Terminologi
kembali pada jatidiri sebagai orang Jawa, bukanlah semacam penguatan identitas
etnis yang kemudian bermuara pada chauvinisme (ideologi pengunggulan ras atau
etnis tertentu). Tetapi, ini lebih
sebagai kesadaran mengenai kenyataan dirinya sebagai manusia yang lahir, hidup,
makan dan minum, menghirup oksigen, di Tanah Jawa, sekaligus mewarisi DNA dari
orang-orang terdahulu yang hidup di Tanah Jawa.
Kata
Jawa berarti mengerti
dengan tepat mengenai segala sesuatu perkara hidup dan kehidupan secara
menyeluruh yang selaras dengan kehendak Sang Maha Hidup. Lebih jelasnya, Jawa merupakan sikap hidup
selaras dengan segala titah dari Gusti Kang Murba Ing Dumadi. Jawa berarti hamemayu
hayuning bawana. Bisa juga berarti prasaja lan walaka, bersahaja
dan jujur, hati dan sikap hidup yang serba klop... selaras.
Lebih
jauh, Jawa bisa berarti mampu menyingkapkan Jarwane (teges/makna)
dari apa yang menjadi Wadi (rahasia) ning hurip (hidup)
. Sehingga orang yang nJawani artinya
adalah orang yang bisa bersikap layaknya Jawa secara essensial.
Selanjutnya
Jawa bisa dimengerti sebagai kemakrifatan (Arab) ataupun sod
(Ibrani) dalam peri kehidupan manusia di jagad ini. Jawa adalah merupakan realitas essensial
manusia dalam perkara Pola Rasa-Pola Nalar-Pola Laku .yang membentuk suatu pola
hidup selaras dengan Kehendak Gusti Kang Murba Ing Dumadi dan semesta raya ini.
Tegasnya,
Jawa yang sejati tidak berkaitan dengan etnis, melainkan dengan pola
hidup. Siapapun yang pola hidupnya
dilandasi penyadaran akan kasunyatan, apa adanya, serba selaras, maka dialah
Jawa, apapun etnisnya.
Ngelmu Jawa itu
adalah laku ngerti, tindakan untuk mengerti.
Saya juga bisa menangkap yang dimengerti adalah kenyataan..seperti
kenyataan tentang diri ini, dan hidup ini. Apakah
Ngelmu Jawa merupakan sebuah agama?
Jelas berbeda. Agama adalah tatanan, seperangkat aturan
untuk membuat hidup manusia tertata.
Asumsi mengapa agama diperlukan adalah bahwa manusia perlu ditata hidupnya
melalui seperangkat aturan eksternal (dari luar). Sementara Ngelmu Jawa membimbing
manusia untuk peka terhadap rasa-nya.....Dengan mengikuti rasa-nya ini, manusia
tidak lagi perlu diberi rambu-rambu dari luar.
Sebagai
contoh, dalam perkara penggunaan helm.
Jika memakai perspektif agama, agar setiap orang menggunakan helm, perlu
dibuat aturan harus menggunakan helm, jika tidak diberi sanksi. Sementara jika memakai Ngelmu Jawa, orang
yang telah peka terhadap rasa-nya, bisa mengerti bahwa menggunakan helm itu
penting untuk keselamatan diri karena bisa melindungi kepala pengemudi sepeda
motor. Sehingga meskipun tidak ada
aturan yang mewajibkan, tetap menggunakan helm itu.
Dalam
Ngelmu Jawa, laku
atau perbuatan kita sehari-hari ditata oleh rasa njero atau Kesadaran yang
dituntun oleh rasa sejati.
Maka,
bisa dikatakan bahwa inti Ngelmu
Jawa
adalah penyadaran diri tentang laku yang membawa harmoni untuk setiap pribadi. Ngelmu Jawa menumbuhkan rasa peduli, membuat setiap pribadi
sadar dan bisa menjalankan Hukum Kasih
Mengapa Perlu Belajar Ngelmu Jawa?
Mengapa
Ngelmu Jawa diperlukan sementara sudah ada banyak agama? Sebelum menjawabnya, justru kita perlu
bertanya, apakah agama, atau segenap hukum eksternal, bisa menjadi solusi
kehidupan yang paripurna? Realitasnya,
banyak orang tidak bisa menemukan solusi kehidupan dari agama. Maka, opsi lain bagi manusia adalah
melakukan tindakan penyadaran diri.
Penyadaran diri ini adalah gerbang untuk menemukan solusi itu. Nah, melalui Ngelmu Jawa,
manusia diajak menemukan realitas hidup, bukan imaji hidup.
Agama,
sebenarnya adalah tindakan pendisiplinan untuk manusia yang hidupnya tidak bisa
tertata dengan sendirinya. Sementara Ngelmu Jawa
menegaskan bahwa jika sesosok pribadi telah mengerti tentang kenyataan hidup,
termasuk hukum tabur tuai dari sebuah tindakan, pasti akan membangun harmoni di
dalam setiap lini kehidupan. Tanpa ada
pribadi di luar diri yang memberi instruksi, Manusia Jawa melakukan tindakan
hamemayu hayuning bawana
Samakah Ngelmu Jawa dan Kejawen
Apakah
Ngelmu Jawa sama dengan Kejawen? Kita
perlu mengurai terlebih dahulu pengertian Kejawen. Kejawen kan bermula dari
kata Ke-Jawa-an. Artinya segala perkara
mengenai Jawa. Itu mencakup seni,
ritual, sandangan, dan berbagai perkara lainnya. Untuk menentukan apakah Ngelmu Jawa sama
dengan Kejawen atau tidak, kita harus lebih dahulu menyamakan persepsi tentang
Kejawen. Jika Kejawen dimengerti sebagai Agama Jawa, atau agama yang dibuat
oleh orang Jawa – dan isinya banyak menekankan soal ritual dan aturan
eksternal, tentu itu berbeda dengan Ngelmu Jawa.
Tetapi
jika Kejawen dimengerti mengikuti kata dasarnya sebagai segala perkara mengenai
Jawa, maka Ngelmu Jawa
adalah bagian dari Kejawaan itu. Ngelmu Jawa
adalah ajaran spiritualitasnya orang Jawa.
Melalui pengertian ini, Sapta Dharma, Subud, adalah juga bagian dari
Kejawen, tepatnya, semua itu adalah contoh agama yang dibuat, dikembangkan dan
dianut oleh orang Jawa.
Sebagai
sebuah agama, mereka mengajarkan tentang tata cara manembah, etika, hukum, dan
semacamnya. Maka bisa dilihat sisi
berbedaannya dengan Ngelmu Jawa
karena justru Ngelmu Jawa tidak
mengajak orang pada penyeragaman laku manembah, aturan hidup, dan
seterusnya. Jikapun ada sebuah pola yang
dipergunakan bersama, itu perlu dimengerti sebagai sebuah cara, sebuah
teknologi, yang bisa diverifikasi kegunaannya saat ini juga. Ngelmu Jawa tidak mengajarkan orang untuk melakukan ritual
penyembahan agar Tuhan senang dan memberi pahala.
Klaim Yang Tidak Pas
Yang
agak repot, kalau sudah berbicara tentang agama, kita sering menemukan klaim
tentang kriteria agama yang benar harus berasal dari Tuhan dan disampaikan oleh
Nabi/Rasul dan memiliki Kitab Suci. Nah,
agama-agama yang lahir di Jawa pada umumnya tidak menyebutkan bahwa pembawanya
adalah seorang Nabi atau Rasul, maka agama-agama itu tidak bisa disebut sebagai
agama, hanya sebagai budaya.
Padahal
ya sejatinya sama-sama agama karena isinya adalah aturan untuk menata tindakan
manusia. Suatu saat akan terkuak
bagaimana sesungguhnya kenyataan dari Ngelmu Jawa. Kita akan
tahu bahwa Ngelmu Jawa, bisa
saja disebut sebagai agama karena punya elemen yang mirip, sekalipun
sesungguhnya ia lebih berupa sains dan teknologi. Orang tidak perlu dipaksa untuk yakin. Orang hanya perlu menjalankannya, dan jika
merasakan kegunaan nyata, silakan diteruskan.
Jika tidak ya sudah. Tak ada
ancaman dalam bentuk apapun.
Sebetulnya,
yang diajarkan dalam Ngelmu Jawa adalah
mangening, tindakan
penjernihan diri, bukan penyembahan pada satu obyek. Nah, cara mangening ini dari satu pribadi dengan pribadi lainnya bisa
berbeda, sekalipun jika kita bicara acuan, tetap ada acuan yang sama. Yang terpenting dalam Ngelmu Jawa dalah
tindakan penyadaran diri sehingga setiap pribadi bisa membangun harmoni. Setiap orang kondisinya tidak sama, jika
diseragamkan pasti ada pemaksaan dan malah menjauhkan manusia dari harmoni. Tetapi sangat dimungkinkan, jika ada
orang-orang yang nglakoni Ngelmu Jawa lalu
menerapkan sebuah metode yang sama. Ini
bukan penyeragaman yang memaksa, tapi memang satu situasi dimana banyak orang
merasakan kegunaan nyata dari sebuah metode, lalu mereka mempraktekkan itu
secara kolektif.
Laku
Praktis Ngelmu Jawa
Laku
spiritual orang Jawa yang sesungguhnya adalah menyadari kejumbuhan dengan
seluruh keberadaan. Bukan menyembah
sesuatu di luar diri. Jika tidak ada
sebutan untuk Keberadaan juga tidak ada persoalan. Yang terpenting adalah keselarasan dan ini
menyangkut rasa yang paling halus. Tanpa
mengucapkan apapun, sebuah laku yang dilandasi penyadaran tetap akan memberikan
dampak pembaharuan hidup.
Lebih
jauh, Ngelmu Jawa
adalah penyadaran akan Realitas Tanpa Batas yang
memenuhi/melingkupi/menguasai/menghidupi setiap keberadaan: diri dan di luar
diri, yang terlihat secara ragawi dan non ragawi.
Realitas
Tanpa Batas itu bisa ditengarai atau dinamai dengan apapun, ataupun tidak
ditengarai/dinamai juga tidak menjadi persoalan. Karena begitu sudah sampai pada tindakan penengaraan
atau penamaan, setiap etnis, ras, punya kosakata yang berbeda meskipun
pengertiannya satu. Nah, tentunya,
sewajarnya jika orang Jawa yang mangening lalu membutuhkan kata-kata untuk membantu penyadaran,
mereka mempergunakan bahasa Jawa.
Tetapi intinya adalah memberi perhatian pada yang hendak disadari, lalu
mengamati dengan cermat. Sebagai contoh
menyadari hidup: Beri perhatian, amati, cermati nafas atau hambegan sebagai
sumber hidup manusia. Lebih jauh ya
mengamati, memberi perhatian, mencermati berbagai realitas hidup. Langkah ini membuat kita lebih mengerti
tentang realitas, dan itu membawa pada kemerdekaan diri dan sesama. Penyadaran diri seperti demikian, bisa juga
disebut dengan manembah
karo kahanan.....atau,
tepatnya: mangening, laku
penjernihan, laku menjadi wening.
Post a Comment