Saat-saat datangnya kesadaran itu tidaklah terduga. Tak pernah mengambil pola pasti. Kadang ia datang saat saya duduk terpekur di
keheningan malam, melihat langit berbintang.
Kadang ia datang saat saya duduk santai di bawah pohon mangga. Kadang ia muncul saat saya duduk setengah
melamun di angkutan umum. Bagaimanapun
prosesnya ia datang, namun kesadaran ini ibarat penerang di tengah
kegelapan. Kesadaran yang membuat kita
mengerti berbagai perkara yang semula samar.
Kesadaran menghubungkan kita dengan kenyataan dan meluruhkan semua ilusi
yang tertanam di benak.
Saya coba mencermati lebih jauh, apa sesungguhnya
KESADARAN. Dan bagaimana sesungguhnya
penyadaran yang berarti proses munculnya kesadaran bisa datang dalam kehidupan
satu pribadi.
Pengertian akan kesadaran ini tumbuh seiring pengertian akan
diri. Mencermati diri, mengurai lapis
demi lapis keberadaan diri, bisa ditemukan keberadaan Sang Aku. Sosok Aku inilah yang memiliki free will
untuk melakukan apa yang dia mau, sesuai batas kemampuan yang ia miliki. Di balut tubuh eterik dan tubuh ragawi, Sang
Aku ini menjalani hari demi hari di bumi ini, hingga tibalah masa dia berpindah
ke dimensi lain.
Yang unik adalah free will ini. Ialah yang membuat manusia bisa memilih jalan
manapun yang ia mau. Suka dan duka
dipilih sendiri.
Melalui permenungan yang lebih mendalam, bisa ditemukan
realitas bahwa Sang Aku ini mengambil pilihan tindakan, berdasarkan berbagai
pengaruh: kadang hanya mengikuti insting, kadang mengikuti intuisi yang berakar
pada matangnya pengalaman, kadang mengikuti asumsi-asumsi yang berakar kuat
dalam nalar, kadang mengikuti kalkulasi nalar yang matang. Dalam beberapa
kasus, ada pribadi yang Sang Akunya mengikuti bisikan-bisikan dari luar dirinya:
ada kuasa supranatural yang memberikan panduan. Dan, ada pribadi yang telah mencapat tataran
dimana pilihan-pilihan tindakannya diselaraskan dengan dorongan dari dirinya
yang paling dalam. Tak mudah membahasakan
realitas ini, tapi, secara sederhana, bisa dijelaskan sebagai keadaan dimana
ketika Sang Aku sudah manunggal, selaras, tahu, terhadap Realitas
Tertinggi/Tuhan/Brahman.
Menimbang perjalanan hidup saya, bisa saya katakan bahwa ada
periode hidup dimana pilihan-pilihan tindakan saya banyak dipengaruhi oleh
asumsi yang muncul dari penyimpulan terhadap apa yang saya cerap melalui panca
indera. Ini terjadi karena memang saya
pada dasarnya adalah pribadi rasionalis yang sangat percaya pada kekuatan nalar
saya.
Ternyata, cara hidup seperti ini sering tidak membawa
keselamatan. Asumsi saya tidak jarang
keliru, sehingga pengambilan keputusan bertindakpun menjadi keliru, dan kadang
berakibat fatal.
Hingga suatu masa, saya dibimbing Sang Hidup melalui
beberapa sosok, untuk menggeser kesadaran dari nalar ke lokus lain: rahsa
sejati. Penamaan ini juga penyederhanaan
dan simbolik. Intinya, ada dimensi lain
dalam diri kita yang merupakan manifestasi dari Sang Hidup sendiri untuk
menjadi penuntun laku hidup kita.
Siapapun yang peka terhadap tuntunannya, otomatis laku hidupnya selaras
dengan cetak biru kehidupan pribadi kita sebagaimana digariskan – mereka yang
religius menyebutkan fenomena ini sebagai “mengikuti kehendak
Tuhan/Gusti/Brahman”.
Langkah paling dasar untuk bisa mempraktekkan kesadaran yang
berlokus pada rahsa sejati adalah mengerti apa bedanya berpikir dan
merasa. Latihan pertama saya, merasakan
limpahan sinar matahari di pagi hari, untuk tahu dengan tepat apa bedanya
dengan memikirkan sinar matahari.
Langkah berikutnya, adalah merasakan nafas dan juga realitas tubuh. Semakin lama, saya semakin tahu apa bedanya
berpikir dan merasa. Lebih lanjut, adalah
merasakan keberadaan sumber hidup di dalam diri: realitas yang dalam
terminologi Jawa disebut Gusti dan bisa dirasakan bertahta di telenging manah
atau pusat hati. Tentu saja hati di sini
bukan lever. Ia adalah simbol untuk
dimensi terdalam dari Sang Aku, esensi dari Sang Aku, yang bisa disebutkan
sebagai Aku Sejati.
Semakin intensif menyadari keberadaan rahsa sejati yang
berujung pada kesadaran akan realitas Aku Sejati, maka berubahlah pola hidup
saya. Bukan berarti selamanya saya tidak
lagi mengikuti asumsi, kepercayaan, instink maupun intuisi. Tapi, kini saya lebin sering membiarkan diri
saya mendapatkan tuntutan dari kedalaman diri saya.
Tuntunan itulah yang saya mengerti sebagai sumber kesadaran:
saya bisa mengerti realitas karena Sang Aku kini memilih bekerja berdasarkan
tuntunan dari Sang Aku Sejati.
Bagaimana dengan Anda?
lanjut mas,terus dan terus belajar.
ReplyDeleteMantab
ReplyDelete