 Saka, atau 1451 era modern. Dapat
diperkirakan bahwa kompleks candi ini dibangun bertahap atau melalui beberapa
kali renovasi.
Mengurai
Pesan
Candi itu sesungguhnya
adalah merupakan teks yang berbentuk bangunan.
Itu adalah sarana penyampaian pesan para leluhur dari masa silam, medianya
melalui estetika simbolik. Generasi
sekarang yang sering tidak tepat dalam menyikapinya – baik dengan
menempatkannya sekadar sebagai obyek wisata, maupun sebagai tempat penyembahan realitas
yang dianggap sakral - sehingga malah tak bisa menangkap pesan dan ajaran yang
disampaikan lewat candi.
Demikian pula Candi
Sukuh, sesungguhnya juga memberi pesan tentang mekanisme atau cara meruwat
diri. Berbagai relief dan patung yang
ada di Candi Sukuh menjelaskan bahwa meruwat diri adalah menjalani penyadaran secara
tuntas tentang realitas pribadi sekaligus missi hidupnya. Peruwatan diri dimulai dengan menyadari
realitas pribadi yang berupa raga, jiwa dan cahaya sejati/sukma sejati. Sebagai pribadi, kita selalu dalam kondisi
perang Barata Yudha antara daya dorong yang disimbolkan dalam berbagai rupa
binatang dan raksasa, dengan cahaya terang yang disampaikan sang sukma sejati
sebagai manifestasi dari Hyang Yaktining
Hurip (Sang Essensi Hidup) di dalam diri.
Berangkat dari
penyadaran ini, kita menata diri secara cerdas sehingga nalar, rasa dan laku
kita tidak lagi terdistorsi oleh dorongan dalam diri yang tidak terkelola
dengan tepat. Daya dorong dalam diri
yang tidak dikelola secara tepat, menyebabkann distorsi pada nalar, rasa dan
laku. Distorsi/gangguan inilah yang menjadikan
keadaan pribadi kita menjadi ruwet, sehingga hiduppun menjadi penuh kabut,
tidak cetha atau tidak jelas. Urip
kang cetha, atau hidup yang jelas, cemerlang, gilang gemilang, hanya bisa
diraih oleh siapapun yang telah me-ruwat
nalar atau intelejensianya, sehingga bisa bernalar dengan tepat, dan dampaknya,
bisa merasa dan bertindak dengan tepat pula.
Demikianlah, penulis
menangkap pesan dari Candi Sukuh dan Candi Cetha, dan itu mendorong lahirnya
buku karya saya dan Mas Paulus Bambang Susetyo berjudul Ruwatan Intelejensia, sebuah buku yang dibuat untuk menjadi sarana ruwatan/ perawatan/pengelolaan intelejensia.
para sahabat saya orang jawa awam yg mengalami hal2 aneh yg tidak mampu saya pahami adakah yg bersedia membantu saya ? trimakasih...
ReplyDeletesaya baru menemukan blog ini trimakasih telah berbagi
ReplyDelete