Menjadi sukarelawan
adalah tindakan melampaui kepentingan ego.
Keluar dari rumah ego dengan berbuat sesuatu tidak untuk kepentingan
diri pribadi melainkan untuk kepentingan sesama dan bersama, adalah tindakan
yang dianggap mulia oleh berbagai tradisi spiritual. Dalam ajaran Jawa yang saya hayati, dinyatakan bahwa sewajarnya setiap manusia
menjalankan missi hamemayu hayuning
bawono (memperindah jagad yang
sejatinya telah indah). Praktisnya, setiap
orang perlu punya sumbangsih untuk membuat jagad yang kita tempati bersama ini
menjadi lebih damai, indah, penuh harmoni dan berkelimpahan.
Maka, ketika ada momen
Pemilihan Presiden 2014 yang potensial untuk mengubah nasib bangsa, membaralah
hasrat kesukarelawanan yang tertanam di kedalaman hati penulis.
Manifestasi
Kesukarelawanan
Semesta memberi
anugerah besar bagi saya, untuk berbuat sesuatu yang berdampak besar. Semuanya seperti mengalir begitu saja. Tanpa direncanakan, penulis terlibat dalam
beberapa kerja spiritual untuk mendorong tertatanya Indonesia, dan dalam
kaitannya dengan Pemilu 2014, Indonesia tetap bisa damai sekaligus melahirkan
pemimpin yang memiliki pembelaan kuat terhadap wong cilik.
Kerja spiritual yang saya
maksudkan, sebenarnya tidak langsung ditujukan untuk kepentingan politik
praktis. Tetapi, ini berkaitan dengan
tindakan untuk mengerti dengan tepat sinyal-sinyal semesta dan melakukan
penyelarasan pada atmosfer yang melingkupi Nusantara.
Saat itu, adalah
hari-hari menjelang pelaksanaan Pilpres 2014.
Dalam batin penulis, muncul sebuah dorongan untuk melakukan satu kerja
yang serius, demi kebaikan bangsa ini.
Sekalipun penulis tak tahu pasti, kerja tersebut berbentuk apa. Ternyata,dalam rembugan dengan rekan kerja
sekaligus pembimbing spiritual penulis yang tinggal di Solo, yaitu Mas P.B.
Susetyo bersama Ibu Nur Apiri, Pak Adi Muljaawan dan Pak Agus Suprapto, disepakati
untuk pergi ke Candi Sukuh dan Candi Cetha.
Di dua tempat tersebut, kami membahasakannya apa yang kami lakukan
sebagai berikut, “mengikuti sinyal semesta
untuk menggelar tindakan penyelarasan demi keselamatan bangsa ini.”
Tindakan penyelarasan
dibutuhkan, agar pada tanggal 9 Juli 2014 saat Pilpres dilakukan Indonesia
tetap damai, dan terpilih pemimpin yang betul-betul mendapatkan dukungan
semesta (dalam terminologi Jawa, mendapatkan “Wahyu Keprabon”).
Pilihan untuk melakukan
tindakan penyelarasan di Candi Sukuh dan Candi Cetha tentunya bukan tanpa
alasan. Candi Sukuh merupakan tempat
kita meruwat diri maupun bangsa.
Sementara Candi Cetha adalah tempat untuk menegaskan kesiapan melahirkan
karya cemerlang setelah pribadi dan bangsa diruwat dari segala bentuk distorsi.
Maka, sore hari pada tanggal 6 Agustus
2014, saya pergi bersama rombongan terdiri dari 5 orang, menuju Candi Sukuh dan
Candi Cetha. Ketika berangkat, saya
pribadi mengajak via HP puluhan teman yang saya pandang memiliki kesamaan
kesadaran tentang pentingnya berbuat sesuatu untuk bangsa ini. Pesan yang saya sampaikan kepada teman-teman
tersebut adalah agar sama-sama bermeditasi, memasuki keheningan, lalu
memancarkan kasih murni dari pusat hati dan menyabdakan agar kejernihan
meliputi bangsa ini.
Kami tiba di Candi Sukuh yang terletak di lereng kaki Gunung
Lawu tepatnya di Dukuh Berjo, Desa Sukuh, kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten
Karanganyar, Jawa
Tengah saat senja dan
hari mulai gelap. Setelah minta ijin
petugas di candi tersebut, kami menaiki teras demi teras hingga berada di
bangunan tertinggi, sebuah altar.
Di
altar tersebut, setelah melakukan persiapan sepertinya, kami semua hening,
manunggal dengan sejatinya diri, manunggal dengan semesta. Penulis pribadi melakukan apa yang bisa
dilakukan, dari pusat hati penulis alirkan kasih murni ke atmosfer Nusantara
untuk keselamatan, kedamaian dan kemakmuran negeri ini. Penulis keluar dari rumah ego dan menempatkan
negeri ini sebagai lokus kesadaran.
Dalam kesadaran penulis – selaras dengan apa yang dilakukan oleh anggota
rombongan lain – penulis menyabdakan agar Ibu Pertiwi (sesuai dengan karakter
feminin dari Candi Sukuh) dengan kekuatan kasihnya “melahirkan kembali”
anak-anak negeri ini. Itulah pengertian
meruwat negeri, membiarkan Kekuatan Kasih Murni membasuh segala luka dan
distorsi nalar yang diderita anak-anak negeri.
Malam
dan dingin yang menyelimuti Candi Sukuh, membuat kesyahduan kegiatan kami. Penulis sendiri bersyukur kepada Sang Pemberi
Hidup, diberi kesempatan untuk terlibat dalam satu agenda yang berorientasi
bagi kebaikan bangsa, dan sekalipun terkesan sederhana, dipastikan punya dampak
besar bagi pulihnya kejayaan negeri ini.
Tuntas
kegiatan di Candi Sukuh, penulis dan rombongan bergerak ke Candi Cetha. Candi ini berada di lereng Gunung
Lawu pada ketinggian 1496 m di atas permukaan
laut, dan secara administratif berada di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar.
Rombongan
memusatkan kegiatan di teras tertinggi, dimana terdapat bangunan kubus dengan
selubung Bendera Merah Putih. Di sini,
di candi dengan karakter energi maskulin, kami kembali hening lalu dengan
kesadaran penuh mengalirkan kasih murni dan menyabdakan kejayaan Nusantara. Lewat hening di tempat ini, sebetulnya telah
jelas wahyu keprabon itu menjadi milik siapa: ia menjadi milik siapapun yang
paling tulus dalam melayani rakyat.
Bagi
penulis sendiri, bermeditasi di Candi Cetha pada kesempatan kali ini terasa
berbeda. Kali ini terasa sungguh berat,
terasa dingin sekali. Sehingga penulis
bermeditasi sambil menggigil. Padahal,
biasanya penulis cukup akrab dengan cuaca dingin seperti apapun karena sudah
terbiasa berkelana ke berbagai tempat yang dingin. Rupanya, rasa dingin ini terkait dengan
terbukanya portal energi semesta. Dengan
terbukanya portal energi semesta itulah tindakan penyelarasan dengan mengubah
beberapa kode bisa dilakukan oleh Mas P.B. Susetyo sebagai pimpinan rombongan.
Kerja
Lanjutan
Pilpres 2014 pada
tanggal 2014, berjalan dengan lancar dan damai.
Hasil Quick Count dari berbagai lembaga survey kredibel menunjukkan
kemenangan pasangan Jokowi-JK. Tapi,
gejolak politik rupanya belum usai karena kubu Prabowo-Hatta belum bisa
menerima kekalahan dengan legowo. Jagad
Nusantara masih potensial gonjang-ganjing...! Mengikuti aliran semesta, penulis kembali
terlibat dalam tindakan kesukarelawanan dalam tataran metafisika. Bertempat di rumah salah satu saudara
seperjalanan spiritual di Salatiga, sehari menjelang pengumuman pemenang
Pilpres 2014 oleh KPU, penulis terlibat dalam sebuah ritual simbolik untuk
“mengamankan suara kandidat yang didukung wong
cilik” dan menegakkan “payung
kedamaian” untuk negeri ini.
Maka.....terjadilah apa
yang semestinya terjadi. Jokowi-JK
terpilih sebagai pemenang Pilpres 2014 dan tetaplah damai negeri ini sekalipun
ada manuver-manuver untuk membuat kekacauan dari pihak yang merasa
kepentingannya terganggu.
Berikutnya, saya
kembali mendapatkan kesempatan untuk berbuat sesuatu bagi negeri ini. Beberapa hari menjelang Lebaran, disepakati
untuk menjalankan agenda mengelilingi Jawa Tengah sebagai punjer-nya Nusantara, dan di berbagai titik meletakkan piranti yang
membentuk jaring-jaring energi yang melindungi Nusantara. Kali ini saya bergabung dalam rombongan Mas
P.B. Susetyo, Ibu Nur Apiri dan Pak Adi Muljawan.
Di mulai dari titik
pembuka di Cemara Sewu di Kaki Gunung Lawu, rombongan dengan menggunakan jip
kuno keluaran 1982, menyusuri desa dan kota yang mengelilingi Jawa Tengah. Selama 4 hari kami melintasi Magetan, Ngawi,
Cepu, Tuban, Rembang, Jepara, menyusuri Pantai Utara hingga ke Losari di
Cirebon, belok ke arah Luragung, Ciamis, Pangandaran, lalu menyusuri Pantai
Selatan hingga melintasi Ponorogo dan kembali ke titik semula di Cemara
Sewu. Di tiap titik, kami juga
menyabdakan pulihnya kejayaan Nusantara dan berseminya kemakmuran yang merata
di negeri ini.
Tentunya, perjalanan
ini penuh suka duka, dengan muara suka tentunya. Betapa tidak, perjalanan ini memang
melelahkan secara fisik dan mental.
Penulis sendiri kebagian tugas untuk meletakkan piranti pembentuk
jaring-jaring energi. Otomatis penulis
yang sering turun dari mobil. Penulis
menanamkan piranti itu kadang di alun-alun kota yang ramai, sehingga harus
“menyamar” sebagai pengunjung biasa.
Kadang menanamnya di lokasi yang sunyi, di tengah bukit, hutan atau
pantai, saat malam tiba. Untuk yang
terakhir ini, sejujurnya, penulis beberapa kali merasakan sunyi yang mencekam,
merinding, serem juga. Tempat yang
paling mencekam bagi penulis adalah kawasan perbukitan di antara
Kuningan-Ciamis, Jawa Barat. Persentuhan
dengan dimensi lain terasa demikian nyata.
Namun, itu memang lakon yang harus dilalui. Dengan cara demikianlah penulis bisa
berkontribusi untuk negeri ini.
Satu momen emosional
lainnya adalah ketika penulis dan rombongan melintasi Kuningan, Jawa
Barat. Rumah penulis berada di Kuningan,
dan disanalah istri dan anak-anak penulis tinggal. Tentu saja, tarikan rasa untuk pulang ke
rumah demikian besar, karena jalur jalan yang dilalui penulis berjarak tak
lebih 25 km dari rumah penulis. Tapi,
hasrat untuk berkumpul dengan keluarga harus ditahan, demi tuntasnya kerja bagi
negeri.
Sementara itu, dalam
perjalanan ini, penulis menemukan dua sinyal semesta yang mengesankan hati. Pertama, di Pulau Nusa Kambangan. Kami memasuki pulau ini, dan di pantai
selatan pulau ini bermeditasi untuk kedamaian penghuni Nusa Kambangan dan
bangsa ini secara keseluruhan. Ketika
itu, suasana yang semula disaput mendung pekat yang membekukan hati, berganti
atmosfer ceria ketika meditasi usai dilaksanakan. Lalu, di titik akhir, yaitu di Cemara Sewu,
kabut yang sangat pekat ketika itu, sirna saat meditasi pamungkas selesai
dilakukan. Bagi penulis, ini adalah
simbol sirnanya kegelapan di negeri ini dan terbukanya gerbang kegemilangan.
Pulihlah kejayaan
Nusantara sebagaimana ternyatakan dalam Serat Jayabaya Watisara:
.......Wus pinurag Tanah Jawa dadi udur
(sudah
lama Tanah Jawa diperebutkan),
Prabu Anom majeng ngrana
(Raja
Muda maju ke medan perang),
mawor jalma rucah mbenjing
(bercampur
dengan orang awam nanti).
Ambelani Tanah Jawa
(membela
Tanah Jawa),
kinarubut saking njero lan njawi
(dikeroyok
dari dalam dan luar),
sinaranan agal alus
(secara
kasar dan halus),
nging cabar kabadharan
(tetapi
dapat ketahuan),
thingak-thinguk temah angrarampek sampun
(celingukan
hingga merajuk minta dikasihani),
mungsuh njaba bobodholan
(musuh
dari luar tercerai berai),
kesah nging taksih ngrarampit
(pergi
tapi masih menyerang).....
(Cuplikan dari ALMENAK MAHA-DEWA" 1954. Diterbitkan oleh Badan Penerbit "MAHA -
DEWA" di Ngayogyakarta Hadiningrat. Dialihbahasakan ke Bahasa Indonesia
oleh RMT Dwija Setya Nagara di Surakarta Hadiningrat)
eh, mas'e tibae lewat kotaku pula.klo dolan ke candi mbokya dipideoin, biar virtual tour gitu, ada backsound yang keren lebih oke lho. ni lagi denger dari karunesh.matur thanyou
ReplyDelete