Setahun belakangan,
Bejo sangat sering mengunjungi Mbah Gemblung.
Tapi, jarang ia memperhatikan detail rumah tersebut. Kini ia baru sadar, jendela di beranda tempat
ia duduk dan mengobrol dengan Mbah Gemblung, ternyata terbuat dari susunan
kayu-kayu bekas. Kayu-kayu yang semula
tak terpakai itu, bisa membentuk struktur jendela yang artistik karena gubahan
tangan Mbah Gemblung. Ternyata Mbah
Gemblung memang senang mempergunakan kembali benda-benda bekas yang semula
hanya tergolek di sudut tertentu. Bakat
artistik Mbah Gemblung ternyata menghasilkan karya yang bersahaja namun punya
estetika unik dan menarik.
Siang itu, Bejo
melanjutkan obrolannya tentang laku Jawa.
Ia melontarkan kata-kata pembuka sebagai berikut, “Mbah, kita pernah
bicara sebelumnya bahwa laku Jawa itu menekankan pada penyadaran. Dan salah satu indikator manusia yang sadar
adalah tertuntun oleh Gusti yang bertahta di telenging manahnya. Sehingga aturan-aturan eksternal dalam bentuk
agama, tidaklah penting. Tetapi
kenyataannya begini Mbah, tidak semua orang bisa menyadari keberadaan Gustinya
dan tertuntun oleh Gusti. Bukankah
orang-orang yang demikian tetap membutuhkan agama Mbah?”
Mbah Gemblung
menanggapi, “Hmmmm. Untuk mengerti
perkara ini, mari kita urai lebih jelas.
Menurutmu Jo, dalam kaitannya dengan kehidupanmu di rumah tangga, atau
dalam bertetangga, membutuhkan aturan dari luar? Jika memang membutuhkan, apakah itu harus
dalam bentuk agama?”
Bejo yang ditanya
berkomentar, “Mbah ini kalau ditanya malah balik bertanya?”
Mbah Gemblung pun
tertawa lalu berata lebih lanjut, “Lho ya biar jelas tho Jo. Lagi pula buat apa nalarmu kalau tidak
dipergunakan, eman-eman tho Jo. Ha, ha,
ha”
Bejo ikut tertawa dan
berujar, “He, he, he. Mbah Gemblung kok
dilawan! Menurut pertimbangan saya
begini Mbah. Prinsipnya, dalam segala
perkara dan wilayah kehidupan, diperlukan aturan main. Aturan main itu yang berfungsi memastikan
setiap pribadi tetap bisa menyaman menjalani hidupnya tanpa terganggu oleh
keberadaan pribadi lain.
Kenyataannya, satu
pribadi dengan pribadi lainnya bisa mengganggu.
Sebagai contoh, tetangga saya bisa terganggu ketika saya meletakkan
sampah dari rumah saya di halamannya.
Sebaliknya saya juga bisa terganggu ketika tetangga saya menyanyi
keras-keras di tengah malam. Agar semua
merasa nyaman, perlu sebuah keselarasan perilaku. Tetapi, agar keselarasan perilaku ini terjadi
dan semua orang merasa nyaman, jelas tidak selalu diperlukan aturan
tertulis. Juga, tidak selalu dalam
bentuk aturan dari Tuhan yang kemudian ketika disistematisasi dan
diorganisasikan, menjadi apa yang kita kenal sebagai agama. Dalam sebuah lingkungan sosial, bisa tumbuh
nilai-nilai bersama, etika bersama, yang bisa menjadi sebuah tradisi,
adat. Nilai-nilai demikian, yang
kemudian dipegang oleh warga sebuah lingkungan, tidak selalu tertulis tetapi
hidup. Dan itu juga tidak mesti berakar
dan berbentuk agama. Nilai-nilai demikian
terbangun melalui nalar pribadi yang berkembang menjadi nalar kolektif.”
Mbah Gemblung diam
sejenak. Ia mencomot beberapa butir
kacang rebus yang tersaji di meja. Usai
kacang tersebut habis dimakan, ia berkata lagi, “Hmmmm....pertanyaan berikutnya
Jo. Terkait dengan pakaianmu, atau apa
yang kamu makan, apakah perlu ada peraturan tertentu yang tertulis, atau
dibutuhkan juga sebuah agama yang mengatur tatacara berpakaian dan makan?”
Bejo dengan penuh
kesungguhan mengungkapkan pandangannya, “Jika direnungkan, setiap manusia punya
budi atau kecerdasan, punya pertimbangan-pertimbangan nalar. Sebetulnya dengan perangkat itu ia bisa
menentukan pakaian apa yang layak dikenakan,
juga makanan apa yang tepat dikonsumsi.
Juga melalui budi dan nalarnya orang bisa menentukan bagaimana cara
makan dan cara mendapatkan makanan tersebut.
Termasuk bisa mengerti mengenakan pakaian apa pada kala apa dan di
mana. Secara natural, akan terbangun
sebuah kesadaran bersama, yang seperti saya katakan tadi, membentuk tradisi,
adat, ataupun etika kolektif. Orang yang
bertindak tidak sesuai dengan ini, pasti akan mendapatkan reaksi tertentu dari
lingkungannya dan mau tidak mau juga akan menyesuaikan diri agar tidak
terkucil.
Mempertimbangkan
kenyataan demikian, lagi-lagi tidak selalu dibutuhkan aturan tertulis yang
mengikat, sebagaimana tidak selalu dibutuhkan agama untuk membuat segalanya
tertata. Jikapun dibutuhkan sebuah
hukum, atau aturan eksternal, itu untuk perkara-perkara tertentu yang menurut
saya telah diperankan secara efektif oleh hukum positif. Orang-orang, entah beragama ataupun tidak,
terikat oleh hukum positif itu, yang di Indonesia diejawantahkan dalam Hukum
Pidana dan Perdata. Meskipun bisa jadi
ada sebagian muatan di hukum positif itu berakar pada agama, tapi tanpa
agamapun orang bisa membuat hukum positif.
Karena orang memiliki budi dan nalar.
Dan berbagai pribadi berbeda yang diberi otoritas dengan budi dan
nalarnya itu bisa bersepakat untuk menentukan apa saja perkara kehidupan yang
perlu dituliskan aturannya.”
Mbah Gemblung terus
mengejar, “Hmmm..jika demikian pertimbanganmu, masihkah dibutuhkan agama?”
Dengan tangkas Bejo
menjawab, “Begini Mbah....harus diakui juga, bahwa ada yang tidak bisa
diselesaikan oleh hukum positif maupun sebuah tradisi. Katakanlah, orang-orang perlu tahu jalan
untuk lepas dari penderitaan. Orang-orang
juga perlu untuk dapat kepastian, ketika mati atau sukmanya berpisah dengan
raga, mereka tetap berada dalam kesejahteraan, kesentausaan. Pada titik ini menurut saya diperlukan
agama, karena agamalah yang menguak rahasia hidup secara lebih luas, termasuk
terkait perkara-perkara yang tak kasat mata.
Tentang kehidupan setelah mati, tentang Tuhan, dan perkara-perkara
lainnya.”
Mbah Gemblung lalu
menggenapi jawaban Bejo, “Tepatnya Jo, sebagian orang memang butuh tuntunan
agar mereka bisa tertuntun oleh Gustinya.
Realitasnya sekalipun Gusti itu nyata di dalam diri dan melingkupi hidup
ini, senantiasa memberikan tuntunan kepada jalan kesentausaan, tidak semua
orang sadar. Sebagian orang terikat oleh
dimensi ragawinya, terbelengu oleh gejolak perasaannya, lebih mengikuti
dorongan-dorongan kedagingan ketimbang menuju pada kebeningan. Jikapun mereka sudah punya hasrat untuk masuk
pada tataran jumbuh, bersenyawa, atau manunggal dengan Gusti, belum tentu juga
mereka tahu caranya.
Tetapi, tuntunan demikian
tak mesti dalam bentuk agama, tidak mesti juga dinamai agama. Esensinya itu adalah tuntunan, yang jika
dipraktikkan pasti membawa manusia menyibak tirai demi tirai penghalang antara
dirinya dan Gusti. Tapi kamu jangan
bayangkan tirai ini berbentuk gorden lho Jo.
Ha, ha, ha. Ini adalah
pembahasaan untuk kesadaran yang terbatas.
Melalui penyadaran, kesadaran seseorang akan meluas. Jika kesadaran seseorang ini terus meluas,
ia akan sampai pada keberadaan tanpa batas, yang menjadi esensi semesta sekaligus
esensi diri.”
Sambil tersenyum Bejo
mengungkapkan kesepakatannya.“He, he, he, iya Mbah.” Tapi lalu ia berujar, “Pertanyaannya, tuntunan ini sejatinya apa,
dibuat oleh siapa, bermula dari mana?”
Setelah melepas
kacamatanya sebentar dan memakainya kembali, Mbah Gemblung menguraikan
pendapatnya, “Begini Jo. Kehidupan ini
bukan sebatas apa yang engkau bisa lihat dengan mata ragawimu. Bicara tentang titah urip tidak terbatas pada
manusia, hewan. Planet yang berpenghuni
juga bukan cuma bumi. Penggejawantahan
Hyang Yaktining Hurip itu gatranya punya ragam tak terbatas, bertingkat-tingkat
kedudukannya, tertata dalam sebuah sistem yang kompleks. Tuhan yang tanpa batasan dan gatra sendiri
juga realitasnya bisa mempribadi, menjadi penguasa semesta. Di dalam Bhagawad Gita, Tuhan yang mempribadi
inilah yang dikenal sebagai Wisnu atau Sri Kresna. Di dalam layang-layang Jawa Kuno, Beliau
dikenal dengan nama Gosoto yang berarti Kasih.
Nah, uniknya adalah, manusia itu bisa dikatakan sebagai jagad alit,
miniatur dari jagad ageng atau semesta.
Apa yang ada pada semesta, struktur dan tatanan pada semesta,
tercerminkan pada keberadaan manusia.
Maka, jika di semesta ini ada sang pribadi penguasanya, di dalam diri
manusia juga demikian. Itulah yang kita
mengerti sebagai Diri Sejati, atau Gusti.
Maka, apa yang terjadi
bisa dilihat dalam dua perspektif. Di
satu sisi, tuntunan bagi manusia itu bisa dilihat berasal dari Tuhan Sang
Penguasa Semesta yang keberadaannya transenden, yang disampaikan kepada manusia
melalui kuasa-kuasa tertentu atau pengejawantahan perdana dari Tuhan yang
mempribadi. Orang Jawa Kuna mengenal
realitas demikian dengan nama “ngabidha”.
Tradisi semitik mengenalnya sebagai malaikat. Tradisi Arya menyebutnya dewa.
Di dalam Layang Joyoboyo dipaparkan sebagai berikut:
"NOTODOKO: 188 Kaca 67."
'Gusti kang welas asih,
Hamung Panjenengan ...
Saksi Hulun ingkang wiwitan,
Hingkang kuwasa ngutus:
Notodoko ...
Terogono ...
Gokonongodo ...
Gonodoko ...
Njagi gesang ...
Gokonongodo ...
Gonodoko ...
Njagi gesang ...
Lan seda Hulun.'
SOHO.
Teks Jawa Kuna ini menjelaskan keberadaan Gusti dan utusan
Gusti yang juga disebut sebagai sedulur papat yang momong manusia, termasuk
menyampaikan pesan-pesan Gusti kepada manusia.
Tetapi dalam perspektif
lain, tuntunan itu sebenarnya berasal dari dalam diri manusia sendiri, dari
Gusti yang menjadi inti keberadaan manusia, dan bisa diperoleh melalui laku
wening. Utusan-utusan Gusti yaitu
Notodhoko, Torogono, Gokonongodo dan Gonodoko juga berada di dalam diri,
bertahta di lapisan-lapisan raga manusia.
Orang bisa menemui mereka dengan menyelam ke dalam diri.
Ada orang-orang
tertentu yang secara natural punya kematangan jiwa dan perangkat-perangkat
penyadarannya bisa dikatakan telah “ON” atau aktif, sehingga mereka lebih
dahulu sampai pada tataran jumbuh atau manunggal dengan Gusti. Maka, pesan-pesan Gusti, yang bisa menjadi
tuntunan bagi manusia, bisa datang melalui orang-orang seperti ini. Dalam tradisi Semitik mereka disebut sebagai
nabi (pembawa berita). Di Jawa, karena
orang-orang seperti ini banyak jumlahnya, penamaan menjadi tidak begitu
penting. Yang pasti, orang bisa
mendapatkan tuntunan dari mereka sebelum kemudian secara langsung terhubung
dengan Gustinya.”
Bejo menyimak paparan
yang panjang dari Mbah Gemblung. Lalu
dia memberikan tanggapan, “Hmmm...nah, itu dia Mbah. Banyak orang yang membutuhkan tuntunan nyata
tentang bagaimana manembah, bagaimana mengatasi problema hidup, bagaimana
membuang sengkala atau kesialan, bagaimana memulihkan kehidupan yang kadung
porak poranda, termasuk juga bagaimana bisa mendapatkan rejeki yang memadai.
Mbah Gemblungpun
menegaskan, “Ya, dan perlu Mbah sampaikan bahwa sebelum datang agama-agama dari
mancanegara, di Jawa ini sudah ada tuntunan canggih mengenai perkara-perkara
itu. Itu mengejawantah dalam tuntunan mengenai
pola manembah, pola hidup, aksara, penanggalan, dan lainnya. Kalau kita bicara aksara Jawa sebagai contoh,
dibuat atau diperkenalkan oleh Mpu Hubayun pada tahun ± 911 SM (Sebelum Masehi). Kemudian, Prabu Sri Maha Punggung I atau Ki Ajar Padang I mengadakan perubahan pada
Haksara dan sastra Jawa pada pada tahun 50 SM (Sebelum Masehi)
Kemudian, bertepatan tanggal 21 Juni 77 M oleh
Prabu Ajisaka atau Prabu Sri Maha Punggung III melakukan kembali perubahan Aksara. Ia juga mengembangkan sistem
penanggalan Jawa.
Ajisaka
juga bernama Jaka Sengkala ... lahir tahun 704 masa Pancamakala ... ayahnya
bernama Mpu Anggajali dari pegunungan Kendeng Selatan ibunya bernama Dewi Saka
dari suku Avicaka ... dari India Utara.
Tahun itu semasa dengan tahun Adam 5088 dan 5260 tahun Matahari.
Ayah
Mpu Anggajali bernama Mpu Ramayadi atau Ramadi
yang asli dari pegunungan Kendeng Selatan di pulau Jawa. Hidup Aji Saka ini semasa dengan Maharaja
Kaneshaka dari suku Avicaka yang mengadakan ekspansi ke Jawa. Dan bisa jadi Aji Saka ikut bersama ekspansi ini. Terjadi perkawinan
antara Aji Saka dengan putri dari keturunan Nie Rah Kie cucu dari Kie Seng Dang
dari Pegunungan Kendeng Utara.
Prabu
Kaneshaka menerapkan penanggalan Caka di Pegunungan Kendeng Utara sejak tanggal
23 Maret 78 Masehi. Itu menjadi permulaan 1 Sura tahun 1 Caka. Aji Saka juga
melakukan penerapan penanggalan yg berpatokan Pranata Mangsa Jawa dari
Pegunungan Kendeng Selatan warisan leluhurnya
dimulai tanggal 21 Juni 78 Masehi.
Dan ini dijadikan mulainya 1 Sura 1 Saka
(Aji Saka) tahun Sangkala.
Nampaknya
inilah yang membuat rancu penanggalan Jawa karena afa dua sistem penanggalan
yang nampak serupa tapi ternyata berbeda.
Setidaknya selisih 3 bulan dan karakternya sungguh berlawanan karena
penanggalan Caka berpedoman dari Surya pada garis balik Utara sedangkan
penanggalan Sangkala berpedoman Surya pada garis balik Selatan. Kala itu
penanggalan Sangkala sudah masuk tahun ke 989.”
Mendengar paparan itu Bejo menukas, “Hmm...itu
berbeda ya Mbah dengan informasi yang sering dipelajari di sekolah bahwa orang
Jawa atau Nusantara itu animis-dinamis, tidak mengenal peradaban yang canggih.”
Mbah Gemblung tertawa pelan lalu
melanjutkan uraiannya, “He, he, he, iya Jo.
Bahkan sebetulnya, kita punya ajaran yang lebih tua lagi. Merujuk pada artefak dan manuskrip dari
Klothok, kita bisa menemukan aksara dan ajaran yang telah ada sejak 4426
SM. Aksaranya disebut Jawa Ngawi atau
Jawa Nglegena. Nah, tadi ketika Mbah
mengutip ujaran Notodoko, itu dikutip dari Layang Joyoboyo yang memuat ajaran
Jawa Kuno yang lebih kuna dari tradisi Ibrahim, tradisi Hindu juga Budha.
Apa
yang ada di dalam Layang Joyoboyo, sejatinya merupakan sabda GUSTI. Itu diturunkan kepada Sang Paksi Tundha
Mangkawa bernama JOSONO di gunung Klothok Kediri 6440 silam pada hari Goso Pon (Selasa Pon). Dan itu menjadi bulan Suro (Hosoro) yang asli
Jawa, diperingati setiap tahunnya sebagai peristiwa Turunnya Sabda Gusti untuk
Warang Djowo (manusia Jawa).
Dan kamu juga perlu mengerti Jo, yang lebih tua dari itu juga ada. Pawukon itu sudah ada sejak 17 ribu tahun
yang lalu atau sekitar 15 ribu tahun SM. Pawukon adalah pengetahuan
mengenai wuku-wuku. Di dalamnya
membeberkan pengaruh baik dan pengaruh buruk bagi seseorang yang dilahirkan
pada wuku yang bersangkutan. Watak tabiat dari masing-masing wuku tersebut
dipengaruhi oleh kuasa semesta yang menaunginya, serta atribut yang dibawanya.
Atribut tersebut seperti misalnya: burung, kayu pohon dan yang lain. Menimbang
pawukon seperti demikian, bisa kita pastikan bahwa itu hanya bisa terbentuk
dalam konteks budaya atau latar tradisi yang maju.
Tetapi, inti ajaran Jawa dari berbagai periode itu sama. Itulah yang disebut Sastra Cetha.
ESTUNE ...
SUKMA SAYEKTI ...
DUMUNUNGE ...
ING SATELENGING ATI ...
ING SATELENGING ATI ...
SING SAPA WONGE ...
NGAWRUHI KANTHI NASTITI ...
MBENJANG BAKALE ...
GESANG LANGGENG SARENG GUSTI ...
HOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOONG
(Sesungguhnya
Sukma sejati
Bertahta di pusat hati
Siapa saja orangnya
Yang mengetahui perkara ini dengan cermat
Esok akan
Hidup langgeng bersama Gusti.
Hoooooong.”)
Bejo yang terkesan dengan paparan panjang lebar dari Mbah
Gemblung bertanya lagi, “Mbah, bisakah dibabarkan pola manembah ala Jawa Kuno
yang bisa saya praktekkan untuk mempercepat proses menjadi wening dan jumbuh
dengan Gusti?”
Mbah Gemblung menanggapi sambil tertawa, “He, he, he, ada
Jo. Memang orang seperti kamu ini perlu
ya tuntunan seperti itu.”
Bejo menjawab singkat, “Iya Mbah, benar....”
Mbah Gemblungpun memberikan sarannya pada Bejo, “Coba kamu
pelajari pola manembah yang dipaparkan di Layang Joyoboyo ini. Untuk yang dasar, ada 4 gerakan. Setiap gerakan ada japa atau kata-kata
tertentu. Gerakan dan japa ini membawa
energi perubahan tertentu pada manusia yang menjalankannya.”
Dengan penuh hormat Bejo berkata, “Baik Mbah...sendika
dawuh...”
penjabaran yg rasional
ReplyDeletetrimaksh mas styo.. sged tmbh kaweruh
ReplyDelete