Oleh Stefanus Toni Aka Tante paku
JAKARTA, (Kompasiana) - Siang yang cukup panas di kota Solo tak membuat kami kepanasan, karena saya bersama mbak Niken Satyawati dan salah satu kerabat Presiden Jokowi tengah berbincang di suatu kantor yang berpendingin. Obrolan begitu mengasyikkan tentang banyak hal, hingga pada akhirnya mbak Niken nyeplos berkata.
Niken Satyawati : “Mas, mbok bilang sama Pak Jokowi untuk kembali menyapa para relawannya.”
Stefanus Toni : “Itu bagus, biar para relawan tidak melupakan untuk terus mengawal Jokowi, bukan hanya mendukung sampai jadi Presiden doang.”
Ring 1 : “Oke nanti saya sampaikan.”
Pertemuan berikutnya kami bertemu lagi dan melanjutkan perbincangan dengan topik-topik yang lagi hangat.
Ring 1 : “Mas Toni, kira-kira siapa saja Blogger yang masih konsisten menulis tentang Jokowi?”
Saya terdiam sejenak, beliau memang tahu kalau mbak Niken dan saya sampai saat ini masih konsisten menulis tentang Jokowi dan segala isyu yang baru, mbak Niken aktif di Kompasiana, sementara saya berpetualang di Facebook, dengan mengelola sebuah FANSPAGE CATETAN MAZ TONI Aka TANTE PAKU, membuat FP ini juga atas saran mbak Niken karena melihat begitu ramainya wall FB saya dan pertemanannya sudah mentok dan harus menghapus dulu sebelum menerima pertemanan baru.FP itu memang saya dedikasikan untuk menulis POLITIK dengan segala topik untuk mengcounter berbagai pernyataan tokoh besar di negeri ini ketika “mencela” Presiden Jokowi tanpa fakta dan argumentasi yang benar. Dan FP saya menjadi tempat nongkrong banyak pendukung Jokowi dan selalu memberi masukan tentang berbagai isyu untuk saya buatkan artikelnya.
Ketika ditanya siapa Blogger yang aktif menulis tentang Jokowi, tentu saja banyak, cuma mencari yang konsisten menulis hingga hari ini tidak semudah menyebutkan namanya. Lalu saya teringat teman-teman di Kompasiana yang masih aktif menulis, saya tahu karena sering men-tag nama saya di FB saat memposting tulisan terbarunya di Kompasiana.
Saya pun menyebutkan nama-nama teman di Kompasiana, mbak Niken juga menambahi, dan Ring 1 sambil membuka web Kompasiana mencari nama-nama Kompasianer yang kami sebutkan. Baru beberapa saja yang bisa kami ingat, dan Ring 1 minta daftar nama Kompasianer dengan lebih banyak lagi.
Saya dan mbak Niken tidak bertanya, untuk apa? Dan memang kami beranggapan beliau ingin membaca saja.
Seleksi Ketat
Berikutnya saya bekerja seperti biasa, sudah melupakan perbincangan itu. Beberapa minggu kemudian (2/5/15) saya bertemu lagi dengan Ring 1 di sore yang cerah, ketika beliau mau pulang mengatakan kepada saya.
“Besok mas Toni, mas Setyo, mas Nino, dan mbak Niken diundang makan Presiden ke Istana Negara sebagai Blogger Kompasiana.” katanya sambil berbenah perlengkapan gatgetnya.
“Kapan mas?” Tanya saya penasaran.
“Mungkin tanggal 13 Mei,” jawabnya sambil tergesa berpamitan.
Dari situlah bergulir nama-nama Kompasianer yang lolos seleksi “Tim Senyapnya” Jokowi, dan mbak Niken bertugas memberitahukan lewat inbox di Kompasiana maupun Facebook, saya juga membantunya walau tidak sesigap mbak Niken. Hanya menjawab keraguan mereka bahwa undangan MAKAN SIANG di Istana Negara itu BUKAN HOAX.
Tak lupa mbak Niken menghubungi langsung Kang Pepih Nugraha sebagai penggagas jurnalis warga Kompasiana, namun jangan ditulis atau diumumkan di Kompasiana, soalnya semua belum jelas, siapa saja yang akan dipilih untuk makan siang bersama Presiden Jokowi itu. pesan mbak Niken pada Kang Pepih.
Pepih Nugraha : “Apakah saya bisa mengundang pak Jokowi untuk hadir ke Kompasianival 21 November besok mbak?”
Niken Satyawati : “Silahkan saja kang Pepih, lebih baik langsung diserahkan undangannya, biar terjadwal lebih awal.”
Mendengar itu Kang Pepih makin bersemangat dan akan segera membuatkan undangannya untuk langsung diserahkan kepada Presiden Jokowi nanti.
***
Ternyata mendekati tanggal 13 Mei itu belum ada kabar dari Ring 1, saya pun menduga pasti diundur, karena jadwal presiden sering mundur karena faktor mendadak, memang gaya pak Jokowi seperti itu, tapi saya yakin kepastian itu ADA, cuma tidak tahu pastinya.
Inbox pun pasti seru, begitulah dugaan saya, mbak Niken makin sibuk dengan berbagai pertanyaan yang tak mampu dijawabnya dengan pasti. Inbox saya pun menjadi ramai dari beberapa Kompasianer yang bertanya soal kepastian tanggalnya itu. Bahkan ada yang akan pesan tiket dulu, soalnya tanggal 14 dan tanggal 16 itu hari libur, pasti akan kehabisan tiket bila tidak memesannya dahulu.
Saya pun tidak tahu harus menjawab apa, maka saya putuskan saja, “Beli saja tiketnya, bila nanti mundur, ongkos tiketnya saya ganti.”
“Oke!” Jawab Kompasianer itu tampak bersemangat.
Ternyata Kompasianer tersebut tidak jadi beli tiketnya, karena ada kepentingan mendadak dari kerabat dekatnya, cukup MEMUPUS KONTROVERSI HATINYA, bila nasib baik akan bertemu presiden, bila tidak ya sudahlah, belum jodoh, begitulah barangkali kontroversi hatinya.
Akhirnya, yang ditunggu-tunggu pun tiba, Kompasianer dari Solo mendapat KEPASTIAN tanggal serta jamnya karena Pak Jokowi yang nelpon sendiri, dan dengan gembira mbak Niken mengkabarkan kabar gembira itu. Para Kompasianer yang dikabari, menurut informasi dari satelit, banyak yang jadi bertingkah aneh-aneh alias NERVOUS tingkat tinggi, tanyakan sendiri saja ke yang bersangkutan ha ha ha ha ha ha………………
Namun, ada juga Kompasianer yang tidak bisa hadir, karena jauh, atau tidak menjawab inbox, mungkin dianggapnya hoax, jadi tidak mau menanggapinya, atau lagi off panjang dari dunia maya?
Berangkat Ke Jakarta
Ring 1 sudah membelikan kami berlima tiket pesawat PP Solo-Jakarta 2 hari sebelum hari keberangkatan. Kami (Andi Wibowo, Stefanus Toni Aka Tante Paku, Niken Satyawati, Nino Histiraludin, Setyo Hajar Dewantoro) berangkat dengan penerbangan paling pagi, kurang lebih jam 07.00, namun tanggal 18 Mei malam kami dikabari dari maskapai bahwa penerbangan DELAY, jadi berangkatnya mundur jam 08.00 pagi.
Dengan diundur keberangkatannya itu, saya termasuk senang, artinya bisa bangun siang. Namun tidak dengan mas Setyo, mas Nino, dan mbak Niken, mereka tetap bangun pagi. Bahkan, mbak Niken susah sekali memejamkan matanya, seolah-olah itu bukan kenyataan alias halusinasi saja, kok bisa diundang makan siang ke Istana Negara? Akhirnya kegalauan hati membuat matanya sulit terpejam.
Bahkan seusai sholat Subuh, mbak Niken langsung keluar rumah menuju POS RONDA untuk menunggu jemputan dari Mas Nino, hari yang begitu sepi dan dingin itu tak membuat mbak Niken kedinginan dan ketakutan, semangat ingin lekas sampai Istana Negara membuatnya gelisah, gelinya sampai basah.
Begitu juga dengan mas Nino, ia pun dengan semangat menjemput mbak Niken untuk menuju bandara. Rencana berangkat barengan jadi berantakan karena kedua Kompasianer itu takut ketinggalan pesawat, saya pun harus menunggu mas Setyo, namun kemarin malam sudah tak hubungi kalau pesawat delay, soalnya saya kuatir datang jam 3 pagi ke rumahku, padahal itu jam saya mulai tidur (halah).
Karena jadwal terbangnya mundur, bangun jam 06.00 pagi tak membuatku langsung mandi, tapi pesbukan dulu. HP saya berbunyi, saya lihat mas Nino berulangkali SMS, begitu juga mas Setyo.
“Saya sudah sampai Bandara di ruang tunggu mas.” Bunyi SMS mas Nino.
“Ok, saya tak mandi dulu.” jawabku singkat.
“Walaaah….ha ha ha ha ha ha……ya monggo tak tunggu.” balas mas Nino.
Mas Setyo pun mengirim SMS dengan bunyi, “Saya OTW ke rumah mas Toni!” Saya pun jadi sibuk untuk cepat-cepat mandi dan dandan seadanya.
Asal nyambar celana hitam yang ada di almari, sampai nggak sadar kalau itu jenis JEANS!
Akhirnya, kami berlima bertemu di Bandara, minum teh hangat sambil sarapan roti seraya nunggu keberangkatan pesawat. Mbak Niken pun bisa bernostalgia dengan DALANG SETAN Ki Manteb Soedarsono yang juga akan ke Jakarta untuk foto bersama saat bertemu di ruang tunggu.
Dan entah berapa kali teman-teman bolak-balik ke TOILET karena perasaan pengen pipis melulu.
Tragedi Celana Jeans
Di Bandara Soetta kami dijemput sopir pribadi Jokowi dan langsung menuju Istana Negara. Di tengah perjalanan Kang Pepih menghubungi mbak Niken dan sudah menunggu di HOLDING ROOM sejak tadi.
Akhirnya rombongan kami masuk gerbang dan sepertinya berbarengan dengan mbak Yodha Haryadi, mobil beliau terlihat tepat di depan kami, beliau tampak sibuk menjawab di Pos Pemeriksaan Kantor Sekretariat Negara.
Sementara mobil kami meluncur tanpa banyak pertanyaan dari petugas, mungkin sudah sangat mengenal sang sopir dan mas Andi. Mobil mbak Yodha menghilang entah parkir di mana? Kami pun turun tepat di depan rumah kaca, maklum sopir Jokowi sangat hafal setiap jengkal Istana Negara. Dan seperti tamu lainnya, kami harus mendaftarkan diri di ruang kaca, meninggalkan identitas yang ada KTP atau SIM untuk diganti dengan tanda pengenal yang disematkan di dada sebagai tamu presiden.
Tepat giliran saya, terjadilah hal yang tidak saya duga, petugas melihat saya mengenakan celana jeans langsung melarangku untuk masuk. “Maaf pak, celana jeans tidak diperkenankan masuk!”
Saya pun masih ngeles, kalau ini bukan celana jeans, tapi mirip jeans. Petugas pun tidak yakin dan memegang celana saya, “Ah ini jeans pak!” katanya.
Ya sudah, di tengah kebingungan dalam senyum, tiba-tiba ada petugas istana yang spontan menawari celana dinasnya untuk saya pakai. Ah pertolongan selalu datang tak terduga, dan suasana hati saya yang tenang selalu menunjukkan itu bukan persoalan berat, pasti dapat jalan keluarnya, yang tak kuduga sama sekali. Padahal saya ikhlas kalau memang tidak bisa makan siang bersama Presiden, atau alternatif lain keluar beli celana dulu, atau pinjam celana sopirnya Pak Jokowi.
Akhirnya saya diajak masuk ruang dalam, masih di ruangan itu. Ternyata di balik meja penerima tamu itu ada ruangan besar tempat para pegawai istana ngumpul dan melepaskan segala rutinitasnya. Mas Budi, nama pegawai itu naik ke lantai 2 untuk mengambil celana krem. saya nunggu di bawah ngobrol bersama pegawai yang lagi tidak bertugas.
Tak lama mas Budi turun dan memberikan saya celana dan membawa ke sebuah ruangan, di ruangan yang terdiri dari 2 tempat tidur, satu televisi, dan sebuah almari kecil, satu temannya tampak asyik tiduran sambil menonton acara tivi. Saya pun “kulonuwun” untuk salin celana dan terlibat pembicaraan ringan.
Wah ternyata celananya kekecilan ukuran pinggangnya, untung ada sabuknya, jadi tetap bisa dipakai, walau resluitingnya tidak bisa naik! Artinya, saya satu-satunya tamu Presiden Jokowi dari Indonesia yang pernah masuk Istana Negara untuk makan siang dengan Presiden mengenakan :
- Celana pinjaman.
- Risluitingnya terbuka.
Untung saya pakai kaos sport dan baju batiknya cukup panjang, jadi tidak ada yang tahu “insiden” memalukan itu ha ha ha ha ha ha ha…….Saya tetap PEDE bahkan bisa potret sangat dekat dengan Presiden dari berbagai posisi. Mungkin itu berkah dari “kecelakaan” tanpa sengaja itu.
Holding Room
Sebenarnya saya masih betah ngobrol dengan teman-teman petugas Istana Negara di ruang rahasia itu, tapi mas Andi sepertinya gelisah dan menelpon saya terus, apa sudah dapat celana, apa sudah selesai, dan beliau menunggu dari jauh agar saya tidak kesasar. Maklum saya memang suka BLUSUKAN jadi kadang-kadang mendapatkan hal-hal yang tak terduga.
Begitu keluar, saya pun harus menulis daftar hadir tamu, ndilalah KTP-nya ketlisut, padahal tadi sudah saya siapkan. Walah kok ada-ada aja, akhirnya saya bisa ninggalin SIM.
Di ruangan itu saya bertemu bapak tua, langsung saja saya salamin dan saya tembak dengan kalimat, “Bapak mau makan siang sama Presiden ya? Dari Kompasiana kah?”
“Iya benar.”
“Oh silahkan daftar dulu di sini sambil ninggalin KTP pak.” Saya sepertinya sudah bergaya pegawai Istana, ditunjang celana krem pinjaman ini.
“Bapak namanya siapa?” tanya saya lagi.
“Eddy Sudirman.“
“Nama di Kompasiana juga sama?”
“Axtea99.”
“Oke pak, nama saya Stefanus Toni Aka Tante Paku,” jawaban saya membuat beliau terhenyak dan tertawa sambil menggenggam erat tangan saya. Dan kami pun berjalan menuju Holding Room.
Kopdar Kompasianer
Sebelum masuk ruang tunggu untuk semua tamu Presiden pun di absen kembali, dicocokkan namanya dengan daftar yang ada oleh petugas perempuan yang cantik-cantik. Setelah cocok, saya pun diperkenankan masuk Holding Room.
Sambil menunggu Kompasianer yang belum tiba, kami pun kangen-kangenan sambil menceritakan berbagai pengalaman ketika menulis tentang Jokowi. Ketika Kompasianer sudah datang lengkap, makin serulah ceritanya.
Pepih Nugraha mengaku dijuluki KECEBONG oleh para Haters Jokowi.
Ninoy E Karundeng mengaku Sepatu, Celana, dan baju batiknya masih baru, baru beli kemarin.
Pak Axtea99 mengaku kehadirannya atas kehendak Allah.
Alan Budiman mengaku merasa tak layak diundang dan lebih banyak diam.
Demikian juga yang lainnya, menganggap ini KOPDAR KOMPASIANER PALING SPEKTAKULER, susah diulangi kembali.
Masuk Ruang Makan
Setelah menunggu agak lama, sekitar pukul 12.00 akhirnya Pak Teten Masduki mempersilahkan para Kompasianer masuk ruang makan kepresidenan. Tentu saja harus melewati detektor lagi, semua tas, HP, Kamera, dan yang lainnya ditinggal di pos penjagaan tersebut. Hanya pulpen dan buku saja yang bisa dibawa.
Satu persatu kami masuk ruangan, ruangan yang sejuk pilar-pilar besar berwarna putih tinggi menjulang dengan keangkerannya, karpet merah tebal tergelar, korden berenda emas memenuhi setiap pintu yang ada, banyak RONO dipajang sebagai penyekat bila ruangan sedang tidak dipergunakan. Ruang makan yang cukup besar ini, sudah berapa ribu kali MENJADI SAKSI pertemuan para tokoh pemimpin negeri ini dalam merapatkan segala keputusannya. Dan para Kompasianer bisa NAPAK TILAS di ruangan ini dengan penuh kebanggaan.
Lampu-lampu kristal cantik berderet menggantung di langit-langit, cahayanya berbinar cerah seperti wajah-wajah Kompasianer yang seolah berada di ball room Kerajaan Indonesia. Wajah Istana Negara tampak ramah saat Jokowi menjadi penguasanya.
Para Kompasianer pun dipersilahkan menempati tempat duduknya masing-masing sesuai nama yang sudah tertulis di kertas berbentuk prisma itu.Tentu saja tempat duduk berenda keemasan itu tidak diatur berdasarkan nama, tapi memang asal menaruh namanya, terbukti Kang Pepih bisa berganti dengan Kompasianer lainnya, semula duduk di sudut, bisa digeser untuk berhadapan dengan presiden.Thomson Cyrus yang semula duduk paling ujung, tepat di sebelah kanan saya, dipindah di ujung meja sebelah kiri. Artinya, kita bisa bertukar tempat duduk asal saling sepakat saja.
Sayangnya pak Presiden Jokowi mengambil tempat duduk paling tengah, hingga menyulitkan mereka yang duduk di ujung sebelah kiri kanan presiden yang paling ujung, tidak bisa menyimak dengan jelas apa yang dijelaskannya. Andai saja Presiden duduk di ujung meja paling tengah, semua orang yang duduk akan bisa melihat sang Presiden dengan sama jelasnya. Kenapa tidak tempat duduk Presiden diatur seperti itu ya?
Tempat duduk para Kompasianer yang dimulai dari ujung sebelah kiri depan Presiden sebagai berikut :
1. Alan Budiman
2. Ninoy E Karundeng
3. Axtea99
4. Pepih Nugraha
5. Setyo Hajae Dewantoro
6. Yodha Haryadi
7. Gunawan
8. Erizely Jely Bandaro
9. Marina Kusumawardhani
10. Andi Wibowo
Sementara yang duduk di sebelah kiri Presiden urutannya :
11. Thomson Cyrus
12. Gatot Swandito
13. Erri Subekti
14. Teten Masduki
15. Presiden Joko Widodo
16. Nino Histiraludin
17. Mas Wahyu
18. Niken Satyawati
19. Stefanus Toni Aka Tante Paku
Makan Siang Dimulai
Setelah kami duduk, sambil menunggu kedatangan Presiden, kami terlibat lagi obrolan ringan, kali ini yang ngobrol yang saling berdekatan saja. Maklum meja makannya panjang kurang lebih 30 meter, terbuat dari Kayu Jati tua, kursi yang tersedia totalnya 19 kursi. 13 kursi Kompasianer, 4 kursi blogger yang ikut diundang, 2 kursi Presiden dan asistennya, 2 kursi untuk Presiden dan asistennya.
Saya terlibat pembicaraan seru dengan Pak Erizeli Jely Bandaro, mbak Marina Kusumawardhani, mas Andi Wibowo, Mas Wahyu, mbak Niken Satyawati, dan Thomson Cyrus. Semua asyik mendengarkan kisah Blogger Erizeli Jely Bandaro, yang sarat dengan pengalaman, maklum beliau pengusaha besar yang tinggal di Hongkong, namun sangat aktif menulis di FB maupun di BLOG-nya tentang pemerintahan Jokowi dengan sudut pandang positip, makanya beliau diundang walau bukan Kompasianer.
Namun ada yang juga yang terdiam, menerawang dan menahan deg-degan menunggu munculnya sang presiden. Tak lama kemudian Pak Teten Masduki menerima telpon dari Presiden, karena pas nelponnya dekat dengan tempat duduk kami. Kesimpulannya, pak Presiden akan Sholat Zuhur dulu sebelum makan siang.
Pukul 12.30 WIB, dari pintu sebelah kanan dimana saya duduk, muncul sosok yang sudah begitu kita kenal, sosok tinggi kerempeng namun jalannya sangat cepat. Kami semua langsung berdiri, Pak Jokowi menyalami satu persatu para Kompasianer sambil berkata, ” Lho kok belum makan? Makan duluan boleh kok, ayo langsung makan saja.”
Presiden Jokowi segera menuju meja prasmanan di sudut ruangan dekat meja makan kami, meja ditata membentuk huruf L, beliau mengambil piring, saya Kompasianer berikutnya yang langsung menyusul di belakang Pak Jokowi. Prasmanan kali ini dengan menu tradisional, artinya Pak Jokowi memang selalu menyajikan makanan khas Indonesia dalam setiap acara makan-makan. Saya amati, menu tak berbeda jauh dengan Warung Padang plus Soto Kudus. Menurut informasi, makan siang itu ternyata di pesan dari warung Padang yang berada di belakang Istana.
“Wah kok nggak ada Satenya Pak?” tanya saya, karena saya tahu Pak Jokowi suka Sate.
“He he he ….kalo di Solo ya saya kasih Sate.” jawabnya terkekeh.
“Saya kemarin baca tulisannya mbak Niken,” kata Pak Jokowi. Mbak Niken yang berada di belakang saya tampak berbahagia sekali, senyumnya mengambang lega sampai bingung memilih lauknya. Mas Wahyu atau Mas Ninoy yang berada di belakangnya mbak Niken ikutan nyeletuk, “Kalau tulisan saya dibaca ndak Pak?” katanya sambil menyebutkan nama penanya di Kompasiana.
Saya pun menyahut, “Presiden kerjaannya banyak, mana sempat baca satu persatu tulisan kita,”
“Iya kalau sempat ya baca Kompasiana,” timpal pak Jokowi sambil terus memilih lauknya.
Saya melihat sendiri dan memang sudah banyak yang tahu kalau Pak Jokowi ini makannya sedikit tapi kerjanya banyak, sejak dulu sampai kini sudah menjadi Presiden tidak berubah. “Kok sedikit sekali makannya pak?” celetuk saya lagi.
“Iya ditambahi lagi….” jawabnya sambil menambah lauknya lagi. Setelah itu beliau menuju tempat duduk, saya masih sibuk memilih lauk yang cocok.
Ninoy yang piringnya sudah penuh, masih bingung mau ngambil Soto Kudus, tapi kedua tangannya sudah memegang piring dan bernafsu untuk membawa mangkok Sotonya. Saya ditanya sama petugas bagian rumah tangga Istana itu, “Bapak mau Sotonya? Duduk saja nanti saya antar,”
Mas Ninoy jadi senang mendengarnya dan langsung membawa piring menuju tempat duduknya, begitu juga semua Kompasianer.
“Ayo dimakan krupuknya biar rame kriuk-kriuknya,” ujar Pak Jokowi mempersilahkan semua Kompasianer untuk meramaikan acara makan siang itu dengan suara KRIUK-KRIUK. Dan benar, semua Kompasianer pun langsung kriuk-kriuk dengan kompaknya. Yang tadi terlihat makannya sangat hati-hati, kini mencair dan mulai lahap. Sementara Kang Pepih yang tak begitu suka kerupuk harus menahan rasa mendengar keberisikan itu.
Perkenalan
Setelah makan siang selesai dengan sepiring buah yang di potong kecil sebagai cuci mulut yang dihidangkan petugas di depan kami, para petugas menyingkirkan semua perlengkapan makan dari meja. Dan Pak Teten Masduki mempersilahkan para Kompasianer memperkenalkan diri, mulai dari ujung kiri.
Namanya saja penulis, acara perkenalan untuk menyebutkan nama saja ada yang berbunga-bunga dengan segala kalimat untuk mengungkapkan perasaannya, hingga ada yang diingatkan Pak Teten, “Ini perkenalan dulu, ceritanya nanti dalam tanya jawab,”
Kompasianer Bertanya
Karena saya duduk di ujung paling kiri dari Presiden Jokowi, saya tidak bisa begitu jelas menangkap apa yang diungkapkan Kompasianer yang diujung paling kanan, walau tidak semua Kompasianer bisa bertanya, karena waktu yang terbatas. Dan saya hanya bisa mencatat sedikit dari apa yang saya ingat, karena saya memang tidak membawa kertas dan pulpen untuk mencatat, maka saya ringkas saja beberapa ungkapan hati para Kompasianer ini.
Pepih Nugraha : “Bagaimana Bapak menghadapi kecaman dari pernyataannya ketika di Konferensi Asia-Afrika mengatakan lembaga keuangan internasional merugikan negara dunia ketiga?”
Pertanyaan Kang Pepih berikutnya tentang tanda tangan presiden soal tunjangan mobil DPR RI yang minta naik itu, remisi di Papua dan lainnya saya tidak terlalu jelas mendengarnya, maklum bicaranya pelan, sebab ia duduk berhadapan dengan Presiden.
Setyo Hajar Dewanto : “Pak Jokowi perlu selalu menyatu dengan wong cilik, karena rumus keberhasilan Bapak sebagai Presiden adalah dukungan murni dari wong cilik. Bapak juga perlu terlibat aktif dalam upaya menghidupkan Panca Sila bukan sebagai ideologi, tapi sebagai jiwa dan jati diri bangsa Nusantara. Dan yang ketiga Bapak perlu mempertimbangkan membuat MANDALA, sebuah tempat dimana orang-orang berhati murni bisa bersama-sama menyabda Nusantara.”
Ninoy E Karundeng : “Saya harap bapak Jokowi tetap seperti ini, apa adanya, tidak perlu merubah gaya demi untuk pencitraan…………………..bla bla bla……………………”
Saking menggebu-gebunya bercerita, Ninoy mulai hanyut dengan segala terawangan metafisikanya, katanya ia menulis karena SABDA PANDITA RATU, ia bertanya, siapa ratunya? Dan ia menjawab sendiri, saya lah ratunya dan bla bla bla………
Belum selesai bercerita, beberapa Kompasianer mengingatkannya untuk menghentikan ceritanya, karena kalau tidak dihentikan, bisa-bisa yang ngomong cuma Ninoy saja tentang dunia lain lagi.
Sementara pertanyaan atau pernyataan dari Gatot Swandito, Erri Subekti, Mas Wahyu, saya rasa cukup memberikan masukan yang menarik. Mbak Niken yang di sebelah saya pun dengan bersemangat menceritakan betapa masih masifnya mereka yang masih belum bisa MOVE ON dan terus melakukan fitnah, ia berharap Bapak Presiden tetap sabar dan terus fokus pada pekerjaannya saja.
Ketika saya dapat giliran bertanya, saya pun hanyut dan susah mempersingkat cerita karena tadi Teten Masduki sudah berpesan untuk singkat saja, toh ungkapan hati meluncur begitu saja sampai mengundang tawa yang mendengarnya, karena memang saya sisipi humor.
Stefanus Toni : “Saya sebenarnya sudah lama mendukung Pak Jokowi, sejak mencalonkan diri jadi Walikota Solo. Memang banyak teman saya yang bisa atau berada di lingkaran Bapak, tapi saya memilih tetap di tepian saja, sambil mendengarkan dengan bebas suara rakyat apa adanya.
Saya tahu dari teman-teman Bapak sesama pengusaha dulu, soal BLUSUKAN itu sudah lama dilakukan, singkatnya, ketika ada pameran mebel di luar negeri, teman-teman Bapak baru pasang Stand, Bapak pulang duluan tapi membawa order banyak.
Itulah yang mendasari saya mendukung dan menulis tentang Bapak tak lepas dari rekam jejaknya yang saya tahu dari orang lain juga prestasi kerjanya memang sudah diakui dunia. Nyatanya selama mendukung Pak Jokowi banyak keberuntungan-keberuntungan yang tak terduga.
Ketika Bapak menang menjadi Gubernur DKI Jakarta, saya terpilih menjadi KOMPASIANER TERFAVORITE 2012. Nah, saat saya menerima penghargaan itu, saya juga bertemu Pak Jusuf Kalla pas makan siang di Food Court Grandcit. Ketika duduk di sebelah Pak JK saya bilang, “Bapak jangan mencalonkan lagi menjadi Presiden.”
“Memangnya kenapa?” tanya Pak JK yang duduk berhadapan dengan Pak Ahcmad Sobari itu.
“Nanti nama Bapak jadi tambah H lho.”
“Apa itu?”
“Nama Bapak jadi Jusuf Kallah!” Mendengar itu Pak JK tertawa.
Dan Jokowi serta semua Kompasianer yang mendengar cerita saya pada NGAKAK. Toh akhirnya Pak JK juga mendapat keberuntungan yang baik, menjadi WAKIL PRESIDENNYA Bapak. Inilah energi positif yang menular dengan benar.
Stefanus Toni : “Pak Jokowi, kami, para Kompasianer ini sebenarnya PASPAMPRES di dunia maya, artinya Presiden masa depan itu HARUS mempunyai Paspampres di dunia nyata maupun maya. Jadi Bapak harus bisa memahami hal demikian untuk tetap memperhatikan apa yang terjadi di dunia maya.
Kami semua kalau sudah di depan kompi dan menuliskan kata JOKOWI, anak istri pasti tidak mendekat, sang istri sering mengatakan, “Papah jangan diganggu nak, lagi mengerjakan TUGAS NEGARA!” begitu katanya.
Kami Kompasianer ini dengan Bapak sudah DEKAT DI HATI dan DEKAT DI MATA, bagaimana tidak setiap hari hampir selalu menuliskan nama Bapak dan mencari foto Bapak.
Ketika Pak Jokowi mengatakan SIAP TIDAK POPULER walau dimaki akibat kebijakan yang diputuskannya, menurut saya, Bapak TETAP POPULER walau POPULER DIMAKI”
Mendengar itu Pak Jokowi dan Kompasianer lainnya pada tertawa lagi.
Saya pun memberikan IDE KREATIF buat Bapak Presiden.
Stefanus Toni : “Saya sangat mengapresiasi keperdulian bapak akan budaya bangsa, salah satunya BATIK, nah Bapak mestinya punya tim khusus yang bisa MENYIMPAN baju-baju batik Bapak di ruangan khusus, kelak baju-baju itu bisa DILELANG, saya kira harganya bisa tinggi. Sementara yang BAJU PUTIH dikasih saja TANDA TANGAN biar nilai jualnya juga tinggi. Nah hasilnya kan bisa untuk kegiatan sosial Bapak, saya tahu Bapak ahli dalam soal ini.”
Mendengar itu Pak Jokowi mengangguk-angguk, entah setuju atau tidak, hal tersebut pasti menjadi catatan tersendiri.
Belum selesai saya mengungkapkan apa yang saya catat, Pak Teten menghentikan karena waktunya sudah mepet. Dan berikutnya giliran Presiden Jokowi memberikan penjelasan dari semua pertanyaan yang bisa dijawab.
Jokowi Menjawab
Sebelum memberikan jawabannya, tentu saja Presiden Jokowi mengawali dengan ucapan, “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, terima kasih buat para Kompasianer yang bersedia datang dalam undangan makan siang yang sederhana ini………….”
Seperti yang sudah banyak diberitakan media, apa yang dijelaskan Presiden Jokowi tentang pidatonya di KAA, tentang PENCABUTAN SUBSIDI, tentang PEMBERIAN REMISI di Papua, tentang TANDA TANGAN yang diramaikan itu, tentang dibubarkannya PETRAL, dan semuanya dengan kalkulasi yang matang, tentang memilih Menteri Susi Pudjiastuti, semua dijelaskannya seperti ketika diwawancarai media. Tentu saja ada HUMORNYA ketika Pak JK tidak setuju ketika Jokowi memilih Ibu Susi.
“Ibu Susi itu lulusan SMP lho!” Kata Pak JK mengingatkan.
“Tapi beliau bisa 5 bahasa lho, kalau nggak percaya Bapak bisa test nanti.”
Presiden menjelaskan, “Saya memang sudah menelusuri rekam jejak Bu Susi juga dari sosial media, makanya Pak JK juga keliru ketika mengatakan punggungnya Bu Susi ada tattonya, Pak JK mungkin salah lihat, ternyata tattonya ada di kaki ha ha ha ha…..” Ujar Jokowi sambil tertawa.
Begitulah karakter Jokowi yang selalu ingin tampil beda namun tetap kreatif dalam memilih atau memutuskan sesuatu. Dan beliau juga TEGAS saat memberikan TARGET pada semua Menterinya. Kepada Bu Susi beliau menginginkan 100 kapal yang ditenggelamkan dari 7000 kapal yang melakukan illegal fishing di Indonesia.
“Tapi baru sekitar 22-an yang ditenggelamkan, itu saja sudah 3 kali saya perintahkan, katanya Bu Susi, sudah susah cari kapalnya. Nanti katanya sudah dapat lagi sekitar 30-an kapal ilegal yang akan ditenggelamkan, tentu saja awak kapalnya tidak ikut ditenggelamkan, kita selamatkan dulu. Target 100 saja nggak bisa, bukan karena Bu Susi tidak mampu, bahkan saya sudah memberikan jaminan penuh, bila butuh PENGAWAL saya siapkan kemana saja beliau pergi, tapi beliau kesulitan mencari kapal yang akan diledakkan, itu alasannya, memang susah mencari kapal sekarang ini, rupanya mereka sudah kabur duluan.”
“Soal Petral, saya beri target 2 bulan, walau mundur tapi akhirnya selesai juga.”
“Soal tanda tangan, semua sebenarnya sudah melalui pemeriksaan dari Kementrian dan ada Sekretaris Negara juga yang menyeleksinya, kalau semua harus saya baca, nanti saya disebut PRESIDEN TATA USAHA dong ha ha ha ha ha………………..”
Mundur 1 Jam
Acara makan siang Kompasianer dengan Presiden Jokowi sebenarnya diberi waktu 1 jam saja, tapi saking asyiknya kita berbincang hingga waktu diperpanjang sampai 2 jam. Berulangkali ajudan Presiden mengingatkan kalau sudah ditunggu tamu. Saya lihat tamu yang menunggu, salah satunya
Mas Romi Ketua Partai Persatuan Pembangunan, yang ketemu saya dan bersalaman untuk say hello saja.
“Sebentar lagi.”
“10 menit lagi,”
Begitu jawaban Pak Presiden saat diingatkan oleh ajudannya. Dan selesai tanya jawab, kami semua diberi kesempatan untuk foto bersama.
“Ayo foto yang bawa HP silahkan dipakai,” kata Jokowi. Kami pun menjawab kalau Kameran, HP tidak boleh dibawa masuk. “Oh hiya, protokolernya memang begitu,” sahut Pak Jokowi.
Kami pun berulangkali diabadikan oleh tukang potret pribadi Presiden Jokowi, yang sudah kenal baik dengan Kompasianer Solo, karena memang pernah bertemu. Sementara pak Erizal Jely Bandaro yang akan mengembangkan usaha di Indonesia bersama rekan bisnisnya dari China, Presiden pun siap membantu dan menyediakan lahannya di luar Jawa, seperti yang diminta Pak Rizal.
Cinderamata
There is no free lunch atau tidak ada makan siang yang gratis, artinya tidak ada sesuatu cuma-cuma di dunia ini. Faktanya kami Kompasianer yang terpilih malah mendapat MAKAN SIANG GRATIS dari Kepala Negara di Istana Negara pula, tentu hal yang istimewa dan langka. Kalau hanya bersalaman dengan Presiden di luar Istana mah biasa. Foto di luar bersama Presiden sudah banyak yang punya. Tapi makan siang bersama Presiden dengan cara PRASMANAN itu hal yang LUAR BIASA. Karena tidak setiap orang punya kesempatan demikian, semua memang tergantung Presiden, termasuk HAK PREROGATIF Presiden.
Lalu cindera mata apa yang dibawa pulang para Kompasianer itu, sebagian besar diperbolehkan membawa pulang NAMA PENANDA di meja makan itu. Sayangnya mas Nino Histiraludin malah lupa, tapi cukup beruntung mendapat TANDA TANGAN Presiden Jokowi pada buku cerita karya anaknya yang ia bawa.
Kang Pepih Nugraha sudah puas bisa menyerahkan langsung undangan untuk acara tahunan Kompasianival besok tanggal 21 November 2015, dengan demikian Kang Pepih Siap menyewa gedung termahal di Jakarta untuk acara itu. Tentu saja karena Presiden bersedia hadir, semahal apapun akan dilakukannya. Semoga saja lokasi yang mewah itu bisa membuat nyaman Kompasianer yang kelak bisa datang.
Setyo Hajar Dewantoro pun bangga bisa menyerahkan 2 buku karyanya kepada Bapak Presiden, yaitu buku berjudul : RUWATAN INTELIJENSIA dan FORMULA HIDUP BEJO. Buku terakhir Formula Hidup Bejo ternyata membuat Mas Setyo BEJO TENAN, bisa bertemu Presidan dalam acara terhormat MAKAN SIANG. Semoga buku BEJO tersebut semakin membuat Mas Setyo selalu BEJO dan Bapak Presiden Jokowi tetap BEJO dalam mengelola Bangsa dan Negara dengan penduduk 200 juta lebih ini dengan lebih cepat dan lebih baik.
Penutup
Pertemuan antara Presiden Jokowi dengan para Blogger sudah sering dilakukan dimana saja, jadi tidak dengan para Kompasianer saja. Tentu saja hal ini akan menjadi TRADISI Presiden Jokowi untuk mengundang para Netizen dari mana saja ke Istana Negara atau ke Istana lainnya. Kesempatan para Blogger atau Netizen tetap terbuka peluangnya untuk diundang Presiden Jokowi. Karena kami sudah memberi masukan apa adanya lewat beberapa teman yang dekat dengan beliau.
Akhirnya saya melihat saat makan siang di Istana Negara kemarin, ada ajudan Presiden yang MENCATAT beberapa nama yang tertulis di meja makan, entah untuk apa? Atau akan ada kejutan berikutnya? Saya tidak tahu, tapi saya tahu siapa saja namanya yang dicatat, semoga lirikan saya tidak keliru.
Demikian sedikit catatan yang bisa saya ceritakan kepada rekan-rekan Kompasianer yang belum punya peluang untuk MAKSI dengan Presiden kita ini. Bukan karena Anda tidak bagus tulisannya, bukan karena Anda Kompasianer baru atau lama, bukan karena Anda dulu tidak mendukung Jokowi, bukan karena Anda tua atau muda, tapi semua karena KEHENDAK ALLAH, sebab 13 Kompasianer yang diundang pun tidak terpikirkan sama sekali.
Namun Presiden Jokowi sudah bersedia hadir besok di Kompasianival pada 21 November 2015 nanti. Tentu saja saya berharap, Kompasianer dari Solo mbak Niken Satyawati bisa menjadi KOMPASIANER TERFAVORITE Kategori Artikel Politik 2015, karena beliau memang konsisten melahirkan tulisan-tulisan yang laris manis dan aktual di kanal tersebut. Lebih dari itu, hanya nama Niken Satyawati yang diingat Pak Jokowi di Kompasiana saat makan siang itu. Artinya tulisan mbak Niken mendapat apresiasi yang sangat tinggi dari petinggi di negeri ini.
Saya bermimpi, mbak Niken Satyawati bersalaman di panggung Kompasianival 2015 dengan Presiden Jokowi. Wow KEREN!
Salam.
Bejo tenan mas setyo nggih
ReplyDeleteMas'E, mo pesen bukunya nggih, mpun dilanjut by email, lho....
ReplyDelete